Skip to main content

Perkembangan dan Potensi Zakat di Indonesia


Perkembangan dan Potensi Zakat di Indonesia

Zakat merupakan salah satu tiang utama ajaran Islam yang memiliki keunikan tersendiri, selain merupakan rukun Islam yang memiliki dimensi ibadah yang kuat, pengaruh zakat juga sangat besar dalam aktifitas sosial ekonomi kemasyarakatan. Zakat merupakan suatu mekanisme yang mengontrol keseimbangan atau stabilitas dalam dinamika masyarakat, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Zakat menjaga stabilitas hubungan golongan kaya dan miskin, sebagai alat sosialisasi bagi setiap individu dalam Islam dan tentu saja fungsi utamanya berperan sebagai ibadah bagi manusia sesuai dengan tuntunan Allah SWT

Pendahuluan
Keberadaan zakat sebagai sebuah instrumen sosial ekonomi, memiliki aspek historis tersendiri pada masa kejayaan Islam. Zakat sebagai sebuah elemen dalam dimensi perekonomian telah memainkan peranan penting dalam membentuk aspek fiskal dalam struktur perekonomian sebuah negara (Timur Quran:1996), bahkan dalam sejarah pemerintahan Islam, bagi individu yang tidak membayar zakat, dianggap telah melakukan kejahatan pada sistim keuangan dalam sebuah pemerintahan. Aspek inilah yang telah digambarkan dengan tinta emas sejarah peradaban Islam mulai dari khalifah yang agung Abu Bakar Siddiq yang telah memberikan aturan pelaksanaan, regulasi dan sistem dalam pemungutan zakat (Ugi Suharto: 2005), sampai pada khalifah “kelima” Umar bin Abdul Aziz yang telah melengkapi aspek pelaksanaan zakat, sehingga menghasilkan sistem yang aplikatif dalam menghasilkan tujuan sosial ekonomi syariah dari zakat sendiri.

Pengalaman sejarah 14 abad yang lalu seharusnya telah membentuk sebuah sistem dan kerangka sosial ekonomi syariah masyarakat yang kuat dan tangguh pada masa setelah kejayaan pemerintahan Islam (Mohd Yussof: 2004). Pada kenyataan terjadi sebaliknya, negara-negara Islam khususnya Indonesia justru mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pola yang ditawarkan oleh sistem ekonomi dan keuangan konvensional. Tidak heran jika jumlah hutang luar negeri Indonesia sangat besar dan inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor terhadap Indonesia sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk keluar dari perangkat hutang tersebut. Padahal, solusi penyelesaiannya sebenarnya tergantung dari kemauan kita untuk bisa lepas dari hutang dan ketergantungan terhadap asing  dengan cara membangun fundamental ekonomi yang kuat dengan mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat, sehingga nantinya akan tercipta sistim ekonomi dan keuangan yang lebih mandiri.

Kegagalan instrument fiskal konvensional di era otonomi daerah ini telah memberi andil bagi besarnya angka kemiskinan di Indonesia. Pasca krisis, jumlah penduduk miskin Indonesia masih besar dan tersebar luas. Di tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah orang miskin adalah 36,1 juta orang atau 16,6% dari total penduduk. Pada saat yang sama perhitungan Bank Dunia menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2004 hanya 7,4% dengan garis kemiskinan US$1 sehari. Namun jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi US$2 sehari, maka angka kemiskinan melonjak menjadi 53,4% atau sekitar 114,8 juta jiwa. Angka ini ekuivalen dengan jumlah seluruh penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa potensi ekonomi umat yang terdapat dalam zakat tidak lagi hidup di tengah-tengah masyarakat. Zakat hanya diartikan sebagai sebuah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan setiap tahun, tanpa melihat aspek sosial ekonomi, pemberdayaan, pemanfaatan dan produktivitasnya (M.A. Mannan: 1994). Kesadaran inilah yang harus dihidupkan kembali di tengah umat. Definisi zakat sebagai harta yang tumbuh dan berkembang harus diimplementasikan dalam sebuah kebijakan yang nyata di lapangan.

