Diantara metode yang telah dikenal umat manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan
mereka ialah dengan cara berinteraksi dan bertukar kepentingan dengan
saudaranya. Dan pertukaran kepentingan tersebut ada yang dilakukan antara dua
kepentingan duniawi dan ada pula yang dilakukan antara kepentingan duniawi
dengan kepentingan akhirat.
Diantara contoh pertukaran antara dua kepentingan duniawi adalah berbagai
transaksi perniagaan yang telah banyak kita kenal. Dan diantara contoh
pertukaran kepentingan duniawi dengan kepentingan akhirat ialah hibah, sedekah,
wakaf dan hutang-piutang.
Simaklah firman Allah Ta’ala berikut:
(وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا {8} إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al Insan 8-9)
Dan simak pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
(مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ) رواه البخاري ومسلم والترمذي واللفظ له
“Barang siapa yang menunda atau memaafkan piutang orang yang kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya.” Riwayat Bukhari, Muslim, At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy.
Demikianlah kepentingan dunia ditukarkan dengan keuntungan yang kekal nan abadi, yaitu keuntungan di akhirat. Tidakkah anda mengimpikan perniagaan yang pasti untung ini?
Saudaraku, mungkin anda pernah merasakan suatu keadaan dimana anda benar-benar kesusahan, tidak memiliki dana untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan usaha anda. Keadaan ini sudah barang tentu menjadikan anda merasakan kegundahan, susah tindur dan kebingungan. Pada saat semacam ini, anda pasti mendambakan uluran tanga seorang teman atau saudara seiman, guna menyibak kesusahan atau paling tidak meringankannya.
Saudaraku, setelah sekarang anda mendapat karunia dari Allah Ta’ala berupa kelapangan rizki, tidakkah anda mengingat bahwa di sekitar anda masih banyak saudara-saudara anda yang masih menanggung pahitnya kemiskinan dan sempitnya pintu rizkinya. Tidakkah penderitaan mereka menggugah batin anda dan mengetuk pintu hati anda? Apakah yang akan anda lakukan guna meringankan penderitaan mereka?
Barang kali, lubuk hati anda yang paling dalam tergugah untuk segera mengulurkan tangan, dengan memberikan pinjaman modal? Akan tetapi mungkin juga setan membisikkan kepada anda satu pertanyaan berikut: “mereka adalah orang miskin, atau tidak memiliki pekerjaan yang jelas, siapakah yang akan menjamin uang anda bila di kemudian hari mereka tidak mampu melunasi piutangnya?
Jangan kawatir saudaraku! Uang anda pasti kembali dan terjamin. Anda penasaran ingin tahu siapa yang menjaminnya? Yang menjaminnya ialah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Tidak percaya, maka simaklah janji sekaligus jaminan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
(مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ) رواه مسلم
“Barang siapa yang melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat, Barang siapa yang menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah akan menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong saudaranya.” Riwayat Muslim.
Pada riwayat lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ) رواه ابن ماجة وصححه الألباني
“barang
siapa yang memudahkan urusan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.”
(HR Ibnu Majah) dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih.
Saudaraku, bila anda telah mengetahui bahwa saudara anda yang kesusahan benar-benar serius dan berkomitmen untuk menunaikan tanggung jawabnya (piutangnya), pasti Allah akan memudahkannya untuk mengembalikan hak-hak anda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ رواه البخاري
Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta orang lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya.” (HR Bukhari).
