Skip to main content

Dosa Besar Riba


DOSA BESAR RIBA



Dalam Kitab suci-Nya Al-Qur’an, Allah tidak pernah memaklumkan perang kepada seseorang kecuali kepada pemakan riba. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ [البقرة/278، 279]

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al Baqarah: 278-279). Cukuplah ayat ini menjadi petunjuk betapa keji dosa riba di sisi Allah Ta’ala. 

Orang yang memperhatikan pengaruh riba dalam kehidupan individu hingga tingkat negara, niscaya akan mendapatkan kesimpulan, MELAKUKAN KEGIATAN RIBA MENGAKIBATKAN KERUGIAN, KEBANGKRUTAN, KELESUAN, KEMANDEGAN DAN KELEMAHAN DENGAN KUASA ALLAH SWT. Baik karena lilitan utang yang tak terbayar atau berupa kepincangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, ambruknya perseroan dan usaha bisnis. Di samping, kegiatan riba menjadikan hasil keringat dan jerih payah kerja tiap hari hanya dikonsentrasikan untuk membayar bunga riba yang tak pernah ada akhirnya. Ini berarti menciptakan kesenjangan sosial, membangun gunung rupiah untuk satu kelompok masyarakat yang jumlahnya minoritas di satu sisi, dan di sisi lain menciptakan kemiskinan di tengah masyarakat –yang jumlahnya mayoritas- yang sudah merana dan papa. Barangkali inilah salah satu potret kezaliman dari kegiatan riba sehingga Allah memaklumkan perang atasnya.

Semua pihak yang berperan dalam kegiatan riba, baik yang secara langsung terjun dalam kegiatan riba, perantara atau para pembantu kelancaran kegiatan riba adalah orang-orang yang dilaknat melalui lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

عَنْ جَابِرِ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya” Ia berkata: “Mereka itu sama (saja).”(Hadits riwayat Muslim, 3/1219.).Berdasarkan hadits ini, maka setiap umat Islam tidak diperkenankan bekerja sebagai sekretaris, petugas pembukuan, penerima uang nasabah, nasabah, pengantar uang nasabah, satpam dan pekerjaan lainnya yang mendukung kegiatan riba.

Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan betapa buruk kegiatan riba tersebut. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ.

“Riba itu (memiliki) tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan daripadanya adalah seperti (dosa) seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri). Dan sejahat-jahat riba adalah (merusak) kehormatan seorang muslim.” (Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al Mustadrak, 2/37; Shahihul Jami’, 3533.). Juga dalam sabda beliau,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَةً.

“Sedirham (uang) riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sedang dia mengetahui (uang itu hasil riba) lebih keras (siksanya) daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (Hadits riwayat Al-Hakim dalam Al Mustadrak, 2/37; Shahihul Jami’, 3533.)

Pengharaman riba berlaku umum, tidak dikhususkan -sebagaimana diduga oleh sebagian orang- hanya antara si kaya dengan si miskin. Pengharaman itu berlaku untuk semua orang dan dalam semua keadaan.

Betapa banyak kita saksikan BANGKRUTnya pedagang-pedagang besar dan orang-orang kaya karena melibatkan diri dalam kegiatan ribawi. Atau paling tidak, berkah uang riba tersebut –meski jumlahnya banyak- dihilangkan oleh Allah SWT. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ فَإِنَّ عَاقِبَتَهُ تَصِيْرُ إِلَى قُلٍّ.

(Uang) riba itu meski (pada awalnya) banyak, tetapi pada akhirnya ia akan (menjadi) sedikit.”( Hadits riwayat Al-Hakim, 2/37; Shahihul Jami’, 3542.).

