Menjadikan Sedekah sebagai Prioritas
Tidak sedikit orang memberikan sedekah yang merupakan uang sisa saja. Sisa dari apa? Yaa sisa dari seluruh uang keperluan yang sudah dianggarkan. Prioritas pertama itu makan, kemudian transportasi, komunikasi, entertainment, hobi, blablabla… baru kemudian prioritas terakhir adalah sedekah. Kalau hanya bersisa seratus ribu, yaa… Berarti sedekah bulan ini hanya seratus ribu. Kalau tidak bersisa, yaa kalau begitu anggaplah bersedekah pada keluarga Padahal jika kita mau meneliti anggaran keuangan kita, banyak sekali pengeluaran yang tidak prioritas bahkan terkesan mewah, inilah yang disebut dengan gaya hidup.
Banyak orang zaman sekarang yang lebih memilih membeli gaya hidup daripada mengalokasikan uangnya untuk bersedekah. Minum kopi di kafe, minimal harus keluar lima puluh ribu sekali duduk. Entah berapa kali duduk di kafe dalam sebulan. Kalau pekerjaannya memang mengharuskan demikian masih bisa dimaklumi, tapi kalau sekadar untuk hang out? Nonton film di bioskop, berikut dengan popcorn, french fries, dan segelas besar soda. Entah berapa film bioskop yang ditonton dalam sebulan.
Membeli produk perawatan wajah dan kosmetik, harus yang branded, satu produknya saja seharga setengah juta, padahal ada produk yang sama fungsinya, namun harga sepuluh kali lebih murah, dianggapnya tidak level. Begitulah kondisi kita… Belum memprioritaskan sedekah. Masih memprioritaskan gaya hidup. ebenarnya jika gaya hidup tinggi tapi juga sedekahnya bernilai lebih dari itu tentunya masih terasa sah-sah saja, misalnya pengeluaran bulanan untuk gaya hidup sepuluh juta, untuk sedekah sebelas juta. Tapi pada faktanya, bukankah banyak yang menolak bersedekah karena kehabisan uang untuk membeli gaya hidup saja?
Sungguh jauh kondisi kita saat ini dengan kondisi di zaman Rasulullah dahulu. Bahkan Rasulullah begitu takut jika di rumahnya masih ada uang yang tersisa, ia akan segera menyedekahkannya. Sedangkan kita sebaliknya, begitu takut jika tidak ada uang di rumah.
Mari kita simak hadits berikut:
“Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu: Aku (Umar) masuk menemui Rasulullah yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka?” (HR. Muslim)
Kita semua mengetahui bahwa Rasulullah adalah seorang pebisnis yang jujur dan memiliki harta yang tak sedikit, namun lihatlah betapa beliau memprioritaskan harta yang dimilikinya untuk sedekah pada orang lain, dan tidak menginginkan tubuhnya memperoleh kenikmatan berlebihan dengan apa yang disebut sebagai gaya hidup. Maka, hendaknya kita mulai memprioritaskan sedekah, dimulai dari orang-orang terdekat yakni kerabat yang kurang mampu, hingga sedekah pada yatim dan dhuafa yang tidak kita kenal sekalipun.
Sedekah saat Takut Miskin
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli.” (QS. Al Baqarah: 254).
Pernahkah merasa takut kekurangan? Misalnya, setelah membuat rencana keuangan bulanan, ternyata nominal penghasilan yang diterima tidak sebesar nominal pengeluaran yang telah memiliki pos masing-masing. Sebagai contoh, penghasilan yang diterima sepuluh juta, namun pengeluaran untuk cicilan mobil, cicilan rumah, uang makan, pendidikan anak, belanja bulanan, uang pulsa, transport, dan sebagainya melebihi sepuluh juta rupiah. Gaji yang terlihat besar pun akhirnya terasa kurang.
