Pertanyaan (nama penanya tidak ditampilkan-Peny):
1. Assalamualaikum.Wr.Wb,
Saya agak surprise dgn jawaban ustad yg membolehkan membeli barang Black market (BM)..Kalau konteksnya hanya krn izin tempat usaha mungkin
bisa diterima, tapi bagaimana dgn Black Market dari usaha penyelundupan atau yang tidak membayar Bea Masuk, seperti HP atau brg elektronik
lainnya..Kalau ini diperbolehkan oleh Islam, apa ini tidak merugikan negara..terus terang, saya sering ditawari barang yg murah dari Luar negeri, tp krn BM sy menolak krn sy tahu hal tsb (murah) krn tidak membayar pajak..Mohon pencerahan..Jzk
Saya agak surprise dgn jawaban ustad yg membolehkan membeli barang Black market (BM)..Kalau konteksnya hanya krn izin tempat usaha mungkin
bisa diterima, tapi bagaimana dgn Black Market dari usaha penyelundupan atau yang tidak membayar Bea Masuk, seperti HP atau brg elektronik
lainnya..Kalau ini diperbolehkan oleh Islam, apa ini tidak merugikan negara..terus terang, saya sering ditawari barang yg murah dari Luar negeri, tp krn BM sy menolak krn sy tahu hal tsb (murah) krn tidak membayar pajak..Mohon pencerahan..Jzk
2. Mau tanya terkait masalah mua’amalah tadz, bagaimana hukum jual beli barang BM. Trim’s
3. Saya habis tertipu dari pembelian di salah satu situs online di mana penjual mengaku barang yang dipasok adalah barang import, original dan ada garansi resmi internasional 1 tahun. Ternyata waktu proses pengiriman tertangkap bea cukai dan ketahuan barang BM (black market). Saya merasa ditipu oleh penjual. Saya bakal dikenakan pasal penadahan oleh pihak bea cukai dan dimintai sekian jumlah dana buat penghapusan BAP penadahan atas nama saya. Saya menyesal setelah kejadian ini dan berharap dapat menjelaskan posisi saya sebagai korban yang dari awal sudah memastikan keaslian barang ke penjual namun ternyata saya sendiri juga ditipu. Mohon bantuannya bagaimana agar saya tidak terjerat pasal penadahan mengingat saya tidak ada niat untuk membeli barang BM.
Jawaban:
1. Dijawab oleh Ustadh DR Muhammad Arifin Badri, MA:
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Menanggapi keterkejutan saudara masalah hukum membeli barang di black market, saya mengajak saudara untuk sedikit bersikap tenang, dan tidak terburu-buru. Saudara Donny, saya yakin saudara percaya dan beriman bahwa hukum agama haruslah dijunjung tinggi melebihi segala hukum dan perundang-undangan yang ada dan yang mungkin akan ada di masa mendatang.
Saudara, istilah black market itu ada hanyalah sebagai efek langsung dari undang-undang atau peraturan pemerintah, dan bukan dari tuntunan Syari’at. Sebelum lebih jauh menjawab pertanyaan saudara, saya ingin balik bertanya: Apa istilah black market ini akan terus melekat pada suatu barang, bila suatu saat nanti pemerintah telah menganut perdagangan bebas? Atau membebaskan bea masuk atas barang tersebut, karena pertimbangan tertentu?
Bila demikian, akankah setiap hari, minggu, bulan, tahun hukum Allah berubah-rubah selaras dengan perubahan kebijaksanaan segelintir pejabat? Dan mungkin saja setelah pemerintah menganut perdagangan bebas, tak berapa lama, pemerintah memutuskan keluar lagi dari organisasi perdagangan bebas. Apakah hukum syari’at Islam akan berwarna-warni bak bunglon, pagi halal, sore haram dan esok hari halal lagi? Bila pertanyaan ini telah membuka sudut pandang saudara tentang metode menghukumi suatu hal dalam syari’at Islam, maka ketahuilah saudaraku, bahwa halal atau haramnya suatu perniagaan secara umum dipengaruhi oleh empat hal:
1. Status kehalalan barang yang diperniagakan. Bila barang yang diperniagakan adalah haram, maka memperniagakannya juga haram, dan sebaliknya bila barangnya halal , maka memperniagakannya juga halal.
