Skip to main content

Agar Tidak Terus Menerus Hidup dengan Berhutang


AGAR TIDAK TERUS MENERUS HIDUP DENGAN BERHUTANG

Kita diperintahkan untuk senantiasa bersyukur pada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepada kita sekalian. Moga dengan banyak bersyukur, kita akan terus ditambahkan nikmat lainnya danger bersyukur itu dimulai dari yang sedikit.
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).
Allah Ta’ala berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7)
Syukur inilah yang mesti kita buktikan dengan takwa sebagaimana yang Allah perintahkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah memacu masyarakat untuk hidup konsumsif. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun sudah merambah ke pelosok-pelosok desa. Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan syarat yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif merasa dimudahkan dalam membeli segala sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal mengisi formulir pengajuan kredit dan menandatanganinya, barang pun akan terbeli. Cara pelunasan jadi urusan belakang. Yang penting, nikmati dulu barangnya, nikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Manfaat barang yang dibeli justru seringkali sekadar menjadi pertimbangan kedua.
Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang pada kemudian hari. Ternyata jumlahnya membengkak akibat sistem “bunga berbunga” yang diterapkan. Intinya, masyarakat pada zaman penuh “wah” saat ini mau-mau saja terjun ke dalam PRAKTIK RIBA asalkan bisa mendapat barang mewah impiannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Akan datang suatu zaman ketika manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari, no. 2083, dari Abu Hurairah)
Tentu Allah tidak meridhai hal ini, bahkan Allah memurkainya. Lalu bagaimana kiat agar kita tidak mudah terjerumus dalam praktik riba?
 Ada beberapa saran, semoga bisa ambil hikmah-hikmahnya.

1-  Berilmu dulu
Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan agar umatnya berilmu terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan seseorang tidak sia-sia. Dalam masalah muamalah pun demikian. Jika tidak diindahkan, seorang muslim bisa terjerumus ke dalam sesuatu yang diharamkan. Misalnya seorang pedagang hendaklah paham seputar hukum jual beli. Jika ia tidak memahaminya, bisa jadi ia memakan riba atau menikmati rezeki dengan cara yang tidak halal. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barang siapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310.)
Hal di atas bukan hanya berlaku bagi penjual atau pedagang, namun berlaku juga untuk pembeli. Pembeli pun harus tahu seluk beluk jual beli sebelum bertindak. Kalau kita bahas masalah utang, utang itu harus dikembalikan dengan yang semisal, tidak boleh ada tambahan. Jika tidak, maka terjerumus dalam riba. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,
القَرْضُ مُوْجِبُهُ رَدُّ المِثْلِ
“Utang wajib dikembalikan oleh si peminjam dengan yang semisal.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 29:52 dan 30:84)

