Skip to main content

Wakaf Uang dalam Aspek Hukum Positif


Wakaf Uang dalam Aspek Hukum Positif

Pendahuluan
Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang banyak mendapat perhatian para cendikiawan dan ulama adalah cash waqf (wakaf tunai). Dalam sejarah Islam, cash waqf berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Di Indonesia hasil diskusi dan kajian itu membuahkan hasil yang menggembirakan, yakni dimasukkannya dan diaturnya cash waqf (wakaf tunai) dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan demikian, wakaf tunai telah diakui dalam hukum positif di Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang  penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.

Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya   bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut.(1). Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.

Makalah ini akan membahas Wakaf Tunai tersebut dalam perspektif hukum positif dan bagaimana prospeknya dalam pemberdayaan ekonomi umat. Pembahasan diawali dengan memaparkan perspektif historis tentang peranan wakaf yang demikian besar dalam sejarah dalam meningkatkan kesejahteraan umat dan pembangunan tamaddun Islam. Tulisan ini juga akan membahas secara ringkas pandangan ulama klasik tentang wakaf tunai.

Peranan Waqaf dalam Sejarah
Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang cukup penting. Dalam sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam secara umum. Salah satu bentuk wakaf yang berkembang di zaman klasik Islam bahkan sampai zaman modern ini adalah wakaf tunai.

Telah banyak penelitian historis yang dilakukan oleh para pakar tentang fungsi wakaf dalam berbagai sektor kehidupan umat. Michael Dumper juga menyimpulkan bahwa di Timur Tengah, pada masa kalsik Islam dan pertengahan, institusi  wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah kaum muslimin dalam membangun kesejahteraan rakyat

Penelitian lain dilakukan oleh R.D McChesney (1991) yang telah menulis buku sebagai hasil penelitiannya  tentang Kegiatan Wakaf di Asia Tengah selama lebih kurang 400 tahun. Dalam deskripsi bukunya disebutkan bahwa wakaf dalam rentang waktu yang cukup lama telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural dan kesejahteraan. Wakaf juga menjadi sarana yang sah untuk menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga wakaf dalam kehidupan masyarakat muslim dan ini berfluktuasi sejalan dengan sikap penguasa pemerintah.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Timur Kuran tentang wakaf di kalangan umat Islam menyebutkan bahwa wakaf Islam telah muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk memberikan keamanan bagi para pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak sentralistik.  Pada prinsipnya manajer (nazhir) wakaf harus mematuhi persyaratan yang digariskan oleh pemberi wakaf (wakif). Dalam praktiknya tujuan atau arahan waqif seringkali harus disesuaikan dengan berbagai faktor yang berkembang dalam masyarakat.  (Kuran, 2001)

Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa selama ratusan tahun bahkan lebih dari seribuan tahun, institusi  wakaf telah berhasil menjadi instrumen yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik pendidikan, layanan sosial, ekonomi, keagamaan dan layanan publik lainnya. Keberadaan wakaf dan perannya yang demikian besar, seringkali mengkhawatirkan penguasa pemerintahan Barat atau pemerintaha nasional pasca kemerdekaan dari penjajahan. Kekhawatiran akan semakin menonjolnya peran masyarakat dengan institusi wakaf, melahirkan sejumlah pandangan negatif terhadap sistem  wakaf dari para penguasa, karena wewenang pemerintah bisa disaingi atau malah dikalahkan oleh lembaga-lembaga wakaf. Contohnya antara lain, ketika bala tentara Perancis  menduduki Al-jazair pada 1831, penguasa kolonial menguasai dan mengawasi harta wakaf untuk menekan tokoh-tokoh keagamaan yang berjuang melawan penjajahan (Abu al-Afjan, 1985:325).[3]

Dalam  berbagai penelitian lainnya tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat,  di antaranya:

1. Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf.
2. Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf. 
3. Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf.
4. Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian adalah tanah wakaf. 
5. Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami adalah lahan wakaf.[4]

Sebuah penelitian yang meliputi 104 Yayasan Wakaf di Mesir, Suriahm Turki, Palestina dan Anatoly land, menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf adalah dalam bentuk real estate, yaitu mencapai 93 % denga rincian sebagai berikut : 
1. 58 % dari wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari toko, rumah dan gedung. 
2. 35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri dari lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya. 
3. 7 % sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai)[7]. Namun informasi terkini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama, perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya[6].
4.       
Menurut Monzer Khaf, kegiatan wakaf dapat dibagi atas tiga, yaitu wakaf keagamaan, wakaf philanthropic, dan  wakaf family atau wakaf keluarga. Wakaf keagamaan biasanya diperuntukkan untuk kegiatan keagamaan seperti mesjid. Mesjid Quba di Madinah merupakan salah satu contoh wakaf keagamaan. Wakaf philantropi antara lain layanan kesehatan, pendidikan, dan sejumlah fasilitas umum lainnya.  Sedangkan wakaf keluarga biasanya lebih ditujukan sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan dari keturunan yang ditinggalkan.