Inilah jaminan yang disebut oleh para penganut paham sekuler dengan asuransi. Saudaraku, kisah berikut adalah salah satu bukti nyata bahwa Allah pasti akan menunaikan jaminan-Nya, sehingga hak-hak kreditur terpenuhi seutihnya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِى إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ ، فَقَالَ ائْتِنِى بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ . فَقَالَ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا . قَالَ فَأْتِنِى بِالْكَفِيلِ . قَالَ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً . قَالَ صَدَقْتَ . فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ، فَخَرَجَ فِى الْبَحْرِ ، فَقَضَى حَاجَتَهُ ، ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا ، يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلأَجَلِ الَّذِى أَجَّلَهُ ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا ، فَأَخَذَ خَشَبَةً ، فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ ، وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ ، ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا ، ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّى كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ ، فَسَأَلَنِى كَفِيلاً ، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلاً ، فَرَضِىَ بِكَ ، وَسَأَلَنِى شَهِيدًا ، فَقُلْتُ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا ، فَرَضِىَ بِكَ ، وَأَنِّى جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا ، أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِى لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ ، وَإِنِّى أَسْتَوْدِعُكَهَا . فَرَمَى بِهَا فِى الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ ، ثُمَّ انْصَرَفَ ، وَهْوَ فِى ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا ، يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِى كَانَ أَسْلَفَهُ ، يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ ، فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِى فِيهَا الْمَالُ ، فَأَخَذَهَا لأَهْلِهِ حَطَبًا ، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ ، ثُمَّ قَدِمَ الَّذِى كَانَ أَسْلَفَهُ ، فَأَتَى بِالأَلْفِ دِينَارٍ ، فَقَالَ وَاللَّهِ مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِى طَلَبِ مَرْكَبٍ لآتِيَكَ بِمَالِكَ ، فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِى أَتَيْتُ فِيهِ . قَالَ هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَىَّ بِشَىْءٍ قَالَ أُخْبِرُكَ أَنِّى لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِى جِئْتُ فِيهِ . قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِى بَعَثْتَ فِى الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا
“Sahabat Abu Hurairah menuturkan: bahwa pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan perihal seorang lelaki Bani Israil yang meminta agar saudaranya menghutangi dirinya uang sejumlah seribu dinar (3.750 gram/3,75 Kg). Pemilik uang berkata kepadanya: Datangkanlah para saksi agar aku dapat mempersaksikan piutang ini kepada mereka! Spontan ia menjawab: Cukuplah Allah sebagai saksi. Pemilik uang kembali berkata: Bila demikian, datangkanlah penjamin (kafil) piutangmu? Ia kembali menjawab: Cukuplah Allah sebagai penjamin saya. Mendengar jawaban itu, pemilik uangpun menimpalinya dengan berkata: Engkau telah benar, selanjutnya iapun memberikan piutang seribu dinar hingga tempo waktu yang disepakati.
Selanjutnya
lelaki itu (debitur) mengadakan perjalanan di laut hingga ia dapat menuntaskan
keperluannya. Tatkala ia hendak kembali, ia mencari perahu yang dapat ia
tumpangi agar dapat menunaikan piutangnya tepat waktu pada tempo yang telah
disepakati, ia tidak mendapatkan sama sekali satu perahupun yang berlayar.
Sebagai
solusinya ia mengambil sebatang pokok kayu, dan melubanginya, selanjutnya iapun
memasukkan uang 1000 dinar beserta secarik surat ke dalam kayu itu. Ia
meratakan bagian kayu yang telahia lubangi hingga rapat, kemudian ia membawanya
ke laut. Sesampainya di panti ia berdoa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau
mengetahui bahwa aku telah berhutang kepda si fulan uang sejumlah seribu dinar,
Tatkala ia meminta agar aku mendatangkan seorang penjamin , aku menjawabnya:
Cukuplah Allah sebagai penjamin, dan iapun ridha Engkau sebagai penjamin.
Tatkala ia meminta agar aku mendatangkan saksi, aku menjawabnya: Cukuplah Allah
sebagai saksi, dan iapun ridha Engkau sebagai saksi. Sekarang ini saya berusaha
sekuat tenaga untuk mendapatkan perahu yang berlayar guna menitipkan haknya,
akan tetapi aku tidak mendapatkannya. Karenanya sekarang ini aku titipkan uang
ini kepada-Mu.
Setelah
selesai menutup kembali lubang itu, segera orang itu (sang debitur) melemparkan
kayu tersebut ke laut, hingga tenggelam. Dan tanpa menanti lebih lama, ia
bergegas pergi. Seusai melakukan hal ini, ia tidak kunjung hentinya mencari perahu
yang berlayar agar dapat pulang ke negrinya. Pada suatu hari sang pemberi
piutang (kreditur) keluar rumah melihat-lihat ke arah pantai, siapa tahu ia
mendapatkan perahu yang membawa (dititipi) uang yang telah ia hutangkan. Tiba-tiba
ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya tersimpan uangnya. Iapun segera
memungut kayu tersebut guna dijadikan kayu bakar.
Setibanya di
rumah, ia segera membelah kayu itu. Betapa terkejutnya, ia mendapatkan uangnya
berserta secarik surat. Tak selang berapa lama, sang debitur (penghutang) tiba
dari kepergiannya, dan ia segera mendatangi sahabatnya (sang kreditur) dengan
membawa uang seribu dinar. Ia dengan penuh rasa sungkan berkata kepada
sahabatnya: Aku telah burusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan perahu yang
berlayar, guna memenuhi janjiku dan menyerahkan uangmu, akan tetapi aku tidak
mendapatkan satu perahupun selain perahu yang aku tumpangi ini.
