(Orang-Orang
Yang Didekati Hatinya)
Dalam
pembahasan ini ada dua permasalahan:
Pertama: Definisi
dari al-muallafatu qulûbuhum:
Dalam
masalah ini, banyak sekali didapatkan definisi (ta’rîf) dari para Ulama
tentang al-muallafatu qulûbuhum.
Para
Ulama dari kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa mereka adalah para pembesar
bangsa arab seperti Abu Sufyân bin Harb[2], dan Shafwân bin Umayyah[3], dan Uyainah bin Hishn[4], dan al-Aqra’ bin Hâbis[5]… Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan mereka bagian dari sedekah atau zakat dalam rangka
mengakrabkan atau mendekatkan mereka dengan agama Islam. Ada yang mengatakan
bahwa saat itu mereka telah masuk Islam atau telah berjanji untuk memeluk
Islam.[6]
Para
Ulama dari kalangan Mâlikiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-muallafatu
qulûbuhum adalah orang kafir yang diberi sedekah atau zakat
dengan harapan dia akan masuk agama Islam.[7] Ulama dari kalangan mâlikiyah
juga mendefinisikannya dengan kaum yang memiliki janji, kelapangan, dan dan
memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, mereka telah memenuhi panggilan
Islam, hanya saja jiwa-jiwa mereka belum stabil atau belum mapan.[8]
Para
Ulama dari kalangan Syâfi’iyah memandang bahwa mereka adalah orang-orang yang
masuk Islam tapi motivasinya lemah, atau orang yang memiliki kedudukan
terhormat yang diharapkan dengan memberinya sedekah atau zakat akan mendorong
orang lain atau pengikutnya memeluk Islam.[9]
Sedangkan
para Ulama dari kalangan Hanâbilah mendefinisikan al-muallafatu
qulûbuhum dengan definisi yang lebih luas dan lebih terperinci
dibandingkan para Ulama lain. Mereka mendefinisikan al-muallafatu qulûbuhum sebagai,
“Para pembesar yang menjadi panutan dan ditaati, yang diharapkan dia akan
memeluk Islam, atau yang ditakuti keburukan atau kejahatan mereka, atau yang
diharapkan imannya akan menjadi kuat bila diberikan zakat, atau orang yang
diharapkan dengan diberi zakat akan menyebabkan orang lain yang semisal dengan
dia memeluk Islam, atau untuk memancing agar orang yang belum membayar
zakat supaya segera menunaikan zakatnya juga untuk membela kaum muslimin.[10]
Walaupun
ada perbedaan pendapat dalam memberikan definisi, namun mereka sepakat dalam
satu tujuan, yaitu fokus memberikan zakat kepada orang yang belum mapan
keislamannya di dalam hati kecuali dengan pemberian zakat itu. Dan dari
penjelasan di atas, diketahui kelompok orang-orang ini terbagi menjadi dua
golongan yaitu dari golongan kaum Muslimin dan dari golongan kafir
Golongan
kafir terbagi lagi menjadi dua:
·
Orang-orang Kafir yang diharapkan
memeluk Islam. Orang-orang ini diberikan zakat dalam rangka merangsang atau
lebih memotivasi mereka untuk masuk Islam
·
Orang-orang kafir yang
dikhawatirkan keburukan atau kejahatannya. Orang-orang ini diberi zakat untuk
menangkal keburukan atau kejahatn mereka
Adapun
golongan kaum Muslimin yang mereka terbagi menjadi empat kelompok:
·
Orang yang diberikan zakat, dengan
harapan orang-orang kafir yang seperti dia atau teman-temannya masuk dan
memeluk agama Islam
·
Orang yang diberikan zakat dengan
harapan imannya semakin kuat
·
Orang yang diberikan zakat dengan
harapan mereka membela dan menolong kaum Muslimin
·
Orang yang diberikan zakat dengan
harapan dia akan tergerak untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang tidak
mau menunaikannya.