Dalam kondisi demikian, sangat wajar jika kita merasa takut kekurangan, takut menjadi fakir. Namun tahukah bahwa saat seperti inilah waktu paling tepat untuk mengeluarkan sedekah? Mengapa ketika takut kekurangan harta dan khawatir menjadi fakir malah menjadi saat yang bagus untuk bersedekah? Ya, tentu saja karena Rasulullah sendiri yang menyampaikan ucapan tersebut.
“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu, hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).
Jelas bahwa Rasulullah mendorong kita untuk tidak menunda-nunda sedekah sekalipun kita merasa khawatir kekurangan, karena ada hikmah besar di baliknya. Beberapa hal berikut ini mungkin bisa menjadi jawabannya: 1. Mengeluarkan sedekah memberi perasaan ‘kaya’ dan bahagia, yang baik untuk kejiwaan seseorang
Saat ini makin banyak penelitan yang menunjukkan korelasi antara sedekah dengan kebahagiaan. Semakin besar uang yang ‘dibelanjakan’ orang untuk menolong sesama, maka si dermawan tersebut akan bertambah bahagia. Demikian hasil kajian Elizabeth Dunn, pakar psikologi dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada. Studi Jorge Moll dari National Institutes of Health juga menemukan hasil bahwa ketika seseorang bersedekah, beberapa area di otak yang berhubungan dengan kenyamanan, koneksi sosial, dan rasa percaya menjadi aktif.
Para peneliti pun meyakini bahwa ketika kita melakukan tindakan altruistik, otak akan melepaskan hormon endorfin, yang memberi rasa bahagia, hal ini menunjukkan efek positif sikap dermawan pada kesehatan. Mungkin ini sebabnya Rasulullah amat menganjurkan seseorang yang pelit dan takut miskin untuk bersedekah, karena sedekah mencegah penyakit hinggap ke diri kita.
2. Bersedekah di saat kekurangan membuktikan kesungguhan iman
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa orang akan bersikap pelit ketika dalam keadaan sehat. Jika di waktu seperti itu ia mau berbaik hati bersedekah, maka terbuktilah akan benarnya niat dan besarnya pahala yang diperoleh.
Hal ini berbeda dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih terasa kurang, berbeda halnya ketika sehat. (Syarh Shahih Muslim, 7: 112)
3. Menunjukkan tingkat ketawakalan yang tinggi
Sudah tahu pengeluarannya lebih besar dari pendapatan, tapi masih mau bersedekah, tentu saja hal ini menunjukkan tingginya ketawakalan seseorang kepada Allah. Dan terhadap orang yang tawakal padaNya, Allah akan menunjukkan jalan keluar serta memberi rezeki dari arah yang tak disangka-sangka.
“Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya dia akan membukakan jalan keluarnya dan dia memberikan rezekinya dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan tugasnya…” (QS. Ath-thalaq: 1-2)
Sahabat, mari kita bersedekah sekalipun dalam keadaan takut miskin dan kekurangan, karena Allah yang akan mencukupi diri kita.
Sedekah Tanpa Diketahui Tangan Kiri
”Jika kalian menampakkan sedekah maka hal itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kalian…” (QS. Al-Baqarah: 271)
Pernahkah terpikir apa maksudnya sedekah tanpa diketahui oleh tangan kiri? Ya, tentu saja hal ini terkait dengan melakukan amalan sedekah secara diam-diam.Sesuai namanya, sedekah seperti ini ‘sunyi senyap’, tak memperoleh ucapan terimakasih, apalagi liputan media. Karena jangankan orang lain… Bahkan tangan kirinya sendiri pun tak mengetahui sedekah yang diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Beberapa kisah para ulama berikut ini bisa kita teladani sebagai wujud nyata bersedekah tanpa diketahui oleh tangan kiri.