Riba juga tidak dikhususkan pada jumlah peredaran uang sehingga dikatakan kalau dalam jumlah banyak, riba itu haram dan kalau sedikit tidak. SEDIKIT ATAU BANYAK, RIBA HUKUMNYA HARAM. Orang yang memakan atau mengambil uang riba, kelak akan dibangkitkan dari dalam kuburnya pada hari Kiamat seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Meskipun riba adalah suatu dosa yang sangat keji, tetapi Allah tetap menerima taubat orang yang hendak meninggalkan perbuatan tersebut. Langkah yang harus ditempuh oleh orang yang benar-benar taubat dari kegiatan riba adalah sebagaimana dituturkan firman Allah,

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ [البقرة : 279]

“Dan jika BERTAUBAT (dari kegiatan dan pemanfaatan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 279). Dengan mengambil langkah tersebut, maka keadilan benar-benar terwujud. Setiap pribadi muslim harus menjauhkan diri dari dosa besar ini, memandangnya sebagai sesuatu yang buruk dan keji. Bahkan hingga orang-orang yang meletakkan uangnya di bank-bank konvensional (ribawi) karena terpaksa disebabkan takut hilang atau dicuri, hendaknya ia benar-benar merasakannya sebagai sesuatu yang sangat terpaksa. Yakni keterpaksaan itu sebanding dengan keterpaksaan orang yang makan bangkai atau lebih dari itu, dengan tetap memohon ampun kepada Allah dan berusaha untuk mencari gantinya, bila memungkinkan. Orang-orang itu tidak boleh meminta bunga simpanan dana ataupun mengikuti tabungan deposita dengan persentase bunga tertentu dari bank ribawi tersebut. Jika bunga itu dimasukkan ke dalam rekeningnya, maka ia harus menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang dibolehkan, ( Seperti untuk membangun WC umum atau semisalnya (pent.).) sebagai bentuk penghindaran dari uang tersebut, tidak sebagai sedekah. Karena Allah adalah Dzat Yang Maha Baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia tidak boleh memanfaatkan uang riba tersebut dalam bentuk apapun. Tidak untuk makan, minum, pakaian, kendaraan, atau tempat tinggal. Juga tidak boleh untuk diberikan sebagai nafkah kepada isteri, anak, bapak atau ibu. Juga tidak boleh untuk membayar zakat, membayar pajak atau menjadikannya sarana untuk menolak kezhaliman yang menimpanya. Tetapi hendaknya ia membebaskan diri daripadanya, karena takut kepada siksaan Allah Ta’ala.

Renungkan ayat berikut:
 ‎يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam KEKAFIRAN, dan SELALU BERBUAT DOSA.” (QS. Al-Baqarah: 276). Dalam ayat ini jelas Allah menyatakan bahwa berbuat riba itu berada dalam kekafiran karena menentang (atau tetap berbuat) larangan Allah dan Rasul SAW dan orang yang mengamalkan Riba selalu berbuat dosa. Juga renungkan pula hadits berikut. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).” (HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2: 37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Pernah kita mendengar orang yang usahanya hancur dikarenakan riba. Gara-gara berutang pada bank pelecit, usahanya berjalan lancar itu awalnya. Namun lama kelamaan bangkrut, akhirnya tutup. Kita sering mendengar cerita semacam ini dan tak jadi aneh bagi kita apabila direnungkan kebenaran hadis Nabi di atas. Namun biasanya yang kena bangkrut tak sadar kalau itu gara-gara riba. Itulah namanya TIDAK BERKAH, AWAL BERTAMBAH, NAMUN LAMA KELAMAAN JADI HANCUR.

Kalau dalam keadaan keterdesakan ekonomi, apakah dibenarkan seseorang menggadaikan sesuatu barang dan katakanlah Perum Penggadaian kemudian menetapkan pengembalian yang lebih. Dalam hal ini hemat penulis ditinjau sbb:

Pertama, hakikat transaksi gadai adalah utang piutang. Hanya saja, pihak kreditor mempersyaratkan adanya barang gadai, sebagai jaminan kepercayaan atas utang yang dikucurkan.

Allah berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh kreditor).” (QS. Al-Baqarah: 283).

Kedua, Barang gadai, walaupun di tangan kreditor, hakikatnya tetap menjadi milik orang yang berutang (debitor). Status kepemilikannya tidak berpindah hanya karena digadaikan. Karena barang gadai hanya sebagai jaminan keamanan utang.


Ketiga, Karena hakikat gadai adalah utang piutang, maka tidak boleh ada kesepakatan di awal atau selama masa pelunasan untuk memberikan bunga ketika pelunasan utang. Pihak peminjam (debitor) hanya berkewajiban mengembalikan uang yang dipinjamkan senilai yang dia terima. Lebih dari itu, terhitung RIBA.
Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengatakan,

ل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.”

