Pertanyaan:
1. Masing-masing
Dari Dua Orang Yang Berserikat Mengeluarkan Zakat Bagiannya Dari Keuntungan
Mudhorobah ( #139631). Saya diberi 7000 riyal dari
empat tahun jual beli yang halal, setiap tahun kami saling membagi keuntungan.
Sekarang sampai 16.000 riyal dan kami belum mengeluarkan zakat pada empat tahun
lalu. Saya harap gambarannya jelas. Mohon fatwanya semoga anda diberi pahala.
2. Mengeluarkan
zakat melebihi yang di wajibkan, apakah terhitung sebagai zakat tahun depan? ( #145087 ) Seseorang memiliki
transaksi perdagangan dan satu tahun telah berlalu kemudian mengeluarkan zakat
yang wajib atas dirinya, akan tetapi setelah dia membayar zakatnya, ternyata
melebihi yang wajib, apakah itu terhitung untuk zakat tahun depan?
3. Rincian
Pendapat Tentang Zakatnya Saham (# 69912)
Saya
mohon rincian penjelasan tentang hukumnya zakat saham pada perusahaan, apakah
ada zakatnya atau tidak ?, dan seberapa banyak ?
4. Membeli
Sebidang Tanah Dengan Tujuan Untuk Diperjual Belikan, Maka Bagaimana Cara
Membayarkan Zakatnya ? (# 32715
). Saya telah membei sebidang tanah dengan harga 115000 Riyal dengan tujuan untuk diperjualbelikan dan sudah berlalu selama satu tahun (haul), apakah wajib dibayarkab zakatnya? berapa nisab zakat dengan mata uang Riyal Saudi Arabia jika sudah diwajibkan zakat?
Teks Jawaban:
1.
Alhamdulillah
Pertama: zakat
adalah pilar diantara pilar Islam. Termasuk kewajiban agama yang agung.
Seharusnya bagi orang Islam bersegera menunaikannya setiap kali wajib
atasnya. Tidak diperbolehkan meremehkan dalam pelaksanaannya. Dan tidak gugur
meskipun telah berlalu. Meskipun telah berlalu beberapa tahun belum
mengeluarkan zakat, maka itu termasuk hutang padanya. Dan wajib
mengeluarkannya. Nawawi rahimahullah dalam ‘Al-Majmu’, (5/302) mengatakan, “Kalau
telah berlalu beberapa tahun dan belum mengeluarkan zakatnya, maka dia harus
tetap mengeluarkan zakatnya untuk semuanya.” Selesai.
Telah ada dalam ‘Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyyah, (23/298): “Kalau ada
pada orang yang sudah terkena kewajiban untuk zakat beberapa tahun dan belum
dikeluarkan zakatnya sementara syarat wajib zakatnya telah terpenuhi, maka
tidak gugur sedikitpun (zakatnya) menurut kesepakatan (para ulama’). Dan dia
wajib menunaikan zakatnya untuk tahun-tahun lalu yang belum dikeluarkan
zakatnya.” Selesai
Kedua:
Zakat diwajibkan
pada barang perniagaan menurut mayoritas ulama’, dan telah ada penjelasan hal
itu. Cara menghitung zakat barang perniagaan adalah dinilai barang pada akhir
haul kemudian dikeluarkan zakatnya 2,5%. Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-‘Mugni,
(4/249) mengatakan, “Siapa yang memiliki barang untuk perdagangan, dan telah
sampai haul (setahun) serta sudah sampai nisob, maka dinilai pada akhir haul.
Kalau sudah sampai, dikeluarkan zakatnya empat sepersepuluh (2,5%) dari
nilainya. Selesai
Para ulama’
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Cara yang benar adalah menilai
apa yang ada padanya dari barang dagangan ketika telah sempurna haulnya dengan
nilai yang setara waktu wajib (zakat). Tanpa melihat harga waktu ketika
membeli. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (9/319).
Digabungkan laba
dengan modal dan dikeluarkan zakat semuanya. Telah ada dalam ‘Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah, (22/86): “Digabungkan
keuntungan hasil dari barang perdagangan ditengah-tangah haul ke modal asalnya.
Hal itu karena perhitungan zakat. Contohnya kalau sekiranya dia membeli barang
di bulan Muharom dengan 200 dirham, kemudian nilainya menjadi 300 dirham
sebelum akhir haul meskipun hanya sebentar, maka dikeluarkan zakat semuanya di
akhir haul.” Selesai
Ini terkait dengan
pemilik harta, menzakati modal disertai dengan keuntungan setiap tahun.
Sementara terkait
dengan mudhorib (pekerja), kewajiban zakat untuk bagiannya dari
keuntungan sebelum selesai dibagi –seperti gambaran dalam pertanyaan tadi- itu
ada perbedaan di kalangan para ulama’. Yang dipilih oleh sekelompok ulama’ kami
dari ulama’ kontemporer, adalah kewajiban zakat bagian dari keuntungan.
Syekh Ibnu
Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Bagian mudhorib (pekerja) ada perbedaan
apakah diwajibkan zakat atau tidak? Yang kuat adalah kalau telah sempurna haul
sementara belum dibagi, maka ada zakatnya. Karena ia adalah keuntungan dari harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Maka dia harus mengeluarkan zakatnya. Dan ini
yang nampak dari perilaku manusia semenjak zaman Rasulullah sallallahu alaihi
wa sallam sampai sekarang. Bahwa kalau diwajibkan mengeluarkan zakat pada
harta, maka dikeluarkan juga dari keuntungannya.” Selesai ‘Syarkh Al-Kafi,
3/121).
