APAKAH
HUTANG MENGHALANGI KEWAJIBAN ZAKAT?
Oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi Lc; Ust.Sofyan
Kaoy Umar (Editor)
Salah
satu syarat harta yang wajib dizakati adalah dimiliki secara penuh. Artinya
bahwa seseorang memiliki harta tersebut secara penuh, tidak ada pihak lain yang
bersyarikat dalam harta itu sehingga dia bebas menggunakan harta itu tanpa ada
yang menghalanginya.
Permasalahan
muncul pada harta hutang yang di satu sisi seseorang dapat menggunakannya
secara bebas karena sudah menjadi miliknya, namun di sisi lain ada kewajiban
mengembalikan kepada orang yang berpiutang, sehingga seakan-akan ada dua
kepemilikan terhadap harta hutang itu. Apalagi saat ini, banyak sekali orang
yang mengembangkan proyek bisnis dengan hutang yang muncul dari transaksi
bisnis yang bisa berefek kepada pembayaran zakat.
Apabila
kita memiliki harta tapi juga memiliki hutang, apakah hutang tersebut
berpengaruh dalam zakatnya?
DEFENISI
HUTANG
Yang
dimaksudkan dengan hutang disini adalah semua jenis hutang, baik hutang yang
diakibatkan perbuatan yang merusakkan atau menghilangkan barang orang lain atau
hutang yang diakibatkan oleh transaksi, misalnya transaksi jual beli atau transaksi
yang lain termasuk akad nikah yang maharnya masih dihutang.
KESEPAKATAN
PARA ULAMA
Jika
seseorang memiliki harta yang mencapai nishâb dan telah
berlalu satu tahun, namun dia masih mempunyai hutang kepada orang lain, maka
para ahli fikih sepakat :
1. Hutang
tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut menjadi
tanggungan orang yang berhutang setelah kewajiban zakat menghampirinya. [1]
2. Hutang
tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut tidak
mengurangi harta dari nishâb. [2]
PERBEDAAN
PENDAPAT
Para
ulama berbeda pendapat tentang apakah hutang menghalangi kewajiban zakat pada
harta yang dimiliki oleh orang yang memiliki tanggungan hutang diluar dua
keadaan (yang telah disepakati para ulama) di atas?
Dalam
hal ini terdapat beberapa pendapat:
1. Hutang
menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik pada harta yang terlihat (zhâhirah)
maupun harta yang tidak terlihat (Bâthinah), baik hutang itu telah jatuh
tempo atau belum, baik hutang itu terkait hak Allâh Azza wa Jalla atau hak
manusia, serta sejenis dengan harta yang wajib dizakati atau bukan.
Ini
adalah pendapat (qaul qadim) Imam asy-Syâfi’i rahimahullah ,[3] dan riwayat paling shahih di
kalangan Hanâbilah,[4]. Sebagian Ulama Syâfi’iyah dan Hanâbilah
menetapkan syarat bahwa hutang yang menghalangi kewajiban zakat yaitu hutang
yang jatuh tempo.[5]
Penulis
kitab Kasysyâful Qanna’, 2/13, mengatakan bahwa kewajiban
zakat terhalangi oleh hutang sesuai dengan kadar hutangnya. Artinya, jika harta
yang tersisa masih cukup nishab, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakatnya.
Misalnya, dia mempunyai seratus ekor kambing, namun dia juga memikul hutang
yang setara dengan enam puluh ekor. Maka dia harus menzakati empat puluh yang
tersisa karena angkanya masih mencapai nishab sempurna. Apabila hutangnya
mencapai kadar enam puluh satu ekor, maka tidak ada kewajiban mengeluarkan
zakat dari jumlah kambing yang tersisa, karena yang tersisa kurang dari nishâb.[6]
DALIL
PENDAPAT YANG PERTAMA
Pendapat
pertama berargumen dengan beberapa alasan diantaranya:
1. Hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كاَنَ لِرَجُلٍ
أَلفُ دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَلاَ زَكاَةَ عَلَيْهِ
Apabila
seseorang mempunyai seribu dirham dan dia juga menanggung hutang seribu dirham
maka tidak wajib zakat atasnya.
Ibnu Qudâmah
rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan nash[7] dalam menetapkan bahwa hutang yang
mencapai nishab menggugurkan kewajiban zakat.
