Skip to main content

Dosa Besar Riba yang Membawa ke Neraka


DOSA BESAR RIBA YANG MEMBAWA KE NERAKA


Oleh: Ust. DR Ahmad Sarwat, Lc, MA; Ust.Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF (Editor)
Koperasi yang bukan syariah, pinjaman dana koperasi dengan pengembalian lebih itu jelas riba dan termasuk akad yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kaitannya dengan keuntungan koperasi yang akan dikembalikan kepada anggota, namun akad pinjam uang dengan keharusan pengembalian lebih dari yang dipinjam adalah RIBA. Meski tujuan tambahan itu untuk kas koperasi atau untuk keperluan seluruh anggota sendiri. Sebab prinsip dasar tentang hukum uang menurut syariat Islam bahwa UANG TIDAK BOLEH (HARAM) DISEWAKAN. Dan meminjamkan uang dengan kewajiban pengembalian pokoknya serta tambahanannya sama dengan penyewaan uang. Dalam Islam yang boleh disewakan hanya barang atau jasa, tapi bukan uang atau alat tukar lainnya seperti emas dan perak. Lalu adakah jalan keluar yang halal namu koperasi tetap bisa mendapatkan laba? Selalu ada jalan yang halal asalkan kita mau melakukannya. Caranya dengan mengubah akadnya menjadi akad mudharabah atau murabahah yang dihalalkan dalam Islam. Bukan pinjaman berbunga seperti sering dipraktikkan koperasi.

Sebagai ilustrasi sederhana, katakanlah anda sebagai anggota koperasi butuh sepeda motor. Dari pada pinjam uang ke koperasi dengan bunga, lebih baik dibuat perjanjian bahwa koperasi membelikan motor untuk anda, lalu anda membayar secara angsuran kepada koperasi. Untuk jasa itu, koperasi berhak mendapatkan keuntungan dari penjualan motor. Kalau harga asli di showroom katakanlah 10 juta, maka koperasi membeli dan menjualnya kepada anda dengan harga lebih. Misalnya menjadi 12 juta namun boleh diangsur selama setahun. Ini tentu akan menguntungkan kedua belah pihak. Anda dan koperasi tidak terkena haramnya riba, tetapi kebutuhan anda untuk punya motor bisa terpenuhi. Sementara koperasi pun akan diuntungkan karena mendapat margin tertentu atas jasa menjual motor kepada anggotanya.

Lalu kemudian Anda akan bertanya, bagaimana seandainya yang dibutuhkan bukan motor tapi untuk keperluan bayar uang sekolah atau biaya pendidikan anak, untuk biaya berobat dan kebutuhan yang primer lainnya? Dalam hal ini disarankan kepada koperasi untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat mendasar dengan yang bersifat umum. Untuk kebutuhan mendasar seperti biaya sekolah, berobat dan sejenisnya, sebaiknya KOPERASI TIDAK MENGAMBIL KEUNTUNGAN dari peminjaman uang kepada anggotanya. Itulah fungsi koperasi, memberi bantuan kepada yang memang sangat membutuhkan tanpa harus menzaliminya.

Sedangkan untuk modal kerja atau kebutuhan pengadaan barang kebutuhan seperti kendaraan, membangun rumah dan sejenisnya, barulah koperasi menerapkan sistem bagi hasil sesuai syariat Islam. Jadi ada bantuan yang bersifat PROFIT dan ada juga yang bersifat SOSIAL.
Selanjutnya, banyak terjadi di masyarakat, praktek peminjaman dengan imbalan. Kalau dikatakan peminjaman, maka syariat Islam menegaskan bahwa peminjaman kepada seseorang tidak boleh ada imbalan. Kalau pinjaman itu diharuskan pakai imbalan, sebenarnya tidak tepat disebut dengan peminjaman, tetapi persewaan. Dalam kitab-kitab fiqih, istilah untuk persewaan seperti ini adalah ijarah. Dan hukum sewa menyewa itu 100% dibenarkan dalam syariat Islam. Namun satu catatan yang paling penting, bahwa barang dan jasa hukumnya memang boleh disewakan. Tetapi UANG SEBAGAI ALAT TUKAR ATAU ALAT PEMBAYARAN , HUKUMNYA JUSTRU TIDAK BOLEH DISEWAKAN. Karena hakikat dari praktek riba tidak lain adalah penyewaan uang. Dan sewa menyewa uang itu jelas-jelas merupakan akad yang diharamkan dalam Islam. Pasal yang dilanggar tidak lain adalah pasal riba. Lebih detailnya adalah riba jenis RIBA NASI'AH.
Namun bila yang dimaksudkan dengan'meminjamkan uang' itu sebenarnya adalah akad kerjasama bagi hasil, atau biasa disebut dengan MUDHARABAH , maka hukumnya 100% halal. Dan istilah yang lebih tepat bukan pinjam uang, melainkan akad kerjasama bagi hasil. Akad kerjasama bagi hasil adalah akad yang halal. Prinsipnya ada dua belah pihak yang sepakat bekerjasama. Pihak pertama yang punya uang dan pihak kedua yang menjalankan usaha. Kalau ada untungnya (karena berusaha itu belum tentu dapat untung), maka keuntungannya itulah yang dibagi sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena itu akad ini disebut dengan Akad bagi hasil. Dan sebaliknya, bila ada kerugian, maka kedua belah pihak akan menanggung bersama. resiko rugi dan usaha mendapatkan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Sayangnya, masyarakat sudah terlanjur salah kaprah dengan penggunaan istilah, sehingga akad kerjasama bagi hasil yang halal itu malah sering disebut dengan peminjaman uang. Padahal, baik BAGI HASIL, PINJAM UANG  dan SEWA UANG, adalah tiga akad yang berbeda. Bagi hasil dan pinjam uang hukumnya halal, sedangkan PENYEWAAN UANG JELAS HARAM HUKUMNYA .

