Oleh: Oneng Nurul Bariyah
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Abstract
The Dynamics of Legal Aspects of Zakat and Waqf in Indonesia. This study shows that the codification of the law of zakat in Indonesia occurs gradually. Codification of Zakat still focuses much on zakat management. Zakat management is undertaken by the National Zakat Board (BAZNAS) and the Amil Zakat Institute (LAZ). The developmental aspects of zakat consist of amil zakat, muzaki, zakat object, sanctions, and charity as a tax deduction. Meanwhile, the legal codification of waqf in Indonesia experienced significant growth after the enactment of Law Number 41 Year 2004 on Wakaf including: the concept of endowments, wakif, waqf objects, elements of endowments, nazir, waqf institutions (BWI), monitoring, dispute resolution, and criminal sanctions for violations of the waqf objects.
Keywords: codification, legal developments of zakat, waqf law, amil zakat, nazir
Abstrak:
Dinamika Aspek Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia. Studi ini dimaksudkan untuk menganalisis aspekaspek perkembangan hukum wakaf dan zakat di Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa kodifkasi hukum zakat di Indonesia terjadi secara bertahap. Kodifkasi zakat baru mengatur manajemen pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Adapun aspek perkembangan unsur zakat terdiri atas: Lembaga amil zakat, muzaki, objek zakat, sanksi, dan zakat sebagai pengurang pajak. Sementara itu, kodifkasi hukum wakaf di Indonesia mengalami perkembangan cukup signifkan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Tajdid pada hukum wakaf meliputi: konsep wakaf, wakif, benda wakaf, unsur wakaf, nazir, lembaga wakaf (BWI), pengawasan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap objek wakaf.
Pendahuluan
Hukum Islam bersifat komprehensif (syâmil) yang meliputi sistem kepercayaan/ibadah dan sistem kemasyarakatan, tetapi dalam pengungkapannya terdapat perbedaan antara keduanya.1 Sifat hukum Islam yang mencakup pelbagai aspek termasuk ‘aqidah dan mu’amalah sesuai dengan definisi fikih yang disampaikan Abu Hanifah yaitu: عليها وما مالا النفس معرفة . Sementara al-Syaf’i العلم بلحكام الشرعية العملية الكتسب من fikih defnisi memberikan .أدلتها التفصيلية 2 Pengertian Fikih versi Abu Hanifah yang menyebutkn cakupannya yang umum memiliki arti yang sama dengan syari’ah.
Dalam Islam fikih memiliki dwi-fungsi yaitu sebagai hukum positif dan standar moral. Dalam arti hukum positif, fikih berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia dan mendapatkan legitimasi dari badan judikatif yaitu mahkamah. Dalam masalah hukum wajib, mubah, makruh, haram, dan mandub tidak sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah, yang demikian fikih dalam posisi sebagai standar moral.3 Kedua fungsi fikih tersebut memberikan pengaruh terhadap ruang lingkup kajian dan penekanannya.
Fiqh itu dapat berkembang dan mengalamai perubahan seiring perubahan tempat, waktu, dan sebab-sebab yang mempengaruhinya. Dalam pandangan Rifyal Ka’bah 4 bahwa terjadinya perubahan dalam Islam dimunculkan dari ilmu kalam yang berbunyi “al ‘alam mutaghayyir wa kullu muthaghayyir hâdits wa al- ‘alam hâdits”(dunia berubah, setiap yang berubah tidak abadi. Alam itu tidak abadi). Perubahan dapat terjadi pada hukum Islam melalui metode ijtihad.
Perubahan substansi fqh merupakan keniscayaan dimana hukum sebagai entitas kehidupan manusia. Yang demikian terkandung dalam kaidah fiqh yang berbunyi: taghayyurul ahkâm bitaghayyur al-azminah wa al amkinah wa ahwâl wa al-‘awâid wa al-niyyât. Dalam konsep perubahan sosial, perubahan dapat berarti kemajuan, pertumbuhan, perkembangan, pengembangan, reformasi, modernisasi, evolusi, revolusi, transformasi, adaptasi, modifkasi, dan sebagainya.5 Kemajuan merupakan perubahan yang didasarkan pada tolak ukur nilai tertentu. Perkembangan merupakan perubahan sktruktral maupun kultural yang dinyatakan secara kualitatif. Tranformasi merupakan suatu perubahan struktural dalam konteks struktur dan kultur masyarakat tertentu.
Dengan perubahan memunculkan bentuk baru, yang disebut dengan pembaruan. Dalam hal ini ada beberapa bentuk pembaruan hukum Islam.6 Pertama, kodifikasi (yaitu pengelompokan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara, yang disebut sebagai doktrin siyasah. Kedua, tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab hukum tertentu, yang disebut sebagai doktrin takhayyur (seleksi) yaitu mendapat nama yang paling dominan dalam masyarakat. Ketiga, perkembangan hukum dalam mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut sebagai doktrin tatbiq (penerapan hukum terhadap peristiwa baru). Keempat, perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru disebut doktrin tajdid (reinterpretasi).
Mengacu pada bentuk-bentuk pembaruan hukum Islam di atas, maka hukum Islam yang ada di Indonesia dapat saja mengambil bentuk-bentuk tersebut, termasuk pembaruan zakat dan wakaf. Tranformasi hukum zakat dan wakaf sebagai kepekaan umat Islam khususnya ulama dan cendekiawan terhadap problematika sosial. sebagai usaha menjawab pelbagai permasalahan dalam zakat dan wakaf.
Dalam proses perumusan hukum sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat setempat sehingga berpengaruh pada hasil ijtihad. Sebagai contoh adanya Qawl Qadim dan Qawl Jadid Imam Syaf’i.7 Hasil ijtihad memiliki pengaruh terhadap unsur-unsur perubahan yang terkandung dalam undang-undang zakat dan wakaf. Tulisan ini akan membahas perkembangan zakat dan wakaf dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Regulasi Zakat di Indonesia
Regulasi zakat di Indonesia terhitung masih baru apabila dibandingkan dengan masa Islam masuk ke Indonesia. Pada masa penjajahan, Belanda pernah mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 tentang kebijakan zakat. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi membantu pelaksanaan zakat. Hal tersebut untuk melemahkan posisi dari keberadaan harta zakat. Larangan tersebut tertuang dalam Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905.[viii] Setelah Indonesia merdeka, regulasi zakat di Indonesi belum disusun. Regulasi zakat di Indonesia pertama kali berupa Surat Edaran Kementerian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 kelanjutan ordonansi Belanda dimana negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan. Tahun 1964 Kementerian Agama menyusun RUU pelaksanaan zakat dan Perpu pengumpulan dan pembagian zakat serta pembentukan baitul mal.
Namun, RUU dan Perpu tersebut belum sempat diajukan ke DPR dan Presiden. Pada tahun 1967, Menteri Agama mengirimkan RUU zakat ke DPR-GR dengan Surat Nomor MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967, yang berisi penekanan bahwa pembayaran zakat adalah sebuah keniscayaan bagi masyarakat muslim, sehingga Negara memiliki kewajiban untuk mengaturnya [ix]. Menteri Agama juga mengirim surat kepada Menteri Keuangan dan Menteri Sosial untuk mendapatkan usul dan tanggapan, terkait Depkeu yang berpengalaman dalam pengumpulan dana masyarakat dan Depsos yang berpengalaman dalam distribusi dana sosial ke masyarakat.
