Oleh: Saprida, MHI;
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Selain itu,
Allah SWT. ingin menguji manusia apakah mampu mengoptimalkan segala potensi
kebaikan yang diberikan kepadanya atau tidak (Qardawi 2007, hal. 39). Disisi
lain, perbedaan tersebut dalam banyak hal sering menjadi masalah dan problem
bagi manusia, dalam kehidupan sehari-hari timbul gejolak akibat kesenjangan
diantara manusia yang sulit dikontrol, orang kaya yang dititipi harta melimpah
tidak menjalankan tugasnya dalam menolong fakir miskin yang membutuhkan.
Sebagian orang malah memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mengeksploitasi harta
sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri, akhirnya Allah menurunkan
syariat-Nya bagi manusia guna menciptakan kesejahteraan dan kedamaian dibumi,
hal inilah yang biasa disebut dengan Al-Islam. Artinya, hanya dengan
Islam manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup mereka.
Akal fikiran
dan ilmu pengetahuan manusia yang terbatas tidak akan mampu menciptakan sebuah
solusi yang lebih baik dari pada solusi yang dibuat oleh pencipta manusia itu
sendiri (Ahkmad 2007, hal. 55) Salah satu ajaran Islam yang bertujuan mengatasi
kesenjangan dan gejolak sosial tersebut adalah zakat, zakat yang menjadi salah
satu tiang penyangga bagi tegaknya Islam serta menjadi kewajiban bagi
pemeluknya, membawa misi memperbaiki hubungan horizontal antara sesama manusia,
sehingga pada akhirnya mampu mengurangi gejolak akibat problematika kesenjangan
dalam hidup mereka. Selain itu, zakat dapat juga memperkuat hubungan vertikal
manusia dengan Allah, karena Islam menyebutkan bahwa zakat merupakan bentuk
pengabdian (ibadah) kepada Yang Maha Kuasa (Ahkmad 2007, hal. 56). Menurut
pendapat Al-Zuhaili definisi zakat adalah hak (tertentu) yang terdapat dalam
harta seseorang. Definisi umum ini dihimpun dan muncul dari saringan berbagai
definisi yang lebih spesifik yang dikemukakan oleh ahli fiqih, yaitu suatu
istilah tentang suatu ukuran tertentu dari harta yang telah ditentukan, yang
wajib dibagikan kepada golongan tertentu serta dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
Adapun hukum
zakat, agama Islam telah menyatakan dengan tegas, bahwa zakat merupakan salah
satu rukun dan fardhu yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang hartanya
sudah memenuhi kriteria dan syarat tertentu. Otoritas fiqih Islam yang
tertinggi, Al-Qur’an dan Hadist menyatakan hal tersebut. Dalam banyak
kesempatan Jumhur Ulama pun sepakat, bahwa zakat merupakan suatu kewajiban
dalam agama yang tidak boleh diingkari. Artinya, siapa yang mengingkari
kewajiban berzakat, maka dihukum telah kufur terhadap ajaran Islam, karena
dalam ajaran Islam zakat menempati posisi yang sangat urgen. Kewajiban zakat
merupakan bukti integralitas syariah Islam. Artinya, Islam datang membawa
konsep kehidupan yang sempurna tidak hanya memperhatikan aspek individual
belaka, tetapi juga membawa misi sosial yang luas. Sebagai salah satu rukun
penyangga tegaknya agama Islam, para cendikiawan muslim kontemporer menyebutkan
bahwa zakat merupakan bentuk nyata dari aplikasi solidaritas social yang nyata
Didin 2002, 17)
Pada Periode
Makkah Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan
sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada
Rasulullah SAW. ketika beliau masih tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada
awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu Allah SWT dalam surat
Ar-Rum ayat 39, yang artinya :”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (ArRum ayat:39).
Sementara
itu pada Periode Madinah, menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai
disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah di Madinah. Di tahun tersebut zakat fitrah
diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada
bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian
zakat mal atau kekayaan. Firman Allah SWT. surat Al-Mu'minun ayat 4: “Dan
orang yang menunaikan zakat”. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan
meskipun ayat itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di
Madinah pada tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat
pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan
nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah. Kewajiban yang
dikenal sebagai zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Namun,
permasalahan zakat tidak bisa dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat.