Namun
menjadikan hadits di atas sebagai dalil tidak benar, karena hadits tersebut
tidak shahih dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits ini disampaikan Ibnu Qudâmah dengan menyebut sanad dari Mâlikiyah
sebagaimana dalam al-Mughni, 4/264, di mana dia berkata, “Para
murid Imam Mâlik meriwayatkan dari Umair bin Imrân dari Syuja’ dari Nâfi’ dari
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, …Kemudian Ibnu Qudâmah rahimahullah menyebutkan hadits di atas.
Namun
dari sisi makna terdapat beberapa atsar yang serupa dari Sulaimân bin Yasâr
rahimahullah, Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu dan al-Laits bin Sa’ad
rahimahullah dalam kitab al-Amwâl karya Abu Ubaid , hlm. 443.
Oleh karena itu Ibnu Abdul Hadi rahimahullah dalam kitabnya Tanqîh
Tahqîq Âhâdîts at-Ta’lîq 2/142 berkata, “Hadits ini mungkar,
tidak jauh kalau dikatakan maudhu’ (palsu), karena dalam
sanadnya terdapat Umair bin Imrân. Sedangkan Ibnu ‘Adi rahimahullah dalam al-Kâmil, 5/70
menilai Umair bin ‘Imrân adalah dhaif (perawi lemah) dan al-Uqaili
rahimahullah menyebutkannya dalam adh-Dhu’afa,3/318. Demikian
juga dengan Ibnul Jauzi rahimahullah memasukkannya dalam adh-Dhu’afa
wal Matrukîn 2/234. Wallâhu a’lam.
1. Atsar
dari Utsmân Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata ; “Ini
adalah bulan pembayaran zakat kalian, barangsiapa memikul hutang maka hendaknya
dia membayar hutangnya sehingga harta kalian terkumpul lalu kalian mengeluarkan
zakat darinya.”[8] Utsmân Radhiyallahu anhu
mengucapkannya di hadapan para Sahabat dan mereka tidak menyanggahnya. Ini
menunjukkan bahwa mereka setuju.[9]
Disini
Utsmân Radhiyallahu anhu memerintahkan orang-orang membayar hutang sebelum
mengeluarkan zakat, agar zakat bisa dikeluarkan dari sisa harta yang telah
terpotong oleh hutang. Karena para Sahabat tidak mengingkarinya, maka ini
menunjukkan bahwa mereka sepakat dengan yang disampaikan Utsman Radhiyallahu
anhu.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat atas orang-orang kaya dan memerintahkan mereka agar
menyerahkannya kepada orang-orang fakir, sebagaimana dalam sabda beliau,
أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ
الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّ عَلىَ فُقَرَاءِكُمْ
Aku
diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya dari kalian dan
memberikannya kepada orang-orang fakir dari kalian. [10]
Orang
yang berhutang memerlukan harta untuk membayar hutangnya sebagaimana orang
fakir memerlukan zakat yang dikeluarkan oleh orang yang kaya. Sehingga orang
yang berhutang tidak patut disebut kaya yang membuatnya wajib zakat. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ
ظَهْرِ غِنَى
Tidak
ada sedekah kecuali berasal dari kekayaan (kecukupan).” [11]
Bahkan,
orang yang berhutang bisa saja disebut fakir sehingga dia berhak menerima zakat
karena dia termasuk gharim.
4. Lemahnya kepemilikan orang yang
memikul hutang karena pemilik uang (kreditor) berkuasa dan berhak menuntutnya
agar membayar hutangnya serta berhak atas harta itu.[12]
5. Pemilik
piutang (kreditor) tentu akan menzakatinya juga. Seandainya orang yang
berhutang (debitor) juga mengeluarkan zakatnya, itu berarti zakatnya berganda (double),
karena pemilik piutang (kreditor) dan penghutangnya (debitor) sama-sama
membayar zakatnya. Ini tidak boleh.[13]
6. Qiyas (analogi) kepada
ibadah haji, sebagaimana hutang bisa menghalangi kewajiban haji, maka hutang
juga bisa menghalangi kewajiban zakat. Namun qiyas ini
tersanggah, karena termasuk qiyas yang disertai perbedaan.