Kisah pertama, sedekah yang dilakukan oleh Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Tidak pernah ada yang mengetahui siapakah yang selalu memberi sedekah berupa karung berisi tepung untuk penduduk dhuafa kota Madinah di malam hari. Setiap Shubuh tiba, para penduduk tersebut sudah menemukan sekarung tepung di depan pintu rumah mereka, dan hal ini terjadi tidak hanya sehari dua hari saja, melainkan selama bertahun-tahun. Lalu bagaimana kisah ini bisa sampai kepada kita sekarang? Sehingga kita mengetahui siapa yang melakukan sedekah rahasia tersebut? Ya, karena semua sedekah rahasia tersebut berhenti di hari kematian beliau. Dan betapa mengejutkan ketika orang yang memandikan jenazah beliau mendapati bekas kehitaman di punggungnya, tanda yang muncul akibat bertahun-tahun memanggul sendiri karung-karung tepung untuk dibagikan kepada kaum dhuafa.
Awalnya tak ada yang mengetahui mengapa bekas kehitaman itu tampak di punggung beliau. Keluarga beliau pun tak paham bekas apa itu. Namun, pembantu beliau yang memang pernah memergokinya sedang memikul karung tepunglah yang memberitahukan.
Hingga terang-benderang siapa pemberi sedekah rahasia untuk penduduk selama ini. Maasya Allah. Itulah sedekah yang dilakukan oleh keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Sedekah yang amat jauh dari riya’ apalagi pencitraan.
Kisah kedua, sedekah yang dilakukan oleh Abu Amru bin Nujaid
Seorang ulama hadits dan ahli zuhud, Abu Amru bin Nujaid, memberikan bantuan sebesar 1000 dinar kepada Abu Utsman Al Hirri yang saat itu bertanggungjawab terhadap krisis yang sedang terjadi di negeri Naisabur (Khurasan). Esok harinya, dengan gembira Abu Utsman mengundang Abu Amru untuk duduk di sebuah majelis yang dihadiri banyak orang. Pada kesempatan itu, Abu Utsman mengungkapkan terimakasih yang mendalam atas bantuan 1000 dinar dari Abu Amru. Namun tanpa diduga, tiba-tiba Abu Amru berdiri di hadapan hadirin dan menyampaikan, ”Sesungguhnya harta yang saya berikan adalah harta ibu saya dan ternyata beliau tidak ridha, maka mestinya harta tersebut dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau.”
Ucapan ini membuat semua yang datang ke majelis tersebut kaget, apalagi Abu Utsman. Sama sekali tak disangkanya Abu Amru akan meminta kembali sedekah yang telah diberikannya. Mau tak mau, ia pun mengembalikan 1000 dinar tersebut. Hadirin bubar dengan kekecewaan besar terhadap ulama yang membatalkan sedekahnya itu.
Begitu malam tiba, Abu Amru mendatangi lagi Abu Utsman dengan memberi kembali 1000 dinar itu sambil mengatakan, ”Anda bisa memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu akan hal ini kecuali kita.”
Maasya Allah. Sesungguhnya sedekah seperti itulah yang in syaa Allah akan membuat pelakunya mendapati naungan istimewa Allah pada hari kiamat kelak.
“Ada tujuh kelompok orang yang akan mendapatkan naungan (rahmat) Allah di hari kiamat di mana tiada tempat bernaung selain naungan Allah, di antaranya adalah “Lelaki yang bersedekah kemudian dirahasiakannya sampai-sampai tangan kirinya tidak megetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya.” (HR. Muslim)
Maka, meskipun sedekah secara terang-terangan tidak Allah larang, namun sangat dahsyat jika kita juga memiliki sedekah sembunyi-sembunyi yang bahkan tidak diketahui oleh tangan kiri sendiri. Siapkah kita mengamalkannya?
Menyesali Kurang Sekali Sedekah
Pernahkah merasa menyesal bersedekah? Sesungguhnya, sangat mungkin ketika sakaratul maut menjemput, kita akan merasa menyesal dengan sedekah yang kita berikan, sebagaimana salah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Sya’ban, amat menyesali sedekah yang ia pernah keluarkan.
Dikisahkan bahwa saat sakaratul maut, Sya’ban Radiyallahu ‘anhu meneriakkan 3 kalimat yang tidak dimengerti maknanya oleh keluarganya. 3 kalimat tersebut berupa rasa penyesalan Sya’ban terhadap apa yang telah diperbuatnya selama hidup.
