SAHNYA AKAD
Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih; Prof. Dr. Shalah ash-Shawi; Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF (Editor)
Para ulama telah sepakat bahwa akad jual beli sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian Ijab-Qabul. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima barang. Yakni seorang penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah seorang di antara mereka berdua. Kenyataan pada zaman modern sekarang ini, kedai online via perangkat komputer bisa dijadikan etalase barang-barang jualan dengan urutan tertentu. Lalu pembeli mengakses barang yang diinginkan dan memilih barang mana yang disukainya, kemudian ia mentransfer uang bayarannya di tempat yang sudah ditentukan.
Kemudian Kedai Online akan mengirimkan kepadanya barang yang diinginkan dengan cara yang canggih pula. Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah berdasarkan hal-hal berikut:
[1]. Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada ketentuan syar’i tentang harusnya lafal tertentu. Sehingga semuanya dikembalikan kepada adat kebiasaan.
[2]. Tidak terbukti adanya syarat ijab qabul secara lisan dalam nash-nash syariat. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang menjelaskannya.
[3]. Umat manusia telah terbiasa melakukan jual beli di pasar-pasar mereka dengan melakukan serah terima barang saja (tanpa penguapan lafal akad) di berbagai negeri dan tempat, tanpa pernah diingkari ajaran syariat. Sehingga itu sudah menjadi ijma (konsensus umat).
Pertama, Harus berada dalam satu lokasi. Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad bila ia bertemu langsung dengan qabul. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi zaman. Akad itu bisa berlangsung melalui pesawat telepon. Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya percakapan telepon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line telepon masih tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam lokasi akad. Al-Majma’ al-Fiqhiy pernah mendiskusikan persoalan melangsung-kan akad usaha melalui media komunikasi modern.
Kalau akad usaha antara kedua belah pihak berlangsung sementara keduanya tidak berada dalam lokasi akad, masing-masing tidak melihat pihak lain dengan mata kepala sendiri, juga tidak mendengar suaranya, sementara media komunikasi yang menghubungkan antara keduanya adalah tulisan, surat, kedutaan atau delegasi, via telegram, surat kilat, faksimili, layar monitor komputer, dalam semua kondisi tersebut perjanjian dianggap sah, kalau ijab bisa sampai kepada pihak yang dituju, demikian juga qabul dari pihak yang lain.
Kalau akad antara kedua belah pihak sudah berlangsung pada satu waktu sementara keduanya berada di dua lokasi yang berjauhan, akad itu dilakukan dengan telepon dan faksimili, maka akad antara dua pihak tersebut dianggap sebagai akad antara dua orang yang hadir. Pada kondisi demikian diterapkan hukum asal yang ditetapkan oleh para ulama ahli fiqih yang tergabung dalam diskusi ini, tersebut dalam lampiran.
Kalau pihak yang menawarkan akad dengan media-media tersebut memberikan ijab dengan waktu tertentu, maka harus dijaga konsekuensi pada masa tertentu tersebut, tidak boleh diralat kembali. Semua kaidah-kaidah ini tidak berlaku bagi akad nikah karena nikah mengharuskan adanya saksi, tidak juga berlaku untuk sharf (penukaran mata uang asing) karena ada syarat penyerahan barang langsung, juga tidak untuk jual beli as-Salm [cttn kaki:Pengecualian jual beli sharf dan salm masih perlu diperdebatkan. Karena semua media yang memungkinkan diberlangsungkannya transaksi dengan cara seperti itu juga bisa memberikan harga modal di muka dalam lokasi transaksi seperti pada jual beli salm, yakni dengan mentransfernya secara langsung ke rekening penjual melalui internet. Pemberian barang secara langsung juga dapat dilakukan seperti dalam jual beli sharf, karena ada syarat pembayaran harus dibayar di muka.Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pemalsuan dan penggelapan atau kekeliruan, harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum untuk menetapkan perkara.
Kedua, Hal yang menjadi penyebab terjadinya ijab harus tetap ada hingga terjadinya qabul dari pihak kedua yang ikut dalam akad. Kalau ijab itu ditarik oleh pihak pertama, lalu datang qabul, itu dianggap qabul tanpa ijab, dan itu tidak ada nilainya sama sekali.
Ketiga, Tidak adanya hal yang menunjukkan penolakan atau pemunduran diri dari pihak kedua. Karena adanya hal itu membatalkan ijab. Kalau datang lagi penerimaan sesudah itu, sudah tidak ada gunanya lagi, karena tidak terkait lagi dengan ijab sebelumnya secara tegas sehingga akad bisa dilangsungkan.
(Disalin dengan sedikit pengeditan dari buku Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, edisi Indonesia Fikih Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi, Penerjemah Abu Umar Basyir, Penerbit Darul Haq, Jakarta hlm. 30-32)
=====================
* Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi
Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi
bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered
Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic
Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Dan diantara
Ulama dunia pemegang Sanad al-Qur’an yang sudah berguru yaitu dengan Asy-Syaikh
Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), Syeikh
al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al_Qur’an dari Dar al-Azhar,
Mesir), dan Syaikh DR Said Thalal al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an
al-Karim wa Sunnah, Palestina). Sekarang
ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail:
ustazsofyan@gmail.com.