2- Semakin takut kepada riba dengan mengetahui bahayanya
a- Semua yang terlibat di dalam transaksi riba terkena laknat. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu; beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris), dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan hal yang haram).” (HR. Muslim, no. 1598)
b- Pada hari kiamat diancam dengan perut yang besar seperti rumah dan dipenuhi dengan ular-ular. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِى عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرَائِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ أَكَلَةُ الرِّبَا.
“Pada malam Isra’, aku mendatangi suatu kaum yang perutnya sebesar rumah dan dipenuhi dengan ular-ular. Ular tersebut terlihat dari luar. Aku pun bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Jibril?’ ‘Mereka adalah para PEMAKAN RIBA,’ jawab beliau.” (HR. Ibnu Majah, no. 2273; Ahmad, 2:353 dan 2:363. Sanad hadits ini dha’if sebagaimana kata Al-Hafizh Abu Thahir. Di dalam sanadnya terdapat Abu Ash-Shalet yang majhul.)
c- Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba terdiri atas tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Walaupun kita beralasan, “Aah tidak masalah, kami berutang riba tetap bayar tepat waktu kok.” Riba tetaplah riba, itu bukanlah jalan yang diridhai dan tidak diberkahi.
3- Tidak bermudah-mudahan dalam berutang
Ingat saja hadits Nabi berikut supaya kita takut untuk berutang, bukan senang menambah utang. Dari Shuhaib Al-Khair radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, dia akan bertemu dengan Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2410. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Al-Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidh Al-Qadir, 3:181)
 4- Memiliki sifat qana’ah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari, no. 6446 dan Muslim, no. 1051).
Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup kepada segala hal yang engkau butuhkan. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari maka itu berarti bukanlah ghina’ (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin).” (Lihat Fath Al-Bari, 11:272.). Bila seseorang memiliki sifat qana’ah, ia akan menjadikan kebutuhan hidupnya sesuai standar kemampuan, tak perlu lagi baginya menambah utangan.
Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan doa untuk meminta sifat qana’ah (selalu merasa cukup), seperti dalam doa berikut,
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
 “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu petunjuk (dalam ilmu dan amal), ketakwaan, sifat ‘afaf (menjaga diri dari hal yang haram), dan sifat ghina’ (hati yang selalu merasa cukup atau qana’ah).” (HR. Muslim, no. 2721; dari ‘Abdullah)
‘Afaf artinya menjaga iffah (harga diri dan kehormatan), menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik, serta menjauhkan diri dari syubhat (hal yang masih samar). Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “’Afaf adalah menahan diri dari hal yang haram serta menjauhkan diri dari hal-hal yang menjatuhkan kehormatan. Ulama lain mengungkapkan ‘iffah (sama dengan ‘afaf) adalah menahan diri dari yang tidak halal.” (Syarh Shahih Muslim, 12:94)
 5- Berada dalam majelis ilmu dan komunitas anti-riba
Sebagai muslim, kita diperintahkan untuk memiliki teman yang baik sehingga bisa mendukung kita melakukan kebaikan dan meninggalkan kebaikan, termasuk meninggalkan riba. Carilah teman yang seperti pemilik minyak wangi. Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)
Ahli hikmah juga menuturkan,
يُظَنُّ بِالمرْءِ مَا يُظَنُّ بِقَرِيْنِهِ
“Seseorang itu bisa dinilai dari orang yang menjadi teman dekatnya.”
Semoga Allah memberikan kita jalan keluar dalam utang kita.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Ada beberapa solusi agar kita tidak terjerumus dalam berutang dengan cara riba.
  1. Berilmu lebih dulu dengan rajin hadir dalam majelis ilmu.
  2. Semakin takut kepada riba dan riba tidak pernah diridhai Allah, serta jauh dari berkah.
  3. Tidak bermudah-mudahan dalam berutang.
  4. Milikilah sifat nerimo atau qana’ah, merasa cukup dengan segala yang Allah beri.
  5. Berteman dengan orang-orang yang bisa menjauhkan kita dari riba.
 Pegang prinsip mulai saat ini: STOP NAMBAH UTANG!  Semoga kita diberikan kemudahan dalam hal rezeki dan diangkat dari kesulitan utang, serta dijauhkan memakan riba.
**********************************
Oleh: Ustadh Muhammad Abduh Tuasikal MSc. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF (Editor)


* Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, Alumnus King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. Guru dan Masyaikh yang pernah diambil ilmunya: Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri dan Syaikh Shalih Al-'Ushaimin. Sekarang menjadi Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul)

Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina.




Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Zakat Fitrah

Zakat Fitrah Lafal Niat Zakat Fitrah Seluruh amal ibadah harus melibatkan niat. Bukan hanya ibadah wajib tapi juga ibadah sunnah. Niat merupakan bagian dari penentu sah atau tidaknya suatu amalan. Tak terkecuali pada pelaksanaan zakat fitrah yang wajib ditunaikan oleh setiap individu Muslim, baik laki-laki, perempuan, dewasa, anak-anak, merdeka, atapun hamba sahaya. Niat adalah iktikad tanpa ragu untuk melaksanakan sebuah perbuatan. Meski niat adalah urusan hati, melafalkannya ( talaffudh ) akan membantu seseorang untuk menegaskan niat tersebut. Talaffudh berguna dalam memantapkan iktikad karena niat terekspresi dalam wujud yang konkret, yaitu bacaan atau lafal. Berikut beberapa lafal niat zakat fitrah dalam bahasa Arab: Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ “Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardu karena Allah Ta‘âlâ.” Niat Zakat Fitrah untuk Istri ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