Skip to main content

Penanggulangan Kemiskinan



Penanggulangan Kemiskinan


Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajarnya baru menyigsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya al-Qur’an merumuskannya dengan kata-kata “memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin” atau dengan “mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah”, “memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan”, “membayar zakat” dan rumusan lainnya.

Memberi makan orang miskin yang meliputi juga memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebuthan pokoknya adalah merupakan realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah). Al-Qur’an tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu’min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.

"Tangkap dan borgol mereka, kemudian lemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala, dan belit dengan rantai tujuh puluh hasta ! Mengapa mereka dihukum dan disiksa secara terang-terangan itu? Oleh karena mereka ingkar kepada Allah yang Maha Besar dan tidak menyuruh memberi makan orang-orang miskin." (QS 69:30-34). Dalam surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim;
“Tidak, tetapi kalian tidak tidak menghormati anak yatim dan tidak saling mendorong memberi makan orang miskin”. (QS 89:17-18)
Demikian pula pada surat Al Ma’un dimana dikatakan; “orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin” dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang
miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya.

Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat : 19-20: “Dalam kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan orang-orang yang hidup berkekurangan”. Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tsb. Penerima tidak bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al Ma’arif (QS 70:19-25). 
Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnatyang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan dalam ayat-ayat Makiyah seperti pada surat : Ar Rum:38-39, An Naml:1-3, Luqman:4, Al Mu’minun:4, Al A’raf:156-157, dan Fushshilat : 6-7. Walau Al-Qur’an sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya. 

Potensi zakat yang dimiliki umat muslim sangatlah besar, andai zakat itu mampu terkumpul dan dikelola dengan baik, maka mampu menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia. Berbagai tantangan yang berat tengah dihadapi bangsa yang memiliki jutaan penduduk ini. Problematika tersebut diantaranya ancaman defisit APBN terkait dengan permasalahan subsidi BBM dan anjloknya nilai tukar rupiah. Tentu saja, hal tersebut langsung mengancam kesejahteraan rakyat.

Negara bisa mendayagunakan zakat untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya saja melalui diklat kewirausahaan, ketrampilan, atau bahkan pendidikan. Dalam pendayagunaan, ada beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dan dilakukan oleh lembaga amil zakat, misalnya memilah ke dalam tiga kegiatan besar yakni pengembangan ekonomi, pembinaan SDM, pendidikan, dan ekonomi.
Zakat bisa dioptimalkan dengan baik dan tentunya mempermudah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Walau tak bisa dipungkiri, butuh waktu bertahap dan panjang untuk menyelesaikan problematika ini. Langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisir angka kemiskinan adalah penyesuaian angka kemiskinan yang mampu mendukung pemenuhan kebutuhan dasar manusia sesuai dengan harga pasar yang berlaku, pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang selektif, baik yang melalui bantuan tunai maupun nontunai yang bersifat produktif.
Jadi sifatnya tak hanya memberikan bantuan saja. Tetapi upayakan bantuan yang diberikan masyarakat itu bisa terus berputar untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka. Indonesia sebagai negara agraris seharusnya bisa menjadikan kedaulatan pangan sebagai faktor penentu dan solusi strategis untuk mengurangi angka kemiskinan. Tercapainya ketahanan dan kedaulatan pangan tidak hanya mempengaruhi perkembangan sektor industri pangan dari hulu ke hilir tapi juga secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sebagai konsumen dari pangan itu sendiri. 