Selama ini wakaf yang berkembang lebih banyak ke jenis wakaf yang pertama, yaitu wakaf keagamaan, khususnya di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh data yang ada di Departemen Agama menunjukkan selama ini perkembangan wakaf di Indonesia sampai dengan September 2001 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.791 dengan luas 818.742.341,86 M2.[9] Wakaf-wakaf  ini kebanyakan dipergunakan untuk pembangunan mesjid, musholla, sekolah, panti asuhan, dan makam.[10] Dari data tersebut terlihat bahwa pengembangan wakaf selama ini masih terbatas pada wakaf yang sifatnya tidak bergerak dan tahan lama.  Salah satu factor  yang menyebabkan hal ini adalah adanya  hadits yang menjadi rujukan dalam kegiatan wakaf, dan diriwayatkan oleh Tarmizi dan Muslim. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW bersabda
Apabila manusia meninggal dunia, maka terhentilah kesempatannya untuk mendapatkan nilai pahala dari amalannya, kecuali tiga hal, yaitu; sedekah yang mengalirkan pahala terus menerus (wakaf), ilmu yang diajarkan dan bermanfaat bagi orang lain dan anak yang shaleh  yang mendoakan kedua orang tuanya”.

Merujuk kepada hadits tersebut maka wakaf adalah sedekah yang pahalanya terus menerus mengalir kepada orang yang berwakaf. Ini berarti benda yang diwakafkan haruslah tahan lama agar pahala terus mengalir. Wakaf juga memiliki kemanfaatan yang luar biasa dari sekedar sedekah biasa. Hal ini dikarenakan harta wakaf yang sifatnya abadi, tidak boleh dijual atau diwarisi dan dihibahkan agar wakaf dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kepentingan masyarakat. Ini merujuk kepada hadits yang menjadi ketentuan umum, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Sayangnya, kemanfaatan wakaf ini belum optimal didapatkan, khususnya di Indonesia. Wakaf selama ini masih berada seputar di rumah ibadah, kuburan dan madrasah. Jika dilihat dari segi keagamaan, semangat ini tentunya baik, karena wakaf yang ada dimanfaatkan sebagai rumah ibadah dan dapat meningkatkan keimanan dari masyarakat. Namun, jika dilihat dari sisi ekonomis, potensi itu masih jauh dari yang diharapkan.

Idealnya, wakaf dapat dikelola secara produktif dan dikembangkan menjadi lembaga Islam yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Realnya, bersama dengan zakat, wakaf dapat menjadi instrumen dalam pengentasan kemiskinan. Pengelolaan wakaf secara produktif tidak terlepas dari media yang digunakan dalam menunaikan wakaf.   Wakaf dapat dibedakan atas wakaf benda tidak bergerak (’iqar) dan wakaf bergerak (manqul). Wakaf benda tidak bergerak seperti bangunan, tanah dan perkebunan. Sedangkan wakaf manqul antara lain, buku/kitab, sajadah, kenderaan, dsb. Salah satu bentuk wakaf benda bergerak adalah uang. Wakaf uang- sebenarnya telah berlaku sejak dulu sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.  Meskipun di kalangan ulama klasik, hukum wakaf uang masih dalam perdebatan, karena alasan sifatnya yang habis terpakai[9], namun khilafiyah itu bisa terangkat dengan lahirnya qanun yang melegitimasinya.

Wakaf Tunai dalam  perspektif fikih (hukum Islam) dan Hukum Positif
Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf atau wakaf tunai sudah dilakukan sejak lama. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf[10]. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy.[11]

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”. Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini,  persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak  ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut : 
1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. 
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 
3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh). 
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Kebolehan wakaf tunai, menurut MUI, tidak bertentangan dengan definisi wakaf yang telah dirumuskan oleh mayoritas ulama dengan merujuk kepada hadits-hadits tentang wakaf.

Rapat komisi MUI tgl 23 Maret 2002 memandang perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui dengan memperhatikan maksud hadits, antara lain riwayat Umar : “Tahan asalnya (pokoknya) dan sedeqahkan buahnya (hasilnya)”. Berdasarkan hadits tersebut, MUI mengambil rumusan definisi wakaf sbb :
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau popoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan mewariskan), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah ( tidak haram) yang ada.

Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai. Dalam pasal  UU No 41/2004 tentang Wakaf, masalah wakaf tunai disebutkan pada empat pasal, (pasal 28,29,30,31), bahkan wakaf tunai secara khusus dibahas pada bagian kesepuluh Undang-Undang tersebut dengan titel “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang”

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), masalah cash waqf diatur pada pasal  22,23,24, 25, 26. Pasal-pasal ini berisi tentang teknis pelaksanaan wakaf uang.

Pasal 22 RPP Wakaf tersebut berbunyi :
(1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah
(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

Dalam Pelaksanaan Kegiatan Wakaf Tunai, Pihak lembaga pengelola Wakaf Tunai tsb perlu mengeluarjkan Sertifikat Wakaf Uang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:
1.      Nama Wakif;
2.      Alamat Wakif;
3.      Jumlah wakaf uang;
4.      Peruntukan wakaf;
5.      Jangka waktu wakaf;
6.      Nama Nazhir yang dipilih; dan
7.      Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang;

Pasal 27
Dalam hal Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka waktu tertentu maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus haknya melalui LKS Penerima Wakaf Uang. Pasal ini menjelaskan kebolehan wakaf muaqqat dengan mengambil pendapat mazhab Maliki.

Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Tunai dan Prospeknya di Indonesia
Krisis ekonomi yang mendera negeri ini telah mewariskan kemiskinan dan penderitaan pada masyarakat. Pemerintah telah menjadikan program pengentasan kemiskinan sebagai agenda pentingnya. Baru-baru ini dalam pidato kenegaraannya, beliau telah banyak menyinggung masalah pengentasan kemiskinan, walaupun sempat mengundang kontroversi, karena berkaitan dengan data kemiskinan yang dinilai banyak kalangan tidak benar. Terlepas dari kontoversi tersebut, yang jelas kemiskinan bangsa masih menjadi masalah bangsa yang sangat krusial.  Sampai-sampai Wakil Presiden Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Jemaluddin Kassum mengingatkan, kurang lebih tiga per lima (60 persen) penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 10-20 persen hidup dalam kemiskinan absolut (extreme poverty).

Angka kemiskinan berdasarkan definisi yang dipakai pemerintah (Badan Pusat Statistik/BPS) sendiri lebih kecil, yakni 27 persen tahun 1999, 15,2 persen (2000), 15,7 persen (2001), 14,6 persen (2002), 13,3 persen (2003), 12,1 persen (2004), dan 10,9 persen (2005). (Lihat Kompas, 8 November 2001). Jika definisi garis kemiskinan yang dipakai adalah pendapatan US$2 per hari, jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun adalah 65,1 persen tahun 1999, 57,9 persen (tahun 2000), 56,7 persen (tahun 2001), 55,1 persen (2002), 53,4 persen (2003), 51,5 persen (2004), dan 49,5 persen (2005). Angka kemiskinan 49,5 persen tahun 2005 ini kira-kira sama dengan level sebelum krisis, yakni tahun 1996 yang sebesar 50,1 persen.

Dengan hadirnya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih terbantu dan dalam jangka waktu tertentu manfaatnya akan lebih signifikan.

Di tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia
1. Krisis ekonomi di akhir dekade 90-an yang menyisakan banyak permasalahan: jumlah penduduk miskin yang meningkat, ketergantungan akan hutang dan bantuan luar negeri
2.  Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin
3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN,  sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan public goods. 

   Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for  Cash Waqf  Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa: 

Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.
Pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.

Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.

Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.

Kelima, dana waqaf tunai bisa memberdayakan usaha kecil  yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.

Keenam, dana waqaf tunai dapat membantu perkembangan keuangan Islam. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran lembaga-lembaga.

Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, H Mustafa E. Nasution, MSc, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar. Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000. Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.

