Pendidikan menjadi kunci
kemajuan sebuah bangsa. Bangsa yang kualitas pendidikannya rendah, akan terpuruk
dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang pendidikannya
maju, akan unggul dari bangsa manapun. Indonesia merupakan negara yang
kualitas tingkat pendidikannya sangat rendah. Rangking Indonesia
dari tahun ke tahun terus menurun. Menurut HDI (Human Development Index),
pada tahun 2017, Indonesia menempati rangking 116 dari 189 negara. (Lihat
http://hdr.undp.org) . Sungguh ironis dan menyedihkan kondisi kualitas
pendidikan anak Indonesia tersebut. Salah satu indikator keterpurukan
pendidikan bangsa Indonesia adalah 50 % anak usia SMP di Indonesia, tidak tamat
SMP.
Krisis ekonomi yang
mendera negeri ini, semakin menyulitkan rakyat Indonesia untuk memajukan dan
meningkatkan kualitas pendidikan. Kenaikan BBM baru-baru ini, yang dikuti
inflasi semakin membesarkan angka kemiskinan. Dampak dari kondisi tersebut,
banyak anak-anak sekolah dan mahasiswa kesulitan dalam membiayai pendidikannya.
Kondisi kemiskinan yang menggurita yang mengibatkan terpuruknya pendidikan
ummat, harus dientaskan dengan segera. Salah satu upaya strategis untuk
meningkatkan tingkat pendidikan ummat Islam tersebut adalah melalui gerakan
wakaf produktif untuk beasiswa pendidikan.
Wakaf Produktif
Sesungguhnya Islam punya
solusi yang ampuh untuk gerakan pemberdayaan ummat melalui pendidikan.. Salah
satu solusinya adalah dengan mendayagunakan wakaf secara produktif. Disebut
produktif, karena dana wakaf digunakan (diinvestasikan) untuk membiayai
usaha-usaha produktif sedangkan bagi hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan
sosial-ekonomi ummat, seperti beasiswa pendidikan. Dalam sejarah, wakaf,
memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan kepentingan
keagamaan.
Wakaf merupakan bagian
penting dari bentuk infak. Dalam Islam, perintah infak memiliki dasar yang
sangat kuat. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, :Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya (QS Ali Imran (3) ayat 92). Dalam hadits juga
cukup banyak anjuran untuk berwakaf.
Salah satu bentuk wakaf
produktif yang sangat populer dan banyak dikembangkan saat ini
adalah cash wakaf (wakaf uang tunai). Bangladesh adalah sebuah
negara muslim yang dianggap sukses dalam memberdayakan ummat melalui infaq
produktif dengan menerapkan konsep cash wakaf. Di negara itu,
masyarakat Islam didorong untuk berinfak dalam bentuk waqaf, sebanyak 1 dollar.
Dana yang terkumpul tersebut dikelola oleh bank syari’ah, lalu bagi hasilnya
digunakan untuk kepentingan sosial, pendidikan, kesehatan dan kegiatan
keagamaan. Dana cash wakaf yang terkumpul digunakan untuk membiayai usaha-usaha
ummat sehingga implikasinya dapat menciptakan lapangan kerja dan mengatasi
kemiskinan. Adalah Prof.Dr. M.A, Mannan sebagai perintis dan pelopor
gerakan cash wakaf tersebut. Dengan infak produktif tersebut dia bahkan mendirikan
bank syari’ah dengan nama SIBL (Social Invesment Banking Limited)
Di Timur Tengah program
wakaf produktif dalam bentuk cash wakaf telah lama dinikmati keberhasilannya.
Sebut saja Al Azhar University Cairo merupakan salah satu potret keberhasilan program
wakaf uang tunai. Di Indonesia potensi mengembangkan wakaf produktif sangat
besar, mengingat bank-bank syari’ah yang mengelola dana secara profesional
telah muncul. Bank Muamalat Indonesia, merupakan bank syari’ah pertama yang
telah mengembangkan konsep infak produktif tersebut. Mekanismenya, umat Islam
menginvestasikan sejumlah uang di bank syariah, dalam masa dan jumlah tertentu,
misalnya Rp 2.000.000,- untuk jangka waktu satu tahun, dengan niat bagi
hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan. Diasumsikan, nilai bagi hasil
yang diperoleh per bulan dari dana tersebut sekitar Rp 6.000 s/d Rp 8.000
(sesuai dengan hasil usaha bank). Jika ada ummat Islam sebanyak 10.000 orang
yang berwakaf secara produktif sebesar itu, maka dana beasiswa yang terkumpul
sebanyak 60 sampai 80 juta. Dana ini bisa membantu dan menyelamatkan biaya
pendidikan anak tak mampu sebanyak 800 orang dengan asumsi Rp 100.000 perbulan.