Persoalan pengentasan kemiskinan selalu menjadi isu sentral yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dengan menggulirkan program-program pengentasan kemiskinan. Sudahkah Indonesia berhasil mengentaskan kemiskinan? Perlu menjadi perhatian serius bahwa angka kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Profil Kemiskinan di Indonesia pada Maret 2016 mencapai 10,86 persen dari total penduduk Indonesia. Memang angka tersebut turun 0,36 persen dari tahun sebelumnya, namun sejatinya masih terdapat 28,01 juta penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan di bawah garis kemiskinan versi BPS, yakni rata-rata sebesar Rp 354.386,00 per kapita per bulan. Jika pengukuran dilakukan dengan standar batas kemiskinan global yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, yang setara dengan USD 1,9 per kapita per hari maka angka kemiskinan akan semakin besar. Berikutnya BPS mencatat per september 2016 jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 27.76 juta. Di tahun 2017 jika dilihat dari segi persentase, penduduk miskin turun 0,06 poin dari 10,70 persen di tahun 2016, per maret 2017 menjadi 10,64 persen. Namun jika dilihat secara kuantitas per maret 2017 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan menjadi 27.77 juta penduduk. Ini berarti upaya pengentasan kemiskinan perlu terus ditingkatkan agar tercapai berkurangnya jumlah penduduk miskin secara signifikan. Berdasarkan riset BAZNAS dan Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) IPB menunjukkan bahwa potensi zakat nasional setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 217 triliun. Namun potensi tersebut baru terserap sebanyak Rp 2,14 miliar. Hal ini tentu disebabkan oleh banyak hal, diantaranya selain terkait kesadaran masyarakat dalam membayar zakat juga masih ada masyarakat yang berstatus muzaki belum mau menyalurkan zakat ke lembaga Pengelola Zakat (LPZ) karena cenderung membayarkan zakatnya langsung kepada mustahik, dikarenakan adanya ketidakpercayaan terhadap profesionalisme LPZ atau belum mengetahui keberadaan LPZ setempat, meskipun LPZ telah berupaya sosialisasi. Konsepsi zakat sebagai satu bagian dari rukun Islam merupakan salah satu pilar dalam membangun perekonomian umat. Dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat adalah komponen utama dalam sistem keuangan publik serta kebijakan fiskal utama dalam sistem ekonomi islam. Zakat merupakan kegiatan wajib bagi semua umat Islam serta merupakan salah satu elemen dalam sumber penerimaan negara dan distribusinya ditujukan kepada delapan golongan penerima zakat(mustahik) diantara yang paling diutamakan adalah fakir miskin. Di Indonesia pengelolaan zakat telah diudangkan, yaitu melalui Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang tersebut bahwa pengelolaan zakat meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Sedangkan tujuan pengelolaan zakat yang diatur dalam UU tersebut antara lain: 1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelola zakat dan 2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan Pada saat ini terdapat dua badan/lembaga yang diakui pemerintah dalam pengelolaan zakat, yaitu BAZ dan LAZ. Dengan demikian peran BAZ dan LAZ dalam pengelolaan zakat dituntut untuk bisa profesional sehingga apa yang menjadi tujuan pengelolaan zakat sebagaimana diatur dalam UU tersebut bisa tercapai secara optimal. Langkah Strategis Dalam rangka mengoptimalkan capaian pengumpulan zakat dapat ditempuh tiga langkah penting sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat dalam berzakat dan membangun reputasi yang baik bagi LPZ. Sehingga diharapkan trust masyarakat meningkat dan menyalurkan zakatnya melalui BAZ maupun LAZ.

Pertama. Optimalisasi sosialisasi dan edukasi tentang zakat. Hal ini perlu dilakukan oleh kaum muslimin secara bersama-sama, baik para ulama, tokoh masyarakat, para pakar dan masyarakat umum melalui pendidikan formal maupun non formal baik melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah, perkuliahan, seminar, kajian khusus, berbagai media, ceramah-ceramah dan lain sebagainya. Kedua. Pengelolaan zakat yang profesional. Upaya terus menerus perlu dilakukan Lembaga Pengelola Zakat baik BAZ maupun LAZ dalam meningkatkan tata kelola yang baik meliputi transparancy(transparansi), accountability(akuntabilitas), responsibility (tanggung jawab), independency (kemandirian), dan fairness (keadilan atau kesetaraan). Dalam hal ini peran pemerintah dalam bentuk mengeluarkan regulasi-regulasi yang mendukung tentu juga sangat dibutuhkan. Ketiga. Pendayagunaan Zakat yang tepat sasaran dan kemanfaatan. Program Pendayagunaan zakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berperan dalam pengentasan kemiskinan. Selain program-program dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar juga perlu ditingkatkan program-program edukatif dan pemberdayaan ekonomi produktif/kewirausahaan. Lebih memberikan kail dari pada umpan, sebagai upaya menjadikan status dari mustahik ke muzakki. Dalam hal ini perlunya menggandeng untuk pendampingan dari para akademisi, pengusaha, trainer, coach, pihak kementrian terkait, fasilitasi kepada pihak lembaga keuangan dan perbankan syariah serta pihak-pihak yang mungkin bisa dilibatkan dalam proyek pengentasan kemiskinan.

****************************

Kontributor: Abu Mujahid, Sabeth Abilawa; Arif Rahman Prasetya; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th