Abstract:
The Birth of Law No. 23/2011 marks a new era of transformation of the national charity which has given rise to a new paradigm of charity management in our country. Some rules are the result of constitutive ijtihad in the field of charity gets a reaction from some quarters, especially related to the management of charity by the state authority. Regardless of the debate which led to the material and formal lawsuit, there are several key issues to be further analyzed in relation to the reconstruction of fiqh paradigm evaluated from the perspective of contemporary Islamic law. First, the authorities and the involvement of the state as charities through the agency or institution that is officially established or recognized by the state, so that the management of charity can be done effectively, guaranteed. And have legal certainty. Secondly, the absence of sanctions for muzaki who shirk the obligation of charity in Law No.23 / 2011 shows that the payment of charity is voluntary, therefore charity regulations in Indonesia are still considered weak in the legal framework that can bind to the individual or business entity that is exposed to the taxpayer, Third, the reform paradigm of subject, object, and charity tas{arruf field have already accommodated in Law No.23 / 2011 in accordance with the principle of mas}lah}atand justice. Fourth, the relationship of charity and tax reaffirmed in the amendment of new Law charity as fiscal incentives for charity payers to make charity as a reduction of PKP (tax deduction), although this provision has not been able to realize the position of charity which is more significant as a tax deduction (tax credit).
Abstrak:
Kelahiran UU No. 23/2011 menandai era baru transformasi zakat nasional yang telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat di tanah air. Beberapa aturan yang merupakan hasil ijtihad konstitutif dalam bidang zakat ini mendapat reaksi dari beberapa kalangan khususnya terkait kewenangan pengelolaan zakat oleh negara. Terlepas dari perdebatan yang berujung pada gugatan materil maupun formil undangundang ini, terdapat beberapa isu utama untuk dianalisis lebih jauh dalam kaitannya dengan rekonstruksi paradigma fikih ditinjau dari perspektif hukum Islam kontemporer. Pertama, otoritas dan keterlibatan negara sebagai pengumpul zakat melalui badan atau lembaga yang secara resmi dibentuk atau diakui oleh negara, agar pengelolaan zakat dapat dilakukan secara efektif, terjamin dan mempunyai kepastian hukum. Kedua, ketiadaan sanksi bagi muzaki yang melalaikan kewajiban zakat dalam UU No.23/2011 ini menunjukkan bahwa pembayaran zakat masih bersifat sukarela, karena itu regulasi perzakatan di Indonesia masih dinilai lemah dalam kerangka hukum yang dapat mengikat bagi perseorangan atau badan usaha yang terkena wajib pajak. Ketiga, pembaharuan paradigma subyek, obyek dan bidang tasarruf zakat sudah terakomodir dalam UU No.23/2011 sesuai dengan prinsip maslahat dan keadilan. Keempat, relasi zakat dan pajak ditegaskan kembali dalam amandemen UU zakat yang baru sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang PKP (tax deduction), meskipun ketentuan ini belum dapat merealisasikan posisi zakat yang lebih signifikan sebagai pengurang pajak (tax credit).
Pendahuluan
Zakat merupakan ibadah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim, ketika harta kekayaan obyek zakat yang dimilikinya sudah mencapai nisab dan haul. Pengaturan mengenai zakat dapat dijumpai dalam Alquran dan hadis, kemudian secara teknis diatur lebih lanjut dalam kaidah-kaidah fikih. Konsepsi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk regulasi maupun kebijakan-kebijakan pemerintah maupun institusi zakat bentukan sipil di suatu negara.
Dalam konteks Indonesia, positivisasi ketentuan zakat ke dalam peraturan perundangundangan dilakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian di-nasakh menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Masuknya zakat ke dalam ranah hukum positif di Indonesia, menandai era baru pemberdayaan pranata keagamaan untuk kesejahteraan sosial. Di negara-negara common law, undang-undang amalsosial (charity law) telah ratusan tahun menjadi kerangka referensi yang menghubungkan aktivitas amal sosial ke arah pengentasan kemiskinan khususnya dan isu-isu inklusi sosial umumnya. Charity law secara eksplisit dibebankan tugas untuk memenuhi kebutuhan kelompok sosial yang lemah.
Kehadiran undang-undang tentang aktivitas amal secara umum memberikan beberapa fungsi yang memberi arah bagi sektor amal untuk dapat tumbuh berkembang secara berkelanjutan. Undangundang memberi kerangka regulasi dan institusional agar sektor amal menjadi efektif. Fungsi dari undang-undang amal ini antara lain adalah fungsi perlindungan (protection), fungsi menjaga ketertiban (policing), fungsi mediasi dan penyesuaian (mediation and adjusment) dan fungsi dukungan (support). 1
Di Indonesia, pembentukan Undang-Undang Zakat terjadi pada lingkungan yang heterogen dan berubah dengan cepat seperti adopsi demokrasi langsung, implementasi otonomi daerah dan meningkatnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, terkait dengan proses legislasi Undang-Undang Zakat di dalam lingkungan yang demokratis dan meningkatnya peran masyarakat sipil, terdapat beberapa isu utama ke depan dari undang-undang yang harus mendapat Perhatian. pembuatan kebijakan.
Tulisan ini berupaya menganalisis beberapa muatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dengan menekankan pada beberapa isu utama dimaksud ditinjau dengan perspektif hukum Islam kontemporer, sehingga ke depan diharapkan dapat menjadi evaluasi dan tawaran konsep sebagai partisipasi gagasan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam lingkup perzakatan nasional.