Keempat, kaum muslimin yang sedang butuh dana, tidak boleh menggadaikan barangnya ke lembaga yang mempersyaratkan riba apapun namanya, baik bank ribawi maupun Pegadaian. Karena nasabah yang meminjam uang dan dia sepakat akan memberikan bunga kepada bank atau pegadaian, dia temasuk memberi makan orang lain dengan riba.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat 10 orang (diantaranya): pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635). Dalam riwayat Baihaqi (as-Sunan as-Shugra, 1871) terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Mereka semua sama.”
Siapakah pemberi makan riba?. Dalam Aunul Ma’bud Syarh sunan Abu Daud dinyatakan:

وَموكِلَهُ أَيْ مُعْطِيَهُ لِمَنْ يَأْخُذُهُ
“Pemberi makan” maksudnya yang memberikan riba kepada orang yang mengambil riba itu. (Aunul Ma’bud, 9:130)
Kelima, Solusi sementara yang bisa ditawarkan adalah mencari orang dermawan yang paham Muamalat Islam, dan memungkinkan meminjam uang kepadanya tanpa ada syarat bunga atau tambahan apapun. Sebagai jaminan kepercayaan, jadikan barang yang nilainya lebih mahal sebagai barang gadai. Semoga Allah memberikan keberkahan untuk transaksi ini.
Mengambil keuntungan sekecil apapun dari transaksi utang piutang, dilarang dalam Islam. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Semua utang yang menghasilkan manfaat statusnya riba” (HR. al-Baihaqi dengan sanadnya dalam al-Kubro). Termasuk diantarannya tambahan yang dipersyaratkan ketika pelunasan utang. Sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Burdah, yang ketika itu baru tiba di Iraq. Dan di sana ada tradisi, siapa yang berutang maka ketika melunasi, dia harus membawa sekeranjang hadiah.

إِنَّكَ فِى أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإِنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يَقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا
“Saat ini kamu berada di daerah yang riba di sana tersebar luas. Diantara pintu riba adalah jika kita memberikan utang kepada orang lain sampai waktu tertentu, jika jatuh tempo tiba, orang yang berhutang membayarkan cicilan dan membawa sekeranjang berisi buah-buahan sebagai hadiah. Hati-hatilah dengan keranjang tersebut dan isinya.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Kubro). Namun larangan hadiah ketika pelunasan ini berlaku apabila transaksinya utang-piutang. Dan diantara konsekuensi dalam transaksi utang piutang (al-Qardh) adalah terjadinya perpindahan hak milik terhadap objek utang, dari pemberi utang ke penerima utang.


Berbeda dengan akad pinjam-meminjam (al-Ariyah), objek yang dipinjamkan tidak mengalami perpindahan hak milik. Sehingga peminjam tidak memiliki hak apapun terhadap barang itu, selain hak guna sementara, selama masa izin yang diberikan pihak yang meminjamkan. Karena itulah, benda habis pakai, hanya mungkin dilakukan akad utang. Meskipun ketika akad menyebutnya pinjam, namun hukumnya utang. Misalnya, makanan, uang, atau benda habis pakai lainnya.As-Samarqandi dalam Tuhfatul Fuqaha’ mengatakan, 

كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه، فهو قرض حقيقة، ولكن يسمى عارية مجازا، لانه لما رضي بالانتفاع به باستهلاكه ببدل، كان تمليكا له ببدل

Semua benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, maka hakekatnya hanya bisa diutangkan. Namun bisa disebut pinjam sebagai penggunaan majaz. Karena ketika pemilik merelakan untuk menggunakan barang itu melalui cara dihabiskan dengan mengganti, berarti terjadi perpindahan hak milik dengan mengganti. (Tuhfatul Fuqaha’, 3/178)

Al-Kasani menjelasakan dengan menyebutkan beberapa contoh,

وعلى هذا تخرج إعارة الدراهم والدنانير أنها تكون قرضا لا إعارة ; لأن الإعارة لما كانت تمليك المنفعة أو إباحة المنفعة على اختلاف الأصلين , ولا يمكن الانتفاع إلا باستهلاكها , ولا سبيل إلى ذلك إلا بالتصرف في العين لا في المنفعة

