- Apa beda zakat dengan Sedeqah?
- Apakah Penerima Zakat perlu diberi tahu bahwa itu dana Zakat?
- Zakat Profesi PNS yang gaji antara 5-10 juta/ bulan harus zmkat 2,5% menurut syariah islam bener tidak. sbg PNS harus bagaimana? Ini saya menolak krn tidak sesuai syarih islam. saya menjelas kalau infak boleh terserah PNS mau infak berapa. Mohon pencerahan
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Zakat secara bahasa artinya tumbuh (an-Nama’), bertambah (ar-Rii’), keberkahan (al-Barakah), dan mensucikan (at-Tathiir). (Lisan al-Arab, 14/358 dan Fathul Qadir, 2/399).
Sementara kata sedekah secara bahasa turunan dari kata as-Shidq yang artinya kejujuran. Karena sedekah adalah kejujuran iman orang yang mengeluarkannya. (Fathul Qadir, 2/399).
Sedangkan pengertiannya secara syariat,
[1] Zakat: beribadah kepada Allah – Ta’ala – dengan “mengeluarkan barang yang wajib dizakati” untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan ukuran tertentu sesuai yang dijelaskan syariat.
[2] Sedekah: beribadah kepada Allah dengan menginfakkan harta yang tidak diwajibkan syariat. Meskipun terkadang istilah sedekah digunakan untuk menyebut zakat.
Dalam beberapa ayat, Allah menyebut zakat dengan sedekah. Seperti firman Allah yang menjelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ …
Sesungguhnya sedekah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, … (QS. at-Taubah: 60)
Yang dimaksud sedekah pada ayat ini adalah zakat.
Diantara perbedaan sedekah dan zakat,
[1] Zakat adalah KEWAJIBAN dalam Islam untuk komoditas tertentu, seperti emas, perak, pertanian, binatang ternak, dst.
Sementara sedekah bukan kewajiban dan tidak dibatasi jenis komoditasnya.
[2] Ada syarat tertentu untuk zakat, seperti harus mencapai nishab, bertahan selama satu tahun (haul), dan dikeluarkan dengan nilai tertentu.
Sementara sedekah, tidak ada syarat khusus, tidak ada nishab (batas minimal harta), tidak harus menunggu haul, dan bisa dikeluarkan dengan jumlah berapapun, selama tidak merugikan diri sendiri atau keluarga.
[3] Zakat diwajibkan untuk diserahkan kepada golongan tertentu yang telah disebutkan oleh Allah. dan tidak boleh diberikan kepada selain mereka.
Sementara sedekah bisa diberikan kepada selain 8 ashnaf, seperti anak yatim, dst.
[4] Orang yang mati dan belum menunaikan zakat, wajib dibayarkan oleh ahli warisnya. Dan pembayaran utang zakat, lebih didahulukan dari pada pembagian wasiat atau warisan.
Sementara untuk sedekah tidak ada kewajiban semacam ini.
[5] Orang yang tidak membayar zakat, mendapatkan hukuman khusus di dunia dan di akhirat. Di dunia, dihukum dalam bentuk ditarik paksa zakatnya dan dihukum ta’zir sesuai keputusan pemimpin.
Ibnu Qudamah mengatakan,
وإن منعها معتقدا وجوبها, وقدر الإمام على أخذها منه, أخذها وعزره
“Orang yang tidak membayar zakat, dengan tetap meyakini bahw aitu wajib, sementara pemimpin memungkinkan untuk mengambil hartanya, maka pemimpin boleh memaksa dan memberinya hukuman ta’zir. (al-Mughni, 2/434)
Dan berhak mendapat hukuman di akhirat seperti yang disebutkan dalam hadis.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ
“Siapa yang diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya dijadikan seekor ular jantan aqra’ (botak karena di kepalanya ada banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang dengan kedua sudut mulutnya, sambil berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu.” (HR. Bukhari 1403).
Sementara untuk orang yang tidak menyerahkan sedekah, tidak ada ancaman semacam ini.
[6] Menurut 4 madzhab, zakat tidak boleh diberikan kepada anak, cucu dst ke bawah, juga tidak boleh diberikan ke bapak, kakek, dst. ke atas.