Semua
yang disebutkan di atas tercakup dalam keumuman firman Allâh : وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ –orang
orang yang didekati hatinya – ( At-Taubah/9:60 ), sehingga mereka boleh
diberi zakat.[11]
Dan
dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pendapat dan definisi para Ulama dari
kalangan Hanâbilah lebih kuat, karena definisi yang mereka berikan bersifat
umum, tanpa ada syarat kedudukan sebagai pemuka dan tokoh masyarakat. Karena
tidak ada dalil yang menetapkan syarat tersebut, bahkan ada dalil yang
menyelisihinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنِّي لَأُعْطِي
الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِي
النَّارِ
Sungguh
aku memberikan zakat kepada seseorang, padahal selain orang itu ada orang yang
lebih aku sukai untuk diberikan, karena aku khawatir dia
(orangdiberi itu) akan masuk kedalam api neraka (jika tidak diberi)[12]
Dalil
ini umum, mencakup para pembesar atau orang biasa yang bukan pembesar.
Kedua: Hukum
memberikan zakat kepada al-muallafatu qulûbuhum setelah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Dalam
masalah ini, ada tiga pendapat para Ulama ahli fiqih:
1. Boleh
memberikan zakat kepada al-muallafatu qulûbuhum, baik mereka itu
Muslim atau kafir. Ini merupakan pendapat Ulama dari kalangan Mâlikiyah[13], dan merupakan mazhab Ulama dari
kalangan Hanâbilah.[14] Pendapat ini juga merupakan
perkataan imam Abi Ubaid al-Qâsim bin Salâm[15], serta pendapat inimerupakan pendapat
yang dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[16]
Diantara
dalil pendapat ini adalah : firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ
السَّبِيلِ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan [At-Taubah/9:60]
Lafaz al-muallafatu
Qulûbuhum dalam ayat ini bersifat umum mencakup Muslim dan Kafir.
Kemudian
dalil lainnya yaitu perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memberikan zakat kepada al-muallafatu Qulûbuhum, baik mereka itu
musyrik atau Muslim.[17] Disebutkan dalam hadist Anas bin
Mâlik Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh tidak pernah dimintai sesuatu karena
Islam melainkan selalu diberikannya. Anas Radhiyallahu anhu berkata:
فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَسَأَلَهُ
فَأَمَرَ لَهُ بِشِيَاهٍ كَثِيرَةٍ بَيْنَ جَبَلَيْنِ مِنْ شِيَاهِ الصَّدَقَةِ.
قَالَ: فَرَجَعَ إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ: يَا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فَإِنَّ
مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لَا يَخْشَى الْفَاقَةَ
“Pada
suatu waktu, seorang laki-laki datang kepada Beliau n meminta sesuatu, lalu
Beliau n memberi laki-laki tersebut kambing yang banyak diantara dua
bukit yang merupakan kambing zakat. Anas bin Malik berkata, “Laki-laki
tersebut pulang ke kaumnya dan berkata, ‘Wahai kaumku! Masuklah kedalam Islam,
sesungguhnya Muhammad memberiku pemberian yang dia tidak takut jatuh miskin
karenanya.”[18]
2.
Tidak boleh memberikan zakat
kepada al-mu’allaftu qulûbuhum, baik Muslim atau kafir. Ini adalah
pendapat Ulama dari kalangan hanafiyah[19], dan dianggap sebagai mazhab oleh Ulama
dari kalangan syafi’iyah[20], selama kaum Muslimin tidak ditimpa oleh
kejadian yang mengharuskan mereka diberi zakat untuk menghilangkan dampak buruk
dari kejadian tersebut.
Diantara
dalil pendapat ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya memberikan zakat
kepada al-muallafatu qulûbuhm itu sudah dimansukh (dihapus). Namun
para pengusung pendapat ini berselisih dalam hal dalil yang memansukhkan.
Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa yang memansukhkannya adalah firman
Allâh Azza wa Jalla :
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Dan
katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir [Al-Kahfi/18:29]
Ayat
ini diucapkan oleh Umar bin khattab Radhiyallahu anhu kepada Uyainah bin Hishn
yang kala itu termasuk al-muallafatu qulûbuhm. Tujuan Umar Radhiyallahu
anhu mengucapkan ayat tersebut adalah melarang Uyainah Radhiyalahu anhu
mengambil bagian zakat dari al-muallafatu Qulûbuhm.[21]
Diantara
mereka juga ada yang mengatakan bahwa ijma’ para Sahabat yang memansukhkannya,
karena Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu tidak memberikan zakat
kepada al-muallafatu qulûbuhum sementara para Sahabat yang
lain tidak mengingkari mereka. Ini berarti ada kesepakatan para Sahabat.[22]
Diantara
dalil lain dari pendapat kedua ini yaitu illah atau penyebab
disyari’atkan pemberian zakat kepada al-muallafatu qulûbuhum itu
telah hilang. Illah atau penyebab itu adalah kondisi Islam dan kaum Muslimin
kala itu yang masih lemah. Sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, Islam dan kaum Muslimin sudah kuat, tidak lagi membutuhkan ta’liful
qulûb. Oleh karena itu, tidak ada lagi faktor yang mengharuskan kita
memberikan bagian zakat kepada al-muallafatu qulûbuhum.
3.
Boleh memberikan zakat kepada al-muallafatu
qulûbuhum, apabila mereka itu telah memeluk agama Islam. Apabila mereka
masih kafir, maka mereka tidak diberi. Ini merupakan pendapat para Ulama dari
kalangan Mâlikiyah[23] dan ini juga termasuk salah satu
pendapat Ulama dari kalangan Syâfi’iyah.[24]
Dalil
mereka adalah zakat itu merupakan hak kaum Muslimin, oleh karena itu
orang-orang kafir tidak memiliki hak sama sekali atas zakat.[25]
Dari
uraian diatas bisa kita simpulkan, bahwa pendapat yang pertama yang paling
kuat, yaitu pendapat yang menyatakan boleh memberikan zakat kepada al-muallafatu
qulûbuhum, baik mereka telah menjadi Muslim ataupun masih kafir, dengan
sebab-sebab sebagai berikut:
1. Keumuman
nash yang membolehkan pemberian zakat kepada al-muallafatu qulûbuhum,
sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ
Orang
orang yang didekati atau dibujuk hatinya [At-Taubah/9:60]
Lafaz al-muallafatu
qulûbuhum dalam ayat ini bersifat umum dan muhkam (jelas),
mencakup al-muallafatu qulûbuhum yang Muslim maupun yang masih
kafir, tidak ada yang memansukhkannya dan tidak ada pula yang mengkhususkan
hukumnya.
1. Illah
atau penyebab disyari’atkan pemberian zakat kepada mereka tetap ada sampai hari
kiamat. Illah tersebut adalah membela dan menolong Islam dan
kaum Muslimin atau menyelamatkan orang-orang kafir dari api neraka. Bila illah atau
sebab hukum ini tidak ada pada suatu waktu, bukan berarti sebab itu telah
hilang sepanjang zaman. Bahkan semakin bertambah waktu, illah itu akan semakin
tampak karena kaum Muslimin semakin lemah dan orang-orang kafir menjadi
penguasa.
2. al-Maqashid
syar’iyah (tujuan-tujuan
dalam penetapan suatu syari’at) mendukung eksistensi dan keumuman kelompok ini.
Karena dengan memberikan bagian zakat kepada mereka berarti kita menunjukkan
kemulian dan kekuatan kaum Muslimin dan juga bisa menjadi sebab datangnya
hidayah kepada orang lain yang tidak menerima zakat agar memeluk agama yang
lurus ini. Disamping ini juga termasuk jihad fi sabîlillah dengan
menggunakan harta.
Imam
Syaukani rahimahullah setelah menyebutkan berberapa hadits terkaitan
dengan ta’lîful qulûb, beliau t mengatakan,”at-Ta’lîf (menundukkan
hati orang) termasuk dalam syari’at yang sudah tetap yang diajarkan al-Qur’an.
