Perkembangan dan Potensi Zakat di Indonesia
Zakat merupakan salah satu tiang utama
ajaran Islam yang memiliki keunikan tersendiri, selain merupakan rukun Islam
yang memiliki dimensi ibadah yang kuat, pengaruh zakat juga sangat besar dalam
aktifitas sosial ekonomi kemasyarakatan. Zakat merupakan suatu mekanisme yang
mengontrol keseimbangan atau stabilitas dalam dinamika masyarakat, baik secara
ekonomi maupun secara sosial. Zakat menjaga stabilitas hubungan golongan kaya
dan miskin, sebagai alat sosialisasi bagi setiap individu dalam Islam dan tentu
saja fungsi utamanya berperan sebagai ibadah bagi manusia sesuai dengan
tuntunan Allah SWT
Pendahuluan
Keberadaan zakat sebagai sebuah
instrumen sosial ekonomi, memiliki aspek historis tersendiri pada masa kejayaan
Islam. Zakat sebagai sebuah elemen dalam dimensi perekonomian telah memainkan
peranan penting dalam membentuk aspek fiskal dalam struktur perekonomian sebuah
negara (Timur Quran:1996), bahkan dalam sejarah pemerintahan Islam, bagi
individu yang tidak membayar zakat, dianggap telah melakukan kejahatan pada
sistim keuangan dalam sebuah pemerintahan. Aspek inilah yang telah digambarkan
dengan tinta emas sejarah peradaban Islam mulai dari khalifah yang agung Abu
Bakar Siddiq yang telah memberikan aturan pelaksanaan, regulasi dan sistem
dalam pemungutan zakat (Ugi Suharto: 2005), sampai pada khalifah “kelima” Umar
bin Abdul Aziz yang telah melengkapi aspek pelaksanaan zakat, sehingga
menghasilkan sistem yang aplikatif dalam menghasilkan tujuan sosial ekonomi
syariah dari zakat sendiri.
Pengalaman sejarah 14 abad yang lalu
seharusnya telah membentuk sebuah sistem dan kerangka sosial ekonomi syariah
masyarakat yang kuat dan tangguh pada masa setelah kejayaan pemerintahan Islam
(Mohd Yussof: 2004). Pada kenyataan terjadi sebaliknya, negara-negara Islam
khususnya Indonesia justru mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem
dan pola yang ditawarkan oleh sistem ekonomi dan keuangan konvensional. Tidak
heran jika jumlah hutang luar negeri Indonesia sangat besar dan inilah kemudian
yang menyebabkan terjadinya proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor
terhadap Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk keluar dari
perangkat hutang tersebut. Padahal, solusi penyelesaiannya sebenarnya
tergantung dari kemauan kita untuk bisa lepas dari hutang dan ketergantungan
terhadap asing dengan cara membangun fundamental ekonomi yang kuat dengan
mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat, sehingga nantinya akan tercipta
sistim ekonomi dan keuangan yang lebih mandiri.
Kegagalan instrument fiskal
konvensional di era otonomi daerah ini telah memberi andil bagi besarnya angka
kemiskinan di Indonesia. Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih
besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin
adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama
perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4%
dengan garis kemiskinan US$1 sehari. Namun jika garis kemiskinan dinaikkan
menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar
114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia,
Vietnam, dan Kamboja.
Ilustrasi di atas memberikan gambaran
betapa potensi ekonomi umat yang terdapat dalam zakat tidak lagi hidup di
tengah-tengah masyarakat. Zakat hanya diartikan sebagai sebuah kewajiban rutin
yang harus dilaksanakan setiap tahun, tanpa melihat aspek sosial ekonomi,
pemberdayaan, pemanfaatan dan produktivitasnya (M.A. Mannan: 1994). Kesadaran
inilah yang harus dihidupkan kembali di tengah umat. Definisi zakat sebagai
harta yang tumbuh dan berkembang harus diimplementasikan dalam sebuah kebijakan
yang nyata di lapangan.
Tulisan ini mencoba menggambarkan
potensi zakat yang tersembunyi dari beberapa kota besar di Indonesia dan juga
secara nasional, beberapa data diambil dari BPS, BI, BKPM dan hasil penelitian
sebuah lembaga swadaya masyarakat Pirac, tentang potensi zakat di sepuluh kota
besar di Indonesia.