Dengan demikian, untuk melihat akad peminjaman uang halal atau haram, jawabnya tergantung hakikat dari akadnya. Kalau akadnya semata-mata bagi hasil, tentu hukumnya halal. Sedangkan kalau akadnya penyewaan uang, haram hukumnya. Yang jelas, yang namanya pinjam uang dalam ketentuannya, tidak boleh ada imbalan. Dan pembagian keuntungan dari hasil usaha yang disepakati persentase tertentu, jelas-jelas menjadi bukti bahwa akad itu bukan pinjam uang. Untuk memudahkannya, apa termasuk halal atau tidak, bisa dilihat dari cara pembagian keuntungannya. Akad itu menjadi halal kalau pemilik dana mendapat persentase tertentu dari keuntungan, bukan dari nilai uang yang diberikan peminjam. Sebab keduanya berbeda sekali. Misalnya sebuah koperasi meminjamkan uang Rp 50 juta, lalu sebutlah dalam usaha itu mendapatkan keuntungan bersih 5 juta. Maka yang halal adalah bila koperasi tersebut mendapat (misalnya 20% dari keuntungan dari 5 juta (=Rp 1 juta). Sedangkan bila koperasi tersebut mendapat 20% dari Rp 50 juta (nilai yang dipinjamkan) yaitu sebesar Rp 10 juta per tahun (Rp 833 rb per bulan) atau maka hukumnya adalah HARAM.

Dimana perbedaannya? Perbedaannya pada uang yang dibagi, bila dari keuntungan, maka hukumnya halal. Tapi bila dari nilai yang dipinjamkan, maka nilainya haram. 

Sedangkan meminjamkan uang dengan cara ada kelebihan pengembalian maka jelas sekali haram hukumnya. Sebab prinsip dasar hukum riba adalah bila uang itu dipinjamkan dan ada kelebihan dalam pengembaliannya. Kalau sesebuah koperasi meminjamkan Rp 50 juta misalnya,- maka haram hukumnya bila pengembaliannya melebihi meski hanya relatif sedikit misalnya Rp 200 ribu. Uang yang dipinjamkan untuk kepentingan modal usaha bisnis/perniagaan, atau untuk kepentingan konsumtif, jelas tidak mengubah haramnya hukum 'penyewaan uang'. Bahkan kalau pun peminjaman uang itu untuk membangun masjid atau mushalla sekalipun, tetap saja yang namanya penyewaan uang itu haram hukumnya. Kalau kita analogikan dengan sederhana, yang namanya mencuri uang itu tetap haram, walaupun alasannya untuk membayar zakat, menyantuni fakir miskin, mengasihi anak yatim, atau pun untuk jihad di jalan Allah. Semua tujuan baik itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menghalalkan pencurian.
Ketika Allah SWT mengharamkan riba fadhl, maka yang dimaksud adalah keharaman bertukar emas dengan emas dan keharaman bertukar perak dengan perak dengan nilai yang tidak sebanding. Bisa jadi hal itu karena perbedaan waktu pembayaran atau hal lainnya. Dalilnya adalah sabda beliau SAW: Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding. Dan jangan ditambah sebagian atas yang lainnya. Janganlah kalian menjual emas dengan perak kecuali yang sama sebanding. Dan jangan ditambah sebagian atas yang lainnya. Dan janganlah menjual perak yang tidak nampak dengan yang nampak". (HR Bukhari dan Muslim). "Janganlah kalian menjual emas dengan emas atau perak dengan perak, kecuali kecuali sama beratnya." (HR Muslim).Termasuk yang diharamkan untuk dipertukarkan dengan timbangan yang berbeda adalah makanan. Sebagaimana sabda beliau SAW: Dari Ma'mar bin Abdillah ra. berkata, "Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "(Menukar) makanan (harus dengan) makanan (yang sebanding)." Dan makanan kami pada hari itu adalah tepung sya'ir. (HR Muslim). Sehingga dari dalil-dalil di atas jelas sekali keharaman mengkreditkan emas.
Sebenarnya ketika kita mengatakan haramnya menyewakan atau mengkreditkan uang, pada dasarnya juga merupakan pengharaman atas pengkreditan emas juga. Mengapa? Uang itu pada dasarnya adalah emas dan emas adalah uang. Kebetulan saja di zaman sekarang ini orang-orang menggunkan kertas cetakan resmi yang dikeluarkan oleh Bank Pusat masing-masing negara. Tapi pada hakikatnya uang-uang itu adalah 'wakil' dari emas yang dimiliki oleh suatu negara. Karena perhitungan teknis dan kepraktisan, maka emas-emas yang dulu dijadikan alat tukar dalam setiap jual beli, kedudukannya digantikan dengan kertas-kertas itu di zaman sekarang. Dan sebenarnya, tidak uang kertas yang beredar itu mewakili jumlah cadangan emas yang disimpan di suatu tempat tertentu.