Berdasarkan penjelasan ini dipahami bahwa meminjamkan dinar atau dirham, statusnya adalah utang dan bukan pinjam meminjam. Karena pinjam-meminjam hanya untuk benda yang bisa diberikan dalam bentuk perpindahan manfaat (hak pakai). Sementara dinar dirham tidak mungkin dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan. Tidak ada cara lain untuk itu, selain meghabiskan bendanya bukan mengambil hak gunanya.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan,

لو استعار حليا ليتجمل به صح ; لأنه يمكن الانتفاع به من غير استهلاك بالتجمل… وكذا إعارة كل ما لا يمكن الانتفاع به إلا باستهلاكه كالمكيلات والموزونات , يكون قرضا لا إعارة لما ذكرنا أن محل حكم الإعارة المنفعة لا بالعين
Jika ada yang meminjam perhiasan untuk dandan, statusnya sah sebagai pinjaman. Karena perhiasan mungkin dimanfaatkan tanpa harus dihabiskan ketika dandan. Sementara meminjamkan benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan, seperti bahan makanan yang ditakar atau ditimbang, statusnya utang bukan pinjam meminjam, sesuai dengan apa yang disebutkan sebelumnya bahwa posisi pinjam meminjam hanya hak guna, bukan menghabiskan bendanya. (Bada’i as-Shana’i, 8/374)


Jadi, kita melihat akad bukan dari nama, namun dari hakekat dan konsekuensinya. Pinjam itu tidak memindahkan hak milik, namun hanya memindahkan hak guna pakai. Berbeda dengan akad utang (qardh), akad ini memindahkan hak milik. Sehingga dari penjelasan ini semakin jelas perbedaan antara akad utang dengan memindahkan hak guna pakai. Bagaimana dalam kasus misalnya seseorang meminjamkan sepeda motor atau mobil kemudian yang memiliki kenderaan tersebut mempersyaratkan agar mengisi bensin sampai penuh ketika mengembalikannya? Dalam hal ini, mengisi bensin sampai penuh menjadi iwadh (alat pembayaran) untuk objek yang dimanfaatkan. Sehingga akad yang terjadi adalah ijarah (sewa-menyewa). Menyewa motor dengan pembayaran berupa bensin sepenuh tanki motor. Dan ijarah semacam ini – insyaaAllah – tidak ada masalah.

Allah mengingatkan kepada orang yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat. Alah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65). Dalam ilmu hukum, kita diajarkan, jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan. Hukum syariat datang dari Allah, sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya datang jauh setelah itu. Secara hierarki, hukum syariat jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan. Karena itulah, tradisi yang melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.

Dalam kajian Ekonomi Islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam. Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).

Dalam riwayat lain, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)

Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.

“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan, “Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim 4164). Jadi berdasarkan hadis di atas, dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:

[1] Kelompok 1:Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.

[2] Kelompok 2: Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.
Dari hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis, ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”


Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”. Terdapat kaidah:,
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.


Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.

Bagaimana dengan tukar menukar uang receh yang lazim terjadi menjelang hari raya idul Fitr dan Idul Adha, yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk RIBA. Misalnya uang Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.

Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya dua: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan?. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha. DA[AL TRANSAKSI HARAM, SEKALIPUN PELAKUNYA SALING RIDHA DAN IKHLAS, TIDAK MENGUBAH HUKUM.  Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain, tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat. Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya DOSA BESAR .
Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha. Bagaimana dengan firman Allah:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan SALING RIDHAdi antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29). Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, BERLAKU UNTUK TRANSAKSI YANG HALAL. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara transaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. 

Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena misalnya dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus mengantri, harus bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk tukar uang di bank. tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.


Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu. Sementara kasus tukar menukar ini niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.

Riba termasuk salah satu dosa besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.