Sejarah Kegemilangan Ekonomi Negara
Islam
Keberhasilan pengelolaan zakat dan
wakaf telah dibuktikan pada masa pemerintahan Rasulullah SAW, Khulafaur
Rasyidin dan juga Khilafah di zaman dinasti Islam lainnya. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz, tidak ditemukan lagi
masyarakat yang layak untuk menerima zakat, karena semua telah mampu
menjadi muzakki, sehingga zakat yang ada dibagikan kepada masyarakat di negara
lain.
Keberhasilan zakat tidak hanya terjadi
pada masa keemasan dinasti Islam, namun juga dapat dibuktikan sampai dengan
saat ini. Demikian juga halnya dengan wakaf. Di negara-negara Arab yang
telah mengelola wakaf secara profesional, wakaf berkembang sedemikian pesat,
sehingga hasil yang dapat kita lihat antara lain sekolah Al Azhar yang ada di
Kairo. Di Indonesia sendiri wakaf banyak dikembangkan dalam bentuk Yayasan.
Salah satunya adalah yayasan pondok pesantren Gontor.
Kuran (2001) menyebutkan bahwa wakaf
dalam Islam muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk
memberikan keamanan bagi pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial
yang diberikan. Penelitian yang dilakukan di Timur Tengah ini juga mencatat
bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan
public goods dengan cara yang tidak sentralistik. Penelitian lain tentang wakaf
diungkapkan oleh R.D McChesney (1991) yang menulis buku hasil penelitiannya
tentang kegiatan wakaf di Asia Tengah selama 400 tahun. Disebutkan bahwa wakaf
telah menjadi pusat penting kehidupan umat Islam sehari-hari dalam kurun waktu
yang lama. Banyak peran yang telah dijalankan oleh institusi wakaf ini, seperti
membangun lembaga-lembaga keagamaan, kultural dan kesejahteraan dan menjadi
sarana sah dalam menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bagaimana
peran wakaf berfluktuasi sejalan dengan sikap pemerintah sebagai penguasa.
Pada saat sebagian besar negara-negara
muslim dibawah kekuasaan penjajahan Barat, suasana suram menyelimuti institusi
wakaf di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, terlihat kemunduran yang
signifikan di dunia muslim. Namun kondisi segera berubah dengan
merdekanya sebagian negara muslim pada abad ke-20. Kemerdekaan ini serta merta
membawa perubahan besar pada manajemen pengelolaan wakaf di negara-negara
tersebut. Sebagai contoh sejumlah harta wakaf di Syria, Mesir, Turki, Tunis dan
Aljazair dialihkan menjadi harta publik yang diawasi oleh negara dan
didistribusikan melalui land reforms dan lainnya. Beberapa negara
menciptakan Undang-undang wakaf dan mendirikan departemen wakaf untuk memajukan
institusi tersebut di negaranya. Dari sejumlah paparan di atas, jelas terlihat
bahwa wakaf berperan signifikan dalam menentukan maju atau mundurnya suatu
komunitas masyarakat.
Perkembangan Institusi Zakat di
Indonesia
Semenjak tahun 1999 Indonesia telah
memiliki Undang-Undang tentang zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999, secara
substansi UU tersebut memberikan aturan dan pola hubungan antara lembaga zakat
baik yang dikelola masyarakat ataupun oleh pemerintah. Secara jujur harus
diakui, enam tahun pasca UU zakat tersebut disahkan, perkembangan pengelolaan
dana zakat dan pemanfaatanya dirasakan belum optimal, jika dilihat dari potensi
yang dimilikinya. Secara kuantitatif, terjadi peningkatan yang cukup signifikan
jumlah badan pengelola zakat baik yang dikelola pemerintah maupun swasta
seperti ;Baznas, Bazda dan laz yang dikelola pihak swasta.
Ada beberapa catatan kritis yang bisa
dijadikan masukan untuk mengevaluasi perkembangan institusi zakat dalam rangka
peningkatan peran dan kontribusi zakat dalam perekonomian nasional.
Pertama, Sistem zakat yang ada
masih bersifat sukarela (voluntary zakat system), terlihat jelas pada
pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sebaiknya sistem zakat diusahakan untuk
berada pada posisi wajib (obligatory zakat system), sehingga zakat akan
berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi.