Tulisan ini mencoba menggambarkan potensi zakat yang tersembunyi dari beberapa kota besar di Indonesia dan juga secara nasional, beberapa data diambil dari BPS, BI, BKPM dan hasil penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat Pirac, tentang potensi zakat di sepuluh kota besar di Indonesia.

Sejarah Kegemilangan Ekonomi Negara Islam
Keberhasilan pengelolaan zakat dan wakaf  telah dibuktikan pada masa pemerintahan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan juga Khilafah di zaman dinasti Islam lainnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz, tidak ditemukan lagi masyarakat yang layak untuk menerima zakat, karena semua telah mampu menjadi  muzakki, sehingga zakat yang ada dibagikan kepada masyarakat di negara lain.
Keberhasilan zakat tidak hanya terjadi pada masa keemasan dinasti Islam, namun juga dapat dibuktikan sampai dengan saat ini. Demikian juga halnya dengan wakaf.  Di negara-negara Arab yang telah mengelola wakaf secara profesional, wakaf berkembang sedemikian pesat, sehingga hasil yang dapat kita lihat antara lain sekolah Al Azhar yang ada di Kairo. Di Indonesia sendiri wakaf banyak dikembangkan dalam bentuk Yayasan. Salah satunya adalah yayasan pondok pesantren Gontor.

Kuran (2001) menyebutkan bahwa wakaf dalam Islam muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk memberikan keamanan bagi pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial yang diberikan. Penelitian yang dilakukan di Timur Tengah ini juga mencatat bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak sentralistik. Penelitian lain tentang wakaf diungkapkan oleh R.D McChesney (1991) yang menulis buku hasil penelitiannya tentang kegiatan wakaf di Asia Tengah selama 400 tahun. Disebutkan bahwa wakaf telah menjadi pusat penting kehidupan umat Islam sehari-hari dalam kurun waktu yang lama. Banyak peran yang telah dijalankan oleh institusi wakaf ini, seperti membangun lembaga-lembaga keagamaan, kultural dan kesejahteraan dan menjadi sarana sah dalam menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Hasil penelitian ini juga menunjukkan bagaimana peran wakaf berfluktuasi sejalan dengan sikap pemerintah sebagai penguasa.

Pada saat sebagian besar negara-negara muslim dibawah kekuasaan penjajahan Barat, suasana suram menyelimuti institusi wakaf di negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, terlihat kemunduran yang signifikan di dunia muslim.  Namun kondisi segera berubah dengan merdekanya sebagian negara muslim pada abad ke-20. Kemerdekaan ini serta merta membawa perubahan besar pada manajemen pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut. Sebagai contoh sejumlah harta wakaf di Syria, Mesir, Turki, Tunis dan Aljazair dialihkan menjadi harta publik yang diawasi oleh negara dan didistribusikan melalui land reforms dan lainnya. Beberapa negara menciptakan Undang-undang wakaf dan mendirikan departemen wakaf untuk memajukan institusi tersebut di negaranya. Dari sejumlah paparan di atas, jelas terlihat bahwa wakaf berperan signifikan dalam menentukan maju atau mundurnya suatu komunitas masyarakat.

Perkembangan Institusi Zakat di Indonesia
Semenjak tahun 1999 Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang zakat yaitu UU No. 38 tahun 1999, secara substansi UU tersebut memberikan aturan dan pola hubungan antara lembaga zakat baik yang dikelola masyarakat ataupun oleh pemerintah. Secara jujur harus diakui, enam tahun pasca UU zakat tersebut disahkan, perkembangan pengelolaan dana zakat dan pemanfaatanya dirasakan belum optimal, jika dilihat dari potensi yang dimilikinya. Secara kuantitatif, terjadi peningkatan yang cukup signifikan jumlah badan pengelola zakat baik yang dikelola pemerintah maupun swasta seperti ;Baznas, Bazda dan laz yang dikelola pihak swasta.