Departemen Keuangan saat itu menyarankan agar zakat diatur dalam Peraturan Menteri Agama. [x] Menteri Agama kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat. Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 mengatur tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada BAZ.11 Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan Isra’ Mi’raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968. 12 Pada tanggal 21 Mei 1969 keluar Keppres no. 44 berisikan pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai oleh Idham Chalid selaku Menko Kesra saat itu. Operasional surat keputusan Presiden diuraikan dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 3 tahun 1969 mengenai pengumpulan uang zakat melalui rekening Giro Pos No. A. 10.00.13 Namun, hasil pengumpulan zakat pada rekening tersebut selanjutnya tidak diketahui. Salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap dana zakat diprakarsai oleh Ali Sadikin selaku gubernur Pemerintah DKI Jakarta 14 dengan membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) pada tahun 1968. Selanjutnya berdiri lembaga sejenis di beberapa daerah seperti Kalimantan Timur tahun 1972, Sumatera Barat tahun 1973, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1985.[xv] Namun, keberadaan lembaga-lembaga tersebut belum menampakkan hasil yang maksimal. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah dan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Pada masa awal reformasi yaitu masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 23 September 1999 disahkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Menurut Din Syamsuddin, lahirnya UU tersebut tidak terlepas dari politik umat Islam yang disertai adanya kesadaran agama yang tinggi.16 Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Sebelumnya, pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberi wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan menyalurkan ZIS.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat terdiri atas 10 Bab dan 25 pasal dengan rincian sebagai berikut:17
1. Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri atas 3 pasal (Pasal 1-3)
2. Bab II tentang Asas dan Tujuan terdiri atas 2 pasal (Pasal 4-5)
3. Bab III tentang Oganisasi Pengelolaan Zakat terdiri atas 5 pasal (Pasal 6-10)
4. Bab IV tentang Pengumpulan Zakat terdiri atas 5 pasal (Pasal 11-15)
5. Bab V tentang Pendayagunaan Zakat terdiri atas 2 pasal (Pasal 16-17)
6. Bab VI tentang Pengawasan terdiri atas 3 pasal (Pasal 18-20) 16 Din Syamsuddin, Islam dan
7. Bab VII tentang Sanksi terdiri atas 1 pasal yaitu pasal 21
8. Bab VIII tentang Ketentuan Lain-lain terdiri atas 2 pasal (Pasal 22-23)
9. Bab IX tentang Ketentuan Peralihan terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 24
10.Bab X tentang Penutup terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 25 Setelah lahirnya Undang-Undang No. No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, beberapa peraturan daerah tentang pengelolaan zakat lahir pada era reformasi.
Pada umumnya peraturan daerah tentang pengelolaan zakat tidak berbeda dengan undang-undang pengelolaan zakat yang menitikberatkan pada pengelolaan zakat oleh badan amil zakat termasuk pendistribusiannya. Ada di antara peraturan daerah yang telah menetapkan zakat profesi bagi pegawai negeri sipil di wilayahnya yang diambil zakatnya sebesar 2,5%. Hal ini terdapat pada peraturan daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shodaqoh.18
Beberapa peraturan daerah lahir merespon lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang terdiri atas 11 Bab dan 47 Pasal dengan rincian sebagai berikut:
1. Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri atas 4 Pasal (Pasal1-4)
2. Bab II tentang Badan Amil Zakat Nasional terdiri atas 16 Pasal (Pasal 5-20)
3. Bab III tentang Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan terdiri atas 9 pasal (Pasal 21-29)
4. Bab IV tentang Pembiayaan terdiri atas 4 pasal (Pasal 30-33)
5. Bab V tentang Pembinaan dan Pengawasan terdiri atas 1 pasal (Pasal 34)
6. Bab VI tentang Peran Serta Masyarakat terdiri atas 1 pasal (Pasal 35)
7. Bab VII tentang Sanksi Administratif terdiri atas 1 pasal (Pasal 36)
8. Bab VIII tentang Larangan terdiri atas 2 pasal (Pasal 37-38)
9. Bab IX tentang Ketentuan Pidana terdiri atas 4 pasal (Pasal 39-42)
10. Bab X tentang Ketentuan Peralihan terdiri atas 1 pasal (Pasal 43)
11. Bab XI tentang Ketentuan Penutup terdiri atas 4 pasal (Pasal 44-47)
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat memiliki hubungan erat dengan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan muatannya, Undang-Undang pengelolaan zakat tahun 2011 memiliki perbedaan signifkan daripada undang-undang sebelumnya.
Perbedaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Perbandingan UU RI No.38 Tahun 1999 dan UU RI No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
MATERI UU RI No 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat UU RI No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan zakat
UU RI No.38 Thn 1990
|
UU RI No.23 Thn 2011
|
|
Pengelolaan Zakat
|
Meningkatkan system pengelolaan zakat
|
Zakat dikelola secara melembaga sesuai syari’at Islam
|
Ketentuan Umum
|
Memuat penjelasan: pengelolaan zakat, zakat, muzakki, mustahik, agama, dan menteri
|
Memuat penjelasan: pengelolaan zakat, infak, sedekah, muzakki, mustahik, BAZNAS, LAZ, UPZ, Setiap Orang, Hak Amil, dan Menteri
|
Asas Pengelolaan
|
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasaar 1945
|
Pengelolaan zakat berasaskan: a. syariat Islam; b. amanah; c. kemanfaatan; d. keadilan; e. kepastian hukum; f. terintegrasi; dan g. akuntabilitas.
|
Tujuan
|
a. Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama
b. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
c. meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat
|
a. meningkatkan efektivitas dan efsiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
|
Dana Yang dikelola
|
zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat
|
Zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
|
Macam2 Zakat dan objek
|
(1) Zakat terdiri atas zakat mal dan zakat ftrah.
(2) Harta yang dikenai zakat adalah
a. emas, perak dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, perkebunan dan perikanan; d. Hasil pertambangan;
e. Hasil peternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa; g. rikaz
(3) Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.
|
(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat ftrah.
(2) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan f. pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan i. rikaz.
|
Organisasi Pengelola Zakat
|
Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat yang bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya
|
BAZNAS : Sebagai lembaga pengelola zakat nasional. LAZ sebagai pembantu pengelola zakat yang dibentuk oelh masyarakat dan wajib melaporkan kegiatannya kepada BAZNAS Fungsi BAZNAS: a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat
|
Muzakki
|
Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.
|
Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
|
Biaya
|
Tidak ada
|
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil.
|
Hubungan Zakat dan Pajak
|
Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
|
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. (1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. (2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
|
Sanksi Pelanggaran
|
Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, wasiat, hibah, waris dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, Pasal 13 dalam Undangundang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan pelanggaran
|
Pelanggaran Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan
|
Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa perubahan yang terjadi dalam UU RI No 38 Tahun 1999 dan UU RI No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan zakat. Pertama, manajemen pengelolaan. Undang-Undang Pengelolaan Zakat terbaru (tahun 2011) lebih menekankan pada prinsip kelembagaan. Hal ini dapat dilihat pada bunyi dasar pertimbangan: “...dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam”
BAZNAS menjadi lembaga yang memiliki otoritas dalam hal kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. BAZNAS nasional berkedudukan di Ibu kota Negara, dan untuk tingkat provinsi dan Kabupatenupaten/Kota dibentuk BAZNAS oleh pemerintah daerah sesuai wilayahnya. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Kedua, objek zakat pada prinsipnya hampir sama, tetapi dalam UU Pengelolaan zakat yang baru ditambah dengan surat berharga lainnya. Ketiga, hak amil dalam undang-undang pengelolaan zakat terbaru disebutkan berasal dari dana APBN dan hak amil. Adanya ketentu- an tersebut untuk memberikan legitimasi formal terhadap hak amil. Padahal, hak amil ada pada zakat. Hak amil yang berasal dari APBN mengingat adanya sumber daya amil yang berasal dari unsur pegawai pemerintah.