Transformasi Zakat Nasional: Lahirnya UU No. 23 Tahun 2011
Di Indonesia, zakat sejak awal dikelola tanpa keterlibatan negara. Pada awal kemerdekaan, serupa dengan kebijakan kolonial, pemerintah memilih posisi tidak turut campur tangan pada pengelolaan zakat yang ada. Dengan demikian, zakat dijalankan secara individual-tradisional, dengan ditopang dua institusi keagamaan terpenting: masjid dan pesantren. 2
Di era Orde Baru, secara umum, negara tetap mengambil jarak terhadap pengelolaan zakat. Namun di era ini telah tumbuh kesadaran yang kuat untuk mengelola zakat secara kolektif yang diindikasikan secara jelas dengan berdirinya berbagai lembaga pengelola zakat. 3
Zakat di Indonesia mengalami kebangkitan di tangan masyarakat sipil pada tahun 1990-an. Era ini kemudian dikenal menjadi era pengelolaan zakat secara profesional modern berbasis prinsip-prinsip manajemen dan tata kelola organisasi yang baik. Sejak era inilah kemudian potensi zakat di Indonesia mulai tergali dengan dampak yang semakin signifi kan dan meluas. 4 Titik balik terpenting dunia perzakatan di tanah air terjadi pada tahun 1999. Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk ke dalam ranah hukum positif di Indonesia dengan keluarnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Lahirnya UU No. 38/1999 memberi iklim yang kondusif untuk integritas dan inovasi dalam pengelolaan zakat. Di era baru ini lah kita melihat penghimpunan dana fi lantropi Islam meningkat pesat dengan diikuti oleh pendayagunaan yang semakin efektif dan produktif. Zakat pun bertransformasi dari ranah amal-sosial-individual ke ranah pembangunan-ekonomi-keumatan.
Namun UU No. 38/1999 sebagai kerangka regulasi dan institusional untuk dunia zakat nasional, dinilai masih jauh dari memadai. Menurut Yusuf Wibisono 5, undang-undang ini tidak memberi kerangka untuk tata kelola yang baik (good governance) sehingga akan mencegah penyalahgunaan dana sosial Islam dan memberi perlindungan yang memadai bagi pembayar zakat.
Pasca-satu dekade implementasi UU No. 38/1999, wacana amandemen UU Pengelolaan Zakat menguat. Meski telah banyak merintis banyak perubahan positif, namun masih terdapat berbagai kelemahan mendasar dalam pengelolaan zakat nasional yang tidak mampu dijawab undangundang. Kelemahan-kelemahan ini bersumber dari ketidakmampuan UU No. 38/1999 untuk mengantisipasi masalah dan tantangan zakat nasional seperti masalah tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan zakat akibat ketiadaan regulator dan pengawas yang jelas, kemitraan dan sinergi antar organisasi pengelola zakat (OPZ) yang tidak terjalin walau mengemban misi yang sama, hingga masalah relasi zakat dan pajak yang juga tidak kunjung tuntas.
Wacana amandemen UU No. 38/1999 bahkan telah muncul sejak 2003, dan menguat pada 2007- 2008. Secara formal, upaya amandemen terhadap UU No. 38/1999 dilakukan di parlemen sejak 2005 di mana RUU Pengelolaan Zakat yang merupakan perubahan atas UU No. 38/1999 masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2005- 2009, dan bahkan menjadi RUU prioritas tahun 2009. Namun proses amandemen di parlemen periode 2004-2009 ini tidak berjalan lancar karena baru mendapat perhatian serius pada 2009 yang merupakan “tahun politik” di mana anggota parlemen sibuk mempersiapkan diri untuk proses pemilu 2009.
Pembahasan amandemen UU Zakat kemudian dilakukan kembali oleh DPR baru periode 2009- 2014, melalui RUU inisiatif DPR. Draf undangundang inisiatif DPR keluar pada awal 2010, dan DIM (daftar isian masalah) dari pemerintah keluar pada awal 2011. Setelah dibahas dalam dua masa sidang UU baru zakat disahkan DPR pada 27 Oktober 2011. UU No. 23 tahun 2011 menandai era baru pengelolaan zakat nasional.
Kelahiran UU No. 23 tahun 2011 ini memicu kontroversi yang tajam dan tarik-menarik pengelolaan zakat nasional di ranah publik, khususnya antara pemerintah dan masyarakat sipil. Debat publik yang memanas tentang undangundang yang baru seumur jagung ini berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materil (jucial review) UU No. 23/2011 diajukan ke MK oleh puluhan LAZ termasuk dua LAZ terbesar, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Zakat (KOMAZ) Indonesia pada 16 Agustus 2012. 6 Langkah tabayyun konstitusi oleh KOMAZ ini menjadi “bersejarah” karena untuk pertama kalinya di Indonesia sebuah undang-undang “syariah” digugat ke MK oleh masyarakat muslim sendiri. Melalui proses penantian yang panjang, pada 31 Oktober 2013 MK menolak sebagian besar gugatan utama dan hanya mengabulkan sebagian kecil gugatan turunan.
Pokok-pokok Pikiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Anatomi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terdiri dari 11 bab dan 47 pasal. Adapun subtansi undang-undang yang mulai diundangkan sejak tanggal 25 November 2011 tersebut adalah sebagai berikut 8 :
a) Bab I, berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari 4 pasal (pasal 1-4), yang mendefi nisikan tentang beberapa peristilahan terkait pengelolaan zakat, asas-asas dan tujuan pengelolaan zakat, jenis-jenis zakat, serta prinsip tentang syarat dan tata cara penghitungan zakat.
b) Bab II, berisi tentang kelembagaan pengelola zakat, terdiri dari 16 pasal (pasal 5-20), mengatur tentang kelembagaan dan tata kerja organisasi serta keanggotaan BAZNAS Pusat, maupun Propinsi dan Kabupaten/Kota beserta tugas dan kewenangannya dalam pengelolaan zakat, juga ketentuan tentang Unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagai perpanjangan tangan BAZNAS pada instansi pemerintah maupun swasta, pengaturan tentang organisasi Lembaga Amil Zakat, mekanisme perizinan, pelaporan dan pertanggungjawaban LAZ kepada BAZNAS.
c) Bab III, terdiri dari 9 pasal (pasal 21-29) yang mengatur tentang ketentuan pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan dan pelaporan zakat, termasuk juga diatur di dalamnya tentang pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
d) Bab IV, terdiri dari 4 pasal (pasal 30-33) yang mengatur tentang ketentuan pembiayaan; bagi operasional BAZNAS dapat dianggarkan dari APBN/APBD dan Hak Amil, sedangkan LAZ dapat dibiayai oleh Hak Amil untuk keperluan kegiatan operasional.
e) Bab V, berisi 1 pasal (pasal 34) yang mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Agama, Gubernur dan Bupati/Walikota terhadap BAZNAS dan LAZ di semua tingkatan. Pembinaan yang dimaksud meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.
