Skip to main content

Kajian Riba


KAJIAN RIBA
Kajian  mengenai  riba  senantiasa  menjadi  diskursus  hangat  dalam  ilmu ekonomi  Islam. Hal ini terlihat  dari pembahasan mengenai  riba yang  senantiasa mewarnai  konstalasi  pemikiran  umat  Islam  dan  perdebatannya  hampir  tidak menemukan  titik  temu.  Perdebatan  pemikiran  mengenai riba  dan  bunga  bank menunjukkan bahwa persoalan riba sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah uang.  Evolusi  konsep  riba  ke  bunga  tidak  lepas  dari perkembangan  lembaga keuangan.  Untuk  itu,  tulisan  ini  mencermati  dan  menganalisis  persoalan  riba dalam  perspektif  keuangan  Islam,  dan  di  akhir  tulisan  ini  menawarkan  sistem profit-loss sharing sebagai solusi alternatif pengganti sistem bunga dalam sistem perekonomian Islam.

Abstract
The study of usury has always had been a warm discourse in science Islamic economics. This is evident from the discussion on usury ever Coloring constellation Muslims thought and debate barely finding common ground. The debate thoughts on usury and bank interests show that the problem of usury in fact very closely related to the problem money. The evolution of the concept of usury to interest cannot be separated from development agencies finance. To that end, this paper examines and analyze the problem of usury in the perspective of Islamic finance, and at the end of this paper offers a system profit-loss sharing as the solution alternative to the system of interest in the system Islamic economy.

I.     PENDAHULUAN
Dewasa ini, ekonomi moneter menjadi suatu cabang yang penting dalam ilmu ekonomi. Salah satu sebabnya ialah, karena uang memegang peranan penting dalam lapangan hidup manusia. Juga karena uang memegang peranan dalam hubungannya dengan perdagangan internasional. Harga uang sesuatu negeri dalam hubungannya dengan harga uang negeri lainnya, menjadi indikator bagaimana kedudukan perdagangan negara yang bersangkutan dalam dunia pada umumnya. Persoalan uang itu bukan saja penting dalam hubungannya dengan perekonomian nasional, tetapi juga penting dalam hubungannya dengan  perekonomian dunia. (Mustafa Edwin Nasution) Sangat penting bagi suatu negara, untuk menjamin kestabilan harga uangnya dan kalau mungkin menaikkan harga uang tersebut dalam hubungannya dengan harga uang asing di luar negeri.

Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran barter, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya. Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.

II.   ANALISIS
Pandangan Islam tentang Uang
Secara definisi Uang adalah benda yang dijadikan sebagaiukuran danpenyimpanan nilai semua barang. (Muhamad:2014) Dengan adanya uang maka dapat melakukan proses jual beli hasil produksi. Dengan uang, hasil penjualannya itu ia dapat membeli barang-barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk uangnya atau tidak dibelajnjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli produk-produk dipasaran.

Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional (kapitalisme), Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang komoditas. Uang berguna apabila ditukar dengan benda yang nyata atau digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke dalam sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.

Secara definitif dapat diajukan, bahwa fungsi uang : a) media pertukaran (untuk transaksi); b) berjaga-jaga/investasi; c) satuan hitung untuk pembayaran (ba’i muajjal). Adapun cara-cara dalam pengembangan Uang sehingga tidak mengandung unsur riba, sebelumnya perlu diketahui bahwa uang sesuatu yang mengalir (flow concept) dan ia sebagai barang publik (public goods). Money as Flow Concept, uang diibaratkan seperti air, jika air di sungai terus mengalir maka air tersebut akan bersih dan jernih. Jika air itu berhenti (secara tidak wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan berbau. Demikian halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Money as Public Goods, uang adalah barang publik bukan monopoli perorangan, untuk itu dapat disimpulkan perbedaan antara modal dan uang. Modal adalah milik pribadi dan uang adalah milik umum.