2. Adanya unsur riba.
3. Adanya ketidak jelasan (gharar).
4. Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).
Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan terlarang.” (Bidayatul Mujtahid 2/102)
Bila suatu perniagaan terbukti bebas dari keempat hal di atas, maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Walau demikian, sebagai masyarakat suatu negara hukum, tentunya melakukan suatu hal yang melanggar peraturan -walaupun halal secara syari’at agama akan- dapat beresiko, berupa berurusan dengan pihak berwenang. Bila demikian adanya, maka tentu bukan sikap yang bijak melakukan perniagaan dengan cara-cara yang dapat merugikan diri sendiri, walaupun halal secara agama.
Kasus pengusaha Pujiono yang menikahi gadis berumur 12 tahun adalah salah satu contohnya, secara syari’at tidak ada dalil yang mengharamkannya, bahkan Nabi Muhammad sendiri pernah menikahi gadis berumur 9 tahun. Akan tetapi apa yang menyebabkan saudara Pujiono berurusan dengan pengadilan?
Semoga jawaban singkat ini dapat menyingkap tabir yang menjadikan saudara merasa surprise, dan dapat melebarkan sisi pandang saudara terhadap hukum Syari’at agama saudara.
Wallahu a’alam bisshowab.
2. Dijawab oleh Ust. Ammi Nur Baits:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita tilik dulu pengertian transaksi pasar gelap. Dalam Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan, pasar gelap (black market) adalah sektor kegiatan ekonomi yang melibatkan transaksi ekonomi ilegal, khususnya pembelian dan penjualan barang dagangan yang barang-barangnya illegal. Misal penjualan senjata atau obat-obatan terlarang; barang dagangan curian; atau barang dagangan resmi yang sengaja dijual secara gelap, untuk menghindari pembayaran pajak.
Berdasarkan pengertian di atas, objek transaksi di pasar gelap dapat kita golongkan menjadi 2 kelompok.
Pertama, barang yang dilarang untuk dimanfaatkan atau ditransaksikan secara syariat. Seperti obat-obatan terlarang; barang dagangan curian. Salah satu diantara syarat transaksi yang sah adalah objek transaksi harus sesuatu yang nilainya mubah untuk dimanfaatkan.
Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
"Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu maka Allah haramkan hasil penjualannya". (HR. Ibn Hibban 4938, Daruquthni 2852 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Karena itu, barang yang manfaatnya haram, tidak boleh ditransaksikan. Termasuk diantaranya adalah rokok, khamar, CD dan DVD musik bajakan. Barang-barang semacam ini haram ditransaksikan, baik di pasar gelap maupun pasar terang.
Ibnu Hajar al-Haitamy (wafat 973 H) dalam kitabnya kumpulan dosa-dosa besar – dosa no. 191 – 196 – menyatakan,
نحو بيع العنب والزبيب ونحوهما ممن علم أنه يعصره خمرا؛…ونحو الحشيشة مما مر ممن يعلم أنه يستعملها
Termasuk DOSA BESAR seperti menjual anggur atau zabib dan semacamnya kepada orang yang diketahui bahwa dia akan memerasnya untuk khamr… juga menjual ganja kepada orang untuk dikonsumsi… (az-Zawajir, 1/392)
Untuk barang curian, jika calon pembeli mengetahuinya, tidak halal baginya membeli barang tersebut dan dia termasuk orang yang tolong-menolong dalam dosa dan maksiat.
Syaikhul Islam (wafat 728 H) menegaskan,
فمن علمت أنه سرق مالا أو خانه في أمانته أو غصبه فأخذه من المغصوب قهرا بغير حق لم يجز لي أن آخذه منه ؛ لا بطريق الهبة ولا بطريق المعاوضة
“Orang yang saya ketahui mencuri harta, atau berkhianat mengambil harta amanah, atau merampas secara paksa tanpa alasan yang benar, maka saya tidak boleh mengambilnya, baik dengan cara hibah, maupun transaksi komersil”. (Majmu’ al-Fatawa, 29/323)
Kedua, barang yang memiliki manfaat mubah, namun dilarang pemerintah karena sangat membahayakan atau kemungkinan besar akan dimanfaatkan pembeli untuk kejahatan. Seperti tembak, pistol, atau senjata api lainnya. Barang semacam ini tidak boleh dijual dan jika dijual termasuk tolong menolong dalam maksiat. Ini dalam rangka menghindari potensi bahaya di masyarakat.