Ada beberapa catatan kritis yang bisa dijadikan masukan untuk mengevaluasi perkembangan institusi zakat dalam rangka peningkatan peran dan kontribusi zakat dalam perekonomian nasional.

Pertama, Sistem zakat yang ada masih bersifat sukarela (voluntary zakat system), terlihat jelas pada pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sebaiknya sistem zakat diusahakan untuk berada pada posisi wajib (obligatory zakat system), sehingga zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen ekonomi.

Kedua, selama ini sistem dan mekanisme yang masih dibawah otoritas Departemen Agama. Sebaiknya zakat harus berada dalam otoritas ekonomi pemerintah seperti menteri keuangan atau lembaga keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah, sehingga akan menjadikan zakat sebagai instrumen ekonomi, dengan demikian efektifitasnya akan lebih terasa ketika zakat benar-benar menjadi alat kebijakan ekonomi.

Jika paradigma diatas bisa dijadikan instrument pengelolaan zakat diindonesia, sangat diyakini bahwa peran zakat dalam perekonomian nasional akan semakin signifikan. Sebab dengan menjadikan zakat sebagai kewajiban bagi masyarakat dan zakat sebagai alat kebijakan ekonomi pemerintah, diyakini zakat akan berkembang menjadi sumber pendanaan baru bagi pemerintah, dengan tidak menghilangkan ketentuan syariah yang terkandung didalamnya.

Potensi Zakat di Indonesia
Berbicara mengenai potensi zakat, ada banyak pendapat terkait dengan hal ini. Setiap  pihak memberikan prediksi dan ekspetasi masing-masing. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Sudewo (Republika,2006) tentang Buaian potensi zakat.  Pendapat pertama berasal dari mantan menteri agama, Said Agil Munawar yang menyatakan potensi zakat Rp. 7 Trilyun per tahun. Pendapat kedua, PIRAC memprediksi bahwa potensi nilai zakat sebesar 9 Trilyun per tahun. Pendapat yang ketiga berasal dari  PBB UIN yang menegaskan bahwa perolehan zakat bisa mencapai 19 Trilyun per tahun.

Sementara itu, menurut Sudewo sendiri, dengan menggunakan angka jumlah penduduk dan melakukan simulasi terhadap jumlah penduduk muslim yang kaya mencoba melakukan proyeksi terhadap tiga skenario potensi. Skenario pertama, potensi zakat sebesar 10,8 Trilyun per bulan. Skenario kedua potensi zakat mencapai 21,6 Trilyun dan skenario ketiga potensi zakat sebesar 32,4 Trilyun. Perkiraan potensi lainnya dilakukan oleh Nasution (2006), dengan menggunakan data GDP Indonesia dan dengan asumsi bahwa penguasaan asset ummat muslim sebesar 20 persen dari total GDP dan besaran zakat sebesar 2,5 persen maka potensi zakat adalah sebesar  7,5 s.d 8,7 Trilyun rupiah.
Tabel 1. PDB Indonesia dan Perhitungan Potensi Zakat [3]

Tahun
PDB (milyar)
Potensi Zakat (Trilyun)
2002
1,505,216
7,5
2003
1,577,171
7,9
2004
1,656,826
8,3
2005
1,749,547
8,7
Sumber: BPS, dalam Nasution (2006)

Jika, semua perkiraan potensi yang ada ini dibandingkan dengan data PDB tahun 2005, maka kita lihat komposisi potensi zakat/PDB 2005 sekitar 0,4 s.d 1,85 %. Data selengkapnya tertera pada Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Share Estimasi Potensi Zakat terhadap Total PDB 2005
Item
Jumlah zakat (Rp Trilyun)
PDB 2005
Rasio zakat/PDB 2005
Potensi 1
7
1,749,547
0,40
Potensi 2
9
1,749,547
0,51
Potensi 3
19
1,749,547
1,09
Potensi 4
10,8
1,749,547
0,62

