Dalam
Islam, zakat menduduki posisi yang sangat penting. Zakat tidak saja menjadi
rukun Islam, tetapi juga menjadi indikator dan penentu apakah seseorang itu
menjadi saudara seagama atau tidak. Maksudnya, bila seorang muslim telah kena
wajib zakat, tetapi tidak mau berzakat, maka ia bukan lagi saudara seagama. Hal
ini secara tegas dikemukakan Alquran, “Jika mereka bertaubat,
mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat, barulah mereka menjadi saudaramu
seagama”. (QS.5:8).
Dengan
demikian, orang yang mengabaikan kewajiban zakat, sesungguhnya telah melakukan
keengkaran dan kedurhakaan besar kepada Allah. Karena itulah, ketika di masa
Abu Bakar ada sebagian kaum muslimin yang mengaku muslim dan rajin shalat,
tetapi enggan membayar zakat, Abu Bakar dengan nada marah mengeluarkan statemen
yang artinya: Demi Allah, aku akan perangi siapa yang memisahkan shalat
dengan zakat.
Abdullah
bin Mas’ud mengatakan bahwa barang siapa yang melaksanakan shalat, tapi enggan
membayar zakat, maka tidak ada shalat baginya. Begitu eratnya keterkaitan
shalat dan zakat, sehingga Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya, (Amal
seseorang itu tidak bermanfaat, kecuali dia menegakkan shalat dan menunaikan
zakat sekaligus).
Menurut
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah, di dalam Al-Qur’an perintah shalat dan
zakat digandengkan sampai 82 kali. Ini menunjukan bahwa shalat dan zakat tidak
bisa dipisahkan dalam kegiatan amal seorang muslim. Shalat merupakan ibadah
badaniyah sedangkan zakat merupakan ibadah maliyah. Shalat
merupakan hubungan vertikal kepada Allah, sedangkan zakat lebih bersifat
horizontal dan sosial. Dalam
rangka memotivasi dan membangun masyarakat yang taat zakat, Islam tidak hanya
mengumumkan punishment (azab) yang sangat keras bagi penolakannya
(QS. 9:35, 41:7) dan memberikan reward (jaza’) yang
sangat besar bagi yang melaksanakannya. (QS. 30:39, 9:19), lebih dari itu,
berbagai credit point, termasuk garansi dicurahkannya keberkahan
dan pelipatgandaan asset bagi orang-orang yang membayar zakat (QS. 267).
Secara
etimologi (lughat), zakat memiliki tiga pengertian. Pertama,
berkah, Kedua, tumbuh, berkembang, subur atau bertambah. (Firman Allah, “Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedeqah”. (QS. 2:276), “Apa saja
yang kamu infaqkan walau sedikit saja, maka Dia akan menggantinya“. (Qs.
6:38). Sabda Nabi Saw, Setiap pagi dua malaikat berdo’a, Ya
Allah, berikanlah kepada orang yang telah berinfaq itu ganti dan berikanlah
kepada orang yang tidak berinfaq itu kebinasaan. (H.R Bukhari-Muslim).
Dalam hadits lain Nabi bersabda, Artinya: Sedeqah itu tidak akan
mengurangi harta (H.R.Tarmizi). Ketiga, tazkiyah, membersihkan dan mensucikan.
Firman Allah, “Ambillah zakat dari harta mereka, engkau membersihkan dan
mensucikan mereka dengan sedeqah tersebut”. (QS. At-Taubah: 103). Menurut
istilah syara’, zakat itu ialah nama bagi pengambilan tertentu dari harta
tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan
tertentu. Jadi, dalam zakat terdapat aturan-aturan khusus yang ada ketentuan-ketentuannya.
