Fikih Ringkas Seputar Zakat Fitri
Oleh: Ust.Muhammad Nur Ichwan Muslim; Ust.
Sofyan Kaoy Umar (Editor)
Kata zakat secara bahasa memiliki beberapa arti. Di antaranya: tumbuh,
bertambah, berkembang atau sesuatu yang terbaik. (al-Mu’jam al-Wasith).
Sedangkan kata fitri (fithr) artinya berbuka puasa. Gabungan dua kata ini
“zakat fitri” merupakan gabungan yang mengandung makna sebab akibat yang
berarti sebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah
selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadhan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah). Sebagian ulama menamakan zakat ini dengan “zakat fithrah”, di mana
kata fithrah berarti asal penciptaan.
Abu al-Haitsam mengatakan: “al-fitrah adalah asal penciptaan,
yang menjadi sifat seorang bayi ketika dilahirkan dari ibunya” (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah). Dinamakan zakat fitrah karena zakat ini adalah zakat untuk
badan dan jiwa sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Qutaibah dalam Al
Mughni.
Hukum zakat fitri adalah WAJIB bagi setiap muslim menurut pendapat yang
terkuat. Para ulama yang berpendapat demikian menyatakan kewajiban menunaikan
zakat fitri tercakup dalam perintah Allah ta’ala di surat Al Baqarah ayat 43,
وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Tunaikanlah zakat”.
Adapun dalil dari hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal
yang sama. Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami agar menunaikan zakat fitri sebelum kaum muslimin berangkat menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ‘id.” (Shahih. HR. Muslim). Beliau radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri dengan
satu sha kurma, atau satu sha gandum kepada setiap muslim, baik yang berstatus
budak atau merdeka, pria atau wanita, kanak-kanak maupun dewasa” (Shahih.
HR. Bukhari). Beliau juga mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, berupa satu sha’ kurma
kering atau gandum kering. (kewajiban) ini bagi kaum muslimin, budak maupun
orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa. Dan
beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat shalat.” (Shahih. HR.
Bukhari & Muslim).
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk
menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa,
perbuatan atau ucapan jorok dan sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat
hal itu hanya terhitung layaknya sedekah biasa” (Hasan. HR. Abu
Daud).
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa hukum zakat fitri adalah wajib.
Pelaksanaan zakat fitri
merupakan bentuk pengejewantahan rasa kasih sayang kepada kaum fakir miskin
sehingga mereka tidak perlu mengemis di hari raya. Hal ini bertujuan agar mereka turut merasakan kegembiraan bersama kaum
muslimin yang lain dengan datangnya hari raya. Selain itu, zakat fitri
merupakan salah satu sarana untuk melebur berbagai kekeliruan yang dilakukan
seorang ketika berpuasa di bulan Ramadhan seperti perbuatan sia-sia dan
perkataan yang keji sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu
anhuma sebelumnya.
Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah lalu, kita dapat mengetahui bahwa
setiap individu muslim diwajibkan untuk menunaikan zakat fitri, baik ia
berstatus sebagai seorang yang merdeka atau budak, pria atau wanita,
kanak-kanak maupun dewasa. Seluruhnya tercakup dalam teks hadits tersebut. Sebagian
ulama menganjurkan dan bahkan mewajibkan untuk menunaikan zakat fitri atas
janin yang tengah dikandung seorang wanita berdasarkan perbuatan sahabat Utsman
bin Affan radhiallahu anhu. Diantara mereka adalah imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah di mana beliau mengatakan, “Ditunaikan zakat fitri untuk janin yang masih di kandungan jika telah
jelas status kehamilannya” (Masaail Imam Ahmad).
Namun, pendapat terkuat terkait kewajiban terkait zakat fitri atas janin
yang tengah dikandung adalah pendapat yang menyatakan hal tersebut tidaklah
wajib selama janin tersebut belum lahir hingga hari raya berlangsung. Alasan
bagi pendapat ini adalah :
Pertama, riwayat yang menyatakan Utsman radhiallahu anhu menunaikan zakat fitri bagi janin adalah riwayat yang lemah karena sanadnya munqathi’. Riwayat ini berasal dari jalur Humaid bin Bakr dan Qotadah dari Utsman bin Affan. Dan
terjadi keterputusan sanad antara Humaid dan Qotadah dengan Khalifah Utsman bin
Affan. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Al Irwa’.