BAZNAS sesungguhnya adalah amil yang menjadi mustahik zakat. Fungsi amil yang menjadi Badan Amil Zakat merupakan salah satu bentuk terjadinya perubahan dari konsep amil semula. Dalam hukum zakat (fiqh zakat) Amil mendapat bagian dari zakat sebagai upah kerja, sedangkan dalam Undang-undang Pengelolaan Zakat terbaru (UU RI No. 23 Tahun 2011) bahwa bagian amil diambil dari zakat dan APBN. Untuk amil di daerah mendapat bagian dari zakat dan dana APBD. Amil dalam konsep fkih adalah wakil pemerintah yang ditunjuk untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Konsep tersebut masih dianut dalam undangundang pengelolaan zakat sebagaimana disebutkan pada Pasal 10 bahwa Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Demikian pula anggota BAZNAS tingkat provinsi dan daerah tingkat II diangkat oleh pemerintah daerah seperti disebut dalam pasal 15 undang-undang pengelolaan zakat. Jadi, konsep amil dalam undang-undang masih tetap wakil pemerintah seperti konsep dalam fkih zakat.
Perkembangan Wakaf di Indonesia
Praktek wakaf di Indonesia sudah ada sejak Islam datang dan diterima oleh masyarakat Indonesia, jauh sebelum penjajahan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam tradisi masyarakat adat, hukum wakaf belum tertulis, tetapi berlaku secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan peraturan-peraturan.20
Pertama, Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Muhammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala daerah di Jawa dan Madura kecuali daerah swapraja untuk melakukan pendataan dan harus dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat Jumat atau pendaftaran tanah-tanah atau tempat ibadah Islam yang ada di daerah masing-masing.
Kedua, Surat Edaran Sekretaris Guvernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 nomor 125/A tentang Toezich van de regeering op Muhammadaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad tahun 1905 No. 6196, yaitu tentang pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jum’at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati dan dimasukan dalam daftar yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan Agama. Dari semua pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya dalam pembuatan laporan kepada kantor Landrente.
Ketiga, Surat Edaran Sekretari Governemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Surat edaran ini mempertegas Surat edaran sebelumnya yang memberikan wewenang kepada Bupati dalam menyelesaikan sengketa tanah wakaf.
Keempat, Surat Edaran Sekretari Governemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezicht van de Regeering op Muhammedaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah wakaf.
Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan tentang wakaf ini, baik penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusannya. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Surat Edaran Kementerian Agama. Setelah Kementerian Agama dibentuk pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf menjadi urusan kementrian agama bagian D (ibadah sosial). Selanjutnya, pada tanggal 8 oktober 1956, Kementerian Agama mengeluarkan surat edaran nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.21
Kedua, Peraturan Pemerintah. Ada beberapa peraturan pemerintah yang dikeluarkan terkait dengan wakaf pasca kemerdekaan, yaitu: (1) PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No. 8 Tahun 1950; (2) Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan, dan Pimpinan Kementrian Agama RI; (3) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958.
Ketiga, UU No. 5 Tahun 1960. UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 dalam pasal 5, pasal 14 ayat (1) dan pasal 49 ayat (1), (2), dan (3). Pasal 49 berbunyi:
(1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badanbadan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Keempat, Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 menyebutkan bahwa 22 di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial (Zawaib). Di Tingkat Provinsi/tingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi tugas wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan akhirnya di tingkat Kecamatan menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan. Berdasarkan ketentuan terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW mempunyai tugas dan wewenang untuk pengesahan nażir.
Kelima, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang dengan Sistematika sebagai berikut:23
Sistematika PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik :
BAB I Ketentuan Umum 1 pasal
BAB II Fungsi Wakaf 7 pasal, terdiri atas: Fungsi Wakaf, pasal 2 Unsur-unsur dan hak-hak nazir, pasal 7 dan 8
BAB III Tata Cara Mewakafkan dan Pendaftarannya 2 pasal Tata Cara Perwakafan Tanah Milik terdiri pasal 9 Pendaftaran Wakaf Tanah Milik pasal 10
BAB IV Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan Perwakafan Tanah Milik terdiri atas 3 pasal (11-13)
BAB V Ketentuan Pidana terdiri dari 2 pasal Ketentuan Pidana pasal 14 dan 15
BAB VI Ketentuan Peralihan pasal 16 dan 17
BAB VII Ketentuan Penutup terdiri atas 1 pasal Ketentuan Penutup pasal 18
Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Namun PP nomor 28 Tahun 1977 masih memiliki beberapa kelemahan. Pertama, benda-benda wakaf yang diatur baru terbatas pada tanah atau bangunan, belum mengatur wakaf benda-benda bergerak. Hal tersebut sesuai dengan namanya PP tentang Perwakafan Tanah Milik. Kedua, masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam melegalkan benda wakaf dengan cara mengurus sertifkasi wakaf. Ketiga, sumber daya manusia yang memiliki kualifkasi dalam urusan wakaf khususnya nazir masih terbatas. Dalam tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf ada beberapa hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum Islam, yaitu: Dalam fikih klasik tidak dikenal adanya pendaftaran wakaf, atau tidak ada administrasi yang harus dipenuhi oleh si wakif sebelum menyatakan ikrar wakaf. Sedangkan menurut PP. No. 28/1977 hal tersebut merupakan suatu keharusan. Perbedaan itu dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4 Unsur-unsur Wakaf
Menurut Fikih Islam
|
Menurut PP. No. 28/1977
|
1. Wakif
2. Benda Wakaf
3. Maukuf ‘Alaih
4. Sighat/Ikrar
5. Penerima Wakaf (khairi dan ahli)
|
1. Wakif
2. Tanah Milik
3. Maukuf ‘Alaih (kebaikan)
4. Shighat/Ikrar
5. Wakaf khairi
6. Nazir
7. Saksi dua orang
8. PPAIW
|
Adanya nazir, saksi dan PPAIW merupakan unsur-unsur wakaf baru yang tidak ada dalam hukum Islam (fikih wakaf) sebelumnya. Saksi dan pencatatan sangat penting dalam upaya mengatasi timbulnya persengketaan serta atas dasar maslahat dan menolak mafsadat. Dalam hal ini telah terjadi perubahan sebagai bentuk tajdid dalam hukum wakaf dalam upaya mewujudkan optimalisasi fungsi wakaf. Selain itu, tertib administrasi dalam perwakafan sangat penting untuk mempermudah inventarisasi benda-benda wakaf yang ada serta hubungannya dengan perpajakan, karena objek wakaf bebas dari pungutan pajak.