Karena antara zakat dan haji ada beberapa perbedaan sehingga zakat tidak bisa
diqiyaskan ke haji. Diantara perbedaan itu :
· Zakat tetap wajib atas anak-anak
dan orang gila, sementara ibadah haji tidak wajib atas mereka.
· Haji juga wajib atas orang-orang
fakir di Mekah sementara zakat tidak wajib atas mereka.[14]
7. Zakat diwajibkan untuk membantu
orang-orang fakir dan sebagai ungkapan rasa syukur dari orang kaya, sementara
pemikul hutang butuh harta untuk melunasi hutangnya. Tidak termasuk tindakan
bijak, menutup mata dari kebutuhan pemilik uang demi menutup kebutuhan orang
lain. Definisi kaya belum terwujud pada diri orang yang menanggung hutang.[15]
8.Hutang
tidak menghalangi zakat sama sekali, ini adalah pendapat yang lebih terkenal di kalangan Syâfi’iyah[16] dan sebuah riwayat di kalangan
Hanâbilah.[17]
DALIL
PENDAPAT YANG KEDUA
Para
Ulama yang berpendapat dengan pendapat yang kedua ini berargumentasi dengan
beberapa dalil, diantaranya:
1. Keumuman
Nash-nash syariat yang mewajibkan zakat pada harta, seperti firman Allâh Azza
wa Jalla :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ
صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allâh Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [At-Taubah/9:103]
1. idak
ada dalil dari al-Qur`an, sunnah dan ijma’ yang menetapkan
bahwa hutang bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta yang berkait dengan
hutang.[18]
2. Kepemilikan nishâb pada
harta masih berlaku. Kalau begitu harta itu adalah miliknya dan hutang yang
ditanggungnya tidak merubah status harta itu menjadi bukan miliknya, sehingga
zakatnya tetap ditanggung oleh dia.[19]
3. Hutang
menghalangi atau menggugurkan kewajiban zakat pada harta bâthinah (yang
tidak terlihat), dan tidak menggugurkan kewajiban zakat pada harta yang zhâhirah (tampak). Ini adalah
pendapat madzhab Mâlikiyah,[20] sebuah pendapat dalam madzhab
Syâfi’iyah[21] dan sebuah riwayat dalam madzhab
Hanâbilah.[22]
Pengertian
harta Zhâhirah dan bâthinah ini dijelaskan
Qâdhi Abu Ya’la dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 115 dengan
pernyataan, “Harta yang dizakati itu terbagi menjadi dua yaitu zhâhirah (yang
tampak) dan bâthinah (yang tidak terlihat). Harta yang zhâhirah adalah
harta yang tidak mungkin disembunyikan, seperti tanaman, buah-buahan dan hewan
ternak. Sedangkan yang bâthinah adalah harta yang mungkin
disembunyikan seperti emas, perak dan perniagaan.” (Lihat Mu’jam Lughah
al-Fuqaha`, hlm. 71)
Walaupun
saat ini, harta perniagaan tidak sepenuhnya termasuk harta yang bâthinah,
karena berbagai bentuk perniagaan di zaman ini telah menjadi harta yang paling
tampak. Ini karena ia harus menjalani proses birokrasi dan pemasaran yang
menuntut diiklankannya barang perniagaan tersebut.
DALIL
PENDAPAT KETIGA
Mereka
yang berpegang dengan pendapat ini berargumentasi dengan seluruh dalil pendapat
pertama, hanya saja mereka mengecualikan harta-harta yang zhâhiriyah. Mereka
berpendapat bahwa hutang tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta
yang zhâhiriyah. Disamping dalil-dalil pada pendapat pertama, ada
beberapa alasan lainnya, di antaranya:
1. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para petugas zakat dan para juru tebas
untuk mengambil zakat ternak, biji-bijian dan buah-buahan dan mereka tidak
bertanya kepada para pemilik harta tentang hutang. Ini menunjukkan bahwa hutang
tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta-harta tersebut.[23]
2. Penglihatan
orang-orang fakir lebih terfokus kepada harta-harta zhâhirah (yang
tampak), sehingga kewajiban zakat padanya lebih ditekankan.[24]
3. Pertanian
dan hewan ternak tumbuh dengan sendirinya, sehingga kenikmatan padanya lebih
sempurna. Kewajiban zakat padanya lebih kuat sebagai wujud syukur nikmat.
