Zakat Perusahaan
Oleh :
Agustianto Mingka
Zakat
merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah, yakni ibadah sosial
kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
umat manusia. Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya,
maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan
corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Tetapi substansinya tetap sama,
yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesuai
dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus
berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak
mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk
dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis
harta yang dizakati. Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata
“Amwaalihim”, yakni segala macam harta (Q.S. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakni
segala macam usaha yang halal (Q.S. 2:267). Oleh karena itu, ulama kontemporer
memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang
berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof.Dr.Yusuf
Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama
kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9
katagori: 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan
dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5. Zakat madu dan
produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi
pabrik, gedung, dll. 8. Zakat pencarian jasa dan profesi, 9. Zakat saham dan
obligasi. Kaedah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib
zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (Q.S. 9:103 dan 2:267),
juga berpegang pada syaraf harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan
berkembang. Karena itu harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi
yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter,
pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaris, pegawai negeri, TNI,
dsb.
Zakat
Perusahaan
Para
ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena
dipandang dari aspek legar dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya
adalah kegiatan trading atau perdagangan. Dasar hukum kewajiban zakat
perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S.
2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah
(zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik………..”. Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan
mensucikan mereka…….Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist
riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat
kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya
ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “……Jangan dipisahkan
sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan
apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat
(berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”.
Teks
hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak,
akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian
yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka
keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah
hukmiayah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban
ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya
kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta. Namun harus diakui bahwa, kewajiban
zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih
mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat
ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang
belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik.
Meskipun
ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah
zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif
dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakekatnya badan hukum
tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena
taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah
hukmiayah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah
Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu”
menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai
syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh
(badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum,
seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang
menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak,
menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri
secara umum”.
Sejalan
dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam”
mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah
(badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Oleh
karena zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan,
nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar
perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh
Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram. “Apabila telah
sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki
baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian
nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah
hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Berdasarkan
kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat
perusahaan sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu
aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa
disebut oleh ulama dengan metode syari’ah. Yang termasuk kepada aktiva lancar
ialah : 1. Kas, 2. Bank (setelah disisihkan unsur bunga), 3. Surat berharga
(dengan nilai sebesar harga pasar), 4. Piutang (yakni yang mungkin bisa
ditagih), 5. Persediaan, baik yang ada digudang, di show room, di perjalanan di
distributor dalam bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses atau
masih bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar.
Sabda
Nabi “Nilailah dengan harga pada hari jatuhnya kewajiban zakat, kemudian
keluarkan zakatnya” (Abu ‘Ubaid bin Salam Al-Amwal). Sedangkan yang
termasuk kewajiban lancar ialah: 1. Hutang usahan, 2. Wesel bayar, 3. Hutang
pajak, 4. Biaya yang masih harus dibayar, 5. Pendapatan diterima dimuka, 6.
Hutang bank (hutang bunga tidak termasuk) dan 7. Hutang jangka panjang yang
jatuh tempo.
Jadi
untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat dari sebuah perusahaan, ialah
aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya
2,5%. Metode syari’iy di atas digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara
Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara,
dokter, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya.
(Sumber: http://www.agustiantocentre.com/?p=571 )
=====================
* DR Agustianto Mingka, MA, Ketua DPP IAEI, Anggota Pleno DSN-MUI, Wakil
Sekjen MES Pusat, Tim Kerja O JK Syariah serta Dosen Pasca Sajana Ekonomi dan
Keuangan Islam di beberapa Universitas di Indonesia serta Trainer di
Iqtishad Consulting