Skip to main content

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in


ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN

Oleh: Saprida, MHI; 
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF

Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah syahâdatain dan shalat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat paham tentang kewajiban shalat dan manfaatnya dalam membentuk keshalehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman shalat sudah merata dikalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat (Qardawi 2007, hal. 38). 

Dinamika ekonomi manusia dalam tata aturan hidup telah menjadi kodrat manusiawi, pada kenyataannya kaya dan miskin menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Dalam konstruk ini muncul kewajiban menafkahkan sebagian rezeki kepada orang lain, kewajiban tersebut dikenal dengan zakat. Salah satu sunnatullah yang sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa adalah perbedaan yang terdapat pada setiap diri manusia, setiap orang lahir dan hidup di dunia memiliki kondisi tersendiri yang bebeda dengan orang lain, perbedaan ini mencakup semua aspek, mulai dari budaya, sosial, kultur. Salah satu perbedaan yang mudah diidentifikasi adalah perbedaan kondisi ekonomi, sebagai manusia ada yang dititipi oleh Allah harta sehingga menjadi orang kaya dan berada, sebagian lagi ada yang dicoba dengan kekurangan dan hidup miskin. Semua ini bukannya tanpa tujuan, akan tetapi justru mengandung nilai realitas sosial yang dapat membuat manusia menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa.

Selain itu, Allah SWT. ingin menguji manusia apakah mampu mengoptimalkan segala potensi kebaikan yang diberikan kepadanya atau tidak (Qardawi 2007, hal. 39). Disisi lain, perbedaan tersebut dalam banyak hal sering menjadi masalah dan problem bagi manusia, dalam kehidupan sehari-hari timbul gejolak akibat kesenjangan diantara manusia yang sulit dikontrol, orang kaya yang dititipi harta melimpah tidak menjalankan tugasnya dalam menolong fakir miskin yang membutuhkan. Sebagian orang malah memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mengeksploitasi harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri, akhirnya Allah menurunkan syariat-Nya bagi manusia guna menciptakan kesejahteraan dan kedamaian dibumi, hal inilah yang biasa disebut dengan Al-Islam. Artinya, hanya dengan Islam manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup mereka.

Akal fikiran dan ilmu pengetahuan manusia yang terbatas tidak akan mampu menciptakan sebuah solusi yang lebih baik dari pada solusi yang dibuat oleh pencipta manusia itu sendiri (Ahkmad 2007, hal. 55) Salah satu ajaran Islam yang bertujuan mengatasi kesenjangan dan gejolak sosial tersebut adalah zakat, zakat yang menjadi salah satu tiang penyangga bagi tegaknya Islam serta menjadi kewajiban bagi pemeluknya, membawa misi memperbaiki hubungan horizontal antara sesama manusia, sehingga pada akhirnya mampu mengurangi gejolak akibat problematika kesenjangan dalam hidup mereka. Selain itu, zakat dapat juga memperkuat hubungan vertikal manusia dengan Allah, karena Islam menyebutkan bahwa zakat merupakan bentuk pengabdian (ibadah) kepada Yang Maha Kuasa (Ahkmad 2007, hal. 56). Menurut pendapat Al-Zuhaili definisi zakat adalah hak (tertentu) yang terdapat dalam harta seseorang. Definisi umum ini dihimpun dan muncul dari saringan berbagai definisi yang lebih spesifik yang dikemukakan oleh ahli fiqih, yaitu suatu istilah tentang suatu ukuran tertentu dari harta yang telah ditentukan, yang wajib dibagikan kepada golongan tertentu serta dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Adapun hukum zakat, agama Islam telah menyatakan dengan tegas, bahwa zakat merupakan salah satu rukun dan fardhu yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang hartanya sudah memenuhi kriteria dan syarat tertentu. Otoritas fiqih Islam yang tertinggi, Al-Qur’an dan Hadist menyatakan hal tersebut. Dalam banyak kesempatan Jumhur Ulama pun sepakat, bahwa zakat merupakan suatu kewajiban dalam agama yang tidak boleh diingkari. Artinya, siapa yang mengingkari kewajiban berzakat, maka dihukum telah kufur terhadap ajaran Islam, karena dalam ajaran Islam zakat menempati posisi yang sangat urgen. Kewajiban zakat merupakan bukti integralitas syariah Islam. Artinya, Islam datang membawa konsep kehidupan yang sempurna tidak hanya memperhatikan aspek individual belaka, tetapi juga membawa misi sosial yang luas. Sebagai salah satu rukun penyangga tegaknya agama Islam, para cendikiawan muslim kontemporer menyebutkan bahwa zakat merupakan bentuk nyata dari aplikasi solidaritas social yang nyata Didin 2002, 17)

Pada Periode Makkah Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW. ketika beliau masih tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 39, yang artinya :”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (ArRum ayat:39).