f) Bab VI, berisi 1 pasal (pasal 35) yang mengatur tentang peran serta masyarakat berupa pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS. maupun LAZ. Pembinaan dilakukan dalam bentuk peningkatan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat dan pemberian saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ. Sedangkan pengawasan dapat dilakukan masyarakat dalam bentuk akses terhadap informasi pengelolaan zakat dan penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
g) Bab VII, berisi 1 pasal (pasal 36) yang mengatur mengenai sanksi administratif yang ditujukan kepada setiap lembaga pengelola zakat yang terbukti melakukan pelanggaran, berupa peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan atau berupa pencabutan izin operasional.
h) Bab VIII, terdiri dari 2 pasal (pasal 37-38) berisi ketentuan larangan bagi pengelola zakat terhadap penyalahgunaan dana zakat, infaq dan sedekah maupun dana sosial keagamaan lainnya. Larangan juga ditujukan bagi siapa pun yang bertindak selaku amil zakat dengan mengumpulkan, mendistribusikan atau pun mendayagunakan zakat tanpa seizin pejabat yang berwenang.
i) Bab IX, terdiri dari 4 pasal (pasal 39-42) yang mengatur tentang ketentuan pidana berupa kurungan penjara ataupun denda bagi setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum melakukan penyalahgunaan dan penyelewengan dalam pendistribusian zakat.
j) Bab X, berisi 1 pasal (pasal 43) yang memuat tentang ketentuan peralihan bahwa BAZNAS Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota yang telah ada sebelum undang-undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan undang-undang ini sampai terbentuknya kepengurusan baru berdasarkan undangundang ini. Demikian pula bagi LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama sebelum diberlakukannya undang-undang ini dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan undang-undang ini, dan wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan.
k) Bab XI, terdiri dari 4 pasal (pasal 44-47) berisi mengenai ketentuan penutup yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Analisis UU No.23/2011 Perspektif Hukum Islam Kontemporer
Sejak awal Islam, sebenarnya pengelolaan zakat telah menjadi ruang ijtihad yang luas, berbasis maslahah. Perubahan politik dan komitmen keagamaan penguasa memberi dampak besar terhadap dinamika pengelolaan zakat oleh negara dan menimbulkan diskursus yang tajam di antara para fuqaha yang terekam dalam kajian fikih klasik.
Pengelolaan dana zakat dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat merupakan salah satu hasil ijtihad kontemporer yang berkembang sekarang ini. Ijtihad dalam bidang zakat, telah dilaksanakan di Indonesia, baik secara individual maupun konstitusi. Munculnya hasil ijtihad yang demikian itu karena melihat realitas umat Islam yang selalu terpuruk pada lapisan bawah kegiatan ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi, baik dalam wacana global maupun lokal.
Sesuai tujuan besar pengelolaan zakat sebagaimana yang diamanahkan UU No.23/2011, meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan meningkatkan kesadaran manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan 9, maka ada beberapa hal yang bisa dikaji kembali untuk diberi penguatan dalam ketentuan yang termaktub dalam undang-undang zakat agar tujuan tersebut dapat terealisasi secara efektif sebagaimana yang dicita-citakan.
1. Peran dan Keterlibatan Negara dalam Pengelolaan Zakat
Dalam pengelolaan zakat, pengumpulan dan pendistribusian zakat merupakan dua hal yang sama pentingnya. Namun hal yang terpenting dalam mengelola zakat adalah cara yang ditempuhnya dalam menghimpun dan mendayagunakan dana zakat tersebut. Hal itulah yang menjadi pertimbangan mendasar perlu dibuatnya regulasi “yang bermaslahat dan berkeadilan” terkait pengelolaan zakat agar masing-masing organisasi pengelola zakat dapat bersinergi, tidak menempuh caranya sendiri-sendiri.10 Tentunya dengan adanya aturan-aturan tersebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik BAZNAS maupun LAZ, diharapkan bisa lebih baik dengan kian meningkatnya kepercayaan muzaki kepada organisasi pengelola zakat tersebut.
Lahirnya Undang-Undang Pengelolaan Zakat Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 serta beberapa peraturan terkait lainnya11, membawa angin segar dunia perzakatan di Indonesia. Dengan regulasi ini fi qh al-zakat memasuki tahap institusionalisasi pengelolaan dalam wilayah formal kenegaraan, meskipun masih sangat terbatas.
Regulasi merupakan salah satu variabel yang sangat penting dalam pembangunan zakat. Di antara pelajaran penting dari negara-negara yang sudah relatif maju dalam pengelolaan zakatnya, terutama dari penghimpunan zakatnya seperti Malaysia, Arab Saudi, adalah karena dukungan pemerintah dan regulasi yang memadai. Karena itu pula, semua elemen termasuk di dalamnya kalangan ulama dan akademisi bahkan politisi, wajib senantiasa mendorong terciptanya regulasi yang pro terhadap pertumbuhan zakat secara nasional.
Pasca era reformasi, lembaga-lembaga pengelola zakat mulai berkembang di Indonesia, termasuk pendirian lembaga zakat yang dikelola oleh pemerintah, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dikelola masyarakat dengan manajemen yang lebih baik dan modern. Agar badan yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan masyarakat yang diberi otoritas formal melalui pengukuhan pemerintah dimaksud dapat menampilkan kerja prima dalam pengelolaan zakat dengan orientasi pemberdayaan ekonomi umat, diperlukan intervensi peran negara yang menjalankan fungsi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi.12
UU No. 23/2011 adalah bentuk peng-qanun- an syariah ke dalam hukum positif sekaligus upaya untuk mencapai good governance dalam pengelolaan zakat nasional. Sebagaimana pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dihadirkan dalam persidangan uji materi di Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa, UU No. 23/2011 telah sesuai dengan nilai-nilai Alquran, hadis, dan fi kih, yang tidak tertampung dalam UU No.38/1999 sebelumnya, khususnya tentang unifi kasi pengelolaan zakat.13
Zakat adalah ibadah mahdah dengan kedudukan yang khusus dalam Islam, yaitu sesuai Alquran QS. al-Taubah/9: 103; “khuz min amwalihim”, maka otoritas pengumpul zakat adalah pemerintah Dengan demikian, mengabaikan peran negara dalam pengelolaan zakat bertentangan dengan Alquran. Di samping itu, keamanan dana zakat akan lebih terjamin apabila dikelola oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kepastian hukum.