Syekh Ibnu Jibrin
rahimahullah ditanya, “Apakah diwajibkan zakat bagian mudhorib (pekerja)
sebelum dibagi kalau ia sampai nisab?.Beliau menjawab, “Mudhorobah adalah anda memberikan kepada seseorang harta kamu untuk
berdagang. Contohnya kalalu anda memberikannya 20.000 dan dia membeli
barang-barang dan dia mendapatkan dari keuntungan separuhnya. Dia mengembalikan
modal harta anda. Setelah setahun maka 20 ribu menjadi 30ribu dengan
keuntungannya. Bagian pekerja 5.000. Bagian pemodal 5.000 dan modalnya 20.000.
Apa yang dikeluarkan zakatnya? Semuanya dikeluarkan zakatnya. 30.000 sehingga
zakatnya untuk semuanya. Dari keuntungan
dan dari modal. Ini adalah gambaran dari mudhorobah dan gambaran
mengeluarkan zakatnya.” Selesai (Fatawa Sykeh Ibnu Jibrin, (50/8).
Syekh Sholeh
Al-Fauzan rahimahullah ditanya, “Saya mempunyai sejumlah uang. Saya taruh di
temanku untuk dibuat berdagang. Siapa yang mengeluarkan zakat, apakah dia atau
saya. Apakah saya mengeluarkan zakat dari modal dana saja ataukah keuntungannya
juga. Beliau menjawab, “Anda keluarkan zakat bagian dari keuntungan kalau sudah
sampai nisob. Sementara pemilik modal, maka dia mengeluarkan zakat dan
mengeluarkan zakat bagian dari keuntungan. Meskipun sedikit karena ia mengikuti
modal dana.” Selesai. (Al-Muntaqa Min Fatawa Al-Fauzan, (87/1-2).
Dari sini, maka
anda menghitung keuntungan yang
digabungkan dengan modal dana setiap
tahun. Kemudian pemilik modal mengeluarkan zakat modal dana dan bagian
keuntungannya. Anda juga mengeluarkan zakat bagian dari keuntungan anda untuk
tahun-tahun lalu.
Peringatan, haul
barang perdagangan tidak dimulai menghitungnya dari pertama kali membeli barang
untuk berdagang. Akan tetapi dimulai haul ini dari haulnya dana (uang) yang
digunakan untuk membeli barang dagangan. Wallahua’lam .
2.
Alhamdulillah
Dalam pembayaran
zakat dikenal istilah ta`jil/menyegerakan membayar zakat maksudnya
membayar zakat pada saat belum sampai masa wajib membayarnya, dan telah di
bahas bahwa seseorang yang mengelurkan zakat hartanya kemudian apa yang dia
keluarkan itu melebihi yang seharusnya dikeluarkan, maka itu tidak termasuk
hitungan untuk zakat tahun depan, kecuali dia meniatkan untuk mebayar
zakat/menyegerakan membayar zakatnya, jika tidak diniatkan maka termasuk zakat
sunah.
Syeikh Utsaimin
rahimahullah ditanya: “Seseorang yang mengeluarkan zakat melebihi yang
seharusnya,apakah di hitung untuk zakat tahun depan?”
Jawab: tidak
terhitung zakat tahun depan, karena dia tidak meniatkan untuk ta'jil
zakat, akan tetapi menjadi sedekah yang mendekatkan diri kepada Allah
berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
إنما الأعمال بالنيات ، وإنما لكل امرئ
ما نوى
“Sesungguhnya
amalan-amalan tergantung niat, dan sesungguhnya setiap perkara tergantung apa
yang diniatkan.” (Majmu Fatawa ibnu utsaimin,18/309)
Beliau
berkata juga: Jika seseoarang mengeluarkan zakat melebihi yang seharusnya di
keluarkan dan menyangka itu adalah wajib, maka kelebihannya itu terhitung sedekah.
Wallahu a'lam..
3.
Alhamdulillah
Saham adalah hak
patner dalam bisnis yang dihasilkan dari modal awal perusahaan bagi hasil. Saham
dikenal juga dengan cek yang menetapkan hak tersebut. Baca juga Al Ashum wa Al Sanadaat: 47.
Mausu’ah al Musthalahat al Iqtishadiyyah wal Ihshaiyyah: 775.
Saham menghasilkan
sebagian keuntungan bagi perusahaan, bisa berkurang dan bisa bertambah,
mengikuti ritme keberhasilan perusahaan dan bertambahnya keuntungannya atau
kerugiannya, dan dia pun terkena dampak dari kerugian tersebut; karena pemilik
saham hakekatnya dia juga menjadi pemilik perusahaan sesuai dengan besar
kecilnya sahamnya.
Harga saham:Saham
mempunyai beberapa harga sebagaimana berikut:
1.Nilai nominal,
adalah nilai yang dibatasi bagi saham tertentu sejak awal pendirian perusahaan,
hal itu tercatat dalam perjanjian saham.
2.Nilai Pembukuan,
adalah nilainya saham setelah dipotong administrasi perusahaan, dan pembagian
modal awalnya sesuai dengan jumlah saham yang ada.
3.Nilai Riil dari
Saham, adalah nilai uang yang serupa dengan saham, pada saat perusahaan
melakukan cuci gudang dan pembagian kepada anggota pemilik saham tersebut.
4.Nilai Pasar,
adalah nilai saham yang dijual di pasar dan akan terus mengalami perubahan
sesuai dengan permintaan dan penawaran.
Saham-saham yang
ada berpeluang bisa berpindah-pindah antar satu orang dengan lainnya, sama
dengan barang dagangan lain yang sebagian orang menjadikannya sarana untuk jual
beli dengan mengharapkan keuntungan.
Telah disebutkan
pada jawaban soal nomor: 4714 bahwa tidak masalah jual beli
dengan sahamnya perusahaan, selama kegiatan perusahaan tersebut tidak
diharamkan.
Bagaimana anda
mengeluarkan zakatnya saham perusahaan ?