Sehingga hutang tidak berpengaruh dalam menggugurkannya, lain halnya dengan
uang.[25]
4. Hanafiyah berdalil atas
pengecualian hasil bumi dengan menyatakan bahwa zakatnya adalah hak bumi.
Kekayaan pemiliknya tidak menjadi bahan pertimbangan dan ia tidak gugur oleh
sebab hak bani Adam berupa hutang.[26]
TARJIH
Pendapat
yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa hutang menghalangi
kewajiban zakat pada orang yang berhutang dengan syarat-syarat :
1.Hutang
sudah jatuh tempo dan penghutang tidak mampu membayarnya.
Hutang
yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta debitor.
Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan Hanâbilah.[27] Alasannya karena tidak ada
kepemilikan sempurna saat hutang telah jatuh tempo disebabkan pemilik piutang
berhak menagihnya. Dan alasan ini tidak ada, apabila hutang belum jatuh tempo,
kecuali atas cicilan yang menjadi hak pemilik piutang. Selain itu tetap masih
menjadi hak pemilik hutang secara utuh.
2. Orang yang berhutang tersebut tidak memiliki arudh qaniyah[28] diluar kebutuhan
pokoknya,
seperti arûdh qaniyah yang bisa dijual saat dia bangkrut untuk
menutupi hutangnya. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, madzhab Mâlikiyah,
sebuah pendapat dalam madzhab Hanâbilah dan dipilih oleh Abu Ubaid,[29] hal ini dengan pertimbangan
berikut:
1. Harta
kekayaan tersebut termasuk harta milik debitor (orang yang berhutang).
2. Harta
tersebut memiliki nilai yang memungkinkan pemiliknya untuk menjualnya dan
beraktifitas dengan harta tersebut saat dibutuhkan.
3. Pihak
kreditor (orang yang memberikan hutang-red) berhak meminta debitor menjual
harta tersebut guna menutupi hutangnya bila ia tidak bisa melunasinya dengan
harta yang lain.
4. Pendapat
yang memandang bahwa jenis harta tersebut tidak bisa digunakan untuk menutup
hutang yang menghalangi kewajiban zakat, akan menyebabkan terhapusnya kewajiban
zakat dari orang kaya yang menginvestasikan harta mereka pada Urûdh Lil
Qinyah (barang-barang yang tidak diperjual belikan-red) atau di bidang
investasi berkembang seperti pabrik-pabrik. Misalnya, orang yang memiliki satu
pabrik yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhan pokoknya, lalu ia membeli pabrik
lain dengan uang hutang, sementara hutang tersebut menghabiskan seluruh hasil
dua pabrik tersebut. Berdasarkan pendapat ini, dia tidak berkewajiban membayar
zakat, padahal dia kaya karena memiliki banyak barang dan pabrik.[30]
5. Orang
yang memiliki tanggungan hutang tersebut bukan orang kaya yang gemar
mengulur-ulur pembayaran hutang.
Bila
dia tergolong orang mampu namun gemar mengulur-ulur pembayaran hutangnya, maka
hutang tersebut tidak menghalangi atau tidak menggugurkan kewajiban zakat
atasnya. Inilah kandungan perkataan Utsman Radhiyallahu anhu yang memberikan
dua pilihan: membayar hutang kepada pemiliknya atau menzakati hartanya dan saat
itu hutang tidak mengurangi nilai nishâbnya.
Wallâhu
a’lam.
sumber:
Diadaptasi secara bebas dari kitab Nawazil Fi as-Zakat.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792,
08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Bidâyatul Mujtahid 3/309, Mughni al-Muhtâj 2/125, al-Mughni 4/266
_______
Footnote
[1] Lihat Bidâyatul Mujtahid 3/309, Mughni al-Muhtâj 2/125, al-Mughni 4/266
[2] Lihat Badâ`i’
ash-Shanâ`i’ 2/12, al-Muntaqâ Syarh al-Muwaththa` 2/118, Mughni
al-Muhtâj 2/125, al-Mughni 4/266.
[3] Lihat al-Bayân karya
al-Imrani 3/146 dan Raudhah ath-Thâlibîn 2/197.