Pengelolaan zakat yang kini berjalan adalah liberal, dimana siapa pun dapat mengelola zakat sebebas-bebasnya tanpa tata kelola yang baik, sehingga kehadiran UU No.23/2011 adalah sudah tepat dalam rangka mencegah liberalisasi pengelolaan zakat dan menegakkan tata kelola zakat nasional. UU No.23/2011 masih bersifat koordinasi, seharusnya arahnya menuju sentralisasi penuh, khususnya dalam pengumpulan. Jika spirit ini dilemahkan, sebagaimana yang digugat sebagian kalangan, maka pengelolaan zakat akan beralih kepada spirit liberalisasi di mana pelaksanaannya bisa diserahkan kepada siapa saja, termasuk pihak asing.
Dalam rangka mengoptimalisasikan potensi zakat nasional yang belum banyak tergali, dibutuhkan pelengkap berupa pendekatan top down yang memiliki kekuatan intervensi. UU No.23/2011 memberi penguatan kepada zakat di mana negara diamanatkan untuk turut membangun zakat nasional. Peran negara yang semakin besar dan posisi BAZNAS yang semakin kuat harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk integrasi zakat dalam kebijakan negara, khususnya kebijakan fi skal dan penanggulangan kemiskinan.
2. Reposisi Zakat sebagai Kewajiban Hukum Publik
Kehidupan beragama memiliki dua ranah, yaitu ranah batin yang bersifat personal (forum internum) dan ranah pelaksanaan atau pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki relasi sosial (forum externum). Zakat berada di forum externum, karena itu negara secara konstitusional berwenang untuk turut serta dalam mewujudkan pelaksanaan zakat sehingga dana zakat tersalurkan kepada mereka yang berhak secara efektif dan efesien.
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardu ‘ain. Perintah zakat sama pentingnya dengan shalat. Namun kenyataannya rukun Islam ketiga ini belum berjalan sesuai harapan. Zakat belum bisa dijadikan salah satu alternatif bagi kebijakan fi skal yang bisa menyangga kehidupan perekonomian. Banyak hal yang perlu ditata ulang terkait paradigma lama manajemen zakat di Indonesia yang masih menganut cara-cara lama, diantaranya dari sisi regulasi dan perundangan, paradigma lama masih menganut prinsip tatawu’i bukan ijbari.14
Secara umum dari segi regulasi, sifat pengelolaan zakat di masyarakat muslim kontemporer dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, pertama, sistem pembayaran zakat secara wajib (obligatory system) dimana sistem pengelolaan zakat ditangani oleh negara dan terdapat sanksi bagi yang tidak membayar zakat, sistem ini diterapkan di beberapa negara dengan konstitusi Islam seperti Pakistan, Sudan, Libya, Yaman, Malaysia, Arab Saudi. Kedua, sistem pembayaran zakat sukarela (voluntery system) dimana pengumpulan dan pendistribusian zakat dilakukan secara sukarela, pengelolaan zakat dilakukan baik oleh pemerintah atau masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi bagi yang tidak menunaikan kewajiban zakat. Sistem ini berlaku di beberapa negara muslim seperti Kuwait, Indonesia, Bangladesh, Yordania, Mesir, dan Afrika Selatan.15
Di Indonesia, berdasarkan regulasi yang ada, hingga kini zakat merupakan kewajiban individual yang bersifat sukarela (voluntary system). Karenanya, jika kita tetap mempertahankan zakat dengan sistem sukarela, dalam perspektif ini zakat mestinya diatur dalam hukum privat. Di negara-negara konvensional yang umumnya menganut voluntary system ini, undang-undang amal membatasi diri pada perlindungan kepentingan pendonor, menunjuk regulator untuk mengawasi, mengontrol dan mencegah penyalahgunaan, namun membiarkan hal lainnya kepada pihak-pihak terkait sesuai dengan kepentingan masing-masing.16
Namun, jika mengikuti hukum syariah bahwa, berbeda dengan amal konvensional, zakat tidak berbasis kesukarelaan penderma, namun berbasis kewajiban dan paksaan seperti berupa sanksi bagi muzaki yang lalai, maka zakat harus bermigrasi ke hukum publik. Jika demikian, maka zakat bersifat imperatif, tidak lagi hanya berdasarkan kesadaran iman dan taqwa, melainkan juga berdasarkan pada paksaan dan hukuman.
Berdasarkan UU No.23 Tahun 2011 ini, zakat dapat dikelola baik oleh lembaga amil bentukan pemerintah yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) maupun oleh lembaga amil bentukan masyarakat yaitu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Undang-undang ini mengatur adanya sanksi bagi organisasi pengelola zakat yang tidak amanah (pasal 36, 39, 40 dan 41). Namun dalam undang-undang ini tidak ada satu pun pasal yang dapat diinterpretasikan bahwa zakat bersifat imperatif dan tidak ada sanksi bagi wajib zakat yang lalai. Dengan pengertian lain dapat dikatakan, undang-undang menetapkan bahwa pembayaran zakat bersifat sukarela, tanpa adanya ketentuan hukum yang mengharuskannya.
Dalam perspektif fi kih, ibadah zakat bersifat qada’i, yaitu ibadah yang memerlukan penanganan petugas. Karena jika tidak dilaksanakan, maka ada hak orang lain yang secara langsung terambil, yaitu hak para mustahiq. Berbeda dengan ibadah s}aum dan salat yang sering disebut dengan dayyani, yaitu jika tidak dilaksanakan hanya berimplikasi kepada hak dengan Allah swt., tetapi tidak ada hak orang lain yang terambil.17
Dalam sejarah pengelolaan zakat masa awal Islam, Rasulullah saw. pernah mempekerjakan seseorang pemuda dari ‘Asad, yang bernama Ibnu Luthaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau pernah pula mengutus Ali bin Abi> T}alib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain itu Mu’a>z| bin Jabal juga pernah diutus Rasulullah saw. ke Yaman, disamping bertugas sebagai dai, juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.18 Ini menunjukkan bahwa mengurus zakat itu suatu pekerjaan yang harus dikerjakan dengan serius oleh orang yang kapabel, sekaligus ini juga menjadi dalil bahwa zakat itu adalah suatu amalan otoritatif (ijbari) bukan karitatif (kedermawanan).