Sayangnya, dengan sistem ekonomi kapitalis yang rusak, negara seringkali mencetak uang semaunya, tanpa memperhatikan keseimbangannya dengan jumlah cadangan emas yang dimilikinya. Sehingga seringkali terjadi inflasi, di mana nilai tukar suatu mata uang merosot dan nyaris tidak punya nilai lagi.

Namun lepas dari kebobrokan itu, yang jelas emas adalah uang yang berfungsi sebagai alat untuk berjual-beli. Karena itu, ide untuk menyewakan atau mengkreditkan emas agar terhindar dari riba, justru tidak diperbolehkan. Sebab sejak dulu memang sudah diharamkan. Maksudnya, ketika dahulu Allah SWT mengharamkan penyewaan atau peminjaman uang dengan bayaran yang lebih, yang diharamkan adalah penyewaan emas atau perak. Sebab di masa itu, yang dimaksud dengan uang adalah emas atau perak.

Sejak zaman dahulu bangsa-bangsa di dunia telah menggunakan emas untuk berjual-beli. Mereka belum punya mata uang sendiri yang nilainya naik turun di lantai bursa seperti di zaman sekarang. Tapi seluruh dunia mengenal alat tukar universal yang diakui oleh semua peradaban manusia, yaitu emas dan perak. Cukup ditimbang beratnya saja, tidak perlu meributkan nilai kursnya. Lagi pula tidak ada pengaruhnya antara yang nilai emas tersebut dengan tulisan atau gambar yang ada di tiap keping uang emas itu. Bahkan boleh dibilang, tiap orang bisa mencetak uang sendiri sesuai dengan gambar wajahnya. Tapi orang tidak peduli, sebab yang jadi ukuran bukan tulisan atau gambarnya, tapi yang penting berat keping uang emas itu.

Uang emas sering disebut dengan dinar, sedangkan uang perak sering disebut dirham. Bangsa Romawi menggunakan dinar sebagai alat tukar sedangkan bangsa Persia menggunakan dirham. Bangsa Arab yang berada di tengah-tengah dua imperium itu, justru mengenal keduanya. Selanjutnya kembali kita lihat, kalau sebuah koperasi menerapkan sistem bunga (interest), maka sistem itu jelas hukumnya riba yang diharamkan. Tetapi kalau menggunakan sistem bagi hasil, bebas dari riba, maka hukumnya halal. Sistem yang dianut apakah bunga riba ataukah bagi hasil diukur dari alur transaksinya, bukan hanya semata ditentukan berdasarkan istilah yang digunakan. Sebab tidak sedikit orang yang menggunakan bahasa penghalusan, misalnya biaya administrasi, biaya ini atau biaya itu, tetapi hakikatnya adalah bunga. Maka meski namanya bukan bunga, tetapi hakikatnya bunga, tetap haram hukumnya.
Nama koperasi tidak harus selalu bernuansa syariah untuk bisa menerapkan sistem yang halal. Dan demikian juga sebaliknya, belum tentu yang namanya syariah, selalu menggunakan sistem yang dihalalkan Islam. Meski pun suatu koperasi diberi nama 'Koperasi Syar'i'ah', belum tentu selalu halal dalam tiap transaksinya. Apalagi bila bila suatu koperasi itu menjual barang-barang yang tidak disepakati ulama tentang kehalalannya, seperti rokok dan sejenisnya. Maka nama tinggal nama, esensi dan hakikatnya entah ke mana.

Suatu transaksi peminjaman uang disebut riba apabila ada konsekuensi kelebihan dalam pengembaliannya. Misalnya, nasabah pinjam uang koperasi Rp 50 juta dan akan dikembalikan dalam tempo 2 tahun, namun nilai pengembaliannya harus menjadi Rp 50 juta plus Rp Rp 500 rb per bulan, maka yang Rp 500 rb per bulan itu adalah jelas bunga yang diharamkan, apapun sebutan untuk nilai Rp 500 ribu per bulan tersebut, apakah marjin keuntungan dsb. Haram tidaknya bunga tidak ditentukan oleh nilai prosentase atau nilai nominalnya, melainkan dari ada tidaknya ketentuan penambahan (ziyadah) atau mark-up dari sebuah transaksi peminjaman uang.