Sementara sedekah bisa diberikan kepada anak atau orang tua.
Dan masih ada beberapa hal lain yang membedakan antara zakat dengan sedekah.
Selanjutnya, untuk pertanyaan Kedua. Bukan bagian dari syarat membayar zakat, harus memberi tahu kepada penerima bahwa itu adalah zakat. Selama kita yakin bahwa orang yang menerima zakat itu adalah mustahiq. Sehingga tidak perlu ada ijab qabul. Lain halnya jika kita titipkan ke lembaga tertentu, kita harus memberi tahu bahwa harta yang kita titipkan statusnya adalah harta zakat, agar petugas bisa menyerahkannya ke pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat).
An-Nawawi mengatakan,
إذا دفع المالك أو غيره الزكاة إلى المستحق ولم يقل هي زكاة ، ولا تكلم بشيء أصلا : أجزأه ، ووقع زكاة ، هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذي قطع به الجمهور ، وقد صرح بالمسألة إمام الحرمين – أي : الجويني – ، وآخرون
Jika pemilik atau orang lain menyerahkan zakat kepada mustahiq, dan dia tidak menyampaikan keterangan bahwa itu zakat, atau sama sekali tidak menyampaikan keterangan apapun, maka hukumnya sah sebagai zakat. Inilah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana yang ditegaskan jumhur. Dan masalah ini telah ditegaskan oleh Imam al-Haramain – al-Juwaini – dan beberapa ulama lainnya. (al-Majmu’, 6/233)
Ibnu Qudamah mengatakan,
وإذا دفع الزكاة إلى من يظنه فقيراً : لم يحتج إلى إعلامه أنها زكاة ، قال الحسن : أتريد أن تقرعه ؟! لا تخبره
Ketika si A menyerahkan zakat kepada orang yang dia yakini fakir, maka dia tidak perlu memberi tahukan bahwa itu zakat. Al-Hasan mengatakan, “Apakah kamu ingin untuk membuat sedih hatinya dengan mengatakan, ‘Ini zakat?! Jangan kasih tahu bahwa itu zakat.”
Lalu Ibnu Qudamah membawakan riwayat dari Imam Ahmad,
Ahmad bin Hasan pernah bertanya kepada Imam Ahmad,
‘Ketika seseorang menyerahkan zakat ke orang miskin, apakah dia perlu memberi tahu bahwa itu zakat atau cukup diam saja?’
Jawab Imam Ahmad,
ولم يبكِّته بهذا القول ؟! يعطيه ، ويسكت ، ما حاجته إلى أن يقرعه
Mengapa dia harus membuatnya sedih dengan menyampaikan semacam ini?! Kasihkan saja, dan cukup diam. Apa perlunya dia memberi tahukan ini hingga membuatnya sedih. (al-Mughni, 2/508).
An-Nawawi ulama bermadzhab Syafiiyah, sementara Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali. Kita tambahkan komentar dari madzhab Malikiyah,
Dalam as-Syarh al-Kabir, Syaikh ad-Dardir menyatakan,
ولا يشترط إعلامه ، أو علمه بأنها زكاة ، بل قال اللقاني : يكره إعلامه ؛ لما فيه مِن كسر قلب الفقير ، وهو ظاهر ، خلافاً لمَن قال بالاشتراط
Tidak disyaratkan untuk memberi tahu bahwa itu zakat. Bahkan al-Laqqani mengatakan, ‘Makruh memberi tahu bahwa itu zakat, karena bisa membuat sedih hati si miskin.’ Dan ini yang lebih kuat, tidak sebagaimana pendapat yang mengatakan harus memberi tahu. (as-Syarh al-Kabir, 1/500)
Dan ini pula yang difatwakan Lajnah Daimah,
إذا دفعت زكاتك إلى من تعلم أنه مستحق لها بنية الزكاة فهي زكاة صحيحة ، ونرجو أن يقبلها الله تعالى منك ، ولا يلزمك إخبار الآخذ بأنها زكاة
Jika kamu menyerahkan zakat kepada orang yang kamu yakini dia berhak menerima, dengan niat zakat, maka ini menjadi zakat yang sah. Kami berharap semoga diterima oleh Allah Ta’ala. Dan anda tidak harus memberi tahukan kepada penerima bahwa itu zakat. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 11241)
Sekali lagi, ini berlaku jika penerima adalah orang yang kita yakini sebagai pihak yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin atau lainnya.