Penyesalan yang pertama membuatnya berteriak, “Aduuuh kenapa tidak lebih jauh…”
Yakni penyesalan karena jarak rumahnya ke masjid hanya beberapa kilometer saja, sedangkan saat sakaratul maut tersebut ia diperlihatkan oleh Allah ganjaran pahala yang diperolehnya langkah demi langkah menuju masjid, maka ia pun menyesali mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi, agar pahala yang diperolehnya lebih banyak lagi.Penyesalannya yang kedua membuatnya berseru,” Aduuuh kenapa tidak yang baru…”
Karena menjelang kedatangan ajalnya itu pula, Allah memperlihatkan amalannya yang lain, yakni di waktu angin dingin berhembus. Sya’ban memakai pakaian double, yang ia pakai di dalam adalah satu baju baru, sedangkan sebagai luaran adalah baju lama. Niat Sya’ban setelah sampai masjid, baju luarannya akan dilepas sehingga ia shalat dengan memakai baju baru. Akan tetapi di tengah perjalanannya ke masjid, ia bertemu seseorang yang tampak sekarat karena kedinginan. Maka Sya’ban pun membantu memapah orang tersebut dan memakaikan baju luarannya yang sudah usang pada orang itu, sehingga orang yang hampir sekarat itu bisa tertolong.
Rupanya amalan tersebut Allah ganjar surga yang ditampakkanNya pada Sya’ban ketika sakaratul maut. Maka ia amat menyesali mengapa saat itu hanya memberikan pakaian lama, bukan yang baru. Melihat betapa besarnya ganjaran kenikmatan yang ia peroleh hanya karena memberi pakaian usang, ia berpikir apalagi kalau ia memberi pakaian yang baru.
Dan terakhir adalah penyesalan Sya’ban mengenai sedekahnya kepada seorang pengemis, penyesalan ini membuatnya berseru saat sakaratul maut. “Aduuuh kenapa tidak semua…”
Karena saat itu ia ingin memakan sebuah roti, tiba-tiba ada seorang pengemis meminta makanan padana akibat sudah beberapa waktu pengemis tersebut tidak mengisi perutnya sama sekali.Maka Sya’ban membagi 2 rotinya sama besarnya, untuk disantap olehnya dan oleh pengemis tersebut. Begitu melihat ganjaran yang diperolehnya atas sedekahnya itu, ia pun menyesal, mengapa tidak memberikan semua roti tersebut pada sang pengemis. Itulah makna teriakkannya saat sakaratul maut tersebut.
Bahkan setelah mengetahui ganjaran luar biasa yang didapatnya, seseorang masih bisa menyesali sedekah yang dikeluarkannya, menyesal mengapa ketika hidup hanya mengeluarkan sedekah sedikit saja. Apalagi seseorang yang meninggal tanpa pernah bersedekah. Bukankah mayit saja jika diperbolehkan hidup kembali akan memilih untuk bersedekah?
“Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shaleh.” (QS. Al-Munafiqun: 10). Oleh sebab itu, bersedekahlah dengan apapun yang kita miliki saat ini juga. Jangan sampai kita menyesali karena menahan-nahan harta dan tidak menginfakkannya. (SH)
Agar Sedeqah Menjadi Lifestile
Sahabat, begitu mudahnya kita menghabiskan uang di toko, swalayan, restoran, cafe, bioskop, bahkan juga kita rela mengeluarkan ratusan ribu sampai jutaan Rupiah sekadar untuk pulsa, namun amat sulit mengeluarkan sejumlah uang yang sama untuk diberikan ke masjid, kotak infak, atau rekening shadaqah secara rutin.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Salah satu alasannya adalah kita belum menjadikan zakat, infak, wakaf, dan sedekah sebagai gaya hidup. Sementara itu pulsa gadget, makan di cafe, minum secangkir kopi seharga minimal lima puluh ribu, spa dan sauna sudah menjadi kebutuhan lifestyle alias gaya hidup bulanan. Apa itu gaya hidup? Menurut Kotler (2002, p. 192) gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang ia ekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Minor dan Mowen (2002, p. 282), gaya hidup adalah menunjukkan cara bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana ia mengalokasikan waktu.