[4] Lihat al-Mughni 4/263
[5] Lihat al-Hâwi 3/309
dan asy-Syarhul Kabîr 6/340.
[6] Lihat, Kasysyâful
Qanna’, 2/13
[7] Al-Mughni 4/264.
[8] Diriwayatkan oleh
Malik dalam al-Muwaththa` no. 596 dan Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf no.
7086 serta al-Baihaqi no. 7856. Sanad atsar Utsmân Radhiyallahu anhu ini shahih
sebagaimana jelaskan oleh Ibnu Hajar t dalam al-Mathâlib
al-Âliyah 5/504, dan al-Albâni dalam Irwa`ul Ghalil, 3/260
no. 789.
[9] Lihat al-Mughni 4/264.
[10] HR al-Bukhâri no.
1395 dan Muslim no. 19.
[11] HR al-Bukhâri
secara muallaq Kitab al-Washâyâ Bab Ta`wil Qaulillahi Ta’ala, ‘Min
Ba’di Washiyyah.’ dan Ahmad 2/230. Al-Bukhâri juga meriwayatkan yang
semakna dalam Shahîhnya no. 1426 dan Muslim dalam Shahîhnya
no. 1034, dari hadits Abu Hurairah z akan tetapi dengan lafazh, “Sebaik-baik
sedekah adalah yang dilakukan dalam keadaan kecukupan, tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah, mulailah dengan nafkah orang yang wajib kamu
nafkahi.”
[12] Lihat Badâ`i’
ash-Shanâ`i’ 2/18 dan al-Umm 2/67
[13] Lihat al-Hâwi 3/310.
[14] lihat Syarh al-Mumti’ karya
Ibnu Utsaimin 6/35.
[15] Lihat asy-Syarhul
Kabîr karya Ibnu Qudâmah 6/340.
[16] Lihat al-Bayân karya
al-Imrâni 3/146 dan Raudhah ath-Thalibîn 2/197.
[17] Lihat al-Mughni 4/266
[18] Lihat al-Muhalla 1/65.
[19] Lihat al-Hâwi 3/310.
[20] Lihat al-Isyraf
ala Nukat Masâ`il al-Khilaf 1/407 dan Hasyiyah al-Adawi 1/473.
[21] Lihat al-Bayân karya
al-Imrâni 3/147 dan Raudhah ath-Thalibîn 2/197.
[22] Al-Mughni 4/264
dan asy-Syarhul Kabîr 6/338.
[23] Lihat al-Mughni 4/265.
[24] Lihat asy-Syarhul
Kabîr 6/342.
[25] Lihat al-Furuq karya
al-Qarafi 3/43.
[26] Lihat Bada`i’
ash-Shana`i’ 2/12.
[27] Lihat Bada`i’
ash-Shana`i’ 2/12, at-Taj wal Iklil 3/199, al-Hawi 3/309
dan asy-Syarhul kabir 6/336.
[28] Arudh
Qaniyah adalah semua yang dimiliki oleh seseorang dengan tujuan
untuk dimanfaatkan bukan untuk dijadikan barang dagangan. Barang tersebut
dimanfaat dengan cara digunakan untuk membantu proses aktifitas kerja yang
beraneka ragam seperti alat untuk kerja dan hewan untuk menggarap sawah atau
dikembangbiakkan, tanah atau rumah untuk tempat tinggal sendiri. Istilah ini
sinonim dengan istilah al-Ushûl ats-tsâbitah dalam
istilah akuntansi zakat modern.
[29] Lihat al-Amwal hlm.
443, al-Mabsûth 2/198, al-Muntaqa karya
al-Baji 2/119 dan al-Mughni 4/267.
[30] Lihat
kajian-kajian fikih terkait dengan persoalan-persoalan zakat kontemporer,
kajian dengan judul Mada Ta`tsir ad-Duyun al-Istitsmariyah wal
iskaniyah al-Muajjalah fi Tahdid Wi’a` az-Zakah 1/317. Penulisnya
menyebutkan ciri-ciri harta yang dimaksud dalam kajian tersebut secara rinci,
silakan merujuknya bila berkenan di hal 318.
( Sumber: https://almanhaj.or.id/6800-apakah-hutang-menghalangi-kewajiban-zakat.html