Demikian
juga pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam buku 125 Masalah Zakat karya
Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah,
zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW. para sahabatnya dan segenap
kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah)
masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan
keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai
perekonomian yang cukup kecuali Utsman bin Affan karena semua harta benda dan
kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah. Kalangan Anshar (orang-orang
Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari
Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar
biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah
sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula
bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah. Keahlian orang-orang
muhajirin adalah berdagang. Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-Rabi' menawarkan
hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya. Ia hanya
minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam waktu
tidak lama, berkat kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali. Bahkan,
sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangannya.
Selain Abdurrahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan
hal serupa. Kelihaian orang-orang Makkah dalam berdagang ini membuat
orang-orang di luar Makkah berkata, “Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah
pasir sahara menjadi emas”.
Tidak semua
orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada yang
menggarap tanah milik orang-orang Anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami
kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha
mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya,
Abu Hurairah. Kemudian Rasulullah SAW. menyediakan bagi mereka yang kesulitan
hidupnya sebuah shuffa (bagian Masjid yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni
shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum
Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan. Setelah
keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas
agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan
hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya.
Setelah
hijrah ke Madinah, Nabi SAW. menerima wahyu berikut ini: Artinya : “Dan
dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari
kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”(QS Al-Baqarah: 110).
Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan
sebagai sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran. Mengenai kewajiban zakat
ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, “Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat
yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban
yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di
Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata”. Sayid Sabiq menerangkan
bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini
tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar
zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin.
Akan tetapi,
mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan
besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW. telah memberi batasan mengenai
aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus
membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Sejak saat itu zakat
telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial
keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang
hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.
(Asnaini 2008, hal. 28).
Setelah Nabi
Muhammad SAW. wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu
Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk
kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun,
persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar
zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah.
Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat
yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambilah sedekah (zakat) dari
harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”,
bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang
diperintahkan untuk memungut pajak. Mereka juga menilai hanya pemungutan yang
dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan
demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup,
dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat
tersebut. Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar
mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka
dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh
Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis Nabi yang menyatakan,
“Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La
ilahailallah”. Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan
mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang
berhak memperoleh perlindungan. Akan tetapi Abu Bakar beragumen bahwa teks
hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali
bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu”.
Zakat adalah
yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan
sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya
dapat diterima oleh Umar. Abu Bakar pun beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana
negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat
yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara. Ketegasan sikap
Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah
yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan
antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat
pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah,
walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya. Pembangkangan orang-orang
yang mengangkat dirinya menjadi Nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di
Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun
dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang
melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan
penyitaan terhadap aset yang dimiliki. Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar
zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang
pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus
diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam
Islam. Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat
merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam
dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak
fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.
Setelah
dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakarpun memulai
tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang
berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri
mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada
golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan
bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah. Dalam soal pemberian,
Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab
kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan
serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat
At-Taubah ayat 60. Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang
terletak di daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau
pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka
Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersisa
di dalamnya, semua telah habis dibagikan”. Ketika Abu Bakar meninggal, Umar
bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, di antaranya Abdurrahman bin Auf dan
Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu
dinar dan satu dirhampun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan
dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.
Pada masa
Umar bin Khattab menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil
dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar
melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan
kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat
itu kemudian diberikan kepada Khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin
luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur
pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat
akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal.
Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar
menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar
untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata,”Untuk
mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak sedikitpun tinggalkan harta di
dalamnya”.
Ada
perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu
Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan ijtihad.
Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri
seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati
seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah
diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik,
maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang
lain yang jauh lebih memerlukan. Selain itu pada masa beliau mulai
diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang
diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa
yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau
perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pada awal
pertumbuhan konsep Baitul Mal yang di inisiasi oleh khalifah Umar bin Khattab,
pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model sentralisasi.
Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan
kondisi masyarakat, terutama mengangkat harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa
pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya
pengelolaan harta zakat kepada masyarakat. Pada masa Umar bin Khattab, sahabat
Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk
menjadi ketua amil zakat di Yaman. Konsekuensi dengan model sentralisasi
dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan karena sistem dan infrastruktur yang
sudah established (berkembang). Pada tahun pertama Muaz bin Jabal
mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu Khalifah
Umar mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah
kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam
sistem kebijakan zakat pada saat itu. Pada tahun kedua Muaz bin Jabal
menyerahkan dari surplus zakatnya ke pemerintah pusat. Dan SubhanAllah, pada
tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan seluruh pengumpulan dana zakatnya ke
pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mau
menerima zakat dan disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat
mengalihkan distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin.
Paradigma
merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat
didukung dengan manajemen profesional dan sistem kebijakan pemerintah yang
komprehensif serta bermuara pada kepentingan kesejahteraan mustahik.
Pengelolaan
zakat pada periode Khalifah Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan
dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin
Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan
Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah
yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk
mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk
membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham,
lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun
dan memakmurkan Masjid Nabawi. Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian
khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya,
dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan
pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.
Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai,
yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan
pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran
persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus
mengikuti tuntunan syariat.
Dalam
kebijakan zakat dan pengelolaan uang negara khalifah Ali bin Abi Thalib
mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat
dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan dalam Baitul Mal, namun
zakat berbeda dengan jenis harta-harta yang lain, dari segi perolehannya serta
berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan dari segi pembelajaannya. Saudah
berkata “Saya menemui Amirul Mukminin
untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul
zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan penuh
kelembutan, ada yang anda perlukan? Saya mengadukan petugas tersebut kepadanya.
Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa kepada Allah,
Ya Allah! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas manusia dan tidak
meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu. Lalu ia mengeluarkan secarik kertas
dari sakunya dan menuliskan katakata berikut, Timbang dan ukurlah dengan benar
dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran yang kurang, dan janganlah
menyebarkan bencana dimuka bumi. Setelah anda menerima surat ini, tahanlah
barang-barang yang anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan
mengambil alih tugas itu dari anda”.
Dalam buku
Islamic Economic: Theory and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan bahwa
ibadah zakat mengikuti beberapa prinsip yaitu :
a. Prinsip
Keyakinan Keagamaan (Faith). Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang
membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu manifestasi
keyakinan agamanya, sehingga kalau belum mengeluarkan zakat, merasa belum
sempurna ibadahnya.
b. Prinsip
Pemerataan (Equity) dan Keadilan. Prinsip ini menggambarkan tujuan dari
zakat itu sendiri, membagi lebih adil atas kekayaan yang telah diberikan oleh
Allah.
c. Prinsip
Produktivitas (productivity) dan Kematangan. Prinsip ini menekankan
bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan
produk tertentu.
d. Prinsip
Nalar (Reason) dan Prinsip Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip ini
menjelaskan bahwa zakat harus dibayar oleh orang yang bebas, dan sehat jasmani
serta rohaninya. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang mengalami gangguan
jiwa.
e. Prinsip
Etik (Ethic) dan Kewajaran. Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak akan
diminta secara sewenang-wenang, tanpa memperhatikan akibat-akibat yang akan
ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau ternyata membuat orang yang
membayarnya menderita.
Hal dan
kondisi seperti inipun terjadi pada masa kekhalifahan tabiin-tabiin yang
berjuang dijalan Allah SWT. Salah satunya Umar bin Abdul Aziz dari Bani
Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf
sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan di negerinya. Hal ini terbukti
hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan pengelolaan dan sistem yang
profesional, komprehensif dan universal membuat negerinya makmur dan sejahtera
tanpa ada orang miskin di negerinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa
Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat
di Baitul Mal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Lalu
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa
menerima upah. Lalu Yazid menjawab, "Sudah diberikan namun dana zakat
masih berlimpah di Baitul Mal”. Umar mengintruksikan kembali untuk
memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata, “Kami
sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah”. Lalu
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan
membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama
bahwa dana zakat di Baitull Mal masih berlimpah. Pada akhirnya, Umar bin Abdul
memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan
membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya. Strategi
pengelolaan dan distribusi dana zakat yang semuanya berorientasi pada berlipat
gandanya pahala muzaki dan peningkatan kesejahteraan para mustahik.