3. Redifinisi Subyek, Obyek, dan Tasarruf Zakat
Sebagai sebuah produk legislasi hukum Islam di Indonesia, UU Zakat telah mengalami proses panjang dalam diskusi dan perdebatan ilmiah termasuk juga diantaranya kajian dari sisi fi kih baru zakat yang bertransformasi dari produk fatwa dan pemikiran ulama kontemporer. Di antara ketentuan UU No. 23/2011 yang mengadopsi nilai fi kih kontemporer adalah terkait dengan defi nisi muzaki dan klasifi kasi harta (obyek) kena zakat, dan program tasarruf (penyaluran) dana zakat.
Muzaki sebagai pembayar zakat adalah konsep yang penting untuk dipahami. Selain posisinya sebagai subyek yang menjadi sumber dan asal mula harta zakat, ia juga merupakan konsep yang saling kait-mengait dengan konsep harta zakat. Paradigma tentang muzaki kebanyakan masih tertuju pada individu wajib zakat. Padahal ada dua metode yang dilakukan oleh para ulama untuk menjelaskan siapa muzaki. Pertama, menjelaskan kriteria wajib zakat berikut syarat sahnya. Kedua, menjelaskan kriteria obyek harta yang dikenakan hukum zakat. Paradigma baru tentang muzaki menitikberatkan pada pengembangan harta obyek zakat.19
Dalam pasal 1 ayat(5) UU No.23/2011 disebutkan bahwa, muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat. Ketentuan ini sejalan dengan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padang Panjang tanggal 26 Januari 2009 yang menyatakan bahwa “perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib zakat, wajib mengeluarkan zakat, baik sebagai syakhsiyyah i’tibariyyah atau pun sebagai pengganti (wakil) dari pemegang saham”.20
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah saw. Perbedaan corak usaha tersebut pada dasarnya mempunyai subtansi yang tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kaidah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti QS Al-Taubah/9: 103 dan QS. al-Baqarah/2: 267, di samping juga berpegang pada syarat harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang, termasuk adanya zakat perusahaan/ badan usaha.
Keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha dipandang sebagai syakhsiyah hukmiyah (badan hukum) para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni harta zakat. Ketentuan ini jelas tidak ditemukan secara formal dalam literatur fikih klasik. Karena itu wacana zakat badan usaha yang dikategorikan sebagai subyek zakat dalam UU No.23/2011 telah mengakomodasi semangat ijtihad progresif fikih zakat.
Terlepas dari khilafi yah mengenai kategori zakat badan usaha ini, UU No.23/2011 nampaknya sudah melakukan pembaharuan paradigma muzaki sebagaimana yang digagas oleh sebagian ulama kontemporer termasuk Majelis Ulama Indonesia dengan mengkategorikan lembaga badan hukum sebagai subyek yang menerima taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakikatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif.
Paradigma baru “fikih” zakat yang juga diakomodasi oleh UU No.23/2011 adalah terkait dengan kriteria harta yang menjadi obyek zakat. Dalam pasal 4 ayat (1) diklasifikasikan bahwa; “zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah”. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa, zakat mal yang dimaksud meliputi; (a) emas, perak, dan logam mulia lainya; (b) uang dan surat berharga lainnya; (c) perniagaan; (d) pertanian, perkebunan, dan kehutanan; (e) peternakan dan perikanan; (f) pertambangan; (g) perindustrian; (h) pendapatan dan jasa; dan (i) rikaz.
Dengan ketentuan kategori obyek zakat tersebut, zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian modern. Fikih kontemporer bahkan memandang bahwa zakat juga diambil dari seluruh pendapatan yang dihasilkan dari aset fi sik dan fi nansial serta keahlian pekerja. Dengan demikian, potensi penerimaan dana zakat sangat signifi kan. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan programprogram penanggulangan kemiskinan.
Lebih lanjut dari sisi penyaluran (tasarruf) harta zakat, UU No. 23/2011 menggunakan dua istilah, yaitu pendistribusian dan pendayagunaan (pasal 25, 26 dan 27). Pendayagunaan digunakan secara khusus sebagai istilah untuk penyaluran zakat secara produktif, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas ummat (pasal 27 ayat 1).
Arus baru pendayagunaan zakat ini mendapatkan legitimasi dari reformasi fi kih zakat kontemporer, sebagaimana yang digagas oleh Dr. Yusuf al-Qarad{awi lewat karyanya Fiqh al-Zakat, sejalan pula dengan fatwa MUI (1402/1982) yang membolehkan tasarruf dana zakat untuk kegiatan produktif dan kemaslahatan umum.21 Revitalisasi fi kih zakat telah memberikan interpretasi baru terhadap mustahik, dan karenanya bentuk program pendayagunaan zakat yang sesuai interpretasi kontemporer ini telah membuka jalan untuk berbagai inovasi dan diversifi kasi bentuk program pendayagunaan.
Lebih jauh lagi, efektivitas program pendayagunaan didorong lebih jauh dengan adanya prioritas dalam distribusi zakat. Dalam pasal 26 UU No. 23/2011 dinyatakan bahwa “pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan”.
Dalam Alquran, distribusi zakat telah ditentukan hanya untuk delapan asnaf (QS. al-Taubah/9: 60) yang kemudian umum diinterpretasikan bobot alokasi yang sama untuk setiap asnaf. Dengan ketentuan ini, penyaluran zakat tidak menumpuk pada satu orang tertentu, tetapi tersebar kepada semua asnaf secara adil dan merata. Pembayaran zakat pada asnaf tertentu, berakibat gemuknya satu asnaf, sementara asnaf yang lain kekurusan. Padahal semua asnaf memiliki hak yang sama untuk mendapatkan zakat.