Kedua, zakat fitri hukumnya wajib disebabkan adanya waktu fitri, yaitu
terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan orang yang
masih dalam kandungan tidaklah tercakup dalam kewajiban ini mengingat
“keberadaannya” sebagai mukallaf pada waktu tersebut belum
terjadi.
Berangkat dari hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya, para ulama
memberi dua persyaratan yang apabila terpenuhi zakat fitri wajib untuk
ditunaikan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Beragama Islam. Hal ini dikarenakan zakat fitri adalah bentuk peribadatan kepada Allah dan berfungsi
membersihkan orang yang telah berpuasa dari noda-noda dosa yang dilakukan
selama berpuasa. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh orang kafir karena semua ibadah mereka tidak akan diterima, di samping itu mereka juga tidak berpuasa. Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat fitri tidak wajib bagi orang kafir, baik merdeka maupun budak.
Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak
wajibnya zakat untuk orang kafir merdeka dan baligh” (Al Mughni).
(2) Mampu untuk menunaikan. Ulama berselisih pendapat tentang standar dalam memberikan tolok
ukur “mampu” dalam penunaian zakat fitri. Insya Allah pendapat terkuat dalam
masalah ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama (Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah). Mereka menetapkan bahwa selama seseorang memiliki kelebihan makanan pokok untuk diri dan keluarganya di malam dan di hari raya, maka dia dinilai mampu dan dengan itu berkewajiban untuk menunaikan
zakat fitri (al-Minhaj). Hal ini dikarenakan kondisi orang tersebut
dapat dianggap sebagai orang yang berkecukupan sebagaimana sabda nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang meminta-minta sementara dia memiliki sesuatu yang mencukupi maka dia telah
memperbanyak api neraka yang akan membakar dirinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa ukuran sesuatu yang
mencukupi (sehingga tidak boleh meminta-minta)?” Beliau menjawab, “Ukuran kecukupan adalah dia memiliki sesuatu yang mampu mengeyangkan (diri & keluarga) selama sehari-semalam.” (Shahih. HR. Abu Daud).
Imam Ahmad pernah ditanya, “Bilamana seseorang itu wajib mengeluarkan zakat fitri?” Beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang memiliki kelebihan makanan untuk satu hari maka wajib menunaikan zakat fitri.” (al–Masail Ishaq an-Naisaburi).
Ibn Qudamah mengatakan, “Zakat fitri tidaklah wajib kecuali telah terpenuhi dua syarat. Salah satunya adalah seseorang memiliki sisa makanan untuk diri dan keluarga pada malam dan siang
hari raya sebanyak satu sha’. Hal ini dikarenakan nafkah untuk pribadi itu
lebih penting, sehingga wajib untuk didahulukan berdasarkan sabda nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Mulailah menafkahi dirimu dan orang yang berada dalam
tanggunganmu.” (al-Kaafi).
Pihak yang menerima zakat fitri telah ditentukan
berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma sebelumnya, di mana nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan
bahwa zakat fitri berfungsi untuk memberi makan kepada kaum miskin. Hadis ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri
adalah golongan fakir dan miskin.
Adapun 6 golongan penerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam surat
at-Taubah ayat 60 tidaklah tercakup dalam golongan yang berhak menerima zakat
fitri. Meski hal ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, namun
pendapat inilah yang bersesuaian dengan dalil-dalil yang ada. Ibnu
al Qayim rahimahullah mengatakan, “Tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam
pelaksanaan zakat fitri) adalah menyerahkan zakat fitri hanya kepada
orang-orang miskin dan tidak membaginya kepada setiap golongan (yang tertera
dalam firman Allah di surat at-Taubah ayat 60).
Beliau tidak memerintahkan hal itu dan tidak pernah
dilakukan oleh seorang sahabat pun, begitupula para ulama sesudah mereka.