Unsur utama yang diharamkan dalam Islam ialah bunga yakni riba. Islam menganggap riba sebagai satu unsur buruk yang merusak masyarakat ekonomi, sosial maupun moral. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang umat Islam memberi atau memakan Riba, larangan tersebut secara bertahap untuk mengurangi kesengsaraan masyarakat yakni sebagai berikut :

Perintah terawal dari Allah adalah sekadar mengingatkan manusia bahwa riba itu tidak akan menambah kekayaan individu maupun negara, namun sebaliknya mengurangi kekayaan (Ar-Rum:39). Perintah kedua melarapong umat Islam mengambil bunga sekiranya mereka menginginkan kebahagiaan yang hakiki, ketenangan pikiran dan kejayaan hidup (An-Nisa :160). Peraturan pertama yang melarang kaum Muslimin memakan riba. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda ( Ali-Imran : 30). Seterusnya setengah orang mulanya mencampuradukkan jual beli dengan kegiatan riba. Bagi mereka tidak ada perbedaan diantara keduanya. (Al-Baqarah :275-276)

Secara teori return yang diterima dari praktik riba secara jangka panjang akan menghadapi risiko inflasi, sehingga boleh jadi purchasing power dariu uang yang bertambah akibat return dari bunga/riba tidak berubah atau bahkan semakin mengecil akibat inflasi (jika penambahan pendapatan dari return lebih kecil atau sama dengan penambahan harga (inflasi)).

Tujuh Perbedaan
Setidaknya, ada tujuh perbedaan penting antara bungan dan bagi hasil. Tujuh perbedaan ini sudah terlalu cukup bagi kita untuk memahami konsep bagi hasil dan bedanya dengan bunga.(Agustianto:2011)
Pertama, penentuan bungan ditetapkan sejak awal, tanpa berpedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar  sudah diketahui sejak awal. Misalnya, si A meminjam uang di sebuah bank konvensional sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan selama 12 bulan. Besar bunga yang harus dibayar si A, ditetapkan bank secara pasti, misalnya 24 % setahun. Dengan demikian si A  harus membayar Rp. 200.000 per bulan, selain pokok pinjaman.

Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengemblian bagi hasil didasarkan kepada untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya. Misalnya, si A menerima pembiayaan mudhrabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu pelunasan 12 bulan. Jumlah bagi hasil yang harus dibayarkan kepada Bank belum diketahui sejak awal. Kedua belah pihak hanya menyepakati porsi bagi hasil misalkan 80 % bagi hasil dan 20 % untuk bank syariah. Pada bulan pertama si A mendapatkan keuntungan bersih misalnya, sebesar Rp. 1.000.000,- maka bagi hasil yang disetorkannya kepada bank syariah ialah 20 % x Rp. 1.000.000,- = Rp. 200.000,- jadi bagi hasil yang harus dibayarkan ialah Rp. 200.000,- ditambah pokok pinjaman. Pada bulan kedua, keuntungannya meningkat, misalnya menjadi Rp. 1.500.000,- maka bagi hasil yang disetorkan sebesar 20 % x Rp. 1.500.000,- = Rp. 300.000,- maka jumlah setoran bagi hasil pada bulan kedua sebesar Rp. 300.000,- Pada bulan ketiga, keuntungan mungkin saja menurun, misalkan Rp. 750.000,- maka bagi hasil yang dibayarkan pada bulan tersebut ialah 20 % x Rp. 750.000,- = Rp. 150.000,- Dengan demikian, jumlah bagi hasil selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan besar kecilnya keuntungan yang diraih mudharib (pengelola dana / pengusaha). Hal ini tentu berbeda sekali dengan bunga.

Kedua, besarnya persentase bunga dan besarnya nilai rupiah, ditentukan sebelumnya berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 24 % dari besar pinjaman. Sedangkan dalam bagi hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan), tetapi berdasarkan keuntungan yang pararel, misalnya, 40 : 60 (40 % keuntungan untuk bank dan 60 % untuk deposan) atau 35 : 65 (35 % untuk bank dan 65 % untuk deposan) dan seterusnya.

Ketiga, dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur) saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.