21,6
1,749,547
1,23

32,4
1,749,547
1,85
Potensi 5
8,7
1,749,547
0,50
Sumber data: BPS (2005), Republika (2006) dan Nasution (2006), diolah
Keterangan:
-Potensi 1 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh  mantan Menteri Agama Said  Agil Munawar
-Potensi 2 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh PIRAC
-Potensi 3 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh PPB UIN
-Potensi 4 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Sudewo, Eri (2006)
-Potensi 5 berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh Nasution, Mustafa (2006)

Berdasarkan data estimasi potensi zakat sebagaimana Tabel 2, di atas, terlihat bahwa potensi zakat yang diprediksi berkisar antara 0,4 sampai dengan 1,85 persen dari total PDB Nasional berdasarkan harga berlaku tahun 2005, Jika dibandingkan dengan estimasi dan perhitungan potensi zakat di beberapa negara muslim jumlah ini masih jauh lebih rendah, Estimasi dan perhitungan potensi zakat di beberapa negara dapat di lihat pada Tabel 3, di bawah ini,

Tabel 3. Perhitungan Potensi Zakat di Beberapa Negara Muslim
Negara
Potensi
Realisasi/Keterangan
Mesir
6,1%
Overestimated
Sudan
3%
Overestimated
Syria
3%
Overestimated
Sumber: Khaf (1999), diolah

Implementasi zakat di beberapa negara muslim menunjukkan bahwa realisasi pengumpulan dana zakat yang terjadi tidak sebesar potensi yang telah di estimasi, Untuk Kasus Sudan misalnya, angka estimasi menunjukkan potensi zakat sebesar 3 persen dari total GDP, namun realisasi menunjukkan bahwa realisasi zakat di Sudan hanya sebesar 0,3 sampai dengan 0,5 persen, Demikian halnya dengan negara-negara muslim lainnya,  Secara umum,  implementasi zakat di beberapa negara menunjukkan realisasi zakat tidak melebihi dari 1% GDP, rata-rata berkisar 0,3 sampai dengan 0,6 persen, Selengkapnya terlihat dari Tabel 4, berikut:

Tabel 4. Realisasi Zakat di Beberapa Negara Muslim
Negara
Realisasi/Keterangan
Arab Saudi
0,4%-0,6%
Yaman
0,4%
Pakistan
0,3 %
Sudan
0,3 % – 0,5 %
Lainnya
0,4% – 0,5 %
Sumber: Khaf (1999), diolah

Tidak berbeda dengan kondisi di beberapa negara muslim di atas, implementasi pengumpulan zakat pun masih jauh dari potensi yang diperkirakan, Berdasarkan data yang terkumpul dari Forum Zakat (FOZ), realisasi pengumpulan zakat di Indonesia hanya berkisar 0,009 s,d 0,03 persen, Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan realisasi pengumpulan zakat di negara-negara muslim, Namun yang menggembirakan adalah jumlah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5, Share Realisasi Zakat Terhadap PDB di bawah ini,

Tabel 5. Share Realisasi Zakat Terhadap PDB
Item
2001
2002
2003
2005
Realisasi
(Rp Juta)
39.322,94

58.793,01

61.791,32

250.000
% terhadap GDP
0,009%
0,012%
0,012%
0,03%
Sumber: FOZ dan BPS berbagai tahun, diolah

Sebagaimana data realisasi zakat nasional yang cenderung meningkat maka will masyarakat di daerah untuk membayar zakat juga cenderung meningkat. Hal ini tercermin dari hasil perhitungan elastisitas zakat di 10 daerah di Indonesia. Rata-rata elastisitas zakat terhadap PDRB di 10 daerah tersebut lebih besar dari 1, kecuali Sumatera Barat.

Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. di bawah ini.
Tabel 6. Growth Zakat/Muzakki, PDRB per Kapita dan Elastisitas[4]
No
Propinsi
Growth
Zakat/Muzakki*
Growth PDRB/capita
Elastisitas



1
Sumatera Utara
3,186013553
2,334483898
1,364761417
2
Sumatera Barat
3,636292794
5,249661298
0,692671886
3
DKI Jakarta
3,155441515
2,51607297
1,254113674
4
Jawa Barat
2,833826478
2,250347929
1,259283705
5
Jawa Timur
2,484818843
2,324770396
1,06884484
6
Bali
3,327348053
2,389244892
1,392635834
7
Kalimantan Timur
4,280946825
2,285140201
1,873384759
8
Kalimantan Barat
2,823132195
2,502981491
1,127907739
9
Sulawesi Selatan
5,324826418
2,324396599
2,290842458
10
Sulawesi Utara
2,717771358
2,289176946
1,187226424
Sumber: PIRAC(2004), BPS (2002 dan 2004), diolah

* Data Growth ini dihitung dari data zakat/muzakki di sepuluh kota berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC

Berdasarkan hasil perhitungan elastisitas yang dilakukan terlihat bahwa daerah yang memiliki elastisitas pertumbuhan terbesar adalah Sulawesi Selatan, Nilai elastisitas 2,29 menunjukkan kenaikan 1 persen GDP/kapita berdampak terhadap kenaikan zakat yang terkumpul sebesar 2,29 persen. Besarnya elastisitas zakat di daerah ini tidak terlepas dari besarnya jumlah penduduk muslim di daerah ini. Semakin besarnya penduduk di daerah ini selaras dengan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya membayar zakat. Peningkatan elastistas ini juga tidak terlepas dari peran lembaga amil zakat yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dan juga peran pemerintah dalam menggerakkan zakat dalam perekonomian. Salah satu wujud peran pemerintah ini terlihat dari  diberlakukannya Perda khusus tentang kewajiban membayar zakat sebagai instrumen dalam pengentasn kemiskinnan, di Kabupaten Bulukumba salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan.

Meski demikian, jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam tidak dapat dijadikan standard besar kecilnya will untuk membayar zakat. Kasus di Sumatera Barat misalnya. Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, kenaikan PDRB per kapita sebesar 1 persen hanya berdampak pada peningkatan zakat sebesar 0,69 persen. Hal ini tercermin dari angka elastisitas sebesar 0.69. Hal yang sama untuk kasus Jawa Timur. Sebagai salah satu daerah kantong muslim di Indonesia, kesadaran berzakat masyarakat di daerah ini tidak sebesar masyarakat di daerah Sulawesi Utara dan Bali , yang notabene bukan daerah kantong muslim.

Elastisitas kedua terbesar setelah Sulawesi Selatan adalah Kalimantan Timur. Angka elastisitas zakat untuk daerah ini mencapai 1,87 persen.  Dengan nilai elastisitas ini berarti kenaikan PDRB/capita sebesar 1 persen  meningkatkan penerimaan zakat sebesar 1,87 persen per kapita.  Besarnya perolehan zakat di daerah ini diduga selain karena kesadaran masyarakat yang cukup tinggi juga dikarenakan oleh tingkat pendapatan masyarakat yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Indonesia. Hal ini terkait dengan terkenalnya Propinsi Kalimantan Timur sebagai penghasil migas dan sejumlah barang tambang lainnya.

Untuk daerah lainnya, angka elastisitas berada pada kisaran 1, 06 sampai dengan 1,4 persen. Secara implisit terlihat bahwa kenaikan GDP akan meningkatkan penerimaan zakat yang lebih besar. Peningkatan zakat ini bisa dikarenakan oleh kesadaran masyarakat yang lebih tinggi untuk berzakat dan juga sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat. Meski demikian, secara umum realisasi zakat yang terkumpul masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini mencerminkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran yang lebih baik untuk berzakat. Kondisi ini terlihat dari angka realisasi zakat nasional yang sangat kecil dibandingkan dengan total GDP Nasional.