Reformasi fikih zakat telah membuka jalan untuk meninggalkan tradisi penyamarataan bobot setiap asnaf. Alquran menyebutkan fakir dan miskin sebagai kelompok pertama dan kedua dalam daftar penerima zakat mengindikasikan bahwa mereka inilah yang mendapat prioritas dan pengutamaan oleh Alquran. Pemahaman ini juga didasarkan atas esensi tujuan utama zakat, sebagai instrumen dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan.22
Dalam perspektif ini, ketika dana zakat terbatas, maka untuk mewujudkan kemaslahatan, diperbolehkan tidak menyamaratakan pemberian zakat pada semua sasaran zakat, bahkan diperbolehkan memberikan zakat untuk satu sasaran saja. Interpretasi kontemporer sebagaimana yang dianut UU No.23/2011 telah membuka jalan untuk memfokuskan pendayagunaan zakat pada prioritas kebutuhan umat, yaitu menanggulangi kemiskinan dan keterbelakangan.
Menurut Lili Badriati, setidaknya ada dua bentuk umum dalam pola penyaluran dana zakat yakni:
(1). Bentuk sesaat, dalam hal ini berarti zakat diberikan kepada seseorang satu kali atau sesaat saja. Dalam hal ini juga berarti bahwa penyaluran kepada mustahiq tidak disertai target kemandirian ekonomi dalam diri mustahiq. Hal ini dikarenakan mustahiq yang bersangkutan “tidak mungkin lagi mandiri”, seperti orang tua yang sudah jompo dan cacat. (2). Bentuk pemberdayaan, merupakan penyaluran zakat yang disertai target merubah keadaan penerima dari kondisi kategori mustahiq menjadi muzaki. Target ini adalah target besar yang tidak dapat mudah dan dengan waktu yang singkat. Untuk itu, penyaluran zakat harus disertai dengan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan yang ada pada penerima. Apabila permasalahannya adalah permasalahan kemiskinan, maka harus diketahui penyebab kemiskinan tersebut sehingga dapat mencari solusi yang tepat demi tercapainya target yang telah dicanangkan.23
Pendistribusian dana zakat dalam paradigma yang baru, sebagaimana yang juga diakomodir UU No. 23/2011, adalah penyaluran ke arah bentukbentuk yang produktif, tanpa meninggalkan bentuk konsumtif (pasal 27 ayat2). Maksudnya, penyaluran dana zakat diperuntukkan juga bagi program jangka panjang dan program pemberdayaan.
4. Relasi Zakat dan Pajak sebagai Aset Negara
Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan UU No.38/1999 sebagai insentif fi skal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang PKP (tax deduction).24 Semangat ketentuan ini juga diakomodir UU No.23/2011, dengan maksud agar wajib pajak muslim tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak (pasal 22 dan 23). Kesadaran membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Namun dalam praktiknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzaki gagal mendapatkan Bukti Setor Zakat dari BAZNAS sebagaimana dipersyaratkan oleh aparat pajak di tingkat operasional (Kantor Pelayanan Pajak).
Eksperimen menarik terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat mendapat perlakuan dan kedudukan berbeda di Provinsi NAD, yaitu (i) zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota (pasal 180) dan dikelola secara terpisah oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (pasal 191); dan (ii) zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak (pasal 192). Dengan kata lain, zakat telah menjadi tax credit di Aceh. Namun hingga kini ketentuan ini belum diakomodasi Dirjen Pajak sehingga tidak dapat diimplementasikan.25
Dalam dinamika amandemen UU No.38/1999 di parlemen, salah satu isu krusial yang turut mengemuka adalah wacana zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) tersebut. Wacana yang didukung pihak pemerintah (Kementrian Agama) ini jelas bertabrakan dengan sikap otoritas pajak (Kementerian Keuangan), yang hingga pembahasan menghangat di parlemen, masih mengadopsi zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak/ PKP (tax deduction). Seolah menafikan wacana yang sedang menghangat perdebatannya ini dalam pembahasan RUU Zakat di DPR, pemerintah mengeluarkan PP No. 60/2010 tentang Zakat dan Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sebagai amanat UU No. 36/2008, yang menegaskan bahwa zakat hanya sebagai tax deduction dan fasilitas ini hanya berlaku bagi zakat yang disalurkan melalui BAZ/LAZ resmi yang disahkan pemerintah.26
Kenyataan di atas mengindikasikan lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak, dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak juga tidak berjalan baik. Relasi pajak-zakat dibangun di rezim undang-undang non-perpajakan dan tanpa meliatkan otoritas pajak. Hal ini diganjar dengan lemahnya penegakan relasi zakat dan pajak di lapangan. Kegagalan eksperimen zakat sebagai tax credit di Aceh dan keluarnya PP No. 60 di tengah proses pembahasan RUU Zakat, secara jelas memperlihatkan resistensi otoritas pajak terhadap wacana zakat sebagai tax credit.
Ke depan, wacana yang harus lebih dikedepankan yaitu menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak-zakat nasional dengan tujuan jangka pendek untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction. Di saat yang sama, dunia zakat nasional sebaiknya berkonsentrasi pada perbaikan tata kelola yang baik (good governance) di internal dunia zakat nasional dengan memperkuat otoritas zakat yang kredibel.
Kesimpulan/Penutup
UU No.23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang merupakan amandemen terhadap UU No.38/1999 posisinya menjadi sangat penting bagi perkembangan dunia zakat nasional ke depan, terutama terkait potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU Pengelolaan Zakat diorientasikan untuk mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzaki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi zakat nasional untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal, khususnya dunia zakat nasional.
Terlepas dari arus kontroversi dan polemik yang berujung pada gugatan materil maupun formil undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi isu utama reformasi paradigma fikih yang diakomodir undang-undang ini ditinjau dari perspektif hukum Islam kontemporer:
( 1). UU No. 23/2011 telah menegaskan tentang unifikasi pengelolaan zakat, bahwa otoritas pengumpul zakat adalah pemerintah melalui badan atau lembaga yang secara resmi dibentuk atau diakui oleh negara. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip pengelolaan zakat berdasarkan syariat dimana Alquran mengisyaratkan melalui perintah pengambilan zakat yang harus melalui otoritas kekuasaan agar dapat dilakukan secara efektif, terjamin dan mempunyai kepastian hukum. Keterlibatan negara dalam membuat regulasi, koordinasi dan kontrol sangat diperlukan dalam mewujudkan tata kelola perzakatan nasional yang baik.