Seringkali orang menyebut bahwa nilai tambah (markup) itu sebagai konsekuensi dari penyusutan nilai mata uang, lalu dengan mudahnya memberikan kehalalan atas kelebihan itu. Cara pandang seperti ini sebenarnya keliru, sebab penyusutan nilai mata uang tidak pernah bisa dijadikan tolok ukur penghalal transaksi ribawi. Maka untuk menghindarinya, jangan gunakan mata uang rupiah untuk transaksi peminjaman uang, gunakan saja mata uang yang stabil seperti Euro, Dollar atau Dinar dan Dirham (emas dan perak). Dengan demikian tidak akan ada lagi alasan untuk menghalalkan riba dengan dalih penyusutan mata uang. 

Koperasi yang tidak berlabel syariah, tetap sangat dimungkinkan untuk menerapkan transaksi yang halal. Setiap koperasi yang diatur dengan baik sistem keuangannya, maka pasti punya neraca dan laporan rugi laba bulanan atau per periode. Dari sanalah dasar penghitungan bagi hasil kepada anggota pemilik modal. Maka nilainya akan sangat tergantung dari aktifitas perubahan modal dan tingkat keuntungan yang didapat oleh koperasi tersebut. Inilah yang namanya bagi hasil. 

Adapun kalau koperasi memberi jasa atas simpanan dengan nilai tertentu dari besarnya modal yang dipinjamkan, maka aroma riba sangat kuat tercium. Ilustrasi adalah bila seseorang anggota menempatkan modal 100 juta, lalu tiap bulan orang tersebut akan mendapat uang jasa yang tetap (fixed rate) sebesar 2% atau sebesar 2 juta, maka ini adalah transaksi ribawi. Ini adalah saudara kembar dari sistem ribawi yang ada di bank konvensional. cuma beda nama dan istilah saja.

Untuk koperasi simpan pinjam, anggota diberikan fasilitas untuk meminjam uang. Kalau akadnya pinjam, maka tidak boleh ada pungutan atau markup apapun dari uang yang dipinjamnya. Namun akadnya bisa saja diganti bukan pinjaman, tetapi penjualan.Seorang anggota koperasi yang butuh modal untuk usaha, bisa mendapatkan modal dari koperasi dengan sistem bagi hasil. Tiap bulan harus ada laporan rugi laba. Kalau sistem keuangannya baik, rugi laba akan langsung ketahuan. Maka keuntungan usaha itu bisa langsung dibagi berdasarkan persentase yang disepakati, antara anggota dengan koperasi. Sayangnya, banyak orang bisa bikin usaha tetapi tidak becus bikin laporan rugi laba. Maka sudah bisa dipastikan ketika harus membagi hasil usaha. Dan konyolnya, dengan mudah langsung pindah ke sistem yang haram, pinjam dengan bunga. Nauzu billahi min zalik

Seorang anggota koperasi yang butuh uang untuk beli sepeda motor misalnya, bisa membeli kepada koperasi. Setelah jelas jenis dan tahunnya, koperasi akan membeli dari showroom lalu menjualnya kepada anggota tersebut. Dan untuk itu koperasi boleh mengambil untung, berapa pun nilai prosentase keuntungannya. Dan sebagai konsekuensinya, anggota itu boleh bayar dengan cara mencicil dalam tempo 5 tahun.Itulah sistem yang halal, meski tidak pakai embel-embel syariah.


Tapi kalau kepentingannya untuk hal-hal yang mendesak dan anggota itu lemah dari segi ekonomi, misalnya untuk bayar uang sekolah anaknya, koperasi harus membebaskannya dari bunga, sekecil apapun nilainya. Bahkan kalau untuk sekedar mengganjal rasa lapar dan untuk menyambung hidup, seharusnya koperasi berinfaq kepada anggotanya, jangan dipinjamkan tapi harus disedekahkan. Dan itulah gunanya koperasi.
Saking dahsyatnya riba itu, sampai disebutkan bahwa dosa menjalankan riba itu setara dengan berzina dengan ibu kandung sendiri. Berzina saja sudah berdosa, apalagi berzinanya dengan ibu kandung sendiri, tentu dosanya berlipat-lipat. Sebab ibu kandung adalah wanita mahram yang haram untuk dinikahi. Kalau pun tidak dengan jalan zina tetapi dengan pernikahan pun juga tetap berdosa. Hadits yang menegaskan hal itu adalah hadits berikut ini :

عَÙ†ْ عَبْدِ اَللَّÙ‡ِ بْÙ†ِ Ù…َسْعُودٍ رَضِÙŠَ اللهُ عَÙ†ْÙ‡ُ عَÙ†ْ اَلنَّبِÙŠِّ Ù‚َالَ: اَلرِّبَا Ø«َلاثَØ©ٌ Ùˆَسَبْعُونَ بَابًا Ø£َÙŠْسَرُÙ‡َا Ù…ِØ«ْÙ„ُ Ø£َÙ†ْ ÙŠَÙ†ْÙƒِØ­َ اَلرَّجُÙ„ُ Ø£ُÙ…َّÙ‡ُ

Dari Abdullah bin Masud RA dari Nabi SAW bersabda,"Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim). Yang menarik dari hadits ini adalah ketika disebutkan bahwa dari 73 pintu riba, yang paling ringan adalah seperti berzina dengan ibu kandung sendiri. Itu yang paling ringan, lalu bagaimana dengan yang paling berat? Tentu lebih parah lagi.Riba lebih dahsyat dari 36 perempuan pezina.