Allah berfiman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279).
Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,
يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ
Besok di hari kiamat para pemakan riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)

Dalam hadis, dosa riba disetarakan seperti berzina dengan ibunya

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه

Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).Karena itulah, para salaf menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina, Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

"Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina". (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880). Sementara dosa dan maksiat adalah sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita kerjakan. Semacam inilah yang pernah diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903). Ketika ada orang yang berzina di malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya? Bisa jadi hilang semua pahalanya. Apa yang bisa dibayangkan, ketika orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina, dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan?

Kaidah baku dalam memahami riba adalah perkataan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, yang mengatakan,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.” Demikiaan juga keterangan Abdullah bin Sallam. Beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi itu memberikan fasilitas layanan membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari). Jadi, apa pun bentuk kelebihan yang diberikan oleh orang yang berutang karena konsekuensi utangnya maka statusnya adalah riba, baik yang menerima itu adalah pihak perorangan atau organisasi, semacam koperasi misalnya. Yang dimaksud dengan “konsekuensi utang” adalah semua sebab yang mengakibatkan kreditor memberikan kelebihan–apa pun bentuknya–kepada debitor, baik disepakati di awal atau hanya sebatas karena perasaan “tidak enak” kepada yang mengutangi. Artinya, andai bukan karena adanya utang tersebut, dia tidak akan memberikan apa pun kepada debitor.

Kedua: Kewajiban harta yang Allah bebankan kepada hamba-Nya hanya satu yaitu: ZAKAT. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mendakwahi ahli kitab, beliau berpesan untuk mengajarkan semua syarat sehingga seseorang bisa disebut muslim. Salah satunya: “… "Sesungguhnya, Allah mewajibkan zakat terhadap harta mereka ….” (HR. Bukhari, Abu Daud, Turmudzi, dan lain-lain).

Andaikan ada kewajiban harta yang lainnya dalam Islam, tentu akan dipesankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz. Karena itu, tidak ada yang namanya “ Kewajiban Infaq” , misalnya infaq ke koperasi 2,5% dari nilai uang yang dipinjamkan atau karena ada peminjaman. Jika itu ditetapkan maka itu bukan kewajiban syariat, tetapi kewajiban iuran bagi setiap anggota koperasi yang meminjam uang. Jika demikian, berarti kewajiban infaq yang dibebankan kepada peminjam, pada hakikatnya, adalah RIBA.

BAGAIMANA BERTAUBAT DARI DOSA BESAR RIBA?

Diantara syarat diterimanya taubat adalah al-Iqla’ (الإقلاع). Maksud dari al-Iqla’ adalah ketika kita bertaubat harus dalam keadaan terbebas dari kemaksiatan yang akan kita taubati itu. Misal : seseorang ingin taubat dari dosa judi, maka tidak boleh dia bertaubat dalam kondisi sedang berjudi. Berhenti dulu dari main judinya, baru bertaubat.Yang perlu kita renungkan, bagaimana caranya bertaubat dari dosa riba bunga bank, koperasi non syariah, dsb?. Seseorang membuka rekening di Bank ribawi misalnya, dana yang disimpan di bank tersebut dipakai untuk aktivitas ribawi… diapun dapat bunga (riba)… bagaimana cara bertaubatnya?
Berikut cara bertaubat darinya :
1. Menyesal (an-nadam). Seseorang yg ingin bertaubat dari dosa riba ini, harus menyesal terlebih dahulu… menyesal karena sudah melakukan dosa riba.
2. Berlepas diri (al-iqla’). Jika ingin bertaubat, dia wajib berlepas diri dari dosa riba ini bagaimana caranya berlepas diri? Tutup rekening! (Catatan : sebenarnya tidak dibenarkan membuka rekening di bank ribawi kalau sudah ada alternatif lain yang mudah, namun bagi seseorang yang terpaksa atau terdesak kebutuhan untuk membuka rekening di Bank Ribawi, maka sudah sepantasnya kita tidak bermudah mudah  dalam memiliki rekening bank ribawi jika tidak benar-benar mendesak).
3. Berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Jika sudah tutup rekening dan menyesal pernah bertransaksi ribawi, hendaklah seorang yang bertaubat berjanji pada dirinya juga kepada Allah untuk tidak mengulanginya lagi (yaitu buka rekening di bank ribawi).
4. Mengeluarkan harta haram. Harta dari riba hukumnya haram, maka ketika seseorang bertaubat dari riba hendaknya dia menghitung seluruh bunga (riba) yang sudah dia terima dan kemudian di keluarkan disedekahkan pada kepentingan umum, sepertt : membangun wc umum, perbaikan jalan, dst… atau diberikan kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan uluran sedekah.
Ada kisah nyata terjadi dari mayat seorang pekerja bank ribawi, kebetulan (mungkin Allah ingin memperlihatkan bagaimana siksaan Allah kepada pengamal riba). Mayat yang baru saja dikubur di tempat pemakaman umum salah dimasukkan ke kubur sehingga mayat yang baru saja dikubur (lebih kurang satu jam) terpaksa dibongkar lagi dan dimasukkan ke kubur yang sudah digali. Alangkah terkejutnya semua orang yang melihat bahwa mayat tersebut hangus (dibakar malaikat yang ditugaskan Allah) padahal mayat tersebut baru saja dimasukkan ke kubur. Masya Allah didunia saja azabnya sudah mengerikan seperti ini apalagi kelak di akhirat. Semoga kita bisa beristiqomah melawan riba.
Terakhir sekali, ada yang menanyakan bagaimana dari segi Hukum Syariah Islam terhadap orang yang bekerja di bank-bank ribawi? Bekerja di bank ribawi hukumnya jelas HARAM, karena hal ini berarti tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan sebagaimana yang diterangkan. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjauhi riba dan segala perbuatan yang bisa membantu riba. Kita wajib bertakwa (takut) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam masalah ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong. (Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Pustaka at-Tibyan). Wallahu a’lam.