Selain
zakat, dikenal pula istilah infaq dan sedeqah. Infaq dan sedeqah tidak
ditentukan jumlahnya (bisa besar atau kecil) dan tidak ditentukan pula
nishabnya dan sasaran penggunaannya. Dari sini terlihat bahwa zakat bersifat
khusus, sedangkan infaq dan sedeqah lebih umum. Infaq
mencakup dua macam, pertama infaq wajib, yakni zakat dan nazar, Kedua infaq
sunnah, yakni infaq biasa di luar zakat. Kata sedeqah juga bisa mencakup sedeqah
wajib, yakni zakat (QS.9:60) dan sedeqah sunnah (sedeqah di luar zakat). Berinfaq
dan bersedeqah merupakan bagian dari keimanan seorang muslim, artinya, infaq
dan sedeqah merupakan ciri utama orang-orang yang benar imannya (QS.8: 3-4),
ciri utama orang yang bertaqwa (QS. 2:3 dan 9:34) serta ciri mukmin yang
mengharapkan balasan yang abadi dari Allah Swt (QS. 35:29). Sedeqah,
selain dalam bentuk harta (amwal) dapat juga berupa sumbangan
tenaga atau pemikiran dan bahkan sekedar senyuman. Sedangkan infaq tidak bisa
dengan non-materi maka infaq tidak boleh dengan senyuman dan pemikiran. Meskipun
kata zakat, infaq dan sedeqah memiliki perbedaan, tetapi Alquran dan sunnah
seringkali menggunakan kata infaq, sedeqah dan haq untuk makna zakat. (QS.
9:35, 9:60, 9:21).
Kewajiban
zakat dan dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadakah yang demikian
mutlak tegas itu, disebabkan karena di dalam ibadah ini terkandung berbagai
hikmah dan manfaat (signifikansi) yang demikian besar dan mulia baik bagi muzakki(orang
yang harus berzakat), mustahiq maupun masyarakat keseluruhan, antara lain
tersimpul sebagai berikut:
Pertama,
sebagai realisasi iman kepada Allah SWT. Berzakat merupakan upaya mensyukuri
nikmat-Nya. Zakat adalah ibadah, karena itu aturannya harus sesuai dengan petunjuk
syari`ah.
Kedua,
sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan
umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi,
sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.
Ketiga,
menolong, membantu dan membina kaum Dhuafa’ (orang yang lemah
secara ekonomi) maupun mustahiq lainnya ke arah kehidupan yang
lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya
kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin
timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang
berkecukupan hidupnya tidak memperdulikan mereka.
Keempat:
untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga
diharapkan akan lahir masyarakat marhamah di atas prinsip ukhuwah Islamiyah dan
takaful ijtima’i.
Kelima:
Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi
spiritual keagamaan berdasarkan firman Allah, “Allah memusnahkan riba
(tidak berkah), dan mengembangkan sedeqah (zakat)”. QS. 2:276).
Keenam:
menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan batin dan
kehidupan, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki.
Ketujuh:
menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.
Ahli
fiqh membagi zakat kepada dua macam, pertama zakat fitrah, kedua, zakat harta.
Dalam fiqih zakat, ditentukan harta-harta yang wajib dikeluarkan zakatnya (al-amwal
az-zakawiyah). Para ahli fikih secara eksplisit menyebutkan enam jenis
kekayaan yang wajib dizakati, yaitu, 1. Emas dan perak, 2. Hasil tanaman dan
buah-buahan, 3. Barang dagangan, 4. Binatang ternak, 5. Hasil tambang, 6.
Barang temuan (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 1986).
Abdurrahman
Al-Jaziri dalam Kitabul Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah, secara eksplisit
merumuskan lima jenis harta yang wajib dizakati, 1. Binatang ternak, 2. Emas
dan perak, 3. Barang Dagangan, 4. Barang tambang, 5. Hasil pertanian. Sementara
itu, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi, bahwa zakat harta itu terbagi dalam empat
kelompok. Pertama, kelompok tanaman dan buah-buahan. Kedua, kelompok hewan
ternak, Ketiga, kelompok emas dan perak. Keempat, kelompok harta perdagangan.
Sedangkan rikaz (harta temuan), sifatnya hanya insidentil. (Zadul
Ma’ad, 1925).
Zakat
merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah, yakni
ibadah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan umat manusia. Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala
macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda
dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Tetapi substansinya tetap
sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesuai
dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata-pencaharian
masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta
yang dizakati juga mengalami perkembangan. Alquran
sebagai kitab suci yang universal dan
eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi
memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai
dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada
jenis-jenis harta yang dizakati.Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata “Amwalihim”, yakni segala
macam harta (QS.9:103) dan kata “kasabtum”, yakni segala macam
usaha yang halal (QS 2:267). Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas
harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam
batasan-batasan syari`ah.
Prof.
Dr. Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama
kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada
sembilan kategori, 1. zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat
kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5.
Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7.