Sebagian investor
saham menjadikan sahamnya untuk bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan,
sebagian yang lain menjadikannya untuk konsumsi dan bekerja tidak untuk
diperjual belikan.
Adapun bagian yang
pertama:
Saham menurut
kelompok ini termasuk barang dagangan dan diperjual belikan di bursa efek, maka
hukumnya sama dengan barang dagangan lainnya, dan zakatnya diambil sesuai
dengan nilainya pada setiap akhir tahun.
Sedangkan bagian
yang kedua:
Para ulama, pakar
dan peneliti kontemporer berbeda pendapat, bagi mereka bagian ini mempunyai dua
sisi:
1.Dianggap barang
dagangan, tanpa melihat kegiatan perusahaan.
Mereka berkata:
“Karena pemiliknya mendapatkan keuntungan darinya, sebagaimana setiap pedagang
mendapatkan keuntungan dari barang dagangannya, maka dalam konteks ini saham
termasuk barang dagangan”.
Yang menjadi dasar
dari pendapat ini adalah: Biaya dan alat produksi sekarang ada zakatnya; karena
menurut mereka semua itu termasuk harta yang berkembang.
Pendapat ini
diusung oleh Muhammad Abu Zuhrah, Abdurrahman bin Hasan, Abdul Wahab Khollaf
dan lain-lain.
2.Saham ini
dibedakan hukumnya sesuai dengan jenis perusahaan yang menerbitkannya. Ini
merupakan pendapat jumhur ulama kontemporer, meskipun mereka berbeda pendapat
di antara mereka pada rincian permasalahan tertentu.
Perusahaan saham
ini dapat dibagi menjadi empat bagian:
1.Murni perusahaan
industri yang tidak diperjual belikan, seperti perusahan cat, perusahaan hotel,
perusahaan transportasi, semua itu tidak wajib membayarkan zakat pada sahamnya;
karena nilai dari saham tersebut berupa alat, bangunan, perabot dan lain
sebagainya yang dibutuhkan. Semua itu tidak ada zakatnya, akan tetapi yang ada
zakatnya adalah pada keuntungannya saham tersebut jika sudah sampai nisab dan
sudah mencapai satu tahun.
2.Perusahaan yang
murni untuk bisnis, adalah perusahaan yang membeli barang lalu menjualnya tanpa
dikenakan biaya transportasi, seperti perusahaan ekspor import dan perusahaan
perdagangan luar negeri.
3.Perusahaan
industri yang diperdagangkan adalah yang menggabungkan antara industri dan bisnis,
seperti perusahaan tambang mentah, atau membelinya kemudian setelah itu
terkena biaya transportasi, baru kemudian diperdagangkan, seperti perusahaan
kilang minyak, perusahaan pemintalan dan penenunan, perusahaan besi dan baja,
perusahaan kimia dan lain sebagainya.
Kedua model
perusahaan tersebut (Perusahaan yang murni untuk bisnis dan Perusahaan industri
yang diperdagangkan) sahamnya wajib dikeluarkan zakatnya, setelah dikurangi
biasa bagungan, peralatan, dan peralatan lain yang menjadi hak milik perusahaan.
Kemungkinan bisa
mengetahui netto nilai gedung, peralatan dengan merujuk pada modalnya
perusahaan yang diaudit setiap tahunnya.
4.
Perusahaan pertanian, yang bergerak pada sektor
tanaman pangan.
Hal ini zakatnya
mengikuti zakat tanaman dan buah-buahan, jika hasil panennya termasuk tanaman
yang wajib dikeluarkan zakatnya, maka hendaknya dilihat setiap saham pertanian
tersebut sesuai dengan kepemilikan saham tersebut, maka dia wajib membayarkan
1/10 jika diairi dengan irigasi tanpa biaya, dan 1/5 jika diairi dengan biaya,
syaratnya yang menjadi bagian dari pemilik saham tersebut sudah mencapai nisab,
yaitu’ 300 sha’.
Semua ini
berdasarkan bahwa pabrik, gedung yang menjadi fasilitas umum, seperti hotel,
mobil, dan lain sebagainya tidak ada zakatnya, kecuali keuntungannya saja yang
wajib dizakati, jika sudah sampai nisab, dan sudah berlalu selama satu tahun.
Pendapat kedua di
atas lah yang benar, karena saham itu menjadi bagian dari perusahaan, maka
dalam hal zakat hukumnya mengikuti hukum perusahaan, baik berupa perusahaan
industri, bisnis, atau pertanian.
Yang mendukung
pendapat ini adalah Syeikh Abdurrahman Isa dalam bukunya: “Al Mua’amalat al
Haditsah wa Ahkamuha”, dan Syeikh Abdullah al Bassam dan DR. Wahbah Zuhaili
yang tertera pada Majalah Al Majma’ al Fiqhi: 4/742.
Al Bassam
menyebutkan adanya perbedaan antara perusahaan bisnis dan perusahaan industri, hal
ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Majalah Al Majma’ Al Fiqhi: 4/1/725)
Perhatian:
Perlu
diperingatkan bahwa perusahaan industri atau pertanian, berangkasnya bisa
dipastikan menyimpan uang tunai, uang tersebut tidak ada perbedaan bahwa wajib
dikeluarkan zakatnya,maka hendaknya dikira-kira setiap saham bernilai berapa
dari uang tersebut, maka pemilik saham tersebut wajib membayarkan zakatnya,
jika yang menjadi bagiannya sudah mencapai nisab, atau akan mencapai nisab jika
digabungkan dengan uang lain yang menjadi miliknya.
Pendapat tersebut
dinyatakan oleh DR. Ali As Salus sebagaimana yang dimuat pada Majalah Al Majma’
Al Fiqhi: 4/1/849.