Sementra jika ini dititipkan ke lembaga atau yayasan penampung zakat, kita harus memberi tahu. Agar petugas bisa menyalurkannya ke sasaran yang benar.
Se;anjutnya untuk pertanyaan Ketiga menyangkut dengan Zakat Profesi:
Ada banyak channel ibadah dalam bentuk mengeluarkan harta. Ada yang bentuknya zakat, sedekah, infak, wakaf, hadiah, atau hibah. Islam memberikan kebebasan bagi umatnya untuk memilih channel apapun yang dia inginkan. Meskipun tentu saja dia harus prioritaskan yang wajib, yaitu zakat. Dan jika kita perhatikan, dari sekian channel mengeluarkan harta, zakat dijelaskan paling lengkap oleh Allah. Dari hulu sampai hilir semuanya dijelaskan.
Mulai dari kriteria wajib zakat, batas minimal harta yang dizakati, berapa persen angka yang dikeluarkan, jenis harta yang dizakati, hingga siapa yang berhak menerima zakat, semuanya telah dijelaskan Allah Ta’ala. Sehingga para ulama menggolongkan zakat sebagai ibadah mahdhah dalam bentuk mengeluarkan harta. Artinya tidak ada peluang bagi logika manusia untuk berkreasi di sana. Allah telah menjelaskannya dengan sempurna. Sehingga siapa yang mau berzakat, tinggal ikuti panduan yang ada.
Diantara dalil yang menjadi panduan zakat adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا ، فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Jika kamu punya 200 dirham dan sudah mengendap selama setahun maka ada kewajiban zakat 5 dirham. Dan kamu tidak memiliki kewajiban zakat untuk emas, kecuali jika kamu memiliki 20 dinar. Jika kamu memiliki 20 dinar, dan sudah genap selama setahun, maka zakatnya setengah dinar. Lebih dari itu, mengikuti hitungan sebelumnya.” (Abu Daud 1575 dan dishahihkan al-Albani).
Juga hadis dari Aisyah & Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, mereka mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ ، وَمِنْ الْأَرْبَعِينَ دِينَارًا دِينَارًا
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil zakat dari 20 dinar atau lebih sebesar ½ dinar. Sementara dari 40 dinar masing-masing diambil satu dinar-satu dinar.” (HR. Ibnu Majah 1863, Daruquthni 1919 dan dishahihkan al-Albani).
Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu di atas dinyatakan,
“Dan kamu tidak memiliki kewajiban zakat untuk emas, kecuali jika kamu memiliki 20 dinar”
Kalimat ini sangat tegas menunjukkan bahwa seorang muslim tidak berkewajiban bayar zakat sampai dia memiliki tabungan senilai 20 dinar. Jika kita konversi:
1 dinar Islam = 4,25 gr emas
20 dinar = 4,25 gr emas x 20 = 85 gr emas
Jika kita asumsikan harga emas Rp 500rb/gr, berarti nilai nishab zakat mal adalah 42,5 jt. bisa kita genapkan ke bawah menjadi 42 juta.
Para ulama menegaksan bahwa ukuran nishab dalam zakat ini dijadikan para ulama sebagai syarat wajib zakat.
Dalam Ensiklopedi Fiqh juga dinyatakan,
لا خلاف بين الفقهاء في عدم جواز التكفير قبل اليمين ؛ لأنه تقديم الحكم قبل سببه ، كتقديم الزكاة قبل ملك النصاب ، وكتقديم الصلاة قبل دخول وقتها .
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tidak bolehnya membayar kaffarah sumpah sebelum ada sumpah, karena berarti mendahulukan hukum sebelum ada sebabnya. Seperti mendahulukan zakat sebelum memiliki satu nishab, atau mendahulukan shalat sebelum masuk waktunya. (al-Masusu’ah al-Fiqhiyah, 35/48)
Para ulama ushul fiqh menegaskan bahwa hukum itu ada sebabnya.