Keempat, pada sistem bunga, jumlah pembayaran bunga kepada nasabah penabung / deposan tidak meningkat, sekalipun keuntungan bank meningkat, karena persentase bunga ditetapkan secara pasti tanpa didasarkan pada untung dan rugi. Sedangkan dalam sitem bagi hasil, jumlah pembagian laba yang diterima deposan akan meningkat, manakala keuntungan bank meningkat, sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan bank.

Kelima, pada sistem bunga, besarnya bunga yang harus dibayar di peminjam, pasti diterima bank, sedangkan dalam sistem bagi hasil, besarnya tidak pasti, tergantung pada keuntungan perusahaan yang dikelola si peminjam, sebab keberhasilan usahalah yang menjadi perhatian bersama pemilik modl (bank) dan peminjam.

Keenam, sistem bunga, dilarang oleh semua agama samawi. Sedang sistem bagi hasil tak ada agama yang mengancamnya. Bunga dilarang dengan tegas oleh agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam, seperti terungkap dibawah ini :
“Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, jangan kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan, jangan kamu meminta keuntungan untuk hartamu (Kitab Keluaran Perjanjian Lama, Ayat 25 pasal 22).
“Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah, jangan kau meminta dirinya keuntungan dan manfaat” (Kitab Imamat ayat 35 pasal 25).
“Jika kamu meminjamkan kepada orang, yang kamu mengharapkan bayaran darinya, maka kelebihan apa yang diberikan olehmu. Tetepi lakukanlah kebaikan-kebaikan dan pinjamkanlah tanpa mengharapakan pengembaliannya. Dengan begitu pahalamu melimpah ruah. (Injil Lukas, ayat 34, 35 pasal 6).
Berdasarkan nash ini, para gerejawan sepakat mengharamkan riba secara total. Scubar mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mengatakan riba bukan maksiat, ia di hitung sebagai orang atheis yang keluar dari agama”. Sementara itu, Paus Pius berkata, “ Sesungguhnya para pemakan riba, mereka kehilangan harga diri dalam hidup di dunia dan mereka bukan orang yang pantas dikafankan setelah mereka mati”.

Ketujuh, pihak bank dalam sistem bunga, memastikan penghasilan debitur di masa yang akan datang dan karena itu ia menetapkan sejak awal jumlah bunga yang harus dibayarkan kepada bank. Sedangkan dalam sistem bagi hasil, tidak ada pemastian tersebut, karena yang bis memastikan penghasilan di masa depan hanyalah Allah. Karena itu, bunga bertentangan dengan surah Luqman ayat 34. “Tak seorangpun yang bisa mengetahui apa (berapa) yang dihasilkannya besok”. Sedangkan bunga sudah ditetapkan jumlahnya sejak awal. Kesimpulan point ini adalah kalau bunga bertentangan dengan surah Luqman ayat 34, sedangkan bagi hasil merupakan penerapan surat Luqman ayat 34 tersebut.  
                                            
                                                  
Dengan demikian konsep bagi hasil dalam perekonomian Islam akan semakin mendukung pertumbuhan perekonomian secara makro.

III. PEMBAHASAN
Terjadinya depresiasi  nilai tukar rupiah akhir-akhir ini membuktikan betapa rentannya perekonomian Indonesia yang berdasarkan sistem pasar terhadap tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para spekulan. Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.

Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek  riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini  para penganut sistem  ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada smua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional. Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.

Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara..Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF berikut menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi. Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran. Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus. Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya. Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba,  maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .

Dengan  fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”

Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan  dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Para ahli ekonomi kontemporer, juga menyimpulkan bahwa salah satu penyebab penting tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara adalah sistem ekonomi ribawi.  Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel di sini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.

Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia pada tahun 2015 Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2015 dipertahankan di level 5,3% dengan rata-rata inflasi sebesar 6,3% (turun dari 7,2%) dan BI rate pada akhir tahun di 7,5% (turun dari 8%), maka tingkat bunga riel adalah 1,2% (7,5%-6,3%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.

Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.

Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing. Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.

Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris, bahwa bunga mengandung mudharat, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis, karena itu, tidak mengherankan jika banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi ini disebabkan oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan bahwa sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan berbangsa. Negara-negara penghutang dijerat hutang yang besar 30 % diantaranya adalah hutang bunga itu bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bungan atas bunga. Inilah yang disebut dengan bunga yang berlipat ganda.

Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.

Solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana yang digunakan untuk berbisnis adalah “Sistim Bagi Hasil” (Profit-Loss Sharing) dan jual beli.Sangat banyak masyarakat umum dan bahkan intelektual terdidik, yang belum memahami konsep bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah. Secara dangkal dan keliru, mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Untuk meluruskan kesalahpahaman itu, perlu dibahas pebedaan bunga dan bagi hasil dalam pembahasan yang terbatas ini. Dalam bank syariah, ada tiga produk pembiayaan yang dipraktekkan, Pertama, bagi hasil, Kedua, jual-beli dan Ketiga, ijarah dan jasa. (Ali:2014)

Bagi hasil, terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Jual beli, terdiri dari produk ba’i murabahah, ba’i istisna’, dan ba’i salam. Sedangkan jasa, terdiri dari wakalah, kafalah, hiwalah, ijarah, ba’i at-takjiri dan al-ijarah muntahiyah bit tamlik.Jadi, dalam perbankan syariah, bagi hasil hanyalah salah satu produk pembiayaan perbankan syariah. Saat ini bank syariah di Indonesia, masih dominan menerapkan produk jual beli, khususnya, jual beli murabahah dan istisna’. Dalam sistim ini, keuntungan dan kerugian adalah menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ianya dilarang oleh Islam dibandingkan dengan sistim ekonomi Islam yang pembagian hasilnya berdasarkan post-determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat. Sistem bagi hasil, sebagai ciri khas utama bank syariah belum diterapkan secara menyeluruh dalam operasi bank muamalah, karena memang, bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) hanyalah salah satu dari konsep fikih muamalah. Namun harus dicatat, meskipun bagi hasil belum diterapkan secara dominan, tetapi praktek bunga sudah bisa dihindarkan secara total.

IV.    KESIMPULAN
Di dalam ekonomi Islam, uang bukanlah modal. Sementara ini kita kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang, biasanya kita sama artikan dengan modal (capital). Uang adalah barang publik (public goods). Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang perorang. Jadi uang sebagai flow concept sementara modal adalah stock concept. Selanjutanya, bunga mutlak menjadikan uang sebagai komoditas. Sedangkan Islam menegaskan fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of change). Ekonomi kapitalisme adalah sebuah sistem yang menjadikan uang sebagai komoditas, dimana uang diperjualbelikan. Hal ini sangat rawan terhadap peningkatan nilai mata uang dollar yang pada gilirannya menimbulkan bencana di banyak negara. Proses penurunan nilai mata uang lokal (seperti rupiah) terjadi sangat singkat yang selanjutnya menghancurkan ekonomi suatu negara dan tentunya memiskinkan rakyat banyak. Jadi kesimpulannya, bunga terbukti membuat krisis dan memiskinkan.

Dari uraian diatas jelas bahwa bunga telah menghalangi dimanfaatkannya uang secara maksimal dan proporsional. Tanpa aktif berinvestasi dalam produksi dan perdagangan, para pemilik uang yang meminjamkan uang, tealh tumbuh menjadi golongan kapitalis. Bahkan dengan kekuatan bunga mereka menyita atau membangun sarana-saran produksi seluas-luasnya. Bunga memang menjadi kata kunci pertumbuhan dan penguatan golongan kapitalis. Suku bunga pinjaman dapat menghalangi terciptanya tata perekonomian dunia yang baik dan adil. Dalam ekonomi riba, tidak terwujud rasa kebersamaan, karena pemilik modal dalam sistem bunga hanya mementingkan diri sendiri, tidak perduli pada resiko yang dialami peminjam, apakah untung atau rugi. Yang penting bunga harus diserahkan dalam jumlah tertentu.