Syeikh Ibnu
Utsaimin juga memberikan peringatan:
“Jika seseorang
sudah membeli saham-saham tersebut dengan tujuan untuk berbisnis dalam arti
bahwa dia hari ini membeli saham tersebut kemudian menjualnya besok setiap kali
akan mendapat untung, maka dia wajib membayarkan zakat dari saham tersebut
setiap tahunnya, keuntungannya pun juga wajib dizakati.
Sedangkan jika
saham tersebut untuk dikonsumsi (sebagai penghasilan) dan untuk dikembangkan,
dan dia tidak ingin menjualnya, maka perlu dilihat, jika berupa uang –emas,
perak atau uang kertas- maka wajib dizakati; karena uang, emas dan perak
termasuk yang wajib dizakati, maka dalam keadaan seperti apapun tetap wajib
dikeluarkan zakatnya.
Maka perlu
ditanyakan kepada mereka yang bertanggung jawab pada rumah tersebut ada berapa
banyak harta di berangkas mereka.
Namun jika berupa
barang dan jasa, bukan emas, perak dan bukan uang, maka tidak perlu dibayarkan
zakatnya, akan tetapi zakatnya berlaku pada keuntungan yang didapatnya saja,
jika sudah berlalu selama satu tahun”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/199). Lajnah
Daimah Lil Ifta’ pernah ditanya:
“Kami telah
menginvestasikan harta kami untuk membeli saham perusahaan, dan sebagian
perusahaan tersebut akan memotongnya untuk zakat yang syar’i sebelum dibagikan
keuntungannya, dan sebagiannya yang lain tidak menganggap ada zakatnya, maka
apakah diwajibkan membayar zakat pada modal utamanya atau hanya pada keuntungan
dari perusahaan tersebut saja ?, perlu diketahui bahwa asal dari saham itu ada
dua bagian:
1.Yang satu
tujuannya untuk menerima keuntungan saja tidak untuk dijual belikan.
2.Yang satu lagi
saham yang untuk diperjual belikan seperti barang dagangan.
Mereka menjawab:
“Dia wajib
membayarkan zakat dari saham yang untuk diperjual belikan dan keuntungannya
pada setiap tahunnya, dan jika perusahaan sudah membayarkan zakat dari
masing-masing pemiliknya dengan seizin mereka, maka sudah dianggap cukup.
Sedangkan saham yang ingin dijadikan investasi saja, maka zakatnya hanya dari
keuntungannya saja, jika sudah berlalu selama satu tahun, kecuali jika saham
itu berbentuk uang maka zakatnya wajib dikeluarkan dari modal dan
keuntungannya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 9/341)
Syeikh Ibnu
Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Sebagian lembaga
bisnis membagi saham dari tanah hak milik dan lainnya, uangnya berada pada
lembaga tersebut dalam jangka waktu yang lama, bisa jadi sampai bertahun-tahun,
maka bagaimana cara membayarkan zakat dari saham tersebut ?, apakah pemilik
lembaga tersebut boleh membayarkan zakat dari semua harta yang ada pada
waktunya, kemudian dipotongkan modal dari masing-masing pemilik saham atau
diambilkan dari keuntungan mereka sebelum dibagikan ?
Beliau menjawab:
“Saham yang
diperjual belikan wajib dibayarkan zakatnya setiap tahunnya; karena menjadi
barang dagangan, maka dinilainya dikruskan setiap tahunnya pada saat diwajibkan
membayarkan zakatnya dengan membayar 2,5 %, baik harganya sama dengan pada saat
membelinya, atau lebih mahal atau lebih murah. Adapun jika pemilik lembaga
tersebut yang membayarkan zakat dari semua anggota yang mempunyai saham, jika
menjadi wakil dari mereka maka tidak apa-apa. Zakatnya diperkirakan sesuai
dengan ketentuan tadi. Namun jika mereka tidak mewakilkan kepadanya maka dia
tidak berhak membayarkan zakat mereka, akan tetapi menyampaikan kepada
anggotanya bahwa sudah diwajibkan membayarkan zakat, agar mereka membayarkan
zakat saham mereka masing-masing atau mereka mewakilkan kepada pemilik lembaga
tersebut untuk membayarkan zakatnya. Jika yang mewakilkan hanya sebagian dari
mereka, maka dia hanya berhak membayarkan zakat mereka yang mewakilkan saja. Bisa
dimaklumi bahwa jika dia membayarkan zakat mereka, dia akan memotong modal
mereka atau diambilkan dari keuntungannya”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin:
18/217)
Kesimpulan:
Bahwa jika pemilik
saham itu ingin menjadikannya untuk bisnis dan mencari keuntungan, dan semua
saham dari perusahaan bisnis wajib dibayarkan zakatnya pada modal dan
keuntungannya.
Adapun perusahaan
industri, maka kewajiban zakatnya hanya pada keuntungannya saja, jika sudah
sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun, dan tidak ada zakat bagi
saham yang menjadi modalnya, kecuali jika sahamnya berupa uang dari brangkas
perusahaan.
Sedangkan
perusahaan pertanian, zakat sahamnya disamakan dengan zakat pertanian, jika
termasuk tanaman yang wajib dizakati, dengan syarat yang menjadi bagian dari
masing-masing pemilik saham sudah mencapai nisab, yaitu; 300 sah’, termasuk
yang wajib dizakati adalah yang berupa uang dari berangkas perusahaan.
Apakah zakat itu
diwajibkan kepada perusahaan saham atau kepada masing-masing pemilik saham ?
Sebagian pakar
berpendapat bahwa zakatnya saham diwajibkan kepada perusahaan, alasan mereka
adalah bahwa perusahaan saham mempunyai personal independen yang mumpuni, maka
dia berhak mengatur keuangan yang ada, sedangkan zakat itu adalah kewajiban yang
berkaitan dengan harta, maka dari itu tidak ada syarat bahwa pemiliknya harus
berakal dan baligh.