Bahkan masih ada lagi hadits yang agak mirip, yaitu haramnya dosa riba lainnya adalah setara dengan 36 perempuan pezina, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

عَÙ†ْ عَبْدِ الله بْÙ†ِ Ø­َÙ†ْظَÙ„َØ© غَسِيلُ المَلاَئِكةِ Ù‚َالَ : Ù‚َالَ رَسُولُ الله ِدرْÙ‡َÙ…ُ رِبَا ÙŠَØ£ْÙƒُÙ„ُÙ‡ُ الرَّجُÙ„ُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙŠَعْÙ„َÙ…ُ Ø£َØ´َدُّ Ù…ِÙ†ْ سِتٍّ ÙˆَØ«َلاَØ«ِÙŠْÙ†َ زَÙ†ِÙŠَّØ© - رواه أحمد

Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyat dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad). Sesungguhnya riba termasuk satu dari tujuh DOSA BESAR yang telah ditentukan Allah SWT. Pelakunya diperangi Allah di dalam Al-Qur'an, bahkan menjadi satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam Al-Qur'an adalah mereka yang menjalankan riba. Pelakunya juga dilaknat oleh Rasulullah SAW. Mereka yang menghalalkan riba terancam dengan KEKAFIRAN, tetapi yang meyakini keharamannya namun sengaja tanpa tekanan menjalankanya termasuk ORANG FASIK. Dalam konteks hukum, ada dua kemungkinan buat mereka yang menjalankan riba, yaitu KAFIR atau FASIK. Seorang muslim wajib mengetahui bahwa riba itu haram. Karena keharaman riba adalah sesuatu yang sudah teramat jelas tanpa ada keraguan dan kesamaran sedikitpun, sebagaimana keharaman mencuri, minum khamar, berzina, membunuh nyawa manusia dan seterusnya.
Dan bila ada seorang muslim dengan sepenuh kesadaran hati berkeyakinan bahwa praktek riba itu halal, maka dia telah menjadi KAFIR atas keyakinannya itu. Untuk itu wajib buat umat Islam untuk memberinya informasi, pelajaran, ilmu, nasihat dan pengarahan yang sebaik-baiknya, supaya pemahamannya yang keliru itu bisa diluruskan kembali.


Kalau upaya itu sudah dilakukan dengan cara yang benar dan sepenuh kesabaran, tetapi yang bersangkutan masih tetap saja meyakini kehalalan riba, tindakan selanjutnya yang boleh dilakukan adalah pelaku itu diminta bertaubat, agar keyakinannya itu bisa kembali diluruskan. Dan apabila sudah diminta bertaubat, masih juga menghalalkan riba, diberi waktu untuk berpikir selama beberapa waktu, sampai akhirnya qadhi berhak menjatuhinya hukuman yang membuatnya berubah pikiran, hingga HUKUMAN MATI.

Seorang muslim yang masih menyakini bahwa riba itu haram, namun masih menjalankannya tanpa ada alasan syar'i yang masuk akal, statusnya bukan kafir tetapi FASIK. Sedangkan muslim yang menjalankan riba karena tekanan tertentu, keterpaksaan, dan juga udzur yang lainnya, sementara dia masih berkeyakinan bahwa riba itu haram, akan DIHISAB SECARA ADIL di hari kiamat oleh Allah. Bisa saja dia dibebaskan dari tuntutan dosa, karena KEMURAHAN Allah, namun bisa juga dia DISIKSA KARENA KEADILAN ALLAH. Semua akan kembali kepada alasan dan latar belakang kenapa seseorang menjalankan dosa riba.

Karena itu yang paling aman adalah MENINGGALKAN RIBA itu sepenuhnya, apapun resikonya di dunia.
Selanjutnya, berkenaan dengan investasi Online, apakah investasi Online itu haram? Apabila dilihat bahwa keuntungan investasi itu dengan cara diberi bunga sekian persen per bulan atau pertahun dari jumlah uang yang diinvestasikan, jelas sekali bahwa ini adalah investasi ribawi. Hukumnya haram dan tidak ada sedikit pun perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharamannya. Riba ini termasuk RIBA NASI'AH , yaitu riba yang terjadi karena seseorang meminjamkan uang kepada pihak lain dengan syarat pengembaliannya harus dengan bunga. Prinsip keharamannya ada pada bunganya yang meski dibuat serendah mungkin, namun tetap saja hukumnya haram. Meski pun tujuannya untuk dibisniskan atau dijadikan modal bergerak yang mendatangkan keuntungan.