Al-Qur’an telah menjadikan al-muallafatu qulûbuhum salah satu
dari delapan golongan yang berhak menerima zakat dan dijelaskan juga oleh
hadits-hadits mutawatir. Apabila imam atau pemimpin kaum Muslimin ingin menta’lîf (melunakkan
atau menaklukkan) hati orang-orang yang dikhawatirkan akan berbuat buruk kepada
Islam dan kaum Muslimin, atau ingin melunakkan hati orang-orang yang diharapkan
keadaannya membaik hingga dia menjadi penolong bagi Islam dan kaum Muslimin,
maka saat imam boleh memberikan bagian zakat kepada mereka.[26]
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari Nawâzil az-Zakat oleh DR. Abdullah Manshur al-Ghufaili
_______
Footnote
[1] Diangkat dari Nawâzil az-Zakat oleh DR. Abdullah Manshur al-Ghufaili
[2] Beliau adalah
Sakhr bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdi syamsy, Abu Sufyân al-quraisy al-umawi,
dilahirkan dua tahun sebelum tahun gajah, dan meninggal pada tahun 31 H dalam
umur 88 tahun. Lihat Asadul Ghâbah, 3/10 dan Ishâbah, 2/178
[3] Shafwân bin
Umayyah bin Khalaf al-Jumahi al-Qurasy. Dia termasuk pembesar quraisy dan al-muallafatu
qulûbuhum, ikut serta dalam perang Yarmuk. Beliau meriwayatkan belasan
hadits, meninggal di Mekah pada tahun 41 H. Lihat al-Ishâbah,
2/182; Siar A‘lâm an-Nubala’, 6/336.
[4] Uyainah bin Hishn
bin Hudzaifah bin Badr al-Fazzari. Dia diberi kunyah Abu Malik, masuk islam
setelah penaklukan kota Mekah. Beliau termasuk al-mu’allafatu qulûbuhum.
Lihat al-Istî’âb, 1/387 dan al-Ishâbah, 2/335.
[5] Al-aqra’ bin
Hâbis bin ‘Iqâl bin Muhammad bin Sufyan at-Tamîmi ad-Dârimi. Dia ikut serta
dalam pertempuran Yamâmah bersama Khâlid bin walid Radhiyallahu anhu. Beliau
disebut al-aqra’ karena beliau memiliki pitak dikepalanya. Beliau termasuk
pembesar di jahiliyah dan islam. Lihat al-Istî’âb, 1/33.
[6] Al-Mabsût,
3/9; dan Badâ`i’ ash-Shanâ`i, 2/44. Definisi ini sesuai dengan
definisi yang disebutkan oleh para Ulama ahli tafsir seperti Ibnu Jarîr dalam
kitab tafsirnya, 6/398.
[7] At-Tâj wal
Iklîl, 3/331
[8] Al-Muntaqa,
2/153
[9] Mugnil Muhtâj,
4/178
[10] As-syarhul
Kabîr, 7/231
[11] Pembagian seperti
ini juga disebutkan oleh Ibnu Qudâmah dalam al-Mugni, 9/317
dan Mugnil Muhtâj, 4/178
[12] HR. Al-Bukhâri
dan Muslim
[13] At-Tâju wal
Iklîl, 3/231 dan Syarah Mukhtashar Khalîl lil Kharrasi, 2/217
[14] Al-Inshâf,
3/227 dan Kassyâful Qannâ’, 2/272
[15] Al-Amwâl,
1/722
[16] Majmû’ Fatâwâ,
Syaihk Islam Ibnu Taimiyah, 33/94
[17] Al-Mugni,
9/316
[18] HR. Muslim, no.
2312 dan Ahmad dalam Musnad, no.3/107
[19] Badâ`i’
ash-Shanâ`i , 2/45 dan Fathul Qadîr, 2/259
[20] Al-Um,
2/77. Didalamnya imam Syâfi’i t mengatakan bahwa al-mu’allafatu
qulûbuhum adalah orang yang masuk Islam, dan zakat tidak boleh
diberikan kepada orang musyrik yang diharapkan masuk islam.
[21] Badâ`i’
ash-Shanâ`i , 2/45
[22] Badâ`i’
ash-Shanâ`i , 2/45; dan ad-Durul Mukhtâr (2/342 )
[23] Hâsyiah
ad-Dasûki, 1/495
[24] Mugni
al-Muhtâj, 4/178, dan Raudatut Thâlibin (2/314)
[25] Al-Majmû’,
6/180
Kontributor: DR. Abdullah Manshur al-Ghufaili; Ediyot: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com