Kedua, selama ini sistem dan mekanisme yang
masih dibawah otoritas Departemen Agama. Sebaiknya zakat harus berada dalam
otoritas ekonomi pemerintah seperti menteri keuangan atau lembaga keuangan yang
ditunjuk oleh pemerintah, sehingga akan menjadikan zakat sebagai instrumen
ekonomi, dengan demikian efektifitasnya akan lebih terasa ketika zakat
benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi.
Jika paradigma diatas bisa dijadikan
instrument pengelolaan zakat diindonesia, sangat diyakini bahwa peran zakat
dalam perekonomian nasional akan semakin signifikan. Sebab dengan menjadikan
zakat sebagai kewajiban bagi masyarakat dan zakat sebagai alat kebijakan
ekonomi pemerintah, diyakini zakat akan berkembang menjadi sumber pendanaan
baru bagi pemerintah, dengan tidak menghilangkan ketentuan syariah yang
terkandung didalamnya.
Potensi Zakat di Indonesia
Berbicara mengenai potensi zakat, ada
banyak pendapat terkait dengan hal ini. Setiap pihak memberikan prediksi
dan ekspetasi masing-masing. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Sudewo
(Republika,2006) tentang Buaian potensi zakat. Pendapat pertama berasal
dari mantan menteri agama, Said Agil Munawar yang menyatakan potensi zakat Rp.
7 Trilyun per tahun. Pendapat kedua, PIRAC memprediksi bahwa potensi nilai
zakat sebesar 9 Trilyun per tahun. Pendapat yang ketiga berasal dari PBB
UIN yang menegaskan bahwa perolehan zakat bisa mencapai 19 Trilyun per tahun.
Sementara itu, menurut Sudewo sendiri,
dengan menggunakan angka jumlah penduduk dan melakukan simulasi terhadap jumlah
penduduk muslim yang kaya mencoba melakukan proyeksi terhadap tiga skenario
potensi. Skenario pertama, potensi zakat sebesar 10,8 Trilyun per bulan.
Skenario kedua potensi zakat mencapai 21,6 Trilyun dan skenario ketiga potensi
zakat sebesar 32,4 Trilyun. Perkiraan potensi lainnya dilakukan oleh Nasution
(2006), dengan menggunakan data GDP Indonesia dan dengan asumsi bahwa
penguasaan asset ummat muslim sebesar 20 persen dari total GDP dan besaran
zakat sebesar 2,5 persen maka potensi zakat adalah sebesar 7,5 s.d 8,7
Trilyun rupiah.
Tabel 1. PDB Indonesia dan Perhitungan
Potensi Zakat [3]
Tahun
|
PDB
(milyar)
|
Potensi
Zakat (Trilyun)
|
2002
|
1,505,216
|
7,5
|
2003
|
1,577,171
|
7,9
|
2004
|
1,656,826
|
8,3
|
2005
|
1,749,547
|
8,7
|
Sumber: BPS, dalam Nasution
(2006)
Jika, semua perkiraan potensi yang ada
ini dibandingkan dengan data PDB tahun 2005, maka kita lihat komposisi potensi
zakat/PDB 2005 sekitar 0,4 s.d 1,85 %. Data selengkapnya tertera pada Tabel 2.
di bawah ini.