Sanggahan dari
pendapat di atas adalah bahwa meskipun perusahaan tersebut mempunyai personal
independen, hanya saja personal tersebut tidak sah diwajibkan zakat kepadanya,
karena yang menjadi syarat wajibnya zakat adalah Islam dan merdeka, dan
seterusnya… dan sifat-sifat tersebut tidak dimiliki perusahaan.
Kemudian
perusahaan kepemilikan hartanya hanya bersifat perwakilan dari semua anggota
yang mempunyai saham, kepemilikan aslinya adalah mereka para investor, bukan
milik perusahaan.
Mereka juga
beralasan dengan dianalogikan dengan musyarakah (kerja sama /
partnership) pada binatang ternak, maka zakat wajib dibayarkan pada harta yang
berkumpul sebagai satu kesatuan, bukan pada harta masing-masing dari pemilik
modal. Jawaban dari alasan di atas adalah bahwa kewajiban zakat pada binatang
ternak sebagai satu kesatuan bukan berarti bahwa diwajibkan bagi perusahaan
karena dianggap sebagai personal independen, akan tetapi maknanya adalah
pengumpulan semua harta dari para investor kemudian dihitung zakatnya seperti
harta milik satu orang.
Jumhur ulama dan
para peneliti berpendapat bahwa zakatnya dibebankan kepada tiap investor
(pemilik modal / saham) –dan inilah yang benar-; karena investor adalah pemilik
harta yang sesungguhnya, sedangkan perusahaan hanya menjalankan harta mereka
dan sebagai wakil mereka, tentu disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan pada peraturan perusahaan.
Karena zakat
adalah ibadah yang membutuhkan niat pada saat membayarkannya, dan diberi pahala
bagi yang mengeluarkannya dan berdosa bagi yang tidak mau membayarnya, semua
itu tidak terbayang bisa didapatkan oleh sebuah perusahaan.
Siapa yang berhak
membayarkan zakatnya saham, perusahaan atau pemilik saham ?
Hukum asalnya yang
berhak membayarkan zakatnya saham adalah pemiliknya, karena pemiliknya lah yang
diwajibkan mengeluarkan zakat, akan tetapi tidak apa-apa jika perusahaan yang
membayarkannya sebagai wakil dari para investor yang ada, Al Majma’ Al Fiqhi
telah menyebutkan bahwa tidak masalah bagi perusahaan investasi yang
membayarkan zakatnya pada empat kondisi:
“Jika perusahan
tersebut menyebutkan pada peraturan pokoknya tentang masalah tersebut, atau ada
semacam keputusan dari LSM atau menjadi undang-undang negara yang mewajibkan
setiap perusahaan untuk membayar zakat, atau ada penyerahan dari pemilik saham
agar perusahan yang membayarkan zakat dari sahamnya”. (Majalah Al Majma’ AL Fiqhi:
4/1/881)
Jumlah zakat
saham:
Jumlah zakat
sahamnya perusahaan adalah 2,5 %, baik pemiliknya bertujuan untuk bisnis
atau hanya untuk penghasilan tahunannya, karena jika tujuannya untuk bisnis
maka dianggap sebagai barang dagangan, dan zakat barang dagangan adalah 2,5 %,
dan jika hanya untuk dikonsumsi dan penghasilan tahunan, maka disamakan dengan
tanah hak milik yang disewanya, dan sakatnya sewa gedung adalah 2,5 %.
Kapan mulai
dihitungnya haul (masa satu tahun) dari saham-saham yang ada ?
Adapun saham-saham
yang berada pada perusahaan bisnis, atau saham yang oleh pemiliknya diperjual
belikan, maka keuntungannya mengikuti modal awalnya dalam masalah haul, karena
laba dari perdagangan tidak dihitung haul sendiri, haulnya mengikuti haulnya
modal awal, jika haulnya modal awal sudah mencapai nisab”. (Al Mughni: 4/75)
Perlu diperhatikan
bahwa jika barang dagangan dibeli dengan emas, perak atau uang, haulnya tidak
dimulai dari baru lagi sejak awal membelinya, akan tetapi berdasarkan haulnya
harta yang telah dibeli (sebagi modalnya) jika sudah mencapai nisab.
Syeikh Ibnu
Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah bahwa barang dagangan haulnya
tidak dihitung dari satu tahun setelah pembeliannya, akan tetapi haulnya adalah
ikut haul dari harta asalnya; karena sebenarnya adalah berbentuk uang dari
modal anda yang anda rubah menjadi barang dagangan, maka hitungan haulnya
berdasarkan haulnya harta pertama anda”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin:
18/234)
Adapun perusahaan
industri yang mengumpulkan sahamnya untuk dikembangkan dan keuntungan tahunan,
tidak untuk diperdagangkan, maka saham tersebut wajib dikeluarkan zakatnya dari
keuntungannya saja, jika keuntungan tersebut sudah mencapai nisab atau mencapai
nisab dengan ditambahkan dari hartanya yang lain, haulnya mulai dihitung dari
awal mendapatkan laba tersebut, sebagaimana yang telah diputuskan oleh Al
Majma’ Al Fiqhi dan Syeikh Abdullah Al Bassam.
Baca juga Majalah
Al Majma’ Al Fiqhi: 4/1/722.
Perlu diperhatikan
bahwa saham dari perusahaan yang bergerak pada sektor pertanian, yang
diwajibkan adalah zakat pertanian, yang berarti tidak ada syarat haul
(berlalunya satu tahun) sesuai dengan kesepakatan para ulama, berdasarkan
firman Alloh –subhanahu wa Ta’ala- : ( وَآتُوا حَقَّهُ
يَوْمَ حَصَادِهِ ) الأنعام/141 .
“dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya”
(dengan dikeluarkan zakatnya)”. (QS. Al An’am: 141). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah:
23/281)
Maka zakat hasil
panennya dihitung sendiri. Bagaimana caranya menghitung nilai dari saham yang
wajib dibayarkan zakatnya ?
Ada saham yang
wajib dikeluarkan zakatnya –yaitu; saham yang diperjual belikan oleh pemiliknya
atau saham dari perusahaan bisnis- maka zakatnya dibayarkan sesuai dengan
nilainya di pasaran pada akhir tahun. Karena saham-saham tersebut adalah
menjadi barang dagangan, dan barang dagangan pada akhir tahun diperkirakan
dalam bentuk uang kemudian zakatnya dibayarkan dari nilai tersebut, tanpa
melihat nilai penamaan saham tersebut.
Adapun saham yang
tidak ada zakatnya adalah saham perusahaan industri, maka pada akhir tahun
tidak perlu diperkirakan nilainya; karena zakatnya hanya dari keuntungannya
saja, bukan pada saham yang menjadi modalnya. Syiekh Ibnu Utsaimin
–rahimahullah- pernah ditanya: “Zakat saham itu disesuaikan dengan harga
riil atau dengan harga pasar atau bagaimana ?”
Beliau menjawab: “Zakat
pada saham atau yang lainnya dari barang dagangan, menyesuaikan harga pasar,
jika pada saat membelinya harganya 1.000 kemudian naik menjadi 2.000 pada saat
wajib membayarkan zakatnya, maka zakatnya mengikuti harga yang 2.000; karena
yang dianggap adalah harga barang pada saat diwajibkan zakat bukan pada saat
membelinya”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/197).
4. Alhamdulillah
Kepemilikan tanah
dengan tujuan untuk diperjual belikan, diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya
setiap tahunnya, maka pada akhir tahun hendaknya diperkirakan berapa harga
tanah tersebut, maka zakatnya dibayarkan sesuai dengan harga tanah tersebut,
zakat yang wajib dibayarkan adalah 2,5 % yang disalurkan kepada mereka yang
berhak menerima yang telah Alloh jelaskan dalam firman-Nya:
( إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ )
التوبة /60.
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60).
Hendaknya
diperhatikan bahwa jika barang dagangan itu dibeli dengan emas, perak atau uang
tunai –baik dengan Riyal, Dolar atau mata uang lainnya- atau barang yang lain,
maka haul dari barang dagangan tersebut adalah ikut haulnya uang yang anda
gunakan untuk membelinya. Atas dasar itulah maka tidak perlu memulai haul yang
baru lagi bagi barang tersebut sesaat setelah menjadi hak milik anda, akan
tetapi langsung meneruskan haulnya uang yang anda pakai untuk membelinya.
Contohnya adalah:
Jika seseorang
mempunyai uang 1.000 Riyal pada bulan Ramadhan, maka dia mulai menghitung
haulnya, kemudian pada bulan Sya’ban tahun depannya –sebelum berakhirnya satu
tahun-, dia membelanjakan 1.000 riyalnya untuk membeli barang dagangan, maka
dia membayarkan zakat barang dagangan tersebut pada bulan Ramadhan, yaitu;
setelah dia miliki barang dagangan tersebut sejak satu bulan sebelumnya; karena
haulnya barang dagangan mengikuti haulnya uang yang dipakai untuk membelinya”.
(Asy Syarhul Mumti’: 6/149 / Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-)
Disebutkan dalam
Fatwa Lajnah Daimah (9/331): “Diwajibkan membayarkan zakat dari sebidang tanah
yang diperjual belikan; karena termasuk barang dagangan, dan masuk dalam
keumuman dalil wajibnya zakat baik dari Al Qur’an maupun dari al Hadits, di
antaranya adalah firman Alloh –Ta’ala-:
( خذ
من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها )
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka..”. (QS. At Taubah:
103)
Dan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan, dari Sumrah bin Jundub
–radhiyallahu ‘anhu- berkata:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن
نُخرج الصدقة مما نعده للبيع
“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam- telah menyuruh kami untuk membayarkan zakat dari apa saja yang
diperjual belikan”.
Demikianlah
pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang benar”.
Lajnah Daimah
pernah ditanya:
“Beberapa bidang
tanah yang dibeli untuk diperdagangkan, bagaimana kewajiban menghitung
zakatnya, apakah menghitung zakatnya sesuai dengan harga beli atau dengan harga
perkiraan pada saat masa haulnya berakhir ?
Mereka menjawab: “Tanah yang dibeli untuk diperjual belikan
termasuk barang dagangan, kaidah umum dalam syari’at Islam bahwa semua barang
dagangan diperkirakan harganya pada saat akhir masa satu tahun, tanpa melihat
harga pada awal membelinya, baik harganya lebih mahal pada saat diwajibkannya
zakat atau lebih murah dari harga belinya. Zakatnya dibayarkan sesuai dengan
nilainya, jumlah yang wajib dibayarkan adalah 1/40 atau 2,5 %, jika sebidang
tanah harganya 1.000 Riyal misalnya, maka zakatnya adalah 25 Riyal dan demikian
seterusnya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 9/324-325)
Adapun nisab
diwajibkannya zakat, nisab zakat emas 20 Dinar atau setara dengan 85 gram emas,
sedangkan nisab dari perak adalah 200 Dirham atau setara dengan 595 gram perak.Sedangkan
nisab dari mata uang (Riyal Saudi Arabia atau mata uang lainnya) jika setara
dengan nisabnya emas dan perak, karena saat ini perak lebih murah dari emas
maka nisabnya mata uang sekarang setara dengan harga perak 595 gram. Wallahu
A’lam.