Zakat investasi pabrik, gedung, dll, 8. Zakat pencarian, jasa dan profesi, 9.
Zakat saham dan obligasi. Kaedah
yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah
bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (QS. 9:103 dan 2:267), juga berpegang
pada syarat harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang. Karena
itu, harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi yang menghasilkan
harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter, pengacara, konsultan,
bankir, kontraktor, dosen, notaris, pegawai negeri, TNI, dsb.
Para
ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena
dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya
adalah kegiatan trading atau perdagangan.
Dasar
hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana
terdapat dalam QS 2:267 dan QS 9:103. “Wahai orang-orang yang beriman,
infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan
dan mensucikan mereka…”
Kewajiban
zakat perusahaan juga didukung sebuah hadits riwayat Bukhari dari Anas bin
Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan
tentang zakat binatang ternak yang di dalamnya ada unsur syirkah.
Sebagian isi surat itu antara lain, “….Jangan dipisahkan sesuatu yang telah
tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang
telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka
keduanya harus dikembalikan (diperlakukan) secara sama”.
Teks
hadits tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang
ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog)
untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar
ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha dipandang sebagai syakhsiyah
hukmiyah (badan hukum). Para individu di perusahaan itu bekerjasama
dalam berbisnis dan memajukan perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung
bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban
kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun
harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang
sebagai syakhsiyah hukmiyah, masih mengandung sedikit khilafiyah di
kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang
lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam
wacana fikih klasik. Meskipun
ada semacam khilafiyah, tapi umumnya ulama kontemporer yang
mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai
menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya,
karena pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para
pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syak
lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsiyah hukmiyah yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Dr.
Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu”
menuliskan: Fikih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif
sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah
i’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarrodah(badan hukum) dengan
mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan,
perhimpunan, dan perusahaan, sebagai syakhsyiyah (badan) yang
menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki,
mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang
berdiri sendiri secara umum”.
Sejalan
dengan Wahbah, Dr. Mustafa Ahmad Zarqa dalam kitab “Madkhal al-Fiqh
al-‘Aam” mengatakan, “Fikih Islam mengakui adanya syakhsyiyah
hukmiyah atau i’tibariyah (badan hukum). (Volume.III,
halaman 256). Oleh karena zakat perusahaan merupakan analogi dari zakat
perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu
pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada
riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari
Maimun bin Mihran, “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat,
perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap
diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula
piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang
engkau miliki”.
Berdasarkan
kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola penghitungan zakat
perusahaan sekarang ini, adalah didasarkan pada neraca (balance
sheet), yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset
netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syar’iyah.
Yang termasuk kepada aktiva lancar yang merupakan harta yang dikenai
zakat adalah neraca (balance sheet), ialah: 1. Kas, 2. Bank
(setelah disisihkan unsur bunga), 3. Surat Berharga (dengan nilai sebesar harga
pasar), 4. Piutang (yakni yang kemungkinan bisa ditagih). 5.
Persediaan, baik yang ada di gudang, di show room, di perjalananan,
di distributor dalam bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses,
produksi atau masih bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar, sesuai dengan
hadits Jabir bin Zaid, “Nilailah dengan harga pada hari jatuhnya kewajiban
zakat, kemudian keluarkan zakatnya (Abu Ubaid bin Salam, Al-Amwal). Sedangkan
biaya dibayar dimuka tidak terkena zakat.
Sedangkan
yang termasuk kewajiban lancar ialah: 1. Hutang usaha, 2. Wesel bayar, 3.
Hutang pajak, 4. Biaya yang masih harus dibayar, 5. Pendapatan diterima di
muka, 6. Hutang bank (hutang bunga tidak termasuk), 7. hutang jangka panjang
yang jatuh tempo. Untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat, adalah aktiva
lancar dikurangkan kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Metode
ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai
pendekatan penghitungan zakat perusahaan, bahkan Badan Standarisasi Akuntansi
dan Auditing Perbankan Islam yang bermarkas di Bahrain telah menetapkannya
sebagai standar baku dalam menghitung zakat perusahaan perbankan dan telah
mengesahkannya tahun 1998 yang lalu. Adapun nishab zakat perdagangan menurut
pedoman yang dikelurkan oleh tiga lembaga besar di Indonesia (MUI Pusat, Depag
dan BAZ), adalah senilai 94 gram emas. Namun ada juga pendapat yang dianggap
mu’tabar menetapkan nishabnya 85 gram emas. Sedangkan tarifnya adalah 2,5% dari
aset , bukan dari keuntungan.