(2). UU No.23/2011 menetapkan bahwa pembayaran zakat masih bersifat sukarela, hal ini terindikasi karena dalam undang-undang ini tidak ada satu pun pasal yang dapat diinterpretasikan bahwa zakat bersifat imperatif dan tidak ada sanksi bagi wajib zakat yang lalai. Sanksi yang ada hanya ditentukan bagi pengelola zakat yang melakukan penyelewengan dan perbuatan melanggar hukum lainnya. Dari sisi ini, maka regulasi perzakatan di Indonesia masih dinilai lemah dalam kerangka hukum yang dapat mengikat bagi perseorangan atau badan usaha yang terkena wajib pajak. Karena itu perlu kiranya digagas ulang reposisi zakat bukan lagi sebagai kewajiban privat yang hanya berbasis kesukarelaan penderma, namun berbasis kewajiban dan paksaan seperti berupa sanksi bagi muzaki yang lalai, maka zakat harus bermigrasi ke hukum publik yang menjadikan zakat sebagai suatu amalan otoritatif (ijbari) bukan karitatif (kedermawanan).
(3) Pembaharuan paradigma subyek, obyek dan bidang tasarruf zakat sudah terakomodir dalam UU No.23/2011 dengan mengkategorikan lembaga/ badan hukum sebagai subyek yang menerima taklif (muzaki). Demikian pula penentuan kategori obyek zakat juga dikembangkan pada basis yang lebih luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian modern. Undang-undang ini juga membuka ruang kreasi yang lebih luas, sejalan dengan fi kih kontemporer, dalam pen-tas{arruf-an dana zakat berupa distribusi produktif dan pendayagunaan harta zakat dengan berorientasi maslahat dan keadilan.
(4) Relasi zakat dan pajak ditegaskan kembali dalam amandemen UU zakat yang baru sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang PKP (tax deduction). Ketentuan ini dimaksudkan agar wajib pajak muslim tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak, menjadikan ketentuan ini belum berjalan efektif di tingkat teknis. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak yang juga tidak berjalan baik, menyebabkan inisiasi menjadikan zakat sebagai pengurang pajak (tax credit) masih sulit direalisasikan.
Notes:
1. Kerry O’Halloran, Myles McGregor-Lowndes, and Karla W.Simon, Charity Law and Social Policy: National and International Perspectives on the Functions of the Law Relating to Charities, Springer Science + Bussines Media B.V, 2008.
2. Tim Penulis IZDR 2010, Indonesia Zakat & Development Report 2010: Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia; Menuju Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Pengelolaan Zakat Nasional (Cet. II; Jakarta: Indonesia Magnifi cence of Zakat, 2011), h. 75.
3. Di era ini muncul tiga jenis lembaga pengelola zakat. Pertama, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah daerah. Kedua, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh BUMN seperti BAMUS BNI (1968), LAZ YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Ketiga, lembaga pengelola zakat yang didirikan oleh masyarakat sipil seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998). Lihat: Tim Penulis IZDR 2010, Indonesia Zakat & Development Report 2010, h. 75.
4. Tim Penulis IZDR 2010, Indonesia Zakat & Development Report 2010, h. 76.
5. Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia; Diskusi Pengelolaan Zakat Nasional dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 (Ed. I, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2015), h. 45.
6. Lihat antara lain Irfan Syauqi Bek, “Memaknai Amil Zakat”, Republika, 1 September 2012 dan “UU Zakat Sudah Sesuai Syariat”, Republika, 20 September 2012.
7. Permohonan yang dikabulkan; 1) Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b bahwa, syarat pendirian LAZ harus “terdaftar sebagai ormas Islam” dan “berbentuk lembaga berbadan hukum” yang semula bersifat kumulatif, diubah menjadi bersifat alternatif, dan tetap harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. 2) Pasal 18 ayat (2) huruf d, bahwa syarat pendirian LAZ harus “memiliki pengawas syariat” diubah menjadi memiliki pengawas syariat baik internal maupun eksternal. 3) Pasal 38 dan 41, frasa “setiap orang” diubah dengan mengecualikan amil perseorangan dan amil tradisional (tokoh umat Islam, alim ulama dan pengurus mesjid) di wilayah yang belum terjangkau BAZ dan LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat yang berwenang. (Sumber: Putusan Mahkamah Konstitusi No.86/PUU-X/2012, tertanggal 28 Februari 2013, diucapkan 31 Oktober 2013, h. 107-109).
8. Lembaran Negara RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
9. Lihat Pasal 3 huruf (a) dan (b) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
10.Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 94
11.Hingga saat ini telah ada berbagai ketentuan perundangan yang mengatur masalah ini, diantaranya; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai perubahan atas UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pengurang Pajak dari Zakat atau Sumbangan Wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, Inpres Nomor 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, dan PMA Nomor 5 Tahun 2014 serta Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
12.Melalui UU No. 23/2011 telah mengamanahkah peran dan keterlibatan negara dalam bentuk legitimasi strukturisasi dan koordinasi organisasi (pasal 5 ayat 1 dan 3 dan pasal 15 ayat 2, 3 dan 4), kontrol pengelolaan (pasal 7 ayat 3 dan pasal 18 ayat 1 dan 2), penganggaran biaya operasional (pasal 30 dan 31), dan pembinaan dan pengawasan melalui fasilitasi, sosialisasi dan edukasi (pasal 34 ayat 1, 2 dan 3). Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal tersebut, termasuk juga beberapa pasal lain yang mengatur mekanisme kelembagaan, memicu protes dan ketidakpuasan sebagian kalangan, terutama dari organisasi pengelola zakat swasta (LAZ), yang merasa dianaktirikan oleh negara. Regulasi tersebut dinilai sebagai upaya melemahkan atau mensubordinasikan LAZ, sebagai sesama pengelola zakat disamping BAZNAS. Sentralisasi pengelolaan zakat yang dinilai sebagian kalangan tersebut justru akan menghambat efektivitas pengelolaan zakat. Undang-undang ini juga dianggap belum mengakomodasi prinsip keadilan dan demokratisasi hak-hak sipil, bahkan UU ini juga dinilai sebagai upaya kriminalisasi LAZ dan amil tradisional. Namun pihak pemerintah memberikan argumentasi sanggahan, bahwa mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan tersebut justru ditujukan untuk memenuhi prinsip responsibilitas, akuntabilitas dan transparansi, yaitu menjamin kepastian hukum LAZ sekaligus menghilangkan keraguan masyarakat terhadap LAZ. Adapun ketentuan pidana yang juga diatur dalam UU tersebut bertujuan untuk menegakkan ketentuan norma larangan, bukan dalam rangka mengkriminalisasi LAZ dan amil tradisional. Baca lebih lanjut; Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia, h. 168-182.