Saat ini telah terkumpul iuran dari zakat mal dan sedekah untuk membantu fakir miskin, dan ternyata dana yang terkumpul lebih banyak dari harta zakat dari pada harta sedekah, kami juga telah mengetahui bahwa zakat mal wajib disalurkan kepada fakir miskin berupa uang yang langsung mereka terima, si fakir berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya, akan tetapi kami melihat ada beberapa orang fakir yang mengambil harta tersebut dan menggunakannya tidak untuk kebutuhan pokoknya, di sisi lain ada banyak para fakir miskin yang membutuhkan bantuan. Selanjutnya, kami juga mencari tahu tentang kondisi tempat tinggal orang fakir, dan membantu mencarikan solusi apa yang dia butuhkan, kami memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan harta zakat, dari pada kami berikan kepadanya uang yang akan dia habiskan, maka apakah yang demikian itu dibenarkan ? Apakah memungkinkan untuk menggunakan zakat mal untuk membantu mengembangkan proyek-proyek pengembangan ? Apakah mungkin menggunakan zakat mal untuk membantu membayarkan sewa bulanan untuk kantor yayasan ?
Pertanyaan:
1. Zakat Mal Yang Digadaikan ( 99311). Saya mempunyai hutang kepada seseorang, kemudian saya menggadaikan beberapa gram emas kepada orang tersebut sebagai jaminan dari hutang tersebut, maka apakah saya wajib membayarkan zakat emas tersebut ?
2. Apakah Tetap Wajib Membayar Zakat Bagi Seseorang Yang Mempunyai Hutang ? ( 22426 ). Jika seseorang mempunyai hutang sebanyak harta yang ia miliki sekarang, atau bahkan hutangnya lebih banyak, apakah ia tetap wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ada sekarang, jika sudah mencapai haul (satu tahun) ?
3. Membayarkan Harta Kepada Fakir Miskin Dengan Niat Mengambil Haknya Dari Orang Yang Wajib Membayar Zakat (#126579). Sebuah keluarga yang termasuk ahli waris berusaha mengusir keluarga yang menyewa rumah mereka dengan segala cara tanpa memperhitungkan murka Allah kepada mereka, menghina mereka, menuduh mereka melakukan dosa keji di hadapan banyak orang bahkan memukul mereka, polisi pun sampai ikut campur bahkan sampai ke pengadilan. Keluarga fakir yang menyewa tersebut sungguh tersakiti dan merasa terhina, mereka memiliki gudang di sebelah rumah sewa tersebut , akan tetapi tidak layak menjadi tempat tinggal, mereka ingin merenovasi dan tinggal di sana. Pertanyaan saya adalah: Apakah saya boleh meminjami uang kepada keluarga tersebut sesuai kebutuhan renovasi gudang tersebut sampai menjadi layak huni, yaitu: sekitar 25.000 riyal. Kemudian saya mengharap kembalinya uang saya dari harta zakat dan shadaqah yang mereka terima ?, maksud saya adalah; saya membantu keuangan mereka dengan niat saya melunasinya sendiri dari uang zakat dan shadaqah dari keluarga saya ?
4. Apakah Dibolehkan Membiayai Anak Yatim Dari Harta Zakat ? (# 66116). Apakah dibolehkan membiayai anak yatim dari harta zakat ?
5. Mereka Yang Berhak Menerima Zakat (# 46209). Kemana saja harta zakat harus disalurkan ?
6. Penyaluran Zakat Pada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Untuk Fakir Miskin (# 215051). Kami sekumpulan pemuda mendirikan lembaga sosial dan pengembangan, semua yang disebutkan di bawah ini menjadi program kami yang telah kami lakukan dalam lembaga tersebut: Proyek Pengembangan:
1. Pembebasan buta huruf, dengan membeli buku-buku untuk diajarkan kepada mereka yang belum bisa membaca dan menulis.
2.Pencerahan tentang bahayanya merokok dan narkoba, dengan menyebarkan buletin dan ruqyah.
3. Mengangkat finansial para fakir miskin, dengan memberikan proyek kecil kepada mereka dengan harapan mereka mampu memenuhi nafkah hariannya dan kebutuhan rumah tangganya.
4. Semua program pengembangan, untuk membantu masyarakat agar lebih maju dan sejahtera. Proyek sosial:
5. Membagikan dan menyebarkan beberapa hal di bawah ini kepada fakir miskin yang membutuhkan.
a. Pembelian selimut dan permadani pada musim dingin.
b. Pembelian sembako
c. Bedah rumah (atap, dinding dan lain-lain) untuk keamanan dan rasa hangat
d.Pembelian obat-obatan
e. Membantu pelunasan hutang
f. Pembelian peralatan elektronik yang dibutuhkan
7. Pembelian pakaian (seragam, rumahan, hari raya, dan lain-lain)
8. Dan semua hal yang mengandung kemaslahatan bagi fakir miskin dan meringankan beban mereka.
Saat ini telah terkumpul iuran dari zakat mal dan sedekah untuk membantu fakir miskin, dan ternyata dana yang terkumpul lebih banyak dari harta zakat dari pada harta sedekah, kami juga telah mengetahui bahwa zakat mal wajib disalurkan kepada fakir miskin berupa uang yang langsung mereka terima, si fakir berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya, akan tetapi kami melihat ada beberapa orang fakir yang mengambil harta tersebut dan menggunakannya tidak untuk kebutuhan pokoknya, di sisi lain ada banyak para fakir miskin yang membutuhkan bantuan. Selanjutnya, kami juga mencari tahu tentang kondisi tempat tinggal orang fakir, dan membantu mencarikan solusi apa yang dia butuhkan, kami memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan harta zakat, dari pada kami berikan kepadanya uang yang akan dia habiskan, maka apakah yang demikian itu dibenarkan ? Apakah memungkinkan untuk menggunakan zakat mal untuk membantu mengembangkan proyek-proyek pengembangan ? Apakah mungkin menggunakan zakat mal untuk membantu membayarkan sewa bulanan untuk kantor yayasan ?