Bila kemudian sistem ini dijajakan lewat internet dengan nama investasi online atau apapun namanya, secara prinsip ribanya tidak ada yang berubah. Sehingga hukumnya tetap HARAM.Kecuali bila investasi itu menerapkan sistem bagi hasil, di mana kalau ada keuntungan, maka keuntungan itulah yang dibagi, sebaliknya bila ada kerugian juga ditanggung bersama, barulah investasi online itu halal dan diberkahi.
Maka sebaiknya berhati-hati bila melihat iklan dan peluang berinvestasi, baik di media internet ataupun media cetak, bahkan meski di media yang berbau Islam sekalipun. Sebab seringkali didapatkan iklan-iklan seperti itu justru di media yang dekat dengan Islam. Entah redaksinya kurang teliti atau kurang mengerti, tetapi seharusnya iklan-iklan model seperti itu tidak boleh ada di media Islam. Semoga Allah SWT melindungi kita dari ancaman api neraka, karena kehendak kita meninggalkan harta haram akibat riba. Dengan niat ikhlas untuk menjauhi larangan Allah SWT, marilah tinggalkan riba dalam bentuk apapun.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman".(QS. Al-Baqarah: 278).Maka jika kamu tidak mengerjakan, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu BERTAUBAT, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya".(QS. Al-Baqarah: 279). Kalau pun di antara kita a da yang sudah terlanjur melakukannya, semoga Allah memaafkan dan mengampuninya, selama dirinya bertaubat dan segera menghentikannya.
Selanjutnya bagaimana kalau kita menjalankan amal shalih misalnya sedekah dengan uang haram gari hasil riba tersebut?,  dalam hal ini tidak boleh bersedekah dengan uang haram. Misalnya ketika seseorang ingin menutupi hutang riba orang lain, niatnya tentu niat yang mulia. Dan tentunya perbuatan itu sangat besar nilai pahalanya di sisi Allah SWT. Perbuatan seperti ini, yaitu melepaskan seseorang dari jeratan hutang, adalah perbuatan yang sangat mulia dan pasti Allah SWT akan mengganti dengan harta yang lebih baik. Namun apabila uang yang digunakan untuk menolong itu bukan uang yang halal atau uang yang bercampur riba, tentunya nilai pahalanya justru akan lenyap. Sebab Allah SWT tidak menerima sebuah ibadah maliyah yang diambilkan sumber uangnya dari sumber-sumber yang tidak halal. Uang hasil dari bunga bank jelas riba, oleh karena itu status hukumnya adalah uang haram. Sebagai uang dengan status hukum haram, maka uang ini tidak sah bila digunakan untuk hal-hal yang bersifat kebajikan amal yang diniatkan untuk mendatangkan pahala. Maka uang itu tidak boleh digunakan untuk membangun masjid, pesantren, madrasah, sekolah, rumah yatim, atau sumbangan-sumbangan lain yang diniatkan untuk mendapatkan nilai pahala dari sisi Allah SWT. 

Dalil keharaman berbuat kebajikan dengan menggunakan uang haram adalah sabda Rasulullah SAW: Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik (suci). Dia tidak menerima pemberian kecuali dari sumber yang baik (suci) pula."

Dan tentunya sebagai muslim, kita pun telah diharamkan untuk memakan rejeki kecuali dari sumber-sumber yang jelas kehalalannya. Sebagaimana firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik dari rejekimu". (QS Al-Baqarah: 172)

Bagaimana sekiranya membayar atau mengangsurkan pembayaran rumah dengan dana yang mengandung riba? Cara berhenti membayarnya adalah langsung dilunasi saja. Dengan demikian, dalam hal ini seseorang tidak punya kewajiban lagi untuk terlibat dengan segala bentuk riba yang menjerumuskan. Tapi dari mana uangnya? Pasti itu pertanyaan berikutnya. Mungkin sekarang ini sudah bermunculan bank-bank syariah. Di antara jasa pelayanannya antara lain untuk menolong orang-orang seperti ini. Yaitu mereka yang muslim dan sadar atas ke-Islamannya, lalu tiba-tiba menyadari bahwa dirinya banyak terlibat dengan akad-akad ribawi, termasuk kredit rumah, kredit mobil, dll. Apa yang akan dilakukan oleh bank syariah? Tentu saja mereka akan membayar lunas semua hutang angsuran rumah ribawi tersebut. Sehingga rumah tersebut sudah tidak terkena noda riba lagi. Dan orang tersebut bisa bernafas lega, lantaran tidak ada dosa yang membuntuti. Dalam hal ini tinggal diatur kesepakatan dengan bank syariah, bagaimana mencicil akad kredit syariah. Mungkin ada sedikit biaya ekstra yang perlu dikeluarkan, akan tetapi yang penting adalah sudah terbebas dari riba. Sebab setelah kredit rumah itu di-takeover, maka urusan tersebut inggal kepada bank syariah, yang tentunya bertransaksi dengan cara bebas riba.