Kesimpulan dan Rekomendasi  Kebijakan
Berdasarkan hasil perhitungan potensi zakat nasional, realisasi  dan juga elastisitas zakat di beberapa daerah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk membayar zakat belum optimal. Hal ini terlihat dari kecilnya nilai zakat yang terkumpul relatif terhadap PDB. Terlebih jika dibandingkan dengan realisasi zakat di rata-rata negara muslim yang mencapai 0,4 s.d 0,5 persen. Sementara dari hasil perhitungan elastisitas pertumbuhan zakat terhadap PDRB/kapita menunjukkan bahwa besar kecilnya elastisitas tidak dipengaruhi oleh kondisi mayoritas penduduk muslim di suatu daerah. Sebagai contoh untuk kasus Sumatera Barat dengan penduduk muslim yang berjumlah mayoritas, namun daerah ini memiliki elastisitas yang paling kecil dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Demikian juga halnya dengan daerah Jwa Timur, yang elastisitasnya lebih kecil dibandingkan dengan Bali dan Sulawesi Utara.

Di Sulawesi Selatan, angka elastisitas yang besar menunjukkan selain sebagai daerah mayoritas muslim, kesadaran masyarakat untuk berzakat relatif lebih tinggi. Faktor lain adalah lembaga LAZ yang profesional, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan juga peran pemerintah  untuk menggerakkan zakat dalam perekonomian.   Di Kalimantan Timur,   pengaruh kesadaran masyarakat yang besar  dan juga tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi  menjadi kombinasi yang menentukan besarnya elastisitas pertumbuhan zakat di daerah ini.

Sebagai implikasi kebijakan, idealnya pemerintah lebih serius dalam mengoptimalkan peran zakat sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Untuk mendukung keseriusan ini pemerintah dapat membuat suatu gerakan nasional yang dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk berzakat, sebagaimana halnya dengan gerakan keluarga berencana nasional yang terprogram, terarah dan berkesinambungan. Gerakan ini juga hendaknya didukung oleh gerakan edukasi masyarakat tentang pentingnya berzakat baik bagi individu, maupun bagi kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas secara umum.

Tanpa demikian mungkin akan sulit mewujudkan realisasi zakat untuk mencapai potensinya. Karena sebagaimana kita lihat gerakan keluarga berencana yang terprogram baru menampakkan hasilnya setelah 20-30 tahun. Keberhasilan gerakan ini akan menjadikan negara ini menjadi negara yang mandiri setidaknya dapat menggunakan dana ini dalam usaha-usaha pengentasan kemiskinan  yang selama ini masih menggunakan dana pinjaman dari luar negeri.

Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud, ” Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf ”, UI-Press, Jakarta, 1988
Badan Pusat Statistik, ” Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005 ”
Badan Pusat Statistika, “Statistik Indonesia “, 2005
Chapra, Umer, ” The Future of Economics : An Islamic Perspective ” SEBI, Jakarta, 2001
Khaf, Monzer , “The Performance of The Institution of Zakah in Theory and Practice” , Kuala Lumpur, 1999
Nasution, Mustafa Edwin, Yusuf Wibisono ” Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan ” , Proceeding Muktamar IAEI , Medan, 2005
Nasution, Mustafa Edwin,  Zakat dan wakaf sebagai Pilar  dalam Sistem Perekonomian Nasional, 2006
Saidi, Zaim (2004). Kedermawanan Kaum Muslimin: Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia. Hasil Survey di Sepuluh Kota”. Pustaka Adina. PIRAC dan Ford Foundation.

*********************************
Kontributor: H Mustafa Edwin Nasution, MSc MAE,P, PhD
*H Mustafa Edwin Nasution, SE, MSc, MAEP, PhD, Pengasas BWI, Komisi Ekonomi MUI, DPP MES dan IAEI Pusat dan Dosen UI.
DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil Sekjen MES Pusat, Tim Kerja OJK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan Keuangan Islam di Banyak Universitas serta Trainer di Iqtishad Consulting

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th