PP No. 28/1977 menetapkan persyaratan wakif yang berbeda dengan persyaratan wakif menurut fuqaha (dalam fkih klasik). Persyaratan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5 Persyaratan Wakif
Wakif Menurut Fikih Islam
|
Menurut PP. No. 28/1977
|
1. Dewasa (baligh)
2. Sehat akalnya
3. Tidak terpaksa
4. Merdeka, bukan budak
5. Pemilik sah
6. Tidak terhalang melakuk tindakan hukum
|
1. Dewasa
2. Sehat akalnya
3. Tidak terpaksa
4. Pemilik yang sah
5. Tidak terhalang melakukan tindakan hukum
6. Orang atau badan hukum
7. Menyertakan tanda bukti kepemilikan tanah
|
Wakaf diatur dalam PP. No. 28/1977 merupakan wakaf khairi saja karena benda wakaf diperuntukkan bagi kepentingan umum. Sementara itu dalam fikih klasik ada jenis wakaf ahli. Pernyataan ikrar wakaf menurut peraturan wakaf berbeda dengan ikrar menurut fkih klasik . Perbedaannya yaitu:
Tabel 6 Perbedaan Ikrar Wakaf Dalam Fikih dan PP No. 28
Ikrar menurut Fikih Islam
|
Ikrar menurut PP. No. 28/1977
|
1. Tidak disertai syarat-syarat yang tidak ada dalam hukum wakaf
2. Ikrar tidak ditunjukkan kepada siapapun, karena merupakan ‘aqad tabarru’
3. Tidak terikat oleh sesuatu yang tidak ada ketika ikrar itu dinyatakan.
|
1. Ikrar dinyatakan secara nyata, tegas, dan tertulis
2. Ikrar ditunjukan kepada nazir dan ditandatangani
3. Diikrarkan di hadapan PPAIW
4. Pernyataan ikrar disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi
|
Peraturan wakaf yang menetapkan PPAIW sebagai unsur wakaf, maka dalam ikrar wakaf pun disyaratkan tertulis. Adanya ikrar wakaf yang tertulis sebagai dasar untuk menguatkan apabila terjadi sengketa. Selanjutnya, penyelesaian perselisihan wakaf yang terkait dengan wakaf, wakif, ikrar, saksi, bayyinah, dan pengelolaan serta pemanfaatan tanah wakaf diselesaikan oleh Pengadilan Agama setempat. Pasal 11 PP No. 28 Tahun 1977 mengatur tentang Perubahan, Penyelesaian Perselisihan Dan Pengawasan PerwakafanTanah Milik. Tanah milik yang diwakfkan pada dasarnya tidak dapat dilakukan perubahan sebagaimana disebutkan dalam ikrar.
Namun, karena keadaan tertentu seperti ketidaksesuaian tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif atau karena kepentingan umum, dapat dilakukan perubahan. Dalam hal ini nazir harus melaporkan perubahan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk. mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Kompilasi Hukum Islam
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat: Buku I Hukum Perkawinan, Buku II Hukum Kewarisan, dan Buku III Perwakafan. Buku III KHI tentang Perwakafan terdiri atas 5 bab 15 pasal,
Bab I berisi Ketentuan Umum,
Bab II berisi fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf,
Bab III berisi tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf,
Bab IV berisi tentang perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf, dan
Bab V berisi Ketentuan Peralihan.24 KHI ini disusun dengan maksud untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat yang memerlukannya.. Buku III memiliki KHI yang memuat Hukum Perwakafan memiliki persamaan dan perbedaan dengan aturan wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977. Persamaan dan perbedaan adalah adalah sebagai berikut:
Pertama, obyek wakaf. Menurut KHI benda wakaf adalah Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam (pasal 215 (4).
Kedua, sumpah nazir. Sebelum melaksanakan tugasnya, nazir harus melaksanakan sumpah di hadapan Kepala KUA Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang berbunyi: “Nażir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.
Ketiga, jumlah nazir wakaf dibatasi maksimal 10 orang dimana dalam PP hanya menyebut sekurangkurangnya 3 orang.
Keempat, perubahan benda wakaf. Pasal 225 menyebutkan bahwa perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan, dan camat setempat.
Kelima, pengawasan nazir. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nażir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.
Keenam, KHI memberikan kedudukan dan peran yang lebih luas kepada MUI Kecamatan dan Camat setempat. Hal ini berbeda dengan PP no. 28 tahun 1977. Adanya perubahan dalam KHI menunjukkan adanya perkembangan dalam aspek hukum wakaf. Benda wakaf tidak hanya berupa tanah tetapi dapat berupa benda-benda bergerak.
Adanya perkembangan benda wakaf membuka peluang terhadap pertambahan manfaat benda wakaf.
Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-undang tersebut tidak secara langsung mengatur wakaf, tetapi menyebutkan adanya yayasan wakaf. Sebagai objek wakaf, yayasan wakaf berbeda dengan yayasan pada umumnya. Undang-undang No 16 Tentang Yayasan tahun 2001 yang menyinggung wakaf untuk memperjelas status Yayasan, karena ada yayasan yang berasal dari wakaf dan bukan.
Undang-Undang RI No. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004. Dimuat pada lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159. Undang-undang tersebut terdiri atas 11 dan bab 71 Pasal.25 Pada undang-undang wakaf tersebut terdapat beberapa perbedaan dengan peraturan sebelumnya. Pertama, pengertian Wakaf. Berikut perbedaan defnisi wakaf berdasarkan peraturan dan perundangan yang ada.
Tabel 9 Pengertian Wakaf
Fiqih Wakaf
|
PP No. 28 T 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
|
Buku III Kompilasi Hukum Islam
|
UU RI No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
|
Hanafyah berpendapat menahan suatu benda yang menurut hukum tetap (benda tersebut) milik si wakif dalam menggunakan manfaatnya untuk kebaikan. Syaf’iyah wakaf adalah menahan harta dari kekuasaan wakif untuk digunakan pada bentukbentuk usaha / pengelolaan (mashraf) yang dibolehkan (oleh syari’at
|
Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakanya untuk selamalamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
|
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selamalamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
|
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah
|
Berdasarkan gambaran di atas, lahirnya UU wakaf tahun 2004 merupakan babak baru system wakaf di Indonesia dengan paradigma baru. Dalam undangundang wakaf terbaru, wakaf di Indonesia tidak menganut salah satu faham dalam mazhab fikih. Artinya, sistem hukum wakaf di Indonesia memiliki prinsip takhayyur (seleksi) tidak terikat dengan satu aliran / mazhab tertentu. Kebebasan tanpa terikat dengan zatu faham sangat beralasan sebagai upaya pengembangan wakaf. Dari segi waktu berlangsungnya, wakaf menjadi dua yaitu yang bersifat sementara (muaqqat), yang hanya diamini oleh sebagian kecil fuqaha’, dan wakaf selamanya (ta’bid).26 Saat ini Undang-undang Wakaf di Indonesia menganut kedua bentuk dari aspek waktu itu. Kedua, unsur-unsur wakaf. Unsur-unsur wakaf yang ada dalam fkih klasik berbeda dengan unsur-unsur wakaf yang ada dalam PP. No. 28/1997. Perbedaan itu dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 10 Unsur-unsur Wakaf
Fikih Wakaf
|
Menurut PP. No. 28/1977
|
Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
|
1. Wakif 2. Benda Wakaf 3. Maukuf ‘Alaih 4. Sighat/Ikrar 5. Penerima Wakaf (khairi dan ahli)
|
1. Wakif 2. Tanah Milik 3. Maukuf ‘Alaih (kebaikan) 4. Shighat/Ikrar 5. Nazir 6. Saksi dua orang 7. PPAIW
|
1. Wakif 2. Nazhir; 3. Harta Benda Wakaf; 4. Ikrar Wakaf; 5. peruntukan harta benda wakaf; 6. jangka waktu wakaf
|
Dalam Tabel di atas tampak sekali perbedaan antara unsur-unsur wakaf menurut fkih Islam, PP. No. 28/1977 dan UU RI No.41. Dalam PP. No. 28/1977, benda wakaf adalah berupa tanah milik atau benda tidak bergerak lainnya. Sedangkan menurut fkih Islam, benda wakaf tidak terbatas tanah milik.