Dalam
menghitung dan menentukan aktiva lancar dari suatu perusahaan, harus
diperhatikan unsur syari`ahnya, seperti koreksi atas pendapatan bunga (riba),
pendapatan haram serta yang bernuansa syubhat lainnya.
Sedangkan asset tetap (activa tetap) tidak termasuk yang dizakati, sebab ia
bukan barang yang diperjual-belikan dalam perusahaan itu, meskipun aktiva tetap
itu bisa diperjualbelikan. Kesimpulannya, aktiva tetap pada perusahaan tidak
termasuk harta yang kena zakat, karena Rasululah Saw hanya memerintahkan untuk
mengeluarkan zakat atas harta yang siap diperjual-belikan.
Selanjutnya
perlu dipertegas, apakah pemegang saham dalam perusahaan itu mengeluarkan zakat
lagi setelah perusahaannya sendiri mengeluarkan zakat?. Menurut fatwa dan
rumusan simposium zakat international di Kuwait pada tanggal 26 Rajab H/30
april 1984, bahwa zakat saham di perusahaan itu harus memperhatikan dua hal
pokok. Pertama, apabila perusahaan itu telah mengeluarkan zakatnya, maka bagi
para pemegang saham perusahaan tersebut, tidak lagi wajib mengeluarkan
zakatnya. Kedua, Jika perusahaan tidak mengeluarkan zakat, maka bagi para
pemegang saham wajib mengeluarkan zakatnya sesuai dengan kepemilikan saham.
Contoh
Perhitungan Zakat perusahaan :
Jika
perusahaan X memiliki activa lancar
Rp 150 milyar
Sedangkan
kewajiban
lancar
Rp 50 milyar.
Maka
zakat yang dikeluarkan perusahaan tersebut ialah Rp 100 M x 2,5 % = Rp 2,5
milyar.
Zakat Profesi
Zakat
profesi adalah zakat penghasilan yang diperoleh dari pengembangan potensi diri
yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai syari`ah, seperti upah kerja
rutin, arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor, dan
sebagainya. Dasar
hukum yang dijadikan dalil kewajiban zakat profesi ialah nash-nash Alquran yang
terdapat dalam surah Al-baqarah: 267 dan At-Taubah: 103, dan Al-Ma’arij
24-25. “Di dalam harta mereka ada kewajiban zakat yang tertentu untuk
orang miskin yang meminta-minta maupun orang yang miskin yang malu meminta”.
Berdasarkan
ayat-ayat di atas maka simposium ulama tentang zakat di Kuwait 1984, menetapkan
bahwa zakat profesi adalah wajib. Yang menjadi persoalan penting dalam zakat
profesi ini ialah, Pertama, waktu mengeluarkannya, apakah secara langsung
ketika mendapat jasa, tanpa menunggu setahun (haul), karena diqiyaskan
kepada zakat pertanian atau harus memakai haul karena
diqiyaskan kepada zakat emas dan perak.
Kedua,
mengenai nishabnya, apakah konsisten qiyasnya kepada zakat
pertanian, yakni 5-10%, atau diqiyaskan kepad zakat yang lain, yakni zakat
emas-perak/perdagangan, yakni sebesar 2,5%. ogikan zakat profesi kepada zakat
pertanian, yakni dibayar ketika mendapatkan hasilnya, tanpa menunggu setahun.
Demikian juga mengenai nishabnya, sebesar 1350 kg gabah atau 750 kg beras.
Zakat ini dibayarkan dari pendapatan bersih, bukan pendapatan kotor.
Sedangkan
tarifnya, menurut ulama kontemporer tadi, dianalogikan kepada zakat emas dan
perak yakni sebesar 2,5%, atas dasar “qiyas asy-syabah“. Maksud qiyas
asy-syabah adalah mengqiyaskan sesuatu dengan dua hal, pertama, dari
segi waktu mengeluarkan dan nishabnya dianalogikan kepada zakat pertanian,
Kedua, dari segi tarifnya dianalogikan kepada zakat emas-perak.