Adanya hukum wajibnya shalat dzuhur, sebabnya telah masuk waktu dzuhur. Adanya hukum wajibnya membayar kaffarah sumpah, sebabnya ada sumpah yang diucapkan. Adanya hukum cerai, sebabnya ada pernikahan. Adanya hukum zakat, sebabnya karena orang memiliki harta satu nishab.
Ibnu Qudamah mengatakan,
لَا يَجُوزُ تَعْجِيلُ الزَّكَاةِ قَبْلَ مِلْكِ النِّصَابِ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ عَلِمْنَاهُ ، وَلَوْ مَلَكَ بَعْضَ نِصَابٍ ، فَعَجَّلَ زَكَاتَهُ ، أَوْ زَكَاةَ نِصَابٍ ، لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ تَعَجَّلَ الْحُكْمَ قَبْلَ سَبَبِهِ
Tidak boleh menyegerakan zakat sebelum memiliki harta senilai satu nishab, tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui. Jika ada orang yang memiliki sebagian nishab, lalu dia segera membayarkan zakatnya atau zakat senilai nisabnya, hukumnya tidak boleh. Karena ini sama dengan mendahulukan hukum sebelum ada sebab. (al-Mughni, 2/471).
Para ulama melarang membayar zakat sebelum nishab, dan mereka hukumi sebagai zakat yang batal, karena sama halnya dia melakukan amal tanpa ada sebab. Seperti orang yang shalat sebelum masuk waktu.
Dan yang perlu diperhatikan zakat ini untuk tabungan bukan untuk penghasilan. Kita bisa membedakan antara tabungan dengan penghasilan. Penghasilan belum tentu menjadi tabungan, tapi apa yang menjadi tabungan itu bagian dari penghasilan.
Si A seorang PNS di Jakarta berpenghasilan 7jt/bln. Karena tinggal di jakarta, si A mengeluarkan biaya untuk kebutuhan sekeluarga dan cicilan utang. Dari pendapatan 7jt/bln, terkadang pas untuk sebulan dan terkadang masih ada yang kurang. Sehingga si A harus menurunkan kebutuhannya. jika si A harus membayar zakat untuk penghasilannya sebesar 2,5% x 7jt, berarti si A akan mendapat beban tambahan 175rb tiap bulan.
Karena itu, zakat ditetapkan untuk harta yang di luar pengeluaran harian, seperti tabungan atau harta dagangan. Sementara harta yang digunakan untuk pengeluaran keseharian, tidak diperhitungkan zakatnya.
Apakah berarti tidak berpahala?
Bedakan antara tidak sah sebagai zakat dan tidak berpahala. Yang dinyatakan mereka adalah tidak sah sebagai zakat. Artinya belum menggugurkan kewajiban zakatnya. Sehingga jika nantinya dia sudah memenuhi syarat zakat, harus dibayarkan zakatnya.
Sementara apakah yang dia keluarkan bisa berpahala?
Jika dia lakukan dengan ikhlas, insyaaAllah dia mendapat pahala sebagai sedekah.
Sebagaimana orang yang shalat 2 rakaat dengan niat shalat subuh padahal belum masuk waktu subuh. Shalatnya tidak sah sebagai shalat subuh, sehingga wajib diulang setelah masuk waktu subuh, namun dia tetap mendapat pahala shalat sunah 2 rakaat.
Dua konsekuensi ketika zakat profesi diterapkan
[1] Orang yang belum memiliki harta sebesar nishab, membayar zakat. Padahal itu zakat sebelum waktunya, dan itu zakat yang tidak sah.
[2] Muncul anggapan bagi mereka yang sudah membayar zakat profesi tidak lagi wajib membayar zakat karena sudah dikeluarkan zakat profesinya setiap bulan ketika menerima gaji. Padahal dia punya tabungan di atas nishab tersimpan tahunan, yang seharusnya itu dizakati.
Demikian…
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com). Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com