Ketiga, ikrar wakaf. Ikrar merupakan pernyataan kehendak dari wakif untuk menyatakan penyerahan benda miliknya melalui wakaf. Ikrar wakaf merupakan suatu tindakan hukum yang bersifat deklaratif (sepihak) sehingga tidak memerlukan adanya qabul (tanda terima). Karena ikrar tersebut merupakan bagian dari ‘aqad tabarru (memilikkan suatu benda tanpa adanya ‘iwad/pengganti). Perbedaannya yaitu:
Tabel 11 Ikrar Wakaf
Ikrar Menurut Fikih Wakaf
|
Ikrar menurut PP. No. 28/1977
|
UU RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
|
1. Tidak disertai syarat-syarat yang tidak ada dalam hukum wakaf 2. Ikrar tidak ditunjukkan kepada siapapun karena merupakan ‘aqad tabarru’ 3. Tidak terikat oleh sesuatu yang tidak ada ketika ikrar itu dinyatakan.
|
1. Ikrar dinyatakan secara nyata, tegas, nyata, tegas, tertulis 2. Ikrar ditunjukan kepada nazir dan ditandatangani 3. Diikrarkan di hadapan PPAIW 4. Pernyataan ikrar disaksikan sekurangkurangnya oleh dua orang saksi
|
1. Ikrar Wakaf dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Jika Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW
|
Keempat, wakif. Wakif adalah pihak yang menyerahkan hartanya untuk diwakafkan. Dalam hal ini wakif ada dua bentuk ada perorangan dan badan hukum.
Kelima, nazir. Keberadaan nazir dalam perwakafan merupakan sesuatu yang baru sebagai salah satu dari pengembangan hukum wakaf. Lahirnya nazir merupakan bentuk tajdid hukum wakaf dalam upaya memaksimalkan fungsi wakaf sehingga berdaya guna. Pengaturannazir dalam UU perwakafan sangat penting sebagai upaya menjaga kemaslahatan harta wakaf. Dengan kemampuan manajerial yang baik dalam pribadi seorang nazir sangat mendukung optimalisasi dan pendayagunaan harta wakaf. Adanya nazir sebagai upaya menjaga kemaslahatan harta wakaf serta menghindari kerusakan/mafsadat. Sebagaimana kaidah jalb al-mashâlih wa dar’ul mafâsid.
Keenam, benda wakaf. Berdasarkan UU wakaf No. 41 tahun 2004 harta wakaf meliputi benda tidak ebrgerak dan harta bergerak. Adanya penetapan harta bergerak menajdi objek wakaf merupakan suatu perkembangan darin PP No. 28 Tahun 1977 yang hanya mengatur benda wakaf berupa tanah milik. Sementara itu, benda wakaf dalam fkih klasik ada dua macam, yaitu benda tidak bergerak dan benda bergerak. Pengaturan benda bergerak menjadi benda wakaf dalam UU wakaf sebenarnya sama dengan konsep yang disampaikan sebagian ahli hukum Islam (fuqaha). Diantara ulama yang membolehkan harta bergerak menajdi objek wakaf yaitu Imam Muhammad dan Abu Yusuf. Adapun aspek perkembangan hukum Islam dalam hal benda wakaf yang bergerak terkait jenis bendanya yang berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia atau disebut dengan ‘urf. Abu Yusuf mengajukan landasan tekstual sebagai berikut:
"
"yang dipandang baik oleh masyarakat muslim, maka baik pula menurut pandangan Allah"
Keberadaan benda wakaf yang bergerak berdasarkan pada istihsan ‘urf. Kebolehan wakaf pada semua benda yang bergerak dan tidak bergerak sama dengan pendapat Imam Malik (94-179H / 716-795M) dan para pendukung madzhabnya. Wakaf dalam pandangan madzhab Maliki yaitu seseorang memberikan apa saja yang dimiliki dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.27 Adapun gambaran benda wakaf menurut fkih wakaf klasik, PP No. 28/1977 dan UU wakaf adalah sebagai berikut:
Tabel 14 Harta Benda Wakaf
Fikih Wakaf
|
Menurut PP. No. 28/1977
|
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
|
Harta benda seperti: Kebun, Sumur, kuda, Uang, dan lain-lain
|
Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
|
Benda tidak bergerak meliputi :
a. hak atas tanah baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun
e. benda tidak bergerak lain Benda bergerak meliputi : a. uang; b. logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain
|
Dengan adanya pengaturan benda bergerak sebagai harta yang boleh diwakafkan akan semakin memperluas dan mengembangkan fungsi wakaf.
Ketujuh, wakaf uang. Salah satu bentuk pengembangan wakaf dalam UU Wakaf yaitu wakaf uang. Wakaf uang dibahas dalam pasal 28, 29, 30, dan 31. Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifkat wakaf uang. Sertifkat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Wakaf uang sudah dikenal di kalangan ulama fkih. Diantara mereka ada yang tidak setuju seperti Abu Hanifah, tetapi pengikutnya Imam Muhammad Abu Yusuf dan Ibnu Abidin berpendapat boleh wakaf uang. Ibnu Abidin mengklarifkasi menjelaskan bahwa uang dapat dipertahankan nilainya sehingga penggantinya menduduki posisi yang sama dengan aslinya sekalipun uang pengganti tersebut bukanlah uang semula. Ulama lain yang berpendapat boleh wakaf uang yaitu Imam Malik dan para pendukungnya.
Kedelapan, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. UU Wakaf mengatur secata khusus bab pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Dalam hal pengembangan benda wakaf, Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
Kesembilan, perubahan status harta benda wakaf. Berdasarkan pasal 40 UU Wakaf bahwa benda wakaf itu tidak bisa dijadikan jaminan, tidak boleh disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, dan dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Namun, apabila untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah, maka dapat dilakukan perubahan atau pengalihan harta wakaf. Pengalihan itu wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.status harta benda wakaf dalam konteks fkih dikenal dengan istilah istibdâl wakaf.
Kesepuluh, Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia (BWI) dimuat pada bab VI terdiri atas 15 Pasal yaitu pasal 47 sampai pasal 60 . BWI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya. Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/ atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
BWI bertugas dan memiliki wewenang untuk: (a) melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; (b) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; (c) memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; (d) memberhentikan dan mengganti Nazhir.