Bahkan, salah satu pendapat dalam madzhab kami (Hanabilah), zakat fitri khusus
diserahkan kepada orang-orang miskin. Pendapat ini lebih tepat daripada
pendapat yang menyatakan wajib membagikan zakat fitri kepada seluruh golongan
yang tercantum dalam surat at-Taubah”. (Zaad al-Ma’ad).
Zakat fitri dianjurkan untuk ditunaikan di tempat
wajib zakat berada ketika hari raya. Namun, bagi mereka yang ingin menunaikan
zakat fitri di luar domisili wajib zakat diperbolehkan untuk melakukannya.
Syahnun bertanya kepada Ibnu al-Qasim, “Apa pendapat imam Malik perihal orang
Afrika yang tinggal di Mesir pada saat hari raya, di mana zakat fitrinya
ditunaikan? Ibnu al-Qasim menjawab, “Imam Malik mengatakan, “Zakat fitri
ditunaikan di mana dia berada, jika keluarganya yang di Afrika membayarkan
zakat fitri untuknya, hukumnya boleh dan sah” (al-Mudawwanah).
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Kita mesti memahami kaidah bahwa zakat fitri itu mengikuti badan,
yaitu badan wajib zakat. Sedangkan zakat harta mengikuti harta tersebut berada.
Berdasarkan hal ini maka orang yang berada di Mekkah, zakat fitrinya ditunaikan
di Mekkah, sedangkan keluarganya yang tinggal di luar Mekkah, zakat fitrinya
ditunaikan di tempat mereka masing-masing.” (Majmu’ al-Fatawa).
Telah disebutkan di awal bahwa zakat ini disebut
zakat fitri karena adanya sebab, yaitu zakat ini disyariatkan karena
adanya al-fithr, yaitu waktu berbuka setelah sebelumnya seorang
muslim berpuasa selama sebulan. Sehingga zakat ini diwajibkan ketika ada waktu
fitri. Mereka yang menjumpai waktu tersebut berkewajiban menunaikan zakat
fitri. Sebaliknya, mereka yang tidak menjumpainya tidak berkewajiban
menunaikan. Terkait batas awal dimulainya waktu fitri, para
ulama berselisih pendapat. Namun, pendapat terkuat adalah pendapat yang
menyatakan bahwa waktu fitri dimulai sejak terbenamnya matahari pada puasa
terakhir bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan pada momen tersebutlah setiap
muslim memulai berbuka dan mengakhiri puasa Ramadhan yang dilakukannya.
Berdasarkan hal tersebut, mereka yang menjumpai waktu ketika matahari terbenam
di hari terakhir bulan Ramadhan berkewajiban untuk menunaikan zakat fitri.
Contoh akan hal ini adalah sebagai berikut:
Contoh pertama: Bayi yang dilahirkan beberapa saat sebelum matahari terbenam di hari
terakhir bulan Ramadhan maka wajib dizakati oleh orang tua. Hal ini dikarenakan
bayi tersebut telah menjumpai waktu fitri. Sebaliknya, jika dilahirkan berapa saat setelah matahari terbenam di hari
tersebut maka tidak wajib untuk dizakati karena bayi ini lahir dan tidak
menjumpai waktu fitri. Alasan ini pula yang mendasari mengapa janin yang berada
dalam kandungan tidak perlu dizakati.
Contoh kedua: Orang yang meninggal beberapa saat setelah matahari terbenam di hari
terakhir bulan Ramadhan berkewajiban ditunaikan zakatnya karena dia menjumpai
waktu fitri. Sebaliknya, jika dia meninggal beberapa saat sebelum matahari
terbenam maka tidak wajib dizakati karena idak berjumpa dengan waktu fitri. (al-Minhaj).