Begitulah sekelumit sejarah pelaksanaan Zakat di masa Rasulullah, Sahabat dan Tabiin. Selanjutnya, bagaimana sejarah pelaksanaan Zakat di Indonesia zaman kolonial dan ketika Indonesia merdeka? Sejarah Zakat di Indonesia sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah
menjadi satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam
perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Barat, pendahulu (zakat)
terutama bagian sabilillahnya merupakan sumber dana perjuangan ketika satu
persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu
mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi
kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi pendorong
pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial
yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau
naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi
tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka
beserta keluarganya. Untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber
dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan
priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Kendatipun negara
Republik Indonesia tidak didasarkan pada ajaran suatu agama, namun falsafah
negara kita dan pasal-pasal UUD negara Republik Indonesia memberi kemungkinan
kepada pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan pemungutan zakat dan
pendayagunaannya. Seperti yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara
lain adalah bahwa “Negara Republik
Indonesia wajib menjalankan syari‟at Islam bagi orang Islam, syari‟at nasrani
bagi orang nasrani, dan syari‟at hindu Bali bagi orang hindu”. Sekedar
menjalankan syari‟at (norma hukum agama) itu memerlukan perantaraan kekuasaan
negara (Demokrasi Pancasila, 1983 : 34). Karena syari’at yang berasal dari
agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup
para pemeluknya.
Dalam negara Republik Indonesia ini, syari’at Islam yang
merupakan kebutuhan hidup para pemeluk agama Islam dan norma abadi yang berasal
dari Allah itu dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1. Syari’at
yang mengandung hukum dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum
zakat dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara
untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna.
2. Kategori
yang kedua yaitu norma abadi yang memuat syari’at yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya seperti shalat, dan puasa. Pelaksanaan syari’at ini
tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, karena ia merupaka kewajiban pribadi
pemeluk agama yang bersangkutan kepada Allah.
3. Kategori
ketiga yaitu syari’at yang mengandung tuntunan hidup kerohanian (iman) dan
kesusilaan (akhlak) yang seperti syari’at dalam kategori kedua tersebut di
atas, tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara yang menjalankannya. Demikian
juga syari’at agama Nasrani dan Hindu.
Menurut Profesor Hazairin, dalam
penyusunan ekonomi Indonesia, di samping komponen-komponen yang telah ada dalam
sistem adat kita yaitu gotong-royong dan tolong menolong. Pengertian zakat
seperti yang terdapat di dalam AlQur’an besar manfaatnya. Kalau dipahami dengan
seksama. Kata beliau, mengenai cara pelaksanaannya memang diperlukan perubahan
sehingga memenuhi keperluan bank masa kini dan keadaan di Indonesia. Jika
diadakan bank zakat misalnya, tempat mengumpulkan dana yang tidak adalagi
golongan yang menerimanya dari mustahiq yang delapan itu, manfaatnya akan besar
sekali. Dari Bank Zakat itu akan dapat disalurkan pinjaman pinjaman jangka
panjang yang tidak berbunga untuk rakyat miskin guna membangun lapangan hidup
yang produktif.
Zakat yang
diorganisasikan dan diselenggarakan dengan baik, akan sangat berfaedah bukan
saja bagi umat Islam, tetapi juga bagi mereka yang bukan muslim. Demikian sejak
Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-pejabat
pemerintah yang menjadi penyelenggara negara telah ikut serta membantu
pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan
pelaksanaan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara.
====================
* Ustazah Saprida, S.H.I, M.H.I, Alumnus Ekonomi Syariah, Prodi Hukum Islam
UIN Raden Fatah, Palembang, Sekarang sebagai Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ekonomi
dan Bisnis Syariah Indo Global Mandiri (STEBIS IGM)
* Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi
Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi
bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered
Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic
Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Diantara Ulama Dunia
Pemegang Sanad al-Qur’an yang sudah memperoleh sedikit ilmu yaitu dari Asy-Syaikh
Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), Syeikh
al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al_Qur’an dari Dar al-Azhar,
Mesir), dan Syaikh DR Said Thalal al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an
al-Karim wa Sunnah, Palestina). Sekarang
ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail:
ustazsofyan@gmail.com.