Teks Jawaban
1. Alhamdulillah.
Jika emas tersebut sudah sampai nisab atau anda masih mempunyai emas lain yang jika dijumlahkan akan mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah berlalu selama satu tahun, adapun kondisinya yang sedang digadaikan, hal itu tidak menghalangi kewajiban untuk dikeluarkan zakatnya; karena emas itu masih menjadi milik anda sepenuhnya.
An Nawawi –rahimahullah- dalam al Majmu’ (5/318) berkata: “Jika seseorang telah menggadaikan binatang ternak atau yang lainnya dari harta yang wajib dizakati dan sudah mencapai haul, maka tetap wajib dibayarkan zakatnya; karena masih menjadi miliknya sepenuhnya”. Syeikh Mansur al Buhuti –rahimahullah- berkata: “Diwajibkan zakat juga pada barang yang digadaikan, dan yang membayarnya adalah yang berhutang (menggadaikan ) jika diizinkan oleh yang memberi hutang (menerima gadai)”. (Kasyful Qana’ ‘an Matnil Iqna’: 2/175)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya: “Apakah wajib dikeluarkan zakat dari harta yang sedang digadaikan ?”
Beliau menjawab: “Harta yang digadaikan tetap wajib dikeluarkan zakatnya, jika termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi yang membayarnya adalah yang menggadaikan jika disepakati oleh yang menerima gadai. Sebagai contoh: seseorang telah menggadaikan kambing –kambing termasuk binatang ternak yang wajib dizakati- kepada seseorang, maka zakatnya tetap wajib dibayarkan; karena pergadaian tidak menggugurkan kewajiban zakat, dengan catatan juga diketahui oleh yang menerima gadai”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/34)
Jika yang memberi hutang (yang menerima gadai) tidak mengizinkan untuk dikeluarkan zakatnya, maka bisa jadi yang menggadaikan mengeluarkan zakatnya dari harta lain –jika ada- atau menunggu sampai selesai masa gadainya, baru kemudian dikeluarkan zakat dari beberapa tahun sebelumnya. Wallahu A’lam.
2. Alhamdulillah
Menjadi sebuah kewajiban bagi seseorang yang memiliki harta yang wajib dizakati untuk dibayarkan zakatnya, jika sudah mencapai haul, meskipun ia masih mempunyai tanggungan hutang menurut pendapat terkuat dari dua pendapat para ulama; berdasarkan umunya dalil akan kewajiban berzakat bagi yang telah memanuhi syarat.
Juga dikarenakan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu menyuruh para amil zakatnya untuk mengambil zakat dari semua orang yang sudah berkewajiban membayar zakat, beliau tidak menyuruh mereka untuk bertanya terlebih dahulu apakah masih mempunyai tanggungan hutang atau tidak ?, kalau saja hutang itu menjadi halangan wajibnya zakat, maka pasti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruh para amilnya untuk memperjelas status para muzakki apakah masih mempunyai tanggungan hutang atau tidak”. (Majmu’ Fatawa wa Maqlaat Mutanawwi’ah / Syeikh Abdul ‘Aziz bin Baaz: 14/51)
Beliau juga berkata pada fatwa yang lain dengan penjelasan yang serupa (14/25):
“….Namun jika anda melunasi hutang anda dengan uang yang ada di tangan anda saat ini sebelum mencapai haul (satu tahun), maka uang yang dipakai untuk melunasi hutang tersebut tidak terhitung harta yang wajib dizakati, artinya zakatnya dikeluarkan dari uang sisanya jika sampai nishab dan haul”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya oleh seseorang yang mempunyai modal sekitar 200.000 riyal, namun ia juga mempunyai hutang sekitar 20.000 riyal yang pelunasannya dicicil setiap tahunnya 10.000 riyal, apakah ia tetap mempunyai kewajiban berzakat?
Beliau menjawab:“Ya, ia wajib mengeluarkan zakat dari harta yang ada sekarang, karena dalil-dalil tentang kewajiban berzakat adalah umum, tidak dikecualikan sama sekali, termasuk yang mempunyai hutang. Dan jika dalil-dalilnya umum maka kita wajib mengamalkan keumumannya tersebut. Kemudian bahwa zakat itu adalah kewajibannya harta benda, sesuai dengan firman Allah:
( خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ واللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ) التوبة/103
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah: 103)
Demikian juga sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ketika Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:
( أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم )
“Ajarilah mereka bahwa Allah TELAH MEWAJIBKAN KEPADA MEREKA IBADAH ZAKAT dari harta benda mereka”.
Maka Allah dan Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa zakat itu dari harta benda yang ada, bukan terletak pada manusianya, sedangkan hutang itu menjadi tanggung jawab manusianya, ini adalah dua sisi yang berbeda. Maka HARTA YANG ADA DITANGAN ANDA SEKARANG TETAP WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA, SEDANGKAN HUTANG ADALAH MENJADI TANGGUNG JAWAB ANDA SENDIRI.
Maka seseorang hendaklah merasa takut kepada Rabbnya dengan mengeluarkan harta yang berada di tangannya, dan memohon pertolongan kepada Allah –ta’ala- agar diberikan kemampuan untuk melunasi hutangnya dengan berkata: “Ya Allah, (kami mohon kepada-Mu agar menolong kami) untuk melunasi hutang kami, dan jauhkan kami dari kefakiran”.
Bisa jadi dengan dikeluarkan zakat harta yang ada di tangan, menjadikan sebab berkahnya harta tersebut hingga mampu melunasi semua hutangnya. Juga bisa jadi dengan menahan zakatnya akan menjadi sebab kemiskinannya