13.Mahkamah Konstitusi, “Risalah Sidang IV Perkara No, 86/PUU-X/2012”, 17 Oktober 2012, h. 5-7.
14.Tim Institut Manajemen Zakat, Profi l 7 Bazda Propinsi & Kabupaten Potensial (Cet. I; Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. ix
15. Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia, h. 150-151.
16.Tim Penulis IZDR 2010, Indonesia Zakat & Development Report 2010, h. 145.
17.Atik Abidah, Zakat Filantropi dalam Islam; Refl eksi Nilai Spritual dan Charity (Cet. I; Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), h. 34
18. Fakhruddin, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, (Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 299.
19.Budi Rahmat Hakim, “Pengelolaan Zakat Perspektif Hukum Islam Kontemporer”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Kelas pada perkuliahan Hukum Islam Kontemporer pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 13 April 2015, h. 9-11.
20. Tim Penyusun (M. Ichwan Sam, dkk), Himpunan Fatwa Zakat MUI (Kompilasi Fatwa MUI tentang Masalah Zakat (Jakarta: BAZNAS, 2011), h. 85-91.
21. Tim Penyusun (M. Ichwan Sam, dkk), Himpunan Fatwa Zakat MUI, h. 9-14.
22. Yusuf al-Qarad{awi, Fiqh al Zakat, terj. Salman Harun, dkk., Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran dan Hadis (Cet. IX; Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2006), h. 510.
23. Lili Badriadi et.al, Zakat dan Wirausaha (Jakarta: CED, 2005), h. 25.
24. Ketentuan zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR. UU No.17/2000 mengukuhkan UU No.38/1999, yaitu zakat yang diterima BAZ/LAZ dan mustahik, tidak termasuk sebagai objek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan WP orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ, menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya PKP. Namun zakat sebagai tax deduction ini baru dapat dimplementasikan tiga tahun, kemudian setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan PKP Pajak Penghasilan, yang menjelaskan bahwa: (i) penghasilan yang dimaksud adalah penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPh yang tidak bersifat fi nal; dan (ii) besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari PKP yaitu 2,5% dari jumlah penghasilan.
25. Lihat Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia, h. 109- 111.
26. Sebagai tindak lanjut PP No. 60/2010 ini, Peraturan Dirjen Pajak No. PER-33/PJ/2011 menetapkan 20 lembaga filantropi yang diakui Dirjen Pajak yaitu: BAZNAS, Dompet Dhuafa, Yayasan Amanah Takaful, PKPU, Baitul Maal Muamalat, YDSF, Baitul Maal Hidayatullah, LAZ Persis, Bamuis BNI, LAZ BSM Umat, LAZ DDII, YBM BRI, Yayasan Baitul maal Wat Tamwil, Baituzzakah Pertamina, DPU Daarut Tauhid, Rumah Zakat, LAZIS Muhammadiyah, LAZIS NU, LAZIS IPHI, dan Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia.
Daftar Pustaka
Atik. Zakat Filantropi dalam Islam; Refleksi Nilai Spritual dan Charity, Cet. I; Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011. Bek, Irfan Syauqi. “Memaknai Amil Zakat”, Republika, 1 September 2012.
--------. “UU Zakat Sudah Sesuai Syariat”, Republika, 20 September 2012.
Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Cet. I; Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hafiduddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Hasan, M. Ali. Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problem Sosial di Indonesia, Cet. III; Jakarta: Kencana, 2015.
Idris, Safwan. Gerakan Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat; Pendekatan Transformatif, Cet. I, Jakarta: Citra Putra Bangsa, 1997.
Inpres Nomor 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan PKP Pajak Penghasilan Lembaran Negara RI. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
--------. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Mahkamah Konstitusi. “Risalah Sidang IV Perkara No, 86/PUU-X/2012”, 17 Oktober 2012.
--------. Putusan No.86/PUU-X/2012, tertanggal 28 Februari 2013, diucapkan 31 Oktober 2013. Marthon, Said Sa’ad. Al-Madkhal li al-fi kr al-Iqtishad fi al-Islam (Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global), Jakarta: Zikrul Hakim, 2007.
O’Halloran, Kerry, Myles McGregor-Lowndes, and Karla W.Simon. Charity Law and Social Policy: National and International Perspectives on the Functions of the Law Relating to Charities, Springer Science + Bussines Media B.V, 2008.
Parman, Ali. Pengelolaan Zakat (Disertai Contoh Perhitungannya), Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
PMA Nomor 5 Tahun 2014 serta Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat PP Nomor 60 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pengurang Pajak dari Zakat atau Sumbangan Wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto al-Qaradawi, Yusuf, Fiqh al Zakat, terj. Salman Harun, dkk., Hukum Zakat; Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Quran dan Hadis, Cet. IX; Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
Sudirman. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 Bazda Propinsi & Kabupaten Potensial Ciputat: Institut Manajemen Zakat, Cet. I, 2006.
Peneliti IMZ, Indonesia Zakat Development Report 2012. Jakarta: IMZ, 2012.
Tim Penulis IZDR 2010, Indonesia Zakat & Development Report 2010: Menggagas Arsitektur Zakat Indonesia; Menuju Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Pengelolaan Zakat Nasional, Cet. II; Jakarta: Indonesia Magnifi cence of Zakat, 2011.
Tim Penyusun (M. Ichwan Sam, dkk), Himpunan Fatwa Zakat MUI (Kompilasi Fatwa MUI tentang Masalah Zakat), Jakarta: BAZNAS, 2011.
Usman, Suparman. Hukum Islam; Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Menia Pratama, 2001, h. 16-22.
Wibisono, Yusuf. Mengelola Zakat Indonesia; Diskusi Pengelolaan Zakat Nasional dari Rezim UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, Ed. I, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2015.
****************************
****************************
Oleh: Budi Rahmat Hakim; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com