Nah, pertanyaannya, bagaimana cara membuat sedekah menjadi gaya hidup kita? Di mana setiap kali mendapat uang, pertama sekali kita tidak akan terpikirkan mall atau gadget baru, melainkan zakat, infak atau sedekah.
Berikut ini beberapa tips membuat sedekah menjadi gaya hidup yang patut dicoba:
1. Bergabung dengan komunitas orang-orang pecinta sedekah dan gemar berinfak
Lifestyle biasanya didorong juga oleh tuntutan lingkungan. Orang yang hidup dalam lingkungan hedon, misalnya menghamburkan uang untuk dugem (dunia gemerlap), maka lifestylenya akan ikut terpengaruh gaya hedonisme. Orang yang berada di lingkungan orang-orang penuh perhitungan dan gemar menyimpan harta dalam bentuk emas, tabungan serta deposito, maka ia akan terlecut juga untuk menjadikan menabung sebagai gaya hidupnya.
Seorang wanita yang tergabung dalam kumpulan penggosip, maka akan memiliki gaya hidup sebagai tukang ghibah pula. Maka, untuk memastikan lifestyle yang kita pilih bersifat positif, cobalah menceburkan diri ke lingkungan orang-orang positif, dalam hal ini khususnya ke komunitas orang-orang yang gemar bersedekah.
2. Temukan kenikmatan dan kebahagiaan saat bersedekah
Hal ini penting, karena ketika seseorang telah menemukan kenikmatan dalam bersedekah, tidak akan sulit lagi menjadikan sedekah sebagai gaya hidup. Akan tetapi jika tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam bersedekah, bagaimana mungkin sedekah menjadi lifestyle kita.
Semua orang memiliki perbedaan cara dalam menemukan perasaan bahagia dan lega memberi sedekah yang ia keluarkan, misalnya, ada orang yang merasa nikmat jika memberi langsung sedekahnya pada pihak yang memerlukan. Contoh, ia mendatangi langsung panti asuhan dengan memberikan mesin cuci, kulkas, pakaian, tas, dan buku tulis untuk ratusan anak. Tapi ada juga yang justru merasa aman dan tenang jika mempercayakan uang sedekahnya pada lembaga terpercaya, cukup mentransfer melalui sms atau internet banking, kemudian selanjutnya ia tinggal menerima laporan penggunaan uang sedekahnya tersebut. Apapun caranya, pastikan hati kita bisa merasa lega, senang, dan damai setiap kali mengeluarkan sedekah. Perasaan bahagia ini akan memberi efek ‘ketagihan’, sehingga selanjutnya kita bisa benar-benar menjadikan sedekah sebagai kebutuhan gaya hidup.
3. Tularkan gaya hidup bersedekah
Lifestyle biasanya sudah benar-benar mendarah daging jika kita telah dapat tularkan pada orang di sekitar. Yakni, dengan membuat mereka tertarik mengikuti gaya hidup yang kita lakukan. “Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh.” (HR. Muslim)
Sahabat, sudahkah kita berminat menjadikan sedekah sebagai gaya hidup? Jika ya, semoga Allah memudahkan kita untuk istiqomah. (SH)
Bahanya Mengatakan saya Tidak Punya Uang
Pernahkah bertemu dengan seseorang yang memiliki uang seratus juta Rupiah tunai di rumahnya, namun ketika ada kerabatnya yang kesulitan dan meminta bantuannya sekadar seratus ribu saja untuk makan, ia malah berkata, “Saya tidak punya uang.”