Kontributor: Ustadh Muhammad Abduh tuasikal, MSc; Ustadg Ammi nur Baits. Editor: Ustaz Sofyan kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

***************************

Ustadh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Alumnus King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. Guru dan Masyaikh yang pernah diambil ilmunya: Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri dan Syaikh Shalih Al-'Ushaimin. Sekarang menjadi Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Gunung Kidul)
Ust. Ammi Nur Baits, Alumnus Madinah International University, Saudi Arabia, Beliau merupakan penulis dan pendakwah bidang Muamalah Islam paling produktif. 

Popular posts from this blog

Zakat Uang

Zakat Uang Ceramah Agama Islam: Zakat Uang (Ustadz Erwandi Tarmizi,M.A)     *********************** zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang ke Lima. merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah terpenuhi segala syarat-syaratnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43) Juga dalam ayat, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik d...

Baitul Mal Mina (BMM)

Baitul Mal Mina (BMM) Profil, Misi dan Visi BMM   Program Kegiatan BMM    Update Laporan Keuangan Baitul Mal Mina   Youtube Baitul Mal Mina (BMM) Channel   Youtube (MP4) Video:  Ekonomi Islam - Fiqh Muamalat   Pengharaman Dosa Besar Riba (Usury) Zakat Infaq & Shadaqah   Artikel-Artikel ZISWAF: Artikel Ekonomi Islam -Fiqh Muamalah Artikel Zakat Artikel Infaq-Shadaqah   Artikel Wakaf   Artikel Dosa Besar Riba (Usury)   Alamat  HQ Baitul Mal Mina:   Jl.Moh Taher Lr Tgk Abd.Hamid No.6 , Lamcot,  Darul Imarah,  Aceh Besar,  Indonesia Telp/WA: +628116800552. e-mail: ustazsofyan@gmail.com Website: https://baitulmalmina.blogspot.com/2020/02/bmm.html

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba Question: 1.  Definition of riba and ruling on work that helps with riba .  What is the definition of riba? If we take into account the fact that in most countries the economy is based on the principle of the circulation of capital, which includes lending, is accepting payment in that particular currency for any work regarded as an action that supports the riba-based system? Is using the currency of a state that is based on riba regarded as contributing to the usurious economy? Undoubtedly the employee in a riba-based bank plays a part in riba-based transactions one way or another, even if he is a security guard for the bank. Could you offer him a better job if you have anything to offer? 2.  Harmful Effect of Riba.   Why is Riba (Usury) forbidden? I need a convincing answer to give it to some of my brothers in town. Jazakum Allah alf Khair 3.  H...