Sementara itu pada Periode Madinah, menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah di Madinah. Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan. Firman Allah SWT. surat Al-Mu'minun ayat 4: “Dan orang yang menunaikan zakat”. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah. Kewajiban yang dikenal sebagai zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Namun, permasalahan zakat tidak bisa dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat.

Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW. para sahabatnya dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup kecuali Utsman bin Affan karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah. Kalangan Anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah. Keahlian orang-orang muhajirin adalah berdagang. Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-Rabi' menawarkan hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam waktu tidak lama, berkat kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali. Bahkan, sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangannya. Selain Abdurrahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal serupa. Kelihaian orang-orang Makkah dalam berdagang ini membuat orang-orang di luar Makkah berkata, “Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas”.

Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang Anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah. Kemudian Rasulullah SAW. menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian Masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan. Setelah keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai menemukan kekuatannya.

Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW. menerima wahyu berikut ini: Artinya : “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”(QS Al-Baqarah: 110). Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan sebagai sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran. Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, “Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata”. Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin.

Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci. Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW. telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati. (Asnaini 2008, hal. 28).

Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah. Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambilah sedekah (zakat) dari harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”, bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak. Mereka juga menilai hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut. Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis Nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La ilahailallah”. Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan. Akan tetapi Abu Bakar beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu”.

Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar. Abu Bakar pun beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara. Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya. Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi Nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki. Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam Islam. Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.

Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakarpun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah. Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60. Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan”. Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirhampun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.

Pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal. Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya”.

Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan. Selain itu pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.

Pada awal pertumbuhan konsep Baitul Mal yang di inisiasi oleh khalifah Umar bin Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama mengangkat harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada masyarakat. Pada masa Umar bin Khattab, sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi ketua amil zakat di Yaman. Konsekuensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan karena sistem dan infrastruktur yang sudah established (berkembang). Pada tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu Khalifah Umar mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam sistem kebijakan zakat pada saat itu. Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan dari surplus zakatnya ke pemerintah pusat. Dan SubhanAllah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin.

Paradigma merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat didukung dengan manajemen profesional dan sistem kebijakan pemerintah yang komprehensif serta bermuara pada kepentingan kesejahteraan mustahik.

Pengelolaan zakat pada periode Khalifah Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan Masjid Nabawi. Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas. Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.

Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan dalam Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan jenis harta-harta yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan dari segi pembelajaannya. Saudah berkata “Saya menemui Amirul Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan penuh kelembutan, ada yang anda perlukan? Saya mengadukan petugas tersebut kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa kepada Allah, Ya Allah! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas manusia dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu. Lalu ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan katakata berikut, Timbang dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran yang kurang, dan janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi. Setelah anda menerima surat ini, tahanlah barang-barang yang anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas itu dari anda”.

Dalam buku Islamic Economic: Theory and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan bahwa ibadah zakat mengikuti beberapa prinsip yaitu :
a. Prinsip Keyakinan Keagamaan (Faith). Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau belum mengeluarkan zakat, merasa belum sempurna ibadahnya.
b. Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keadilan. Prinsip ini menggambarkan tujuan dari zakat itu sendiri, membagi lebih adil atas kekayaan yang telah diberikan oleh Allah.
c. Prinsip Produktivitas (productivity) dan Kematangan. Prinsip ini menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu.
d. Prinsip Nalar (Reason) dan Prinsip Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip ini menjelaskan bahwa zakat harus dibayar oleh orang yang bebas, dan sehat jasmani serta rohaninya. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
e. Prinsip Etik (Ethic) dan Kewajaran. Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak akan diminta secara sewenang-wenang, tanpa memperhatikan akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau ternyata membuat orang yang membayarnya menderita.

