HIBAH DALAM PERSPEKTIF FIQH
Hibah, hadiah, dan wasiat adalah istilah-istilah syariat yang
sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia, sehingga istilah-istilah ini
bukan lagi suatu yang asing. Hibah, hadiah dan wasiat merupakan bagian dari
tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama Islam. Dalam hukum
Islam, seseorang diperbolehkan untuk memberikan atau menghadiahkan
sebagian harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain. Pemberian semasa
hidup itu sering disebut sebagai hibah.
Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan hibah karena
mendekatkan hati dan menguatkan tali cinta antara manusia, sebagaimana
disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَهَادُوْا تَحَابَوْا
Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR.
Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai
sahih oleh al-Albâni dalam kitab al-Irwa’, no. 1601]. Oleh karena
itu, permasalahan hibah ini perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan rasa
cinta diantara kaum Muslimin yang sangat perlu sekali terus dipelihara dan
ditumbuh kembangkan.
Kata hibah berasal dari bahasa Arab dari
kata (الهِبَةُ) yang berarti pemberian yang dilakukan seseorang saat dia
masih hidup kepada orang lain tanpa imbalan (pemberian cuma-cuma), baik berupa
harta atau bukan harta. Diantaranya kata ini digunakan dalam firman Allâh Azza
wa Jalla :
وَإِنِّي خِفْتُ
الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ
لَدُنْكَ وَلِيًّا ﴿٥﴾ يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ
رَبِّ رَضِيًّا
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku,
sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku
dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian
keluarga Ya´qûb; dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai” [Maryam/19:5-6]. Sedangkan pengertian hibah menurut para Ulama
ahli fikih, disampaikan Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dengan
ungkapan:
تَبَرُّعٌ بِالْمَالِ فِيْ
حَالَةِ الْحَيَاةِ وَ الصِّحَّةِ
Pemberian harta cuma-cuma dalam keadaan hidup dan sehat. [Minhâjus
Sâlikin, hlm 175]. Dengan demikian pengertian hibah adalah pemberian yang
dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup
dan dalam keadaan sehat. Serah terima harta yang diberikan itu dilakukan pada
waktu penghibah masih hidup. Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan
tentang hibah sebagai pemberian cuma-cuma (tabarru’)
dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i rahimahullah membagi pemberian dengan
menyatakan, ‘Pemberian harta oleh manusia tanpa imbalan (tabarru’)
kepada orang lain terbagi menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan kematian
yaitu wasiat dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini terbagi
menjadi dua jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-mahdh)
seperti hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf.
Pemberian murni ada tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan
sedekah tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak wajib). Cara
membedakannya adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila
diiringi dengan memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang
yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu dinamakan hadiah.
Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang yang membutuhkan (miskin) dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala
akhirat maka dinamakan sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan
dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ketempat lainnya.
Berdasarkan ini, pemberian hewan unta buat tanah haram disebut
hadiah (اِهْدَاءُ الْنَعَمِ إِلَى
الْحَرَم). Oleh karena itu, tidak bisa menggunakan
lafaz hadiah pada pemberian bumi dan bangunan sama sekali. Seseorang tidak
boleh mengatakan:
أَهْدَى إِلَيْهِ دَارًا و
لاَ أَرْضًا
Dia menghadiahinya rumah atau tanah. Hadiah hanya
digunakan pada pemberian harta yang bisa diangkat dan dipindah-pindah seperti
baju atau yang lainnya. (Raudhatuth Thâlibîn 5/364). Berkaitan
dengan hibah ini, dapat disimpulkan:
1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah
ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepada
penerima hibah.
2. Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;
Hibah ini disyariatkan Allâh Azza wa Jalla sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah serta sudah menjadi kesepakatan para
Ulama. Adapun dalil dari al-Qur`an adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَآتُوا النِّسَاءَ
صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya [An-Nisâ’/4:4].
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menghalalkan memakan sesuatu yang
berasal dari hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh. Sedangkan dalam
sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali,
diantaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَهَادُوْا تَحَابَوْا
Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR.
Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai
sahih oleh al-Albâni dalam kitab al-Irwa’, no. 1601]. Demikian juga
sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
العائِدُ في هِبَتِهِ
كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat
kembali muntahnya [HR. Al-Bukhâri].
Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini menunjukkan secara
tegas bahwa hibah ini disyari’atkan. Demikian telah ada ijma’ atas
pensyariatannya. [Lihat Durar al-Hukâm Syarh Majallâh al-Ahkâm,1/396].
Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki
empat rukun yaitu orang yang memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb
lahu), benda yang diberikan (al-mauhûb) dan tanda serah terima (shighat).
(lihat Mughni al-Muhtâj, 2/397 dan Kasyâf al-Qanâ’ 4/299).
Sedangkan mazhab Hanafiyah memandang rukunnya hanya satu yaitu shighat saja.
(lihat al-Mabsûth 12/57 dan Badâ’i ash-Shanâ’i 6/115).
1. Pemberi (al-Wâhib)
Dalam hibah disyaratkan al-Waahib beberapa
syarat berikut:
1. Pemberi adalah seorang yang merdeka bukan budak. Pemberian yang
dilakukan oleh seorang budak itu tidak sah. Karena dia dan semua miliknya
adalah milik tuannya. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Seorang
hamba sahaya tidak boleh memberi hibah kecuali dengan izin tuannya, karena dia
adalah milik tuannya. Diperbolehkan bagi sang budak menerima hibah tanpa izin
tuannya.” (al-Mughni 8/256).
2. Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al-hajr) karena kurang akal atau gila.
3. Pemberi telah mencapai usia baligh.
4. Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.
[diringkas dari al-Fiqhul Muyassar, hlm 297-298 dan lihat lebih lengkap pada Badâ’i ash-Shanâ’i 6/118; al-Qawânîn al-Fiqhiyah hlm 315; Mughni al-Muhtâj 2/397; al-Mughni 4/315].
2. Penerima Pemberian (al-Mauhûb lahu). Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah, sehingga hibah bisa saja diberikan kepada siapapun dengan pengecualian yaitu :Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari mereka.
2.Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub). Diantara syarat-syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah:
- Barangnya jelas ada pada saat dihibahkan. Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, ‘Tidak sah hibah janin yang ada dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Abu Tsaur rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249).
- Barang yang dihibahkan sudah diserah terimakan. inilah pendapat mayoritas Ulama. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang diberi hibah tidak bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah serah terima.” [al-Majmû’, Syarhul Muhadzdzab, 16/351].
3. Benda yang dihibahkan adalah milik orang yang memberi hibah. Tidak boleh menghibahkan milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Syarat ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.
1. Shighat. Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yaitu shighat perkataan (lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat perbuatan seperti penyerahan tanpa ada ijab dan qabul. Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu mu’tabar (diperhitungkan), namun mereka berselisih tentang shighat perbuatan atau al-mu’athah dalam dua pendapat. Mayoritas para Ulama mensyaratkan adanya ijab dan qabûl dalam hibah, sedangkan mazhab Hanabilah memandang al-mu’athah (serah terima tanpa didahulu kalimat penyerahan dan penerimaan-red) dalam hibah itu juga sah selama menunjukkan adanya serah terima, dengan alasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau pada zaman dahulu juga memberikan hibah dan menerimanya. Namun tidak dinukilkan dari mereka adanya syarat ijab dan qabûl dan sejenisnya, sehingga tetap diberlakukan semua bentuk shighat boleh dalam hibah. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis kitab al-Fiqhul Muyassar [Lihat, hlm. 296].
Telah dijelaskan bahwa akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi kepermanenannya melalui dua fase:
1. Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum binti Abu Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:
2. Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al-hajr) karena kurang akal atau gila.
3. Pemberi telah mencapai usia baligh.
4. Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.
[diringkas dari al-Fiqhul Muyassar, hlm 297-298 dan lihat lebih lengkap pada Badâ’i ash-Shanâ’i 6/118; al-Qawânîn al-Fiqhiyah hlm 315; Mughni al-Muhtâj 2/397; al-Mughni 4/315].
2. Penerima Pemberian (al-Mauhûb lahu). Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah, sehingga hibah bisa saja diberikan kepada siapapun dengan pengecualian yaitu :Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari mereka.
2.Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub). Diantara syarat-syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah:
- Barangnya jelas ada pada saat dihibahkan. Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, ‘Tidak sah hibah janin yang ada dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Abu Tsaur rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249).