Menurut informasi yang diperoleh dari bank-bank syariah, nyaris hampir semua bank syariah di negeri ini sudah punya pelayanan takeover itu. Silahkan dihubungi bank syariah dan sampaikan masalah anda kepada mereka. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kita semua dalam rangka mendapatkan rezeki yang halal dan diridhai-Nya.
Agar bisa terselamat dari transaksi riba, ada dua langkah strategis. Pertama, kenali riba. Kedua, pelajari akad-akad alternatifnya.
A. Langkah Pertama : Kenali Riba Agar Terhindar
Langkah pertama dan paling penting adalah ilmu pengetahuan tentang riba dengan bentuk dan wujudnya. Sebab orang yang tidak tahu prinsip riba, sangat boleh jadi dia akan terperosok tanpa sadar ke dalam riba. Barangkali kita merasa aman-aman saja, seolah-olah akad transaksi muamalat yang digunakan sudah halal. Sayangnya, karena ilmu dan pemahaman kita tentang riba sangat terbatas, ternyata justru yang kita jalankan malah akad-akad ribawi yang diharamkan Allah SWT.
Dalam kenyataanya, alangkah banyaknya umat Islam yang terperosok ke jurang riba, semata-mata karena keawaman mereka. Betapa sakit hati kita nanti di akhirat, sudah merasa pede masuk surga, ternyata malah masuk neraka. Rupanya, selama di dunia kita lupa tidak pernah belajar ilmu syariah, khususnya fiqih muamalah. Sehingga tanpa sadar kita malah sudah menjadi aktifis akad ribawi yang paling depan dan paling rajin. Naudzubillah min dzalik
B. Langkah Kedua : Pelajari Akad-akad Syar'i Pengganti Riba. Kemudian langkah kedua adalah mengetahui akad-akad yang halal dan dibenarkan syariah, sebagai alternatif pengganti akad ribawi yang haram. Sesungguhnya kalau kita punya pemahaman dan ilmu yang luas tentang fiqih muamalah, sebenarnya ada banyak sekali akad yang halal yang bisa dijalankan tanpa harus terkena resiko riba. Sayangnya, karena agak jarang kita mendalami ilmu fiqih muamalat, akhirnya kita sering terburu-buru untuk berdalih dengan kedaruratan, yang pada akhirnya tetap jatuh ke riba juga. Jadi intinya kita harus mengganti akad-akad yang mengandung riba dengan akad-akad yang dibenarkan di dalam syariah Islam. Namun tetap punya tujuan yang sesuai dengan kebutuhan aslinya.
Di antara beberapa alternatif itu adalah mengganti akad riba menjadi akad kredit, atau akad rahn (gadai syar'i), atau menjadi akad kerjasama bagi hasil. Berikut sedikit rinciannya.

1. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Akad Kredit

Dalam bahasa Arab, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan istilah bai' bit taqshith (بيع بِالتَّÙ‚ْصِيط) atau bai' bits-tsaman 'ajil (بيع بالثَّÙ…َÙ† الآجِÙ„).

Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang dengan harga yang sudah dipastikan nilainya, dimana barang itu diserahkan kepada pembeli, namun uang pembayarannya dibayarkan dengan cara cicilan sampai masa waktu yang telah ditetapkan.

Jual-beli secara kredit yang memenuhi segala ketentuan yang disyaratkan, hukumnya dibolehkan dalam syariat Islam. Contoh kredit yang halal misalnya dalam pembelian Sepeda Motor. Budi membutuhkan sebuah sepeda motor. Di showroom harganya dibanderol 12 juta rupiah. Karena Budi tidak punya uang tunai 12 juta rupiah, maka Budi meminta kepada pihak Koperasi untuk membelikan untuknya sebuah sepeda motor itu. Sepeda motor itu dibeli oleh Koperasi dengan harga 12 juta rupiah tunai dari showroom, kemudian Koperasin tersebut menjualnya kepada Budi dengan harga lebih tinggi, yaitu 18 juta rupiah. Kesepakatannya adalah bahwa Budi harus membayar uang muka sebesar 3 juta rupiah, dan sisanya yang 15 juta dibayar selama 15 kali tiap bulan sebesar 1 juta rupiah. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena harganya tetap (fix), tidak ada bunga atas hutang.

2. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Rahn
Istilah Rahn sering diterjemahkan secara bebas menjadi gadai. Namun tentu saja tidak bisa disamakan 100% dengan istilah gadai yang kita kenal sekarang ini, mengingat gadai yang kita kenal hari ini justru masih merupakan akad yang diharamkan.

Di masa Rasulullah praktek gadai pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasulullah mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan.Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.

Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank. Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.Misalnya seorang produse film butuh biaya untuk memproduksi filmnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panennya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.

3. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Kerjasama Bagi Hasil
Sebenarnya beda antara sistem bagi hasil yang halal dengan pembungaan uang yang diharamkan agak tipis bedanya. Tapi di mata Allah SWT, perbedaan itu sangat besar. Sebab yang satu melahirkan rahmat dan perlindungan dari-Nya, sedangkan yang satunya lagi melahirkan laknat dan murka-Nya.