Tabel 2. Share Estimasi Potensi Zakat
terhadap Total PDB 2005
Item
|
Jumlah
zakat (Rp Trilyun)
|
PDB
2005
|
Rasio
zakat/PDB 2005
|
Potensi
1
|
7
|
1,749,547
|
0,40
|
Potensi
2
|
9
|
1,749,547
|
0,51
|
Potensi
3
|
19
|
1,749,547
|
1,09
|
Potensi
4
|
10,8
|
1,749,547
|
0,62
|
21,6
|
1,749,547
|
1,23
|
|
32,4
|
1,749,547
|
1,85
|
|
Potensi
5
|
8,7
|
1,749,547
|
0,50
|
Sumber data: BPS (2005), Republika
(2006) dan Nasution (2006), diolah
Keterangan:
-Potensi 1 berdasarkan estimasi yang
dilakukan oleh mantan Menteri Agama Said Agil Munawar
-Potensi 2 berdasarkan estimasi yang
dilakukan oleh PIRAC
-Potensi 3 berdasarkan estimasi yang
dilakukan oleh PPB UIN
-Potensi 4 berdasarkan estimasi yang
dilakukan oleh Sudewo, Eri (2006)
-Potensi 5 berdasarkan estimasi yang
dilakukan oleh Nasution, Mustafa (2006)
Berdasarkan data estimasi potensi zakat
sebagaimana Tabel 2, di atas, terlihat bahwa potensi zakat yang diprediksi
berkisar antara 0,4 sampai dengan 1,85 persen dari total PDB Nasional
berdasarkan harga berlaku tahun 2005, Jika dibandingkan dengan estimasi dan
perhitungan potensi zakat di beberapa negara muslim jumlah ini masih jauh lebih
rendah, Estimasi dan perhitungan potensi zakat di beberapa negara dapat di
lihat pada Tabel 3, di bawah ini,
Tabel 3. Perhitungan Potensi Zakat di
Beberapa Negara Muslim
Negara
|
Potensi
|
Realisasi/Keterangan
|
Mesir
|
6,1%
|
Overestimated
|
Sudan
|
3%
|
Overestimated
|
Syria
|
3%
|
Overestimated
|
Sumber: Khaf (1999), diolah
Implementasi zakat di beberapa negara
muslim menunjukkan bahwa realisasi pengumpulan dana zakat yang terjadi tidak
sebesar potensi yang telah di estimasi, Untuk Kasus Sudan misalnya, angka
estimasi menunjukkan potensi zakat sebesar 3 persen dari total GDP, namun
realisasi menunjukkan bahwa realisasi zakat di Sudan hanya sebesar 0,3 sampai
dengan 0,5 persen, Demikian halnya dengan negara-negara muslim lainnya,
Secara umum, implementasi zakat di beberapa negara menunjukkan
realisasi zakat tidak melebihi dari 1% GDP, rata-rata berkisar 0,3 sampai
dengan 0,6 persen, Selengkapnya terlihat dari Tabel 4, berikut:
Tabel 4. Realisasi Zakat di Beberapa
Negara Muslim
Negara
|
Realisasi/Keterangan
|
Arab
Saudi
|
0,4%-0,6%
|
Yaman
|
0,4%
|
Pakistan
|
0,3
%
|
Sudan
|
0,3
% – 0,5 %
|
Lainnya
|
0,4%
– 0,5 %
|
Sumber: Khaf (1999), diolah
Tidak berbeda dengan kondisi di
beberapa negara muslim di atas, implementasi pengumpulan zakat pun masih jauh
dari potensi yang diperkirakan, Berdasarkan data yang terkumpul dari Forum
Zakat (FOZ), realisasi pengumpulan zakat di Indonesia hanya berkisar 0,009 s,d
0,03 persen, Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan realisasi
pengumpulan zakat di negara-negara muslim, Namun yang menggembirakan adalah
jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, Selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 5, Share Realisasi Zakat Terhadap PDB di bawah ini,
Tabel 5. Share Realisasi Zakat Terhadap
PDB
Item
|
2001
|
2002
|
2003
|
2005
|
Realisasi
(Rp
Juta)
|
39.322,94
|
58.793,01
|
61.791,32
|
250.000
|
%
terhadap GDP
|
0,009%
|
0,012%
|
0,012%
|
0,03%
|
Sumber: FOZ dan BPS berbagai tahun,
diolah
Sebagaimana data realisasi zakat
nasional yang cenderung meningkat maka will masyarakat di daerah untuk membayar
zakat juga cenderung meningkat. Hal ini tercermin dari hasil perhitungan
elastisitas zakat di 10 daerah di Indonesia. Rata-rata elastisitas zakat
terhadap PDRB di 10 daerah tersebut lebih besar dari 1, kecuali Sumatera Barat.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
6. di bawah ini.