Kesebelas, penyelesaian sengketa. Dalam upaya menyelesaikan pelbagai persoalan yang terjadi seperti sengketa barang wakaf, UU mengatur tatacara penyelesaian sengketa wakaf yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Setiap permasalahan sengketa harus diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak dapat musyawarah, maka sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Keduabelas, pembinaan dan pengawasan. Pengawasan dan Pembinaan dilakukan oleh Menteri serta melibatkan BWI dan menerima masukan MUI. Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain apabila dipandang perlu.
Ketigabelas, ketentuan pidana dan sanksi administrative. UU wakaf menetapkan ketentuan khusus masalah pelanggaran dalam wakaf. Ketentuan Pidana dimuat pada pasal 67.
Perkembangan Hukum Zakat dan Wakaf
Hukum Zakat di Indonesia mengalami perkembangan pada beberapa aspek. Pertama, peraturan dan perundang-undangan. Pada masa penjajahan, Hindia Belanda memandang zakat sebagai ancaman bagi penjajah, karena zakat dapat menjadi kekuatan bagi umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan. Karena itu, melalui Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 tentang kebijakan zakat, pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut tertuang dalam Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Peran zakat pada masa penjajahan sangat urgen disamping bernilai ibadah juga memiliki muatan politik.
Setelah kemerdekaan posisi hukum zakat belum memiliki kekuatan hukum yang kuat karena BAZ dibentuk hanya melalui peraturan meteri Agama yaitu Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968. Selain itu ada Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada BAZ. Selanjutnya, keluar Keppres no. 44 tahun 1969 pada tanggal 21 Mei 1969 berisikan pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai oleh Idham Chalid selaku Menko Kesra saat itu. Hasil pengumpulan zakat tersebut tidak diketahui. Pembentukan Badan Amil Zakat dimulai oleh Ali Sadikin selaku gubernur Pemerintah DKI Jakarta28 dengan membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) pada tahun 1968. Selanjutnya diikuti oleh wilayah lain seperti Kalimantan Timur tahun 1972, Sumatera Barat tahun 1973, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1985.
Pembinaan lembaga zakat mendapat perhatian pemerintah dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah dan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS serta Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum BAZIS. Tahun 1999 lahir Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Kodifkasi Hukum Zakat di Indonesia terjadi perubahan dengan lahirnya UU RI No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat menggantikan peraturan sebelumnya yaitu UU RI No. 38 tahun 1999. Kodifkasi hukum zakat direspon dengan lahirnya peraturan daerah tentang pengelolaan zakat di pelbagai daerah di Indonesia.
Apabila merunut kepada system perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU No. 12/2011, peraturan zakat di Indonesia diatur dalam Peraturan Daerah (perda) dan undang-undang. Dengan demikian, kedudukan hukum peraturan pengelolaan zakat sudah memiliki kekuatan hukum yang tinggi karena sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-undang pengelolaan zakat yang ada saat ini lebih menitikberatkan pada peran amil dalam pengelolaan zakat.
Kedua, substansi hukum zakat. Aspek perkembangan hukum zakat pada substansi hukum meliputi: (1) Muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat. Penetapan badan hukum sebagai mustahik merupakan salah satu bentuk tajdid dalam system hukum zakat; (2) Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak (pasal 22); (3) Objek atau harta wajib zakat dalam zakat mal memuat pelbagai sumber harta yang diperoleh manusia saat ini. Adapun dasar hukumnya sesuai dengan ayat al-Quran surat al-Baqarah 267 yang berbunyi sebagai berikut (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
Harta zakat yang dimuat dalam pasal 4 UU RI No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yaitu : emas, perak, dan logam mulia lainnya; uang dan surat berharga lainnya; perniagaan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan, peternakan dan perikanan pertambangan, perindustrian, pendapatan dan jasa, dan rikaz.
Ketiga, kelembagaan. Kelembagaan yang ada yaitu Lembaga Amil Zakat. Amil sebagai bagian dari musthaik zakat menjadi lembaga yang memiliki otoritas dalam hal pengumpulan dan pengelolaan zakat. Secara yuridis formal, hukum zakat telah dikodifkasi dan masuk dalam perundang-undangan nasional. Konsep amil yang asalnya personal menjadi lembaga merupakan bentuk pengembangan hukum Islam sebagai bentuk tajdid. Profesionalisme amil menjadi penting dalam upaya meningkatkan pendayagunaan harta zakat.
Keempat, perundang-undangan. Pada masa pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah untuk pendataan tanah-tanah atau tempat ibadah Islam seperti dimuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van Muhammedaansche bedenhuizen. Dalam surat Edaran Sekretari Governemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezicht van de Regeering op Muhammedaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah wakaf. Pada tahun 1960 keluar UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada tahun 1977 keluar PP nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah dan peraturan pelaksanannya yaitu Peraturan Nenteri Agama Nomor I tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah.
Selanjutnya ada Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat tiga buku dan Buku III berisi Perwakafan membuka terjadinya perubahan dalam hukum wakaf. Masalah krusial tentang perubahan terjadi dalam masalah benda wakaf yang tidak hanya berupa tanah milik melainkan benda-benda lainnya. Lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyempurnakan dan mereformasi system wakaf di Indonesia. Selain itu, upaya mengembangkan pemberdayaan benda wakaf yang bernilai ekonomis sehingga berhasil guna untuk kemaslahatan masyarakat.
Kelima, substansi wakaf. Banyak hal yang mengalami perkembangan dalam hukum wakaf. Beberapa perubahan dalam hukum wakaf meliputi: (1) Pengertian wakaf yang bersifat komprehensif dengan memadukan pemahamn fkih wakaf antara yang bersifat abadi (muabbad) dengan wakaf yang dibatasi oleh waktu (muaqqat); (2) Wakif (yang berwakaf) meliputi perseorangan, organisasi, dan badan hukum. Dalam konsep fkih wakaf klasik, wakif hanyalah perseorangan; (3) Benda wakaf meliputi benda yang tidak bergerak dan bergerak. Benda tidak bergerak seperti tanah milik, dan benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Unsur wakaf meliputi:Nazhir, Harta Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf; (5) Nazhir meliputi, perseorangan, organisasi, dan badan hukum; (6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW); (7) Pencatatan benda wakaf menjadi faktor penting terjadinya wakaf; (8) Istibdal Wakaf yaitu perubahan benda wakaf karena sesuatu seperti untuk kepentingan umum; (9) Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang; (10) Penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama; (11) Sanksi Pidana dan sanksi administratif jika terjadi penyelahgunaan wewenang.
Keenam, kelembagaan. Secara yuridis formal, kodifkasi hukum wakaf telah menjadi undang-undang yang harus dilaksanakan dan diikuti oleh semua umat Islam. Dalam beberapa hal, hukum wakaf bebas mazhab, tidak terikat pada mazhab tertentu. Artinya, telah terjadi doktrin takhayyur (seleksi). Apabila dilihat pada hukum asalnya, wakaf merupakan perbuatan tabarru’ (suatu perbuatan kebaikan) untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak diperlukan saksi ataupun pencatatan. Administrasi perwakafan merupakan salah satu perkembangan hukum Islam dalam bidang perwakafan sebagai upaya memelihara keberadaan harta wakaf serta meminimalisir sengketa wakaf.