- Barang yang dihibahkan sudah diserah terimakan. inilah pendapat mayoritas Ulama. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang diberi hibah tidak bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah serah terima.” [al-Majmû’, Syarhul Muhadzdzab, 16/351].
3. Benda yang dihibahkan adalah milik orang yang memberi hibah. Tidak boleh menghibahkan milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Syarat ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.
1. Shighat. Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yaitu shighat perkataan (lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat perbuatan seperti penyerahan tanpa ada ijab dan qabul. Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu mu’tabar (diperhitungkan), namun mereka berselisih tentang shighat perbuatan atau al-mu’athah dalam dua pendapat. Mayoritas para Ulama mensyaratkan adanya ijab dan qabûl dalam hibah, sedangkan mazhab Hanabilah memandang al-mu’athah (serah terima tanpa didahulu kalimat penyerahan dan penerimaan-red) dalam hibah itu juga sah selama menunjukkan adanya serah terima, dengan alasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau pada zaman dahulu juga memberikan hibah dan menerimanya. Namun tidak dinukilkan dari mereka adanya syarat ijab dan qabûl dan sejenisnya, sehingga tetap diberlakukan semua bentuk shighat boleh dalam hibah. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis kitab al-Fiqhul Muyassar [Lihat, hlm. 296].
Telah dijelaskan bahwa akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi kepermanenannya melalui dua fase:
1. Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum binti Abu Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:
لَمَّا تَزَوَّجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَ لَهَا: إِنِّي قَدْ
أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَّ مِنْ مِسْكٍ، وَلَا أَرَى
النَّجَاشِيَّ إِلَّا قَدْ مَاتَ، وَلَا أَرَى إِلَّا هَدِيَّتِي مَرْدُودَةً
عَلَيَّ، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ فَهِيَ لَكِ» ، قَالَ: وَكَانَ كَمَا قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرُدَّتْ عَلَيْهِ هَدِيَّتُهُ،
فَأَعْطَى كُلَّ امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ أُوقِيَّةَ مِسْكٍ، وَأَعْطَى أُمَّ
سَلَمَةَ بَقِيَّةَ الْمِسْكِ وَالْحُلَّةَ
"Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Salamah
Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi berupa pakaian dan beberapa
botol misk dan saya yakin Najasyi sudah wafat dan hadiahku tersebut akan
dikembalikan kepadaku. Apabila dikembalikan kepadaku maka itu menjadi milikmu.”
Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan terjadilah seperti yang
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dan dikembalikan hadiahnya
kepada Beliau, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan setiap
istrinya sebotol minyak misk dan memberikan sisa minyak misk dan pakaian kepada
Ummu Salamah [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, namun hadits ini dihukumi lemah
oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 1620].
Juga karena hibah adalah akad tabarru’ (nirlaba),
seandainya sah tanpa serah terima, tentulah yang diberi hibah memiliki hak
untuk menuntut pemberi hibah agar menyerahkan hadiah tersebut kepadanya,
sehingga menjadi seperti akad dhamân (ganti rugi). Ini tidak
sesuai. Ditambah lagi penarikan hibah sebelum terjadi serah terima
menunjukkan si pemberi hibah tidak ridha dengan pemberian
tersebut. Apabila dipaksa harus menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan
harta tanpa keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu
sendiri.
2. Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana dilarang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
2. Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini bersifat permanen dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana dilarang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
العائِدُ في هِبَتِهِ
كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat
kembali muntahnya [HR. Al-Bukhâri]. Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
لا يَحِلُّ لِرَجُلِ أنْ
يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أوْ هِبَةً، ثُمَّ يَرْجِعَ فِيهَا، إِلا الْوَالِدَ فِيمَا
يُعْطِي وَلَدَهُ
Tidak diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau
hibah kemudian ia menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua
kepada anaknya. [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Dawud. Hadits ini dinilai
shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi,
no. 2775]. Dengan demikian jelaslah setelah serah terima, hibah menjadi milik
yang diberi dan dilarang menarik kembali. Demikian beberapa hukum berkenaan
dengan hibah dalam fikih Islam, semoga Allâh memberikan manfaat kepada kaum
Muslimin dengan pembahasan singkat ini.
[Disalin kembali dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XIX/1437H/2016M. Dengan beberapa penyesuaian kecil).
******************************
Kontributor:Ustadh Kholid Syamhudi, Lc; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
******************************