Di dalam paham kapitalis, kebahagiaan
selalu diukur dengan banyak sedikitnya materi yang dimiliki. Bahkan saat ini,
sebagian kalangan masyarakat terkesan berpikir bahwa hidup belumlah sah atau
lengkap apabila belum memiliki berbagai atribut kemewahan. Meski sudah hidup
dengan layak, namun masih banyak yang merasa belum cukup. Hidup dengan
sederhana sepertinya bukan lagi impian atau sudah tidak lagi dianggap ideal.
Dan, kalaupun ada yang hidup dengan cara sederhana, hal itu semata – mata
karena memang keadaan yang memaksa mereka untuk seperti itu.
Saat ini, budaya hura – hura dan
konsumtif sepertinya telah menjadi satu budaya bahkan sudah sangat mengakar di
kehidupan manusia. Mimpi dan keinginan untuk dapat hidup mewah sepertinya bukan
lagi melanda kalangan menengah ke atas saja namun golongan kurang mampu pun
juga ingin bermewah – mewahan. Akibatnya, keadaan hidup mereka yang sudah
kekurangan, menjadi semakin kekurangan karena gaya hidup yang mereka jalani
tidak sesuai dengan penghasilan yang mereka dapatkan. Mereka rela berhutang ke
sana ke mari hanya untuk memenuhi keinginan mereka hidup bermewah – mewah.
Sehingga, bisa dikatakan bahwa kemewahan bukan lagi sekadar ajang pamer materi
namun sudah berubah menjadi satu ajang untuk memanipulasi suatu keinginan
sehingga menjadikannya sebuah keharusan demi hanya untuk meraih satu kepuasan. Hal
itulah yang kemudian mendorong orang untuk rela berhutang dan yang lebih parah
lagi melakukan korupsi maupun mencari rezeki dengan cara – cara haram.
Perilaku hidup sederhana sangat
bertentangan dengan pola hidup konsumerisme. Dalam pola hidup konsumerisme,
kebahagiaan individu hanya bisa dicapai dengan cara mengkonsumsi, memiliki dan
membeli apapun yang diinginkan meski hal itu melebihi batas kemampuan dasar
yang dimiliki. Dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk membelanjakan harta
tidak secara berlebihan dan di sisi lain, kita juga dilarang untuk kikir. Hal
itu secara jelas tercantum di dalam al-Qur’an surat al-Furqaan ayat 67. Di
dalam surah al-Humazah ayat 1-9, dijelaskan pula bahwa Islam mengecam orang –
orang yang menimbun harta. Allah bahkan mengancam mereka dengan neraka
Huthamah. Di salam surah at-Taubah ayat 34, Allah berfirman bahwa mereka
yang senang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah,
akan diberi siksaan yang pedih dan menyakitkan.
Berdasarkan dalil – dalil tersebut di
atas, kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa kita sebagai manusia harus
senantiasa waspada dengan apa yang kita miliki. Kita dilarang untuk melakukan
segala sesuatu yang dilarang oleh Allah, termasuk di dalamnya hidup berlebih –
lebihan , boros dalam membelanjakan harta, bermain – main dengan harta dan kita
juga dituntut untuk membelanjakan harta yang kita miliki di jalan Allah.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda: “ Makanlah dan minumlah dan bersedekahlah, tanpa berlebihan dan
tidak sombong”. (HR Ahmad). “Barang siapa mengenakan pakaian sutera di dunia,
maka ia tidak akan memakainya di akhirat”. (HR Muslim). “Janganlah kalian minum di bejana emas dan
perak, janganlah kalian makan di piring emas dan perak, karena emas dan perak
itu milik mereka (orang – orang kafir) di dunia dan milik kalian di akhirat”.
(diriwayatkan oleh Muslim, al-Bukhari, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, at-Timidzy
serta Ibnu Majah). (Sumber: renunganislam. net, ditulis seperti aslinya dengan sedikit perubahan)
****************************
****************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com