Hal dan kondisi seperti inipun terjadi pada masa kekhalifahan tabiin-tabiin yang berjuang dijalan Allah SWT. Salah satunya Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan di negerinya. Hal ini terbukti hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan pengelolaan dan sistem yang profesional, komprehensif dan universal membuat negerinya makmur dan sejahtera tanpa ada orang miskin di negerinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitul Mal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah. Lalu Yazid menjawab, "Sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di Baitul Mal”. Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata, “Kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di Baitull Mal masih berlimpah. Pada akhirnya, Umar bin Abdul memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya. Strategi pengelolaan dan distribusi dana zakat yang semuanya berorientasi pada berlipat gandanya pahala muzaki dan peningkatan kesejahteraan para mustahik

Begitulah sekelumit sejarah pelaksanaan Zakat di masa Rasulullah, Sahabat dan Tabiin. Selanjutnya, bagaimana sejarah pelaksanaan Zakat di Indonesia zaman kolonial dan ketika Indonesia merdeka? Sejarah Zakat di Indonesia sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Barat, pendahulu (zakat) terutama bagian sabilillahnya merupakan sumber dana perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Kendatipun negara Republik Indonesia tidak didasarkan pada ajaran suatu agama, namun falsafah negara kita dan pasal-pasal UUD negara Republik Indonesia memberi kemungkinan kepada pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan pemungutan zakat dan pendayagunaannya. Seperti yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara lain adalah bahwa “Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari‟at Islam bagi orang Islam, syari‟at nasrani bagi orang nasrani, dan syari‟at hindu Bali bagi orang hindu”. Sekedar menjalankan syari‟at (norma hukum agama) itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara (Demokrasi Pancasila, 1983 : 34). Karena syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya. 

Dalam negara Republik Indonesia ini, syari’at Islam yang merupakan kebutuhan hidup para pemeluk agama Islam dan norma abadi yang berasal dari Allah itu dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1. Syari’at yang mengandung hukum dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum zakat dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna.
2. Kategori yang kedua yaitu norma abadi yang memuat syari’at yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya seperti shalat, dan puasa. Pelaksanaan syari’at ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, karena ia merupaka kewajiban pribadi pemeluk agama yang bersangkutan kepada Allah.
3. Kategori ketiga yaitu syari’at yang mengandung tuntunan hidup kerohanian (iman) dan kesusilaan (akhlak) yang seperti syari’at dalam kategori kedua tersebut di atas, tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara yang menjalankannya. Demikian juga syari’at agama Nasrani dan Hindu. 

Menurut Profesor Hazairin, dalam penyusunan ekonomi Indonesia, di samping komponen-komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong-royong dan tolong menolong. Pengertian zakat seperti yang terdapat di dalam AlQur’an besar manfaatnya. Kalau dipahami dengan seksama. Kata beliau, mengenai cara pelaksanaannya memang diperlukan perubahan sehingga memenuhi keperluan bank masa kini dan keadaan di Indonesia. Jika diadakan bank zakat misalnya, tempat mengumpulkan dana yang tidak adalagi golongan yang menerimanya dari mustahiq yang delapan itu, manfaatnya akan besar sekali. Dari Bank Zakat itu akan dapat disalurkan pinjaman pinjaman jangka panjang yang tidak berbunga untuk rakyat miskin guna membangun lapangan hidup yang produktif.

Zakat yang diorganisasikan dan diselenggarakan dengan baik, akan sangat berfaedah bukan saja bagi umat Islam, tetapi juga bagi mereka yang bukan muslim. Demikian sejak Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-pejabat pemerintah yang menjadi penyelenggara negara telah ikut serta membantu pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan pelaksanaan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini secara kualitatif, mulai meningkat pada tahun 1962. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5/1968. Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No. 4 dan No. 5 tahun 1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di Istana negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta. Dengan di pelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota ini Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS). Pada tahun 1968 yang terbentuk diberbagai daerah.
====================

* Ustazah Saprida, S.H.I, M.H.I, Alumnus Ekonomi Syariah, Prodi Hukum Islam UIN Raden Fatah, Palembang, Sekarang sebagai Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah Indo Global Mandiri (STEBIS IGM)
Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Diantara Ulama Dunia Pemegang Sanad al-Qur’an yang sudah memperoleh sedikit ilmu yaitu dari Asy-Syaikh Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), Syeikh al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al_Qur’an dari Dar al-Azhar, Mesir), dan Syaikh DR Said Thalal al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an al-Karim wa Sunnah, Palestina). Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th