Dari hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu
anhum sebelumnya dapat diketahui bahwa zakat fitri wajib ditunaikan
sebelum shalat hari raya dilaksanakan. Adapun seorang yang menunda pelaksanaan
zakat fitri hingga shalat ‘id selesai dilaksanakan, menurut pendapat yang lebih
kuat kewajiban tersebut tidaklah gugur sampai ditunaikan. Dia berkewajiban
menunaikan zakat fitri meski telah keluar batas waktu dan bertaubat kepada
Allah karena di dalam zakat fitri terdapat hak untuk manusia (fakir miskin) dan
ada hak untuk Allah. Hak untuk manusia (fakir miskin) tidak bisa gugur sampai
zakat ini diberikan kepada mereka. Sedangkan terkait hak Allah kewajiban orang
tersebut untuk bertaubat dan menyesali perbuatannya. Dengan melakukan keduanya
(membayar zakat dan bertaubat) berarti dia telah memenuhi hak Allah dan hak
manusia. Namun, apa yang telah dia tunaikan tidak dianggap sebagai zakat fitri
namun statusnya adalah sedekah biasa sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu
Abbas radhiallahu anhuma.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penunaian zakat
fitri disebabkan adanya waktu fitri, yaitu berbukanya kaum muslimin setelah
sebulan penuh melaksanakan puasa. Pelaksanaan ibadah yang terkait dengan sebab
tertentu dimulai ketika sebab tersebut telah muncul. Sebagaimana shalat wajib
yang baru dapat dilaksanakan ketika telah masuk waktunya. Dengan demikian, pada
asalnya tidak boleh menunaikan zakat fitri sebelum datangnya waktu fitri
kecuali terdapat dalil lain yang mengindikasikan adanya pengecualian. Dalam kaitannya dengan hukum mendahulukan
penunaian zakat fitri sebelum masuk waktu fitri terdapat beberapa riwayat yang
menjelaskan akan bolehnya menunaikan zakat fitri sebelum waktu fitri tiba. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
Riwayat pertama : Riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma di mana Nafi’
-seorang tabi’in- rahimahullah mengatakan bahwa Ibnu
Umar radhiallahu anhuma memberikan zakat fitri kepada panitia
zakat dan mereka mendistribusikannya sehari atau dua hari sebelum hari raya
(Shahih. HR. Bukhari). Dalam riwayat yang lain disebutkan Ibnu Umar menyerahkan
zakat fitri kepada panitia zakat dua atau tiga hari sebelum hari raya (Shahih.
HR. Malik dalam al-Muwaththa).
Riwayat Kedua: Kisah Abu Hurairah radhiallahu anhu yang diamanahi oleh
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat
Ramadhan (zakat fitri). Dalam kisah tersebut sahabat Abu Hurairah diganggu oleh
jin/setan yang mencuri kurma dan ditangkap oleh Abu Hurairah namun kemudian
dilepaskan oleh beliau. Kejadian ini terulang selama 3 malam (Shahih. HR.
Bukhari).
Beberapa riwayat di atas menjadi dalil akan
kebolehan menyegarakan penunaian zakat fitri. namun, para ulama berbeda
pendapat mengenai permulaan waktu zakat fitri dapat disegerakan penunaiannya.
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah yang sesuai dengan riwayat-riwayat di
atas, yaitu boleh menyegerakan zakat fitri maksimal 3 hari sebelum hari raya
dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
Pertama: Zakat fitri yang disegerakan
penunaiannya diserahkan kepada panitia zakat untuk kemudian didistribusikan
oleh mereka pada waktunya, yaitu pada waktu fitri. Kedua: Pendistribusian zakat fitri kepada fakir miskin,
baik dilakukan yang dilakukan oleh wajib zakat ataupun panitia zakat dapat
dilakukan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Namun, yang paling utama
menurut keterangan para ulama pendistribusian zakat fitri dilakukan pada pagi
hari sebelum pelaksanaan shalat ‘id. Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu Umar
yang telah disebutkan sebelumnya.
Ketiga: Apabila wajib zakat mendistribusikan zakat fitri langsung kepada fakir
miskin sebelum waktu yang disebutkan di atas -mengingat terdapat keterangan
para ulama yang memiliki pendapat lain dalam hal ini-, maka terdapat beberapa
kondisi:
- Jika masih terdapat waktu
sebelum pelaksanaan shalat ‘id, sebaiknya wajib zakat mengulangi penunaian
zakat fitri;
- Jika tidak terdapat waktu
lagi, maka tidak perlu untuk diulangi. Contohnya, seorang yang
mendistribusikan zakat fitri kepada fakir miskin pada tanggal 20 Ramadhan
1436 H. Kemudian pada pertengahan bulan Syawal dia menyadari bahwa dirinya
menunaikan zakat fitri sebelum waktu yang ditetapkan. Maka pada kondisi
ini dia tidak perlu mengulangi untuk membayar zakat fitri. Namun, jika
dirinya mengetahui dan menyadari akan kekeliruan tersebut sebelum
pelaksanaan shalat ‘id, maka orang tersebut berkewajiban mengulangi
pembayaran zakat fitri. Wallahu ta’ala a’lam.