Pendapat
di atas, tampaknya tidak konsisten dalam menerapkan qiyas. Seharusnya,
apabila waktu dan nishabnya diqiyaskan kepada zakat pertanian, maka tarif
zakatnya juga diqiyaskan kepada yang serupa yakni 10%. Bila zakat profesi
diqiyaskan kepada zakat emas dan perak maka seluruhnya diqiyaskan kepada emas
dan perak.
Adapun
mengenai haul dalam profesi, Dr. Yusuf Qardhawi telah meneliti secara mendalam
bahwa empat hadist yang menjelaskan keharusan haul ternyata sanad hadits
dha’if/lemah, karena itu dalam zakat profesi tidak harus menunggu satu tahun.
Selain alasan lemahnya hadits tentang haul, alasan lain tidak harusnya menunggu
haul adalah supaya tidak memberatkan. Jadi, zakat profesi dapat
dikeluarkan perbulan, sebagaimana yang pernah dilakukan Mu’awiyah terhadap gaji
militer yang dipotong oleh bendaharawan negara setiap bulannya dan hal itu
diakui sejumlah sahabat termasuk Ibnu Mas’ud. (Lihat kitab Majmu’ az-Zawaid).
Jadi, bagi yang berpenghasilan tetap seperti honor atau gaji, zakatnya bisa
dikeluarkan setiap bulan atau bisa setiap tahun, tergantung kepada cara
termudah untuk mengeluarkannya. Adapun jika penghasilan tidak menentu waktu dan
besarnya, seperti jasa konsultan proyek, ataupun penghasilan lainnya, maka
pengeluaran zakatnya pada saat menerimanya.
Kajian
ini hanya mengetengahkan zakat perusahaan dan zakat profesi, sebagai tambahan
bahasan, karena dalam dialog dan diskusi ini, kedua zakat inilah dipandang yang
paling prioritas, sementara topik kajian makalah ini lebih terpokus kepada
zakat sebagai solusi dalam perspektif syari`ah (quran dan sunnah).
Mudah-mudahan makalah ini dapat membuka wacana untuk dikembangkan dalam diskusi
nantinya.
Fungsi Sosial Zakat Profesi
Zakat
profesi yang sangat luas ruang lingkupnya itu sangat potensial dan fungsional
untuk mengatasi masalah kemiskinan yang saat ini menjadi agenda penting
pembangunan ekonomi Indonesia. Jumlah kemiskinan yang membengkak dari 22,5 juta
sebelum krisis moneter menjadi hampir 100 juta merupakan realitas yang
memprihatinkan. Karena itu kelahiran Undang-Undang zakat di era reformasi ini
merupakan momen yang tepat.
Ajaran
Islam yang dijabarkan dalam fiqh melihat ada tiga faktor yang menentukan miskin
tidaknya seseorang, pertama, harta benda yang dimiliki secara shah/halal dan
berada di tempat (mudah digunakan atau diambil manfaatnya), kedua, mata
pencaharian tetap yang dibenarkan oleh hukum, ketiga kecukupan akan kebutuhan
hidup pokok. Maka,
berdasarkan indikator di atas, mereka yang tergolong miskin ialah mereka yang
memiliki harta benda atau mata pencaharian tetap tetapi hasilnya tidak mencukup
kebutuhan pokoknya. Misalnya, pencariannya hanya Rp 6000. Sementara kebutuhan
pokoknya Rp 10.000.
Adapun
kelompok yang termasuk fakir ialah mereka yang tidak memiliki usaha sama
sekali, sehingga fakir sebetulnya lebih parah dari miskin, sehingga kelompok
fakir selalu diistilahkan dengan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Karena itu, fakir ini ditempatkan sebagai urutan pertama dalam urutan penerima
zakat. Kebutuhan hidup fakir-miskin dapat dilihat dalam bab an-nafaqah di
setiap literatur fiqh. Nafaqahatau biaya hidup yang menjadi beban
tanggungan seseorang, pada garis besarnya terdiri dari tiga macam biaya, yaitu
biaya hidup untuk istri, biaya untuk keluarga lain, biaya barang yang dimiliki. Biaya
hidup yang menyangkut manusia (istri dan keluarga, seperti anak dan karib
kerabat) terdiri dari komponen biaya sebagai berikut :
1. Makanan pokok beserta lauk pauknya (termasuk
biaya pengolahannya sampai berwujud Padi).
2. Pakaian yang dibutuhkan
3. Tempat tinggal yang menjamin keamanan
penghuninya.