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم عَنْ بَيْعِ السِّلاَحِ فِي الْفِتْنَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli senjata di waktu fitnah. (HR. al-Baihaqi dalam al-Kubro 11096, dan al-Bazzar dalam Musnad 3589)
Ketiga, barang yang manfaatnya mubah, memenuhi persyaratan sahnya jual-beli menurut syariat, tetapi tidak mendapat legalitas dari pemerintah karena menghindari dari pajak.
Dalam hal ini, ada 2 hal yang perlu kita perhatikan,
[1] Status hukum jual beli barang black market secara syariat
Dalam kajian hukum syariat, selama transaksi itu tidak melanggar aturan syariat, statusnya sah. Masalah admisnistrasi dan pajak, tidak mempengaruhi keabsahan transaksi. Karena hukum asal jual beli adalah halal. Allah befirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual-beli …” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ketika barang itu memiliki manfaat yang mubah, maka barang ini sah ditransaksikan dan hukum jual belinya mubah.
Dalam fatwa Lajnah Daimah (Komite Tetap Fatwa Arab Saudi)
أما حكم البيع والشراء في السوق السوداء، فحكم البيع والشراء في غيرها؛ إذا توافرت شروط البيع جاز، وإلا فلا
“Untuk hukum jual-beli di pasar gelap sama dengan hukum jual-beli di pasar lainnya (pasar legal), selama semua persyaratan jual beli dipenuhi, hukumnya boleh. Jika tidak, maka tidak boleh.” (Fatawa Lajnah Daimah, 13/240)
Fatwa yang lain pernah disampaikan Syaikh Abdul Aziz bin Baz
الذي جرى فيه الجواب هو أننا نعتقد أن السوق السوداء هي سوق العامة التي يبيع فيها الناس ويشتري فيها الناس، غير ما يقع في البنوك والمصارف المعروفة، فالسوق السوداء التي جرت فيه الفتوى هي ما يقع بين الناس في أسواقهم في بيعهم وشرائهم وأنه لا حرج أن يبيع في السوق العامة
http://www.binbaz.org.sa/noor/10378
[2] Pertimbangan sisi legalitas
"Pada prinsipnya setiap kaum muslimin memiliki hak untuk menjual barang tanpa harus dibebani pajak. Karena itu, jika seorang muslim membawa barang yang ilegal, dalam arti tidak terkena pajak ketika masuk ke negaranya, maka ini sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan transaksi. Dan tidak menunaikan apa yang tidak menjadi kewajibannya, diperbolehkan. Akan tetapi, apabila kondisi jual-beli di pasar gelap membahayakan kemaslahatan banyak orang, seperti hasil penimbunan barang, atau menjadi celah bagi dirinya untuk ditindak oleh pemerintah, maka tidak selayaknya dilakukan seorang Muslim".
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berabda,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ahmad 2865, Ibnu Majah 2431, dan disahihkan Syuaib al-Arnauth).
Meskipun hal ini tidak menyebabkan akad jual-beli di pasar gelap menjadi tidak sah, karena larangan membeli barang di pasar gelap terpisah dengan akad jual-beli.
Terdapat kaidah dalam Fiqh tentang status larangan perbuatan, apakah bisa menyebabkan batalnya perbuatan itu,
النهي يقتضي الفساد إذا كان النّهيُ لذاته، أو لوصف قائم به
“Kaidah larangan bisa membatalkan perbuatan berlaku jika larangan itu terkait dengan perbuatan itu sendiri atau dengan salah satu kriteria yang melekat pada perbuatan itu.”
Dalam jual-beli di pasar gelap, larangan tidak tertuju kepada perbuatan jual-beli. Akan tetapi tertuju kepada cara nya yang tidak direstui pemerintah karena tidak dilaporkan untuk dijadikan objek pajak.
Wallahu a’lam.
