Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Baitul
Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti
"rumah", dan al-mal yang berarti "harta".[1] Baitul Mal berarti rumah untuk
mengumpulkan atau menyimpan harta.[1] Baitul Mal adalah suatu lembaga
atau pihak (al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta
umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.[2] Baitul Mal dapat juga diartikan
secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola
segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.[2)
Sejarah
Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul
Mal dalam makna istilah sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW, yaitu ketika kaum muslimin
mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada Perang Badar.[2]Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul
Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani
setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran.[2] Saat itu Baitul Mal belum
mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang
diperoleh belum begitu banyak.[2] Kalaupun ada, harta yang
diperoleh hampir selalu habis dibagi‑bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka.[2] Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya
peperangan, tanpa menunda‑nundanya lagi.[2] Dengan kata lain, dia segera
menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.[2]
Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M
Ketika
Abu Bakar menjadi Khalifah, keadaan Baitul Mal masih berlangsung seperti itu
pada tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M).[2] Jika datang harta kepadanya
dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu
ke Masjid Nabawi dan
membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[2] Untuk urusan ini, Khalifah
Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah.[2] Hal ini diketahui dari
pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah.[2] Abu Ubaidah saat itu berkata
kepadanya, ‘Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.[2]
Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)]
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap
memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu
yang halal sesuai dengan aturan syariat dan
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.[1] Dalam salah satu pidatonya,
yang dicatat oleh lbnu
Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir,
tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan
bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua
potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang
cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy
biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.[1]
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi
yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan.[1] Namun, karena pengaruh yang
besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal.[1] Dalam hal ini, lbnu Sa’ad
menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang
sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis,
yang menyatakan, Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya
dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya.[1] Ia memberikan khumus (seperlima
ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari
penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak
sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai
suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT.[1] Ia juga menggunakan harta dan
meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, "Abu Bakar dan Umar tidak
mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan
membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku".[1]
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)]
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Talib,
kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya.[1] Ali, yang juga mendapat
santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Katsir,
mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya,
dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.[1] Ketika berkobar peperangan
antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani
Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil
dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya.[1] Tujuannya untuk mempertahankan
diri Ali sendiri dan kaum muslimin.[1]
Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika
Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah.[1] Al Maududi menyebutkan, jika
pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai
amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah
Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat
dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.[1]
Referensi
1. Dahlan, Abdul Aziz. et.al. 1999. Ensiklopedi
Hukum Islam. Cetakan II. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve.
2. Zallum, Abdul Qadim. 1983. Al Amwal Fi Daulah Al
Khilafah. Cetakan I. Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin.
(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Baitul_Mal)