Sang
krediturpun segera bertanya: Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?
Sang debiturpun –karena merasa kawatir uangnya tidak sampai- menjawab: Aku
katakan bahwa aku tidak mendapatkan perahu selain perahu yang baru saja saya
tumpangi ini. Sang krediturpun berkata kepadanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala
telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu, maka
silahkan anda bawa kembali uang seribu dinar yang engkau bawa ini.” (HR Riwayat Al
Bukhari)
Demikianlah bila Allah yang menjadi penjamin suatu piutang, pasti ditepati dan
tidak akan terkurangi sedikitpun hak-hak anda? Bagaimana dengan diri anda,
siapkah anda menerima Allah sebagai penjamin hak-hak anda?”
Walau demikian adanya, kita pasti menyadari bahwa untuk dapat menerima jaminan Allah dengan sepenuhnya, tentunya membutuhkan kepada keimanan yang benar-benar kokoh. Karenanya bila anda merasa belum cukup iman sehingga tetap saja mengawatirkan hak-hak anda tidak terpenuhi, maka Islam membenarkan anda untuk meminta jaminan lain. Jaminan lain tersebut dapat diwujudkan pada tiga hal:
Islam membenarkan bagi umatnya untuk mencari rasa aman dan tentram atas hak-haknya. Karenanya Islam mensyari’atkan bagi umatnya agar mereka menempuh satu atau lebih dari beberarapa opsi berikut:
A. Menulis (membuat alat bukti atas setiap) piutang, walaupun berjumlah kecil
B. Mempersaksikan setiap piutang kepada saksi-saksi yang dapat dipercaya.
C. Mengambil barang gadaian yang dapat dijual-belikan, sehingga bila debitur tidak mampu melunasi piutangnya, barang gadaian dapat dijual, dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi piutangnya.
Ketiga hal ini selain dapat memberikan rasa aman bagi para kreditur; para pemilik hak. Ketiga hal ini juga dapat melindungi kedua belah pihak dari persengketaan. Karenanya ketiga hal ini sudah sepatutnya untuk dilakukan oleh kedua belah pihak, tanpa ada rasa sungkan atau malu:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ {282} وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah
dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada
barang gadaian yang diserahkan (kepada kreditur).” (QS Al Baqarah 282-283).
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan debitur, yaitu orang
diberi karnuia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka
kita akan mendapatkan beberapa kesimpulkan hukum. Dan bila kita merenungkan
setiap hukum yang berkaitan dengan debitur ini, niscaya kita akan dapatkan
bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang
terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi debitur dari
sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam.
Diantara hukum-hukum debitur yang benar-benar mencerminkan akhlaq
terpuji itu diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tanpa pamprih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah. .
Uluran tangan yang tanpa pamprih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta’ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.
(إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا)
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” ( QS Al Insan 8-9).
Pada pertemuan yang telah lalu, dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan. Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: “Nulung tapi mentung”. Saudaraku! dalam hukum syari’ah perbuatan “nulung tapi mentung” yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan RIBA.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah RIBA.” (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, as-Syarhul Mumthi’ 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi.” Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah RIBA (riwayat Al Baihaqy dll) Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231. )
Saudaraku, para ulama’ tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
2. Menunda tagihan bila debitur belum mampu
melunasi piutangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
(وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ) البقرة 280
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama’, terutama para penganut Mazhab As Syafi’i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah WAJIB hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
(مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ) رواه البخاري ومسلم والترمذي واللفظ له
“Barang siapa yang menunda atau memaafkan piutang orang yang kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (HR Bukhari, Muslim, At Tirmizy) dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy.
3. Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta’ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
(وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ)
“Dan
jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al
Baqarah 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan piutang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah ‘Aresy pada hari qiyamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar. Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta’ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca=hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا – قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا – قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى). متفق عليه
“Sahabat Huzaifah radhiallahu ‘anhu
menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Didatangkan
kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan,
kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?
“Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian” (QS An Nisa 42). Iapun
menjawab: Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan,
dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku
(akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang
yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah
berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah
hamba-Ku ini.” Muttafaqun ‘alaih
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
“Dan adakah balasan bagi kebajikan selainkebajikan pula”. (QS Ar Rahman 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama’ terdahulu :
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
“Kebajikan itu tak kan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa tak kan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan.
*********************************
Kontributor: Ustadh DR Muhammad Arifin Badri, MA. Editor: Ust.Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com