Tabel 6. Growth Zakat/Muzakki, PDRB per
Kapita dan Elastisitas[4]
No
|
Propinsi
|
Growth
Zakat/Muzakki*
|
Growth
PDRB/capita
|
Elastisitas
|
1
|
Sumatera
Utara
|
3,186013553
|
2,334483898
|
1,364761417
|
2
|
Sumatera
Barat
|
3,636292794
|
5,249661298
|
0,692671886
|
3
|
DKI
Jakarta
|
3,155441515
|
2,51607297
|
1,254113674
|
4
|
Jawa
Barat
|
2,833826478
|
2,250347929
|
1,259283705
|
5
|
Jawa
Timur
|
2,484818843
|
2,324770396
|
1,06884484
|
6
|
Bali
|
3,327348053
|
2,389244892
|
1,392635834
|
7
|
Kalimantan
Timur
|
4,280946825
|
2,285140201
|
1,873384759
|
8
|
Kalimantan
Barat
|
2,823132195
|
2,502981491
|
1,127907739
|
9
|
Sulawesi
Selatan
|
5,324826418
|
2,324396599
|
2,290842458
|
10
|
Sulawesi
Utara
|
2,717771358
|
2,289176946
|
1,187226424
|
Sumber: PIRAC(2004), BPS (2002 dan
2004), diolah
* Data Growth ini dihitung dari data
zakat/muzakki di sepuluh kota berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC
Berdasarkan hasil perhitungan
elastisitas yang dilakukan terlihat bahwa daerah yang memiliki elastisitas
pertumbuhan terbesar adalah Sulawesi Selatan, Nilai elastisitas 2,29
menunjukkan kenaikan 1 persen GDP/kapita berdampak terhadap kenaikan zakat yang
terkumpul sebesar 2,29 persen. Besarnya elastisitas zakat di daerah ini tidak
terlepas dari besarnya jumlah penduduk muslim di daerah ini. Semakin besarnya
penduduk di daerah ini selaras dengan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya
membayar zakat. Peningkatan elastistas ini juga tidak terlepas dari peran
lembaga amil zakat yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
zakat dan juga peran pemerintah dalam menggerakkan zakat dalam perekonomian.
Salah satu wujud peran pemerintah ini terlihat dari diberlakukannya Perda
khusus tentang kewajiban membayar zakat sebagai instrumen dalam pengentasn
kemiskinnan, di Kabupaten Bulukumba salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan.
Meski demikian, jumlah penduduk yang
mayoritas beragama Islam tidak dapat dijadikan standard besar kecilnya will
untuk membayar zakat. Kasus di Sumatera Barat misalnya. Dengan penduduk
mayoritas beragama Islam, kenaikan PDRB per kapita sebesar 1 persen hanya
berdampak pada peningkatan zakat sebesar 0,69 persen. Hal ini tercermin dari
angka elastisitas sebesar 0.69. Hal yang sama untuk kasus Jawa Timur. Sebagai
salah satu daerah kantong muslim di Indonesia, kesadaran berzakat masyarakat di
daerah ini tidak sebesar masyarakat di daerah Sulawesi Utara dan Bali , yang
notabene bukan daerah kantong muslim.
Elastisitas kedua terbesar setelah
Sulawesi Selatan adalah Kalimantan Timur. Angka elastisitas zakat untuk daerah
ini mencapai 1,87 persen. Dengan nilai elastisitas ini berarti kenaikan
PDRB/capita sebesar 1 persen meningkatkan penerimaan zakat sebesar 1,87
persen per kapita. Besarnya perolehan zakat di daerah ini diduga selain karena
kesadaran masyarakat yang cukup tinggi juga dikarenakan oleh tingkat pendapatan
masyarakat yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di
Indonesia. Hal ini terkait dengan terkenalnya Propinsi Kalimantan Timur sebagai
penghasil migas dan sejumlah barang tambang lainnya.
Untuk daerah lainnya, angka elastisitas
berada pada kisaran 1, 06 sampai dengan 1,4 persen. Secara implisit terlihat
bahwa kenaikan GDP akan meningkatkan penerimaan zakat yang lebih besar.