3. Dijawab oleh Pakar Hukum Pidana dalam: https://www.hukumonline.com/
Tindakan Saudara tidak dapat dikualifikasi dalam pelanggaran tindak pidana kepabeanan, karena tidak ada tindakan pengangkutan, pembongkaran, penyembunyian dan hal-hal lain yang masuk dalam tindak pidana kepabeanan. Posisi Saudara hanyalah selaku pembeli sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan bagi Saudara dalam proses BAP di Bea Cukai. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara berikan. Sebelumnya kami sampaikan bahwa penyidik bea cukai dapat mengambil tindakan yang diperlukan terkait dengan penyidikan berdasarkan Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU Kepabeanan”), kami kutip sebagai berikut:
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang :
a. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang kepabeanan;
b. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan;
d.melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
h. mengambil sidik jari orang;
i. menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
j. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang kepabeanan;
k. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan;
l. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan;
m.mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang kepabeanan;
n. menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;o. menghentikan penyidikan;
p. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab.
Terkait kronologis yang saudara berikan, kami sampaikan pemahaman kami atas barang black marketadalah barang yang dikirim/diselundupkan secara illegal yang mana barang tersebut tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut atau yang biasa disebut manifes sebagaimana diatur pada Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan, sehingga dalam kasus ini, saudara bisa diasumsikan melanggar Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan. Bahwa terdapat sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan sebagaimana diatur dalam Pasal 102 UU Kepabeanan yang kami kutip sebagai berikut:
Setiap orang yang:
a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);
b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;
c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);
d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;
f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini;
g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau
h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah,
Namun atas kronologis yang Saudara sampaikan, kami tidak melihat tindakan Saudara dapat dikualifikasi dalam pelanggaran tindak pidana kepabeanan, karena tidak ada tindakan pengangkutan, pembongkaran, penyembunyian dan hal-hal lain yang masuk dalam tindak pidana kepabeanan. Posisi Saudara hanyalah selaku pembeli sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan bagi Saudara dalam proses BAP di Bea Cukai.
dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selanjutnya terhadap dugaan pelanggaran pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), akan kami kutip bunyi pasalnya sebagai berikut:
“Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900, dihukum:
Bahwa berdasarkan kutipan kami di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penadah adalah orang yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang dimana orang tersebut mengetahui bahwa barang tersebut merupakan barang yang diperoleh karena kejahatan.
1. Karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.
2. Barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.”
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”Dalam kasus Saudara, kami berasumsi bahwa Saudara tidak mengetahui bahwa barang yang Saudara beli dari toko online merupakan barang yang bermasalah atau diperoleh karena kejahatan. Hal ini menurut kami dapat Saudara jadikan dasar dalam pembelaan Saudara di mata bea cukai, mengingat sepengetahuan Saudara dan berdasarkan informasi dari penjual di toko online tersebut barang itu bukanlah merupakan barang yang diperoleh dari kejahatan. Lebih lanjut, dalam kasus Saudara, menurut kami Saudara juga merupakan korban atas tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh penjual toko online. Oleh sebab itu, Saudara dapat melaporkan juga pihak penjual toko online atas dasar penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang kami kutip sebagai berikut: Bahwa Pasal 378 KUHP memiliki unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa. Dalam kasus ini yang dapat memenuhi unsur barang siapa adalah pihak penjual toko online.
Kemudian apabila penyidik bea cukai ingin menggunakan ketentuan pasal penadahan dalam KUHP, Saudara bisa juga menyampaikan keberatan bahwa penyidikan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP bukanlah kewenangan penyidik bea cukai melainkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Bahwa dalam kasus ini telah jelas bahwa pihak penjual toko online bermaksud menjual barangnya untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dikarenakan ternyata barang tersebut merupakan hasil kejahatan.
3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan. Bahwa penjual toko online tersebut telah melakukan tipu muslihat atas barang yang dijualnya.
4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Bahwa penjual toko online telah menggerakkan Saudara untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya yang dalam hal ini berbentuk uang atas pembelian barang di toko online tersebut.
Apabila Saudara masih juga kesulitan untuk menghadapi pihak bea cukai, maka kami menyarankan agar Saudara melaporkan hal yang Saudara alami melalui surat ke Dirjen Bea Cukai atau Menteri Keuangan. Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah denganUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
***********************
Kontributor: Ustadh DR.Muhammad Arifin Badri, MA; Ustadh Ammi Nur Baits; Pakar Hukum Pidana. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com