Syariat
Islam telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan
pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur.
Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya
dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula. Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang
debitur:
Adab Pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu
untuk melunasinya.Diantara syari’at yang diajarkan kepada
umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap
proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak
berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh
tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita
dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana
kita juga akan terhindar dari sikap “besar pasak daripada tiang”.
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu)ditengah-tengah antara yang demikian.”
(QS Al Furqan 67).
Al Qurtuby Al Maliky berkata: “Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
(1): Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas. (2) Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha’i. (3) Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib.”
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: “Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama.”
Adapun maksud dari: “Tidak kikir dalam
membelanjakan harta”, maka para ulama’ tafsir memiliki dua penafsiran:
(1) Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya. (2) Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur’an oleh Al Qurtuby 3/452)
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan.
Saudaraku! bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan piutangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama’ adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
(مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ) رواه البخاري
“Barang siapa yang mengambil harta orang
lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan
memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta
oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR Bukhari)
.
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama’ salaf menyatakan:
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama’ salaf menyatakan:
مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
“Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali.”
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan piutang:
(مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: (إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ) متفق عليه
“Ya
Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari piutang yang melilit nan
memberatkan? Beliau menjawab: Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh
piutang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia
ingkar.” Muttafaqun ‘alaih
Adab kedua : Bertekad bulat untuk melunasi
hutang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran. Syari’at Islam
adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula.
Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusahan keluhuran jiwa
umatnya.
Diantara hal
yang dilarang dalam syari’at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa
tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan
tangannya dengan memberikan piutang kepada anda, maka tidak layak bagi anda
untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda
pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya.
Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Saudaraku! ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi piutang anda. Karena bisikan semacam ini akan teruis dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
(مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ) متفق عليه
“Penunda-nundaan
orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu
dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
(لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ) رواه البخاري
“Penundaan
orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan
pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya. ” Riwayat Al Bukhari.
Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan piutangnya. Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62). Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll).
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
(مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ) رواه البخاري
“Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR Riwayat Bukhari)
.
Saudaraku, ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi piutang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
Saudaraku, ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi piutang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
(إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ) رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai
orang yang berhutang hingga ia melunasi piutangnya, selama piutangnya itu tidak
dibenci Allah.” (HR Ibnu
Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih
oleh Al Albani).
Masihkah ada alasan untuk menunda-nunda pembayaran piutang?
Masihkah ada alasan untuk menunda-nunda pembayaran piutang?
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan
hutang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda
sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila
anda berperilaku baik tatkala melunasi piutangnya. Perilaku baik dalam proses
pelunasan piutang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:
1- Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2- Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan piutang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
Abu Rafi’ mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
3- Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4- Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimaksih dan mendoakan kebaikan untuknya:
(مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ) رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
“Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Mungkinkah anda merasa susah untuk memanjatkan doa kebaikan bagi orang-orang yang telah berjasa dengan mengulurkan tangannya untuk anda?
Adab keempat : Mohon pertolongan kepada Allah
Ta’ala untuk dapat melunasi piutang.
Saudaraku! sebagai bagian dari keimanan anda
kepada Allah Ta’ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya
selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk
terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan
terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah”.
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama
hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan
kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang
tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ
تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau
berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah.”
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu
kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta’ala. Kalaulah bukan
karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan
kepada umatnya agar memohon prtolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi
tanggungan piutangnya:
أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى
عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ
كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ
عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
“Pada suatu hari seorang budak laki-laki
mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku
mohon bantuan kepadamu. Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya:
Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau
menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk
melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى
بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada
kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan
cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu”.
(HR Riwayat Ahmad), At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al
Albani .
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan
ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya,
membalas uluran tangan saudaranya dengan yang s Inilah yang dapat saya
sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.erupa atau
lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta’ala.
Dari Abu
Salamah bin Abdirrahman bin Auf, ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada
Aisyah, Ummul Mukminin -raḍiyallāhu 'anhā-, apa doa yang dibaca oleh Nabi
Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam mengawali salat malamnya?"
Aisyah menjawab, "Apabila beliau menegakkan salat malam, beliau membuka
salatnya dengan doa ini,
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ
عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ
مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ
تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
وصلى الله وسلم على نبينا
محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail,
Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang
gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang
mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam
setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang
yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus.
Shalawat dan salam dari Allah
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh
sahabatnya. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Dan Allah-lah Yang Lebih
Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya
milik Allah, Tuhan semesta alam”. Amin, wallahu
a’alam bisshawab.
***************************
Kontributor: DR. Muhamad Arifin Badri, MA. Editor: Ustaz Sofyan kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
***************************
Kontributor: DR. Muhamad Arifin Badri, MA. Editor: Ustaz Sofyan kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com