Peningkatan zakat ini bisa dikarenakan oleh kesadaran masyarakat yang lebih
tinggi untuk berzakat dan juga sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat. Meski
demikian, secara umum realisasi zakat yang terkumpul masih jauh dari yang
diharapkan. Hal ini mencerminkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum
memiliki kesadaran yang lebih baik untuk berzakat. Kondisi ini terlihat dari
angka realisasi zakat nasional yang sangat kecil dibandingkan dengan total GDP
Nasional.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kebijakan
Berdasarkan hasil perhitungan potensi
zakat nasional, realisasi dan juga elastisitas zakat di beberapa daerah
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk membayar zakat belum optimal. Hal
ini terlihat dari kecilnya nilai zakat yang terkumpul relatif terhadap PDB.
Terlebih jika dibandingkan dengan realisasi zakat di rata-rata negara muslim
yang mencapai 0,4 s.d 0,5 persen. Sementara dari hasil perhitungan elastisitas
pertumbuhan zakat terhadap PDRB/kapita menunjukkan bahwa besar kecilnya
elastisitas tidak dipengaruhi oleh kondisi mayoritas penduduk muslim di suatu
daerah. Sebagai contoh untuk kasus Sumatera Barat dengan penduduk muslim yang
berjumlah mayoritas, namun daerah ini memiliki elastisitas yang paling kecil
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Demikian juga halnya dengan daerah
Jwa Timur, yang elastisitasnya lebih kecil dibandingkan dengan Bali dan
Sulawesi Utara.
Di Sulawesi Selatan, angka elastisitas
yang besar menunjukkan selain sebagai daerah mayoritas muslim, kesadaran
masyarakat untuk berzakat relatif lebih tinggi. Faktor lain adalah lembaga LAZ
yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan juga peran
pemerintah untuk menggerakkan zakat dalam perekonomian. Di
Kalimantan Timur, pengaruh kesadaran masyarakat yang besar
dan juga tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi menjadi kombinasi yang
menentukan besarnya elastisitas pertumbuhan zakat di daerah ini.
Sebagai implikasi kebijakan, idealnya
pemerintah lebih serius dalam mengoptimalkan peran zakat sebagai salah satu
sumber penerimaan negara. Untuk mendukung keseriusan ini pemerintah dapat
membuat suatu gerakan nasional yang dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk
berzakat, sebagaimana halnya dengan gerakan keluarga berencana nasional yang
terprogram, terarah dan berkesinambungan. Gerakan ini juga hendaknya didukung
oleh gerakan edukasi masyarakat tentang pentingnya berzakat baik bagi individu,
maupun bagi kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas secara umum.
Tanpa demikian mungkin akan sulit
mewujudkan realisasi zakat untuk mencapai potensinya. Karena sebagaimana kita
lihat gerakan keluarga berencana yang terprogram baru menampakkan hasilnya
setelah 20-30 tahun. Keberhasilan gerakan ini akan menjadikan negara ini
menjadi negara yang mandiri setidaknya dapat menggunakan dana ini dalam
usaha-usaha pengentasan kemiskinan yang selama ini masih menggunakan dana
pinjaman dari luar negeri.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud, ” Sistem Ekonomi
Islam Zakat dan Wakaf ”, UI-Press, Jakarta, 1988
Badan Pusat Statistik, ” Analisis dan
Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005 ”
Badan Pusat Statistika, “Statistik
Indonesia “, 2005
Chapra, Umer, ” The Future of
Economics : An Islamic Perspective ” SEBI, Jakarta, 2001
Khaf, Monzer , “The Performance of
The Institution of Zakah in Theory and Practice” , Kuala Lumpur, 1999
Nasution, Mustafa Edwin, Yusuf Wibisono
” Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan ” , Proceeding Muktamar IAEI ,
Medan, 2005
Nasution, Mustafa Edwin, Zakat
dan wakaf sebagai Pilar dalam Sistem Perekonomian Nasional, 2006
Saidi, Zaim (2004). Kedermawanan Kaum
Muslimin: Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia. Hasil Survey di
Sepuluh Kota”. Pustaka Adina. PIRAC dan Ford Foundation.
*********************************
*********************************
Kontributor: H Mustafa Edwin Nasution, MSc MAE,P, PhD
*H Mustafa Edwin Nasution, SE, MSc, MAEP, PhD, Pengasas BWI, Komisi Ekonomi MUI, DPP MES dan IAEI Pusat dan Dosen UI.
* DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil
Sekjen MES Pusat, Tim Kerja OJK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan
Keuangan Islam di Banyak Universitas serta Trainer di Iqtishad Consulting