Apabila setiap kantor cabang bank syari’ah melakukan gerakan ini, maka
dipastikan puluhan ribu anak-anak miskin bisa disekolahkan, bahkan sampai
Perguruan Tinggi.
Yang unik dari gerakan
cash wakaf yang produktif ini, ialah, bahwa dana investasi yang berjumlah
misalnya, Rp 2.000.000 tersebut tidak akan hilang sedikitpun. Keberadaannya
terjamin, sebagaimana dana deposito yang ada di bank syari’ah. Yang diinfakkan
hanyalah bagi hasilnya. Jadi , cash wakaf ini, bisa dibatasi waktunya (muaqqat),
sesuai dengan pendapat mazhab Maliki dan ulama-ulama kontemporer. Masa cash
wakaf tersebut bisa bisa periodik dan bisa juga untuk selamanya (muabbad).
Fatwa MUI dan UU No 41/1994 tentang wakaf uang telah melegitimasi wakaf muaqqat
(yang terbatas waktunya) tersebut.
Selama ini, bentuk benda
wakaf umumnya berupa harta benda tak bergerak, seperti tanah, bangunan dan
benda-benda lainnya. Pemanfataannya pun bersifat konsumtif. Sementara wakaf
uang, masih sangat terbatas Padahal di berbagai negara cash wakaf ini
cukup berkembang. Menurut data Menag, porsi dana cash wakaf yang ada saat ini
di dunia lebih dari 20 % dari total asset wakaf. .
Perspektif Fikih.
Ulama Hanafiyah
membolehkan wakaf uang, sebagaimana kebolehan benda bergerak lainnya seperti
mewakafkan buku, mushhaf,dll. Dalam masalah ini Ulama Hanafiyah mensyaratkan
nilai uang tersebut tetap (baqa’), atau tidak hilang. Dari sinilah
kalangan ulama Hanafiyah berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham
sepanjang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah.
Wahbah az-Zuhaily
berpendapat mewakafkan uang dibolehkan tapi dengan cara menjadikannya modal usaha
dengan prinsip mudharabah, dan keuntungan diserahkan kepada mauquf
‘alaih. Imam Bukhari dengan mengutip Imam Zuhri menyebutkan kebolehan
wakaf dinar dan dirham semacam di atas.(M.A.Mannan, 1997)
Dengan demikian, dapat
disimpulkan, ulama yang membolehkan wakaf uang berpendapat, wakaf uang
diperbolehkan asal uang itu diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudharabah),
kemudian keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian
uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf
‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang tersebut. Mauquf alaih
dalam hal ini adalah anak miskin yang sekolahnya dibiayai.
Wakaf uang atau wakaf
tunai merupakan hal yang baru di Indonesia. Padahal di beberapa Negara seperti
Mesir, Turki, Tunisia, Arab Saudi, Bangladesh masalah wakaf uang sudah
lama dikaji dan dikembangkan. Bahkan pada periode Mamluk dan Turki Usmani wakaf
uang sudah dikenal luas. Kenyataan ini menunjukkan wakaf uang
merupakan instrumen keuangan umat yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Dalam Undang-undang No
41 Tahun 2004, masalah wakaf uang dituangkan secara khusus dalam bagian
kesepuluh Wakaf Benda Berupa Uang yang terdapat pada pasal 28-31. Dalam pasal
28 dinyatakan wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga
keuangan syari’ah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka peluang
pengembangan wakaf produktif dengan cash wakaf terbuka luas. Salah satu
peruntukan cash wakaf yang perlu mendapat periorotas adalah membantu biaya
sekolah (pendidikan) anak miskin. Gerakan ini perlu dikembangkan dan
disosialisasikan secara massif dan terus-menerus mengingat bank-bank syari’ah
yang mengelola dana dengan manajemen profesional telah berkembang pesat.
Lembaga keuangan Islam telah menunjukkan kenerja terbaiknya, sehingga seringkali
mendapat penghargaan internasional dalam berbagai bidang/aspek.
Penutup
Wakaf produktif
melalui wakaf uang memiliki multiflier effect yang luar biasa
untuk memberdayakan ummat, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial
lainnya, baik bagi anak-anak tak mampu maupun bagi pengusaha kecil. Dana yang
terkumpul digunakan untuk membiayai pengusaha lemah, tentunya setelah
melakukan analisa kelayakan, agar dana tersebut tidak hilang atau rugi.
sedangkan bagi hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan anak tak mampu,
tetapi berprestasi. Sementara dana yang diinvestasikan (diwakafkan) bisa
ditarik kembali pada waktu tertentu, sesuai keinginan orang yang berinfak (wakaf
muaqqat). Mudah-mudahan masyarakat Indonesia dapat melaksanakan gerakan
ini, sebagaimana di negara-negara lain, sehingga upaya pemberdayaan umat dapat
diwujudkan.
Kontributor: DR Agustianto Mingka, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, CPIF Email: ustazsofyan@gmail.com.