Objek zakat fitri telah ditentukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu, beliau mengatakan, “Kami
menunaikan zakat fitri dengan satu sha makanan, satu sha gandum, satu sha
kurma, satu sha keju atau satu sha kismis” (Shahih. HR. Bukhari dan Muslim). Namun para ulama berselisih
pendapat, apakah objek zakat hanya terbatas pada kelima objek yang tertera
dalam hadits ataukah bisa selainnya?
Pendapat yang tepat adalah pendapat imam Malik, asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari imam
Ahmad rahimahumullah jami’an yang menyatakan bahwa segala biji-bijian
atau buah-buahan yang merupakan makanan pokok di suatu negeri dapat dijadikan
objek zakat fitri. Pendapat serupa juga dipilih oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Minhaj. Pendapat ini sejalan dengan hadits Abu
Sa’id al Khudri di mana beliau berkata, “Kami mengeluarkan zakat fitri pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
hari raya dengan satu sha makanan”. Beliau
melanjutkan, “Dan makanan pokok kami (di Madinah) adalah
gandum, kismis, keju dan kurma” (Shahih. HR. Bukhari).
Ibnu al-Qayim rahimahullah mengatakan, “(Kelima jenis makanan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id) merupakan
mayoritas bahan makanan pokok di kota Madinah. Jika makanan pokok di suatu
negeri selain lima jenis tersebut, maka penduduknya wajib mengeluarkan zakat
fitri sebanyak satu sha dari makanan pokok mereka seperti biji-bijian, beras,
buah tin atau biji-bijian selainnya. Jika makanan pokok mereka berupa non
biji-bijian seperti susu, daging, atau ikan, maka mereka membayar zakat fitri
dengan makanan pokok tersebut apapun bentuknya. Pendapat ini merupakan pendapat
mayoritas ulama dan merupakan pendapat yang tepat, bukan selainnya, sebab
(pelaksanaan zakat fitri bertujuan) memenuhi kebutuhan orang-orang miskin pada
hari raya dan
memberi kesempatan kepada mereka untuk turut mencicipi makanan pokok yang
dikonsumsi oleh penduduk negeri tesebut” (I’laam
al-Muwaqqi’in).
Adapun kadar zakat fitri yang wajib dikeluarkan adalah sebanyak satu sha,
yaitu sekinar 3 kilogram. Ukuran tersebut merupakan bentuk kehati-hatian,
kare a terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan berat satu sha nabawi.
Demikianlah beberapa permasalahan ringkat terkait hukum-hukum zakat fitri
yang dapat disampaikan. Besar harapan kami apa yang telah kami sampaikan
bermanfaat bagi diri kami pribadi dan kaum muslimin.
Wa shallallahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi
ajma’in. Wa aakhiru da’wanaa anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalaamiin
=================
=================
* Ustaz Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF, Alumnus Akademi
Pengajian Islam, Universiti Malaya. Spesialisasi
bidang Ekonomi, Bisnis dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered
Professional in Islamic Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic FinancAl-Qurane)
yang berpusat di Kuala Lumpur, Malaysia. Al-Faqir belajar dengan banyak ulama di
Malaysia dan Indonesia. Belajar Ilmu Al-Qur'an
dengan Asy-Syaikh Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar,
Mesir), Syeikh al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al_Qur’an dari Dar
al-Azhar, Mesir), serta metode hafalan al-Qur’an dari Syaikh DR Said Thalal
al-Dahsyan (Direktur Dar al-Quran al-Karim wa Sunnah, Palestina). Sekarang ini mengurus Baitul Mal
Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail: ustazsofyan@gmail.com.