Penutup
Kodifkasi hukum zakat di Indonesia terjadi secara bertahap dan dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang berlaku di Indonesia mulai masa penjajahan Belanda hingga reformasi. Hukum zakat lahir dalam bentuk perundang-undangan pada masa reformasi dan diikuti oleh peraturan daerah tentang pengelolaan zakat di pelbagai wilayah. Kodifkasi zakat baru pada aspek menejemen pengelolaan zakat oleh badan amil zakat. Adapun aspek perkembangan unsur zakat meliputi : Lembaga amil zakat, muzakki (perorangan dan badan hukum), objek zakat, sanksi, zakat sebagai pengurang pajak.
Hukum wakaf di Indonesia mengalami perkembangan dalam pelbagai peraturan dan perundangundangan secara bertahap sejak masa penjajahan Kolonial Belanda sampai masa reformasi. Lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah merformasi system zakat di Indonesia. Tajdid pada hukum wakaf meliputi: konsep wakaf, wakif, benda wakaf, unsur wakaf, nazir, lembaga wakaf (BWI), pengawasan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap objek wakaf.[]
Abubakar, Irfan dan Chaider S. Bamualim (Ed), Filantropi Islam & Keadilan Sosial. Jakarta: CRSC, 2006
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam . Jakarta: RajaGrafndo Persada, 2007
Ali, Daud. “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Tjun Surjaman (ed). Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991
Daud Ali, Muhammad.Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf . Jakarta:UI Press, 1991
Daud Ali, Muhammad dan Habibah Daud, Lembagalembaga Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafndo Persada, 1995
Anonimous, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dilengkapi Keputusan Menham, Petunjuk Teknis, PP RI No. 10 , UU RI No.38 T. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No. 41 Tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No.12 T. 2006 Tentang Kewarganegaraan. Bandung: Umbara, 2007. Cet I.
Azhary, Muhammad Tahir.Disertasi yang diterbitkan menjadi buku dengan judul: Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang , 1992
Baghdâdî, al-, Abd al-Rahmân Shihâb al-Dîn. Irsyâd al-Sâlik, Juz I, Ttp: al-Syirkah al-Ifriqiyyah, t.t
bin Anas, Malik. Muwatha al-Imâm Mâlik riwayat Muhammad bin al-Hasan Juz III Tahqiq Taqyuddin al-Nadqi. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1413H/1991M. Cet I,
Bisri, Cik Hasan. Model Penelitian Fiqh Jilid I. JakartaTimur: PRENADA MEDIA, 2003. Cet I
Bukhârî, al-, Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah, al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasulillah Shalla Allâhu ‘alayhi wasallam wa Sunanihi wa Ayyâmih Juz III, Tahqiq Muhammad Zuhayr bin Nâshir al-Nâshir, Ttp: Dâr THawqa al-Najâh, 1422H
Chudlari, Muhammad. Târîkh Tasyrî al-Islâmî. Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabîyah, 1981
Departemen Agama, Peraturan Perundangan Perwakafan, Drrjen Bimas Islam , 2006 Depag RI, Salinan Peraturan Menteri Agama no. 4 Tahun 1968. Depag, Jakarta,1968
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2006
bin Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imâm Ahmad bin Hanbal Juz IX. Ttp: Muassasah al-Risâlah, 1420H/1999M. Cet II
Hosen, Ibrahim. “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam” dalam Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum NasionalMengenang 65 T Prof.Dr.Busthanul Arifn SH. Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Ibn ‘Âbidîn, al-Dur al-Mukhtâr Juz II. Bayrût: Dâr alFikr, 1386H Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Jilid VI Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat alMuqtashid Juz I. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt Ka’bah, Rifyal. “Hukum Islam dan Perubahan Global” , Makalah Seminar Internasional “Islam Menghadapi Perubahan di Era Global”, Aula Rektoran IAIN Imam Bonjol Padang, Senin 28 November 2007
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah Ibn Khaldun (Bayrût: Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, t.t. Khathîb, al- Muhammad al-Syabînî. al-Iqnâ fî Halli Alfâdl Abî Syujâ’ Juz II Bayrût: Dâr al-Fikr, 1415H Ma’lûf, Louis. al-Munjid f al-Lughah (Bayrût: Dâr alMasyriq, 1977), Cet XXI,
Maliki, al-, Ahmad bin Muhammad al-Shâwî. Hâshiyat al-Shâwî ‘alâ al-SHarh al-Kabîr Juz I Mâlikî, al-, Hasan Sulaymân al-Nûrî dan ‘Alawî ‘Abbâs. Ibânat al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Marâm Juz II. Ttp:ttp,tt.
Maliki, al-, Ahmad bin Muhammad al-Shawi. Hasyiyah al-SHawî ‘ala Syarh al-Shaghir Juz IX
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,2006
Mâwardî, al-, -Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Muhammad bin Habîb al-Bishrî al-Baghdâdî w.450H, al-Hâwî fî fiqh al-Shâf’î Juz III, VII.. Ttp: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1994M/1414H. Cet I
Maqdisî, al-, ‘Abdullah bin Ahmad ibn Qudâmah. Abû Muhammad, al-Mughnî fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal al-Syaybânî Juz VII. Bayrût: Dâr al-Fikr, 1405H. Cet I,
Maqdisî, al-, Muhammad bin Mufih bin Muhammad bin Mufarrij Abu Abdillah Syams al-Din (w.763H), Kitâb al-Furû wa ma’ahu tashhîh al-Furû’ li’alâiddîn Alî bin Sulaymân al-Mâwardî Juz III. Ttp: Muassasah al-Risâlah, 2003M /1424H Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2015. Cet II
Nasution, Mustafa Edwin (Ed), Indonesia Zakat & Development Report 2009.
Maqdisî, al-, Muhammad bin Mufih bin Muhammad bin Mufarrij Abu Abdillah Syams al-Din (w.763H), Kitâb al-Furû wa ma’ahu tashhîh al-Furû’ li’alâiddîn Alî bin Sulaymân al-Mâwardî Juz III. Ttp: Muassasah al-Risâlah, 2003M /1424H Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2015. Cet II
Nasution, Mustafa Edwin (Ed), Indonesia Zakat & Development Report 2009.
Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) UI, CID, DD Republika, 2009
Nashir, Haidar. Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2007/1428 H
Nawawî, al-, Abû Zakariyâ Muhyiddîn Yahya bin SHarf (w.676H), al-Majmû SHarh al-Muhadzdzab Juz V .Ttp:tp, tt
Nurul Bariyah, Oneng. Total Quality management Zakat Prinsip dan Praktek Pemberdayaan Ekonomi (Ttp: Wahana Kardofa FAI-UMJ, 2012
Nurul Bariyah, Oneng dan Tim, Hukum Zakat Fitrah Antara Teori Dan Praktek (Studi Implementasi Zakat Fitrah Di Indonesia), Hasil Penelitian tahun 2014, hlm 12. Tidak diterbitkan
Prihatna, Andi Agung dkk, Kedermawanan Kaum Muslimin Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia Hasil Survei di Sepuluh Kota. Jakarta: PIRAMEDIA, 2004. Cet I
Qardhawi, Yusuf. “Hukum Zakat Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan alQuran dan Sunnah”, terjemah oleh Salman Harun, dkk dari Fiqh al-Zakah (Bogor: Litera Antar Nusa, 2011), Cet xii
Qudâmah, Ibnu. al-Kâfî fî Fiqh Ibnu Hanbal, Juz I Qudâmah, Ibnu. al-Syarh al-Kabîr Juz VI .Ttp:Tp: tt
Qurthubi, al-, Abu ‘Amr Yûsuf Bin ‘Abdillah’bin bin Muhammad bin ‘Abd al-Barr bin ‘Âshim alNamry, al-Kâfî f fqh Ahl al-Madînah al-Mâlikî, Jilid II. Riyadh: Maktabah Riyâdh al-Hadithah, 1980M/1400H
Qurthubi, al-, Abu ‘Amr Yûsuf Bin ‘Abdillah’bin bin Muhammad bin ‘Abd al-Barr bin ‘Âshim alNamry, al-Kâfî f fqh Ahl al-Madînah al-Mâlikî, Jilid II. Riyadh: Maktabah Riyâdh al-Hadithah, 1980M/1400H
Rofq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafndo Persada, 1997
Sadjali, Munawir. “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam Dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjun Surjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991
Sharakhsi, al-, Shyams al-Dîn Abû Bakar Abi Shal. alMabsûth, Juz III. Beirût: Dâr al-Fikr, 1421H/2000M. Cet I Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: ALFABETA, 2009. Cet VIII
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986
Sulaymân. Umar. Târîkh al-Fiqh al-Islâmî. Kuwait: Maktabah al-Fallâh, 1982M/1402. Cet I
Syâf’î, al-, Muhammad bin Idrîs. al-Umm, Juz II, (Bayrût), Syamsuddin, Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001
al-Syawkânî Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Irshâd al-Fuhûl ilâ tahqîq al-haq min ‘ilm alushûl Juz I. Damaskus: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1999M/1419H. Cet I,
Syirâzî, al-, Ibrâhîm bin ‘Alî bin Yûsuf. al-Muhadzdzab, Juz I, Talib, Sajuti. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1982
Tonang, Andi Lolo dalam B. Wiwoho et.al (Ed), Zakat dan Pajak. Jakarta:Bina Rena Pariwara, 1992
Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh Juz I. Damaskus: Dâr al-Fikr, t.t. Jurnal Ahmad Hanany Naseh, “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” dalam Mttktnldimah, Vol. XV, No. 26 Janiiiiri-Juni 2009
A. Kevin Reinhart, “Islamic Law As Islamic Ethics” dalam Te Journal of Religious Ethics, Vol. 11, No. 2 Fall, 1983
Hermanto Harun, “Menelisik Fleksibilitas Syari’ah Liberal, Versus Konservatif” dalam Al-Risalah, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan. Vol 9, Nomor 1, Juni 2009
Masykuri Abdillah, “Epistemologi Fikih Siyasah” dalam Ahkam Jurnal Ilmu Syariah Vol. XII, No. 1 Januari 2012
Sepky Mardian, “Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif Sejarah dan Regulasi” dalam Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi, STAIN Malikulsaleh, Aceh, Volume I, No. 2, Juli-September 2012, ISSN 2302-9978
Syafrin, Nirwan. “Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh” dalam Jurnal Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam Vol 5 No. 1 Zulqa’dah 1429
(Sumber: https://media.neliti.com/media/publications/53920-ID-dinamika-aspek-hukum-zakat-dan-wakaf-di.pdf )
========================
*Oneng Nurul Bariyah, Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Ciputat, Jakarta E-mail: oneng.nurul@uinjkt.ac.id
[i] Masykuri Abdillah, “Epistemologi Fikih Siyasah” dalam Ahkam Jurnal Ilmu Syariah Vol. XII, No. 1 Januari 2012, h. 28
[ii] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh Juz I , (Damaskus:Dâr al-Fikr, t.t), h. 14
[iii] 3 Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh” dalam Tsaqafah Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Volume 5, Nomor 1, Zulqa’dah 1429, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gonotr Indonesia, h. 4
[iv] 4Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam dan Perubahan Global”, maklaah Seminar Internasional “Islam Menghadapi Perubahan di Era Global”, aula Rektoran IAIN Imam Bonjol Padang, Senin 28 November 2007
[v] Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh Jilid I (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), Cet I, h. 370-372. 6 Ahmad Hanany Naseh, “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” dalam Mukadimah, Vol. XV, No. 26 Janiiiiri-Juni 2009, h. 149-150
[vi] Ahmad Hanany Naseh, “Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” dalam Mukadimah, Vol. XV, No. 26 Janiiiiri-Juni 2009, h. 149-150
[vii] Kajian tersebut dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Jaih Mubarok yang berjudul Modifkasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid (2002).
[viii] Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafndo Persada, 1995), 250-251
[ix] Surat permohonan tersebut ditolak dan bersifat politis karena dicurigai akan berdirinya Negara Islam di Indonesia. bagai amilin digaji oleh Pemda DKI Jakarta karena mereka adalah para pegawai Pemda DKI Jakarta. 15 Nama lembaga pengelola zakat saat itu beragam ada yang BAZ, BAZIS, BAZI (dengan Infaq), Bakat atau Bazid (ditambah derma), Badan Harta Agama (Aceh), Lembaga Harta Agama Islam (Sumut) atau Yayasan Dana Sosial Islam (Sumbar). Lihat: Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 37
[x] Surat itu diberi nomor D.15-1-5-25.Lihat: Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta:Rajawali Press, 1995), h. 254-255
[xi] Pada saat itu lembaga zakat berbentuk yayasan. Peraturan Menetri Agama No 4 tahun 1968 itu ditandatangani oleh KHM. Dachlan selaku Menteri Agama saat itu..Lihat: Salinan Peraturan Menteri Agama no. 4 Tahun 1968 (Depag, Jakarta,1968).
[xii] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (Jakarta:UI Press, 1991), h. 37
[xiii] Andi Lolo Tonang dalam B. Wiwoho et.al (Ed), Zakat dan Pajak (Jakarta:Bina Rena Pariwara, 1992), h. 264-265
[xiv] Pemerintah DKI Jakarta memiliki perhatian penuh terhadap lembaga zakat dimana para pegawai BAZIS DKI se
[xv] Nama lembaga pengelola zakat saat itu beragam ada yang BAZ, BAZIS, BAZI (dengan Infaq), Bakat atau Bazid (ditambah derma), Badan Harta Agama (Aceh), Lembaga Harta Agama Islam (Sumut) atau Yayasan Dana Sosial Islam (Sumbar). Lihat: Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 37
[xvi] Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h. 88 18 Data diperoleh dari pelbagai sumber, antara lain: Pustaka Guru, DAFTAR PERDA SYARIAH DI SELURUH INDONESIA, http:// www.pustakaguru.com/2012/08/daftar-perda-syariah-di-seluruh. html.;iihttp://bazbukittinggi.blogspot.co.id/2011/02/perda-bukittinggi-tentang-pengelolaan.html;https://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_peraturan_daerah_di_Indonesia_berlandaskan_hukum_agama; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Kabupaten Tapin Tahun 2010, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/perkembangan-harmonisasiruu-tahun-2010/78-daftar-peraturan-daerah/1731-peraturan-daerahkabupaten-tapin-tahun-2010.html.
[xvii] Anonimous, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dilengkapi Keputusan Menham, Petunjuk Teknis, PP RI No. 10 , UU RI No.38 T. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No. 41 Tentang Pengelolaan Zakat , UU RI No.12 T. 2006 Tentang Kewarganegaraan (Bandung: Umbara, t.t.) h. 162-172
[xviii]