Setipis apakah perbedaan di antara keduanya? Bedanya hanya pada uang yang dijadikan sandaran dalam bagi hasil. Kalau yang dijanjikan adalah memberikan 2,5% per bulan dari jumlah uang yang diinvestasikan, itu namanya pembungaan uang, alias riba. Hukumnya haram dan menurunkan murka. Karena pada hakikatnya yang terjadi memang sistem pembungaan uang. Baik bersifat merugikan atau tidak merugikan. Buat kita, yang penting bukan merugikan atau menguntungkan, tetapi yang penting apakah prinsip riba terlaksana di dalam perjanjian itu. Tapi kalau janjinya memberi 2,5% per bulan dari hasil/keuntungan, bukan dari jumlah uang yang diinvestasikan, maka itu adalah bagi hasil yang halal. Bahkan akan mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat. Beda tipis memang, bahkan banyak kalangan awam yang entah karena jahil atau pura-pura jahil, menganggap bahwa itu hanya akal-akalan semata, tapi keduanya akan berujung kepada dua muara yang berbeda.


Yang satu akan membawa pelakunya ke surga, yaitu yang dengan sistem bagi hasil sesuai syariah. Sedangkan yang satunya lagi, akan membaca pelakunya ke neraka. Meski terkadang disebut sebagai bagi hasil, sayangnya secara prinsip tidak sesuai dengan cara syariah. Lebih tepat dikatakan sebagai riba, karena memang riba. Tidak mungkin hukumnya berubah, meski disebut dengan istilah-istilah yang menipu. Kita harus teliti dan paham betul sistem bagi hasil yang sesuai syariah. Jangan asal menamakan bagi hasil, padahal prinsipnya justru riba yang haram.
Wallahu a'lam bishshawab
=====================
Ust. DR Ahmad Sarwat, Lc, MA, Alumnus Institute Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IAT), Jakarta, beliau telah menulis banyak buku yang dibagi dalam 18 Jilid buku Serial  Fiqih Kehidupan dan buku-buku non Serial dan beliau sering menulis artikel-artikel mengenai Islam di banyak media.
Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Dan diantara Ulama dunia pemegang Sanad al-Qur’an yang sudah berguru yaitu dengan Asy-Syaikh Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), Syeikh al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al_Qur’an dari Dar al-Azhar, Mesir), dan Syaikh DR Said Thalal al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an al-Karim wa Sunnah, Palestina). Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat Uang

Zakat Uang Ceramah Agama Islam: Zakat Uang (Ustadz Erwandi Tarmizi,M.A)     *********************** zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang ke Lima. merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah terpenuhi segala syarat-syaratnya. Allah Ta’ala berfirman, ÙˆَØ£َÙ‚ِيمُوا الصَّÙ„َاةَ ÙˆَØ¢َتُوا الزَّÙƒَاةَ ÙˆَارْÙƒَعُوا Ù…َعَ الرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43) Juga dalam ayat, Ø®ُذْ Ù…ِÙ†ْ Ø£َÙ…ْÙˆَالِÙ‡ِÙ…ْ صَدَÙ‚َØ©ً تُØ·َÙ‡ِّرُÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَتُزَÙƒِّيهِÙ…ْ بِÙ‡َا ÙˆَصَÙ„ِّ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ Ø¥ِÙ†َّ صَÙ„َاتَÙƒَ سَÙƒَÙ†ٌ Ù„َÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَاللَّÙ‡ُ سَÙ…ِيعٌ عَÙ„ِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik d...

Baitul Mal Mina (BMM)

Baitul Mal Mina (BMM) Profil, Misi dan Visi BMM   Program Kegiatan BMM    Update Laporan Keuangan Baitul Mal Mina   Youtube Baitul Mal Mina (BMM) Channel   Youtube (MP4) Video:  Ekonomi Islam - Fiqh Muamalat   Pengharaman Dosa Besar Riba (Usury) Zakat Infaq & Shadaqah   Artikel-Artikel ZISWAF: Artikel Ekonomi Islam -Fiqh Muamalah Artikel Zakat Artikel Infaq-Shadaqah   Artikel Wakaf   Artikel Dosa Besar Riba (Usury)   Alamat  HQ Baitul Mal Mina:   Jl.Moh Taher Lr Tgk Abd.Hamid No.6 , Lamcot,  Darul Imarah,  Aceh Besar,  Indonesia Telp/WA: +628116800552. e-mail: ustazsofyan@gmail.com Website: https://baitulmalmina.blogspot.com/2020/02/bmm.html

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba Question: 1.  Definition of riba and ruling on work that helps with riba .  What is the definition of riba? If we take into account the fact that in most countries the economy is based on the principle of the circulation of capital, which includes lending, is accepting payment in that particular currency for any work regarded as an action that supports the riba-based system? Is using the currency of a state that is based on riba regarded as contributing to the usurious economy? Undoubtedly the employee in a riba-based bank plays a part in riba-based transactions one way or another, even if he is a security guard for the bank. Could you offer him a better job if you have anything to offer? 2.  Harmful Effect of Riba.   Why is Riba (Usury) forbidden? I need a convincing answer to give it to some of my brothers in town. Jazakum Allah alf Khair 3.  H...