Dalam ekonomi Islam, perdagangan menjadi salah satu faktor utama dalam proses pembangunan. Dinamikanya dapat melalui kerjasama dan partisipasi. Sedangkan konsep bunga adalah konsep yang menguntungkan satu pihak dan pemilik modal cenderung mementingkan diri sendiri. Maka dari sudut pandang ekonomi dan etika, bunga sesungguhnya meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan, tidak saling membantu, egois dan individualistis yang pada akhirnya mencegah peningkatan sumberdaya ekonomi. Islam mendorong masyarakat kearah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong umatnya untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Oleh karena itu, uapaya untuk memutar modal dalam investasi, sehingga mendatangkan return merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan. Oleh karena itu, ajaran tentang mekanisme investasi bagi hasil harus dikembangkan, sehubungan dengan masalah kapital dan keahlian. Inti mekanisme investasi bagi hasil akan mencptakan suatu tatanan eonomi yang lebih merata. Implikasi dari kerjasama ialah aspek sosial politik dalam pengamblan keputusan yang dilakukan musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi, kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Chapra, M. Umer. 2000, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI

Hartoro, Tony.2006, Mekanisme Ekonomi: Dalam Konteks Ekonomi Indonesi, Bandung:PT Remaja Rosdakarya

Karim, Adiwarman. 2001, “Konsep Uang dalam Islam”, Modul Kuliah Ekstra Kurikuler Ekonomi Islam, Yogyakarta FE UGM

Mauludi, Ali. 2014, Teknik Memhami Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: Alim’s Publishing

Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah: Analisis Fiqh & Keuangan-Ed.1, Yogyakarta: UPP STIM YKPN

Sukirno, Sadono. 2006, Makroekonomi Teori Pengantar-Ed.3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sulaiman, Umar. 2012, Islam Kosmopolit: Ikhtiar Pembumian nilai-nilai Transenden-Humanis di Ruang Publik, Yogyakarta: Freshbook

http://www.agustiantocentre.com/?p=383

http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/Default.aspx

http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-rate/data/Default.aspx. 

Kontributor: Titin Pramudyawati. 
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. 
Email: ustazsofyan@gmail.com


*****************************************

* Titin Pramudyawati, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Tulungagung, . 

Popular posts from this blog

Zakat Uang

Zakat Uang Ceramah Agama Islam: Zakat Uang (Ustadz Erwandi Tarmizi,M.A)     *********************** zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang ke Lima. merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah terpenuhi segala syarat-syaratnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43) Juga dalam ayat, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik d...

Baitul Mal Mina (BMM)

Baitul Mal Mina (BMM) Profil, Misi dan Visi BMM   Program Kegiatan BMM    Update Laporan Keuangan Baitul Mal Mina   Youtube Baitul Mal Mina (BMM) Channel   Youtube (MP4) Video:  Ekonomi Islam - Fiqh Muamalat   Pengharaman Dosa Besar Riba (Usury) Zakat Infaq & Shadaqah   Artikel-Artikel ZISWAF: Artikel Ekonomi Islam -Fiqh Muamalah Artikel Zakat Artikel Infaq-Shadaqah   Artikel Wakaf   Artikel Dosa Besar Riba (Usury)   Alamat  HQ Baitul Mal Mina:   Jl.Moh Taher Lr Tgk Abd.Hamid No.6 , Lamcot,  Darul Imarah,  Aceh Besar,  Indonesia Telp/WA: +628116800552. e-mail: ustazsofyan@gmail.com Website: https://baitulmalmina.blogspot.com/2020/02/bmm.html

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba Question: 1.  Definition of riba and ruling on work that helps with riba .  What is the definition of riba? If we take into account the fact that in most countries the economy is based on the principle of the circulation of capital, which includes lending, is accepting payment in that particular currency for any work regarded as an action that supports the riba-based system? Is using the currency of a state that is based on riba regarded as contributing to the usurious economy? Undoubtedly the employee in a riba-based bank plays a part in riba-based transactions one way or another, even if he is a security guard for the bank. Could you offer him a better job if you have anything to offer? 2.  Harmful Effect of Riba.   Why is Riba (Usury) forbidden? I need a convincing answer to give it to some of my brothers in town. Jazakum Allah alf Khair 3.  H...