Dalam Islam, zakat menduduki posisi
yang sangat penting. Zakat tidak saja menjadi rukun Islam, tetapi juga menjadi
indikator dan penentu apakah seseorang itu menjadi saudara seagama atau tidak.
Maksudnya, bila seorang muslim telah kena wajib zakat, tetapi tidak mau
berzakat, maka ia bukan lagi saudara seagama. Hal ini secara tegas
dikemukakan Al-Qur’an, “Jika mereka bertaubat, mengerjakan shalat dan
mengeluarkan zakat, barulah mereka menjadi saudaramu seagama”. (QS.5:8). Dengan
demikian, orang yang mengabaikan kewajiban zakat, sesungguhnya telah melakukan
keingkaran dan kedurhakaan besar kepada Allah. Karena itulah, ketika di masa
Abu Bakar ada sebagian kaum muslimin yang mengaku muslim dan rajin shalat,
tetapi enggan membayar zakat, Abu Bakar dengan nada marah mengeluarkan statemen
yang artinya: Demi Allah, aku akan perangi siapa yang memisahkan shalat
dengan zakat.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa
barang siapa yang melaksanakan shalat, tapi enggan membayar zakat, maka tidak
ada shalat baginya. Begitu eratnya keterkaitan shalat dan zakat, sehingga Ibnu
Katsir mengatakan dalam Tafsirnya, (Amal seseorang itu tidak bermanfaat,
kecuali dia menegakkan shalat dan menunaikan zakat sekaligus). Menurut Sayyid
Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, di dalam Al-Qur’an perintah shalat dan
zakat digandengkan sampai 82 kali. Ini menunjukkan bahwa shalat dan zakat tidak
bisa dipisahkan dalam kegiatan amal seorang muslim. Shalat merupakan ibadah
badaniyah sedangkan zakat merupakan ibadah maliyah. Shalat
merupakan hubungan vertikal kepada Allah, sedangkan zakat lebih bersifat
horizontal dan sosial.
Dalam rangka memotivasi dan membangun
masyarakat yang taat zakat, Islam tidak hanya mengumumkan punishment
(azab) yang sangat keras bagi penolakannya (QS. 9:35, 41:7) dan
memberikan reward (jaza’) yang sangat besar bagi
yang melaksanakannya. (QS. 30:39, 9:19), lebih dari itu, berbagai credit
point, termasuk garansi dicurahkannya keberkahan dan pelipatgandaan asset
bagi orang-orang yang membayar zakat (QS. 267).
Amil Zakat
Amil adalah salah satu institusi yang
berhak mengelola zakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah at-Taubah 60
dan 103. ‘Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
dihatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah. Dan Allah lagi Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’(QS.9:60).
‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui’.
Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan
bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah
orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan
dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari
orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang
mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam
Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa ‘amil
itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk
mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari
para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Karena itu, Rasulullah saw pernah
mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk
mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke
Yaman untuk menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw
pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelaskan ajaran Islam
secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zasat. Demikian pula
yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka
selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan
maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki
kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada
mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal
karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat
otoritatif (ijbari).
Mengapa berzakat ke lembaga pengelola
zakat ?
Pengelolaan zakat oleh lembaga
pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki
beberapa keuntungan, antara lain :
Pertama : Untuk menjamin
kepastian dan disiplin pembayar zakat.
Kedua : untuk menjaga perasaan rendah
diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari
para muzakki.
Ketiga : Untuk mencapai
efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat
menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
Keempat : Untuk memperlihatkan
syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.
Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik,
meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi disamping akan
terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga HIKMAH dan FUNGSI ZAKAT TERUTAMA
YANG BERKAITAN DENGAN KESEJAHTERAAN UMAT AKAN SULIT DIWUJUDKAN
Kelima, untuk lebih
mewujudkan tujuan zakat dalam mengentaskan kemiskinan ummat secara modern
(manajemen modern).
Harus disadari, bahwa pelaksanaan zakat
bukanlah semata-mata diserahkan kepada muzakki saja, akan
tetapi tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya dilakukan oleh amilin (QS.
9; 60 dan 103). Zakat bukan pula sekedar memberikan bantuan yang bersifat
konsumtif kepada para mustahiq, akan tetapi lebih jauh dari itu,
untuk meningkatkan kualitas hidup para mustahik, terutama fakir
miskin atau kualitas sumber daya muslim, misalnya untuk pendidikan. Karena itu
amil zakat harus meningkatkan profesionalisme kerjanya hingga menjadi amil yang
amanah, jujur, sungguh-sungguh mengerti tugas masalah amil zakat dan kapabel
dalam melaksanakan tugas keamilan (QS. 23; 8).
Pada sisi pengumpulan banyak aspek yang
harus dilakukan seperti penyuluhan yang berkaitan dengan proses penyadaran
kewajiban, penjelasan tentang al-amwal az-zakawiyah cara
membayarnya dan sebagainya. Segala sarana dan media harus dimanfaatkan secara
optimal mulai dari media khutbah jum’at, majlis ta’lim, seminar, dan
sebagainya. Aspek lainnya yang juga penting dilakukan adalah pengumpulan dan
pengolahan data muzakki di lingkungannya untuk kemudian
dilakukan klasifikasi, komunikasi, korespondensi, penagihan, dan
sebagainya. Formulir yang praktis dan mudah harus dilakukan.
Pada sisi pendayagunaan, banyak aspek
yang perlu dilakukan, seperti pengumpulan dan pengolahan data mustahik untuk
menentukan apakah zakat konsumtif yang disalurkan atau zakat produktif. Jika
jumlah mustahiknya banyak sementara zakat yang terkumpul sedikit,
maka perlu dilakukan skala prioritas, demikian pula aspek pelaporan yang
transparan dan jelas harus dilakukan untuk menimbulkan kepercayaan dan
ketenangan hati para muzakki. Untuk melakukan tugas-tugas yang
berat tersebut diperlukan lembaga profesional, yaitu lembaga amil yang dikelola
dengan manajemen modern oleh orang-orang yang profesional pula. Para muzakki
secara individu hampir tidak mungkin melakukan tugas-tugas dan tersebut
dengan baik)
Oleh : Ustadh DR. Agustianto Mingka, MA .Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com454)
=================
* DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil
Sekjen MES Pusat, Tim Kerja OJK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan
Keuangan Islam di Beberapa Universitas serta Trainer di Iqtishad Consulting
* Ust. Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF, Alumnus
Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis
dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic
Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares,
MTEC dan Darul Quran Mina.