4. Perawatan kesehatan (upah dokter, harga obat).
5. Pendidikan dan pengajaran yang dibutuhkan
6. Biaya pelayanan bagi yang tidak mampu
melayani sendiri karena tua atau uzur yang lain.
7. Kebutuhan-kebutuhan lain yang sudah menjadi
kebiasaan umum
Kebutuhan-kebutuhan
yang diuraikan di atas, merupakan kebutuhan pokok yang harus tercukupi pada
batas minimum. Karena yang demikian itulah yang sesuai dengan martabat manusia
yang menjamin kemaslahatan dasarnya yang lima, yaitu agama (pelaksanaan
ibadah), akal (pendidikan), harta, kehormatan dan keturunan. Dalam
konteks ini Prof. Dr. Mustafa as-Siba’i mengomentari bahwa sesungguhnya taraf
hidup yang digambarkan oleh fiqh merupakan taraf hidup yang cukup tinggi. Di
dalamnya terlihat bahwa di antara kebutuhan pokok itu ialah rumah tempat
tinggal, biaya keluarga untuk setahun, buku-buku ilmu pengetahuan, alat-alat
kerja, alat transportasi, dan senjata pribadi (Istirakiyah al-Islam, hlm. 161).
Contoh Penghitungan Zakat Profesi
Pak
Fulan seorang dokter dengan penghasilan dan pengeluaran sbb :
Pendapatan
dari praktek dokter setahun
Rp 360.000.000
Pengeluaran
:
Kebutuhan
pokok (dasar) 12 bulan x Rp 5
juta
Rp 60.000.000
Gaji
Karyawan 12 x
10.000.000
Rp 120.000.000
Biaya
operasional praktek
dokter
Rp 24.000.000
Pajak
Penghasilan
Rp 32.400.000
———————–
236.000.000
Penghasilan
bersih = Rp 360 juta – Rp 236 juta = Rp 124 juta.
Selanjutnya
2,5% x Rp 124 juta = Rp 3.100.000. Jadi zakat yang harus dikeluarkan Fulan
sebesar Rp 3.100.000
Jika
seorang dokter sebagai PNS di Departemen kesehatan dan memiliki saham di
beerapa perusahaan juga tabungan di bank islam, maka cara penghitungannya
sebagai berikut :
1.
Penghasilan bersih dari praktik dokter
Rp Rp 204.000.000
2.Gaji
PNS 12 x Rp
2.000.000
Rp 24.000.000
3.Tunjangan
PNS di RS
Rp 24.000.000
4.Deviden
saham
Rp 10.000.000
5.Tabungan/Deposito
di Bank
Islam
Rp 48.000.000
Total
Rp 300.000.000
Maka
zakat yang harus dikeluarkannya Rp 300 juta x 2,5% = Rp 7.500.000,-
Zakat Produktif
Untuk
melepaskan umat dari belenggu kemiskinan, penyaluran zakat tidak saja
digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk kebutuhan produktif,
sehingga zakat menjadi salah satu institusi ekonomi umat dengan pengembangan
usaha-usaha produktif umat Islam. Menyalurkan
zakat untuk kepentingan produktif, bukan berarti meniadakan penyaluran yang
bersifat konsumtif, karena distribusi konsumtif itu tetap selalu dibutuhkan,
seperti untuk beasiswa, biaya pengobatan fakir-miskin, pembangunan sarana
pendidikan, dsb.
Penyaluran
dan penggunaan dana untuk keperluan produktif bisa diberikan dalam bentuk
bantuan modal kepada mereka yang masih punya kemampuan bekerja dan berusaha.
Tentunya, disertai pula dengan dukungan teknik dan manajemen bagi kaum ekonomi
lemah, sehingga mereka bisa mandiri dan terlepas dari kemiskinan. Dengan
demikian, kita tidak lagi memberikan ikan, tetapi memberikan pancing.
Diharapkan pada tahun-tahun berikutnya si mustahiq tadi tidak
lagi sebagai penerima zakat, tetapi telah berubah nasibnya menjadi pembayar
zakat (muzakki).