Mungkin memang ia memiliki standar hidup yang tinggi untuk dirinya dan keluarganya sendiri, mungkin seratus juta Rupiah tersebut merupakan uang cadangan yang tidak boleh diutak-atiknya, mungkin pula ia takut kerabatnya akan terus-menerus datang meminta-minta bantuannya, apapun itu…Sungguh berbahaya mengatakan “Saya tidak punya uang,” saat ada yang meminta bantuan. Pasalnya yang dinamakan sedekah bukan hanya memberi uang saja, bahkan sekadar memberi makan kerabat dengan hidangan yang ada di rumah kita pun bisa dianggap sedekah.
Selain itu, memberi kerabat sendiri pinjaman uang dengan perjanjian harus dikembalikan pada tanggal sekian pun bisa terhitung sedekah, bahkan nilai pahalanya jauh lebih besar daripada bersedekah biasa. Dan lagi tidak akan mengurangi harta kita karena statusnya bukan diberi melainkan dipinjamkan. Dalam salah satu hadits, dikisahkan Rasulullah melihat tulisan di pintu surga pada peristiwa Isra’ Mi’raj.
“Sedekah berpahala sepuluh kalinya, sedangkan pinjaman berpahala delapan belas kalinya.”
Karena penasaran, beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, mengapa pinjaman lebih utama daripada sedekah?”
Lalu Malaikat Jibril menjawab, “Karena seorang peminta-minta, (terkadang) ia masih memiliki (harta), sedangkan orang yang meminta pinjaman, ia tidak akan meminta pinjaman kecuali karena kebutuhan.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Jelas bahwa ada banyak hal yang bisa kita sedekahkan selain dalam bentuk pemberian uang. Menolak bersedekah dengan dalih “Saya tidak punya uang” padahal sebenarnya punya, tapi ditahan untuk keperluan diri sendiri sungguh membahayakan, alasannya antara lain:
1. Mendapat doa dari Malaikat setiap pagi untuk memusnahkan harta orang yang menolak bersedekah
Sepanjang orang tersebut masih menahan hartanya dan enggan membantu kerabatnya yang meminta bantuan, maka selama itulah malaikat setiap pagi mendoakan hartanya agar dimusnahkan oleh Allah.
“Tidaklah seorang hamba memasuki waktu pagi pada setiap harinya, kecuali ada dua malaikat yg turun. Salah satunya memohon: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi dermawan yg menyedekahkan hartanya.’ Dan satu lagi memohon: ‘Ya Allah, musnahkanlah harta si bakhil.'” (HR. Muslim no. 1678)
2. Memutus kekerabatan
Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa penyakit kikir sudah pasti akan melahirkan kezaliman serta mampu memutus hubungan kekerabatan.
Orang yang kikir tentu enggan mengeluarkan hartanya untuk membantu kerabatnya sendiri, sehingga cepat atau lambat kerabatnya pun akan menjauhinya disebabkan kebakhilannya.
“Jauhilah oleh kalian sifat kikir, karena sifat itulah yang membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir menyuruh mereka berlaku zhalim, maka merekapun berlaku zhalim. Kikir menyuruh mereka memutus kekerabatan, merekapun memutusnya.” (HR Abu Dawud)
3. Mendapat kebencian Allah karena kikir
Salah satu golongan yang Allah benci adalah orang yang kikir, yang tidak bersedia membantu orang lain karena merasa hanya merugikan dirinya saja.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Tiga golongan yang dibenci Allah: Orang tua yang berzina, orang bakhil dan orang yang sombong.” (HR. Ibnu Hibban, sanadnya Jayyid)
Ini adalah bahaya kikir yang penting diwaspadai, yakni lahirnya sifat munafik!
“Maka setelah Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling dan memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran), maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai mereka menemui Allah.” (QS. At-Taubah 76-77)
Mari kita biasakan diri untuk tidak menolak ajakan bersedekah, sekecil apapun itu, bagaimana pun sedekah merupakan amalan paling luar biasa yang bisa dilakukan bahkan tanpa mengeluarkan uang. Semangat bersedekah hari ini! (SH) (Sumber: tabungwakaf.com)
***************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com
***************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com