Tingkat 
Penghasilan
/bulan Rp
Jumlah 
Muslim
Tarif wakaf/bulan 
Rp
Potensi 
Wakaf
Rp
Potensi wakaf/tahun 
Rp
1000.000
12 juta
10.000
120 milyar
1,44 triliun
2.500.000
6 juta
25.000
150 milyar
1,70 triliun
5.000.000
4 juta
50.000
200 milyar
2,4 triliun
10.000.000
2 juta
100.000
200 milyar
2,4 triliun
20.000.000
1 juta
500.000
500 Milyard
6 triliun
30.000.000
500.000 orang
1000.000
500 milyar
6 triliun
40.000.000
100 Orang
2.000.000
200 milyard
2,4 triliun
Total
22,4 triliun

Potensi ini mesti segera digarap secara profesional oleh umat Islam Indonesia, khususnya lembaga-lembaga wakaf, bahkan juga oleh lembaga-lembaga keuangan syariah.
Pentingnya pengembangan wakaf di Indonesia tentunya berimplikasi pada bagaimana pengelolaan wakaf yang optimal dalam memberikan pemanfaatan bagi masyarakat. Untuk diperlukan manajemen  pengelolaan wakaf yang profesional, amanah, transparan, dan accountable. Untuk itulah perlu dilaksanakan peningkatan kualitas dan kapabilitas  para nazhir melalui training, workshop dan kegiatan-kegiatan yang mendukung lainnya.

Penutup
Dimasukkannya wakaf tunai dalam perundangan-undangan Republik Indonesia melalui Undang-Undang No 41 tahun 2004, merupakan angin segar dan peluang baru bagi umat Islam Indonesia untuk mengelola dan mengembangkan suatu potensi dana umat yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum muslimin dan melepaskan umat Islam dari kemiskinan.  Bahkan dimungkin, wakaf tunai bisa menjadi jalan alternatif untuk melepas ketergantungan bangsa ini dari lembaga-lembaga kreditor multilateral sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini memilki prospek yang baik dan cerah serta akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia.

Positivisasi wakaf tunai melalui  UU No. 41 tahun 2004 merupakan sarana rekayasa sosial (social engineering), untuk melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Dengan pengundangan  itu juga tidak ada gunanya lagi memperbanyak wacana khilafiyahtentang boleh tidaknya wakaf tunai. Menurut dasar pertimbangan Fatwa MUI tentang wakaf tunai disebutkan bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatanbesar yang tidak dimiliki oleh benda lain.

Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawsan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Oleh karena institusi wakaf tunai adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa. Sekian Wallahu A’lam.

Notes:
[1] Di samping sebagai rekayasa sosial, hukum juga dapat digunakan sebagai kontrol sosial. Sebagai kontrol sosial, hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Selengkapnya lihat, Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1986) hlm. 117.
[2] Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta : Penerbit Lentera, 1994, h. 1
[5]Politik wakaf yang dilakukan kolonial sebagaimana dalam contoh di atas, dilanjutkan oleh banyak penguasa negeri-negeri muslim yang berada di bawah kekuasaan penjajah, bahkan pasca kemerdekaan negeri-negeri muslim. Dengan merdekanya sebagian besar negeri-negeri muslim pada pertangahan abad ke 20, muncullah negara-negara nasional. Tidak sedikit kepemimpinan baru mengambil berbagai sikap yang kurang respons dan mendukung gerakan wakaf dari masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika banyak harta wakaf di Syiria, Mesir, Turki, Tunis dan Al-jazair dialihkan menjadi harta publik yang awasi oleh negara dan didistribusikan melalaui landreforms dan cara-cara lain, meskipun pemerintah di negeri-negeri tersebut mengambil alih tanggung jawab mendanai mesjid, sekolah keagamaan, termasuk Univertsitas Al-Azhar. Pada saat itulah kegiatan wakaf semakin menipis dan sejumlah harta wakaf di beberapa negara dialihkan menjadi harta publik dibawah penguasaan negara.(N.A.Fadhil, The History of Waqf, 2001)
[3] M.A, Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai, terjemahan, Jakarta, UI,2001, hln. 13
[4] Ibid..
[5] Lihat, Proceeding of Seminar Management and Development of Awqaf Properties, IRTI-IDB, 1987
[6] Sambutan Menteri Agama, dalam Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam “Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat”
[7] Wakaf Tunai: Inovasi dalam Islam “Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Ummat” Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, UI, Jakarta, 2002.
[8] Ulama yang menolak wakaf uang tunai karena memandang waqaf harus baqa-u ‘ainihi. Sedangkan uang menurut mereka tidak baqau ‘ainih. Sehingga wakaf uang tidak sah (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri,1980,)
[9] Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, {Beirut, Dar Ibn Hazm}, 1997, h. 20-21.
[10] Al-Mawardy, Al-Hawi al-Kabir, Tahqiq, Mahmud Mukhraji, (Beirut Dar al-Fikri, 1994), Juz IX, hlm. 379

Oleh : DR Agustianto Mingka, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email" ustazsofyan@gmail.com

* DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil Sekjen MES Pusat, Tim Kerja OJK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan Keuangan Islam di Banyak Universitas serta Trainer di IqtishadConsulting
Ust. Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina.


Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th