Inilah
yang pernah diisyaratkan Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadits riwayat Bukhari,
“Berzakatlah kalian, niscaya akan datang suatu masa, di mana seorang muzakki (pembayar
zakat), membawa zakat hartanya, tetapi tidak menemukan lagi orang yang berhak
menerimanya. Orang yang ditawari mengatakan: “Sekiranya anda datang tahun yang
lalu, maka saya menerimanya”. Sekarang saya tidak lagi dijumpai di Daulah
Islamiyah yang sangat luas itu. Oleh karena kemiskinan absolut telah berhasil
dihapuskan, maka distribusi zakat mengalami kesulitan, sehingga terpaksa
diserahkan kepada kelompok non-muslim (muallaf) di Afrika
Utara.
Sejarah
mencatat keberhasilan zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Zakat dikelola
secara transparan dan rapi sejak masa Rasulullah Saw sampai pada masa Ummayyah,
khususnya pada masa Umar bin Abdul Aziz, bahkan pada masa Kalifah Al-Manshur,
negara memiliki surplus dana Baitul Mal sebanyak 810 juta dirham, yang disimpan
sebagai devisa.
Ancaman Bagi Orang Enggan Membayar Zakat
Bagi
umat Islam yang kena wajib zakat, haruslah mengeluarkan zakatnya tepat waktu
dan ukurannya, yang saat ini dapat diserahkan melalui suatu lembaga yang
disebut dengan BAZ atau LAZ.
Bagi
mereka yang enggan mengeluarkan zakat, Allah mengancamnya dengan azab yang
pedih. Firman Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak mengimfaqkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa
mereka akan mendapat siksa yang amat pedih (At-Taubah, 33).
Nabi Muhammad juga dalam sebuah hadits pernah bersabda bahwa orang yang telah
mempunyai harta, tetapi tidak membayar zakat, maka pada hari kiamat nanti harta
mereka itu menjadi ular yang berbisa dan beracun, maka ular itu melilit tangkuk
orang tersebut, dan menyiksanya dengan siksa yang dahsyat. Maka ular itupun
berkata, “Sayalah hartamu yang engkau timbun selama di dunia tapi tidak engkau
keluarkan zakatnya (H.R. Muslim).
Lampiran
: Zakat sebagai pengurang Pendapatan Kena Pajak.
Agar
para muzakki tidak terkena kewajiban ganda (zakat dan pajak)
yang dipandang memberatkan, kita sudah memiliki Undang-Undang perpajakan, yakni
UU no 17/2000 tentang Pajak Penghasilan yang selalu disebut sebagai UU PPh
2000. UU PPh 2000 ini sejalan dengan UU No 38/1999 tentang pengelolaan Zakat.
Pasal
9 UU Pajak No 17/2000 menyatakan: “Bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan
kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak boleh
dikurangkan oleh: harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilanoleh wajib pajak orang pribad pemeluk ahama iIslam yang nata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam.dan atau wajib pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah”. Sejalan dengan itu, UU
Zakat No 38/1999 pasal 14 ayat 3 menyatakan. “Zakat yang telah dibayarkan
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari
laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari
kedua undang-undang di atas dapat diketahui bahwa seorang wajib pajak yang
beragama Islam yang ingin menunaikan zakat, dimungkinkan untuk membayar pajak
lebih sedikit dari nilai yang seharusnya. Pembayaran pajak yang lebih sedikit
itu, disebabkan karena zakat menurut Undang-Undang tersebut dapat mengurangi
Pendapatan Kena Pajak (PKP) . Maksudnya, setelah dikurangi zakat, jumlah
penghasilan yang akan dikenakan pajak, akan berkurang, sehingga dengan
prosentase yang tetap, nilai pajaknya pun akan semakin kecil.
Rp 8.
250.000. (10% x Rp 8,25 juta).
Jika
zakat tidak mengurangi PKP, maka pajak si Fulan itu sebesar Rp 1 juta, tetapi
dengan pengurangan zakat, jumlah pajaknya hanya Rp 825.000.
Namun
jika dijumlahkan pembayaran zakat dan pajak, maka total dana yang ia keluarkan
sebesar :
1.
Zakat Rp 1.875.000
2.
Pajak Rp 825.000
————————
+
Rp
2.700.000
Dari
contoh di atas diketahui bahwa nilai pembayaran zakat lebih besar dari
pembayaran pajak.
Kontributor : DR Agustianto Mingka, MA, Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
==================
*DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil
Sekjen MES Pusat, Tim Kerja OJK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan
Keuangan Islam di Banyak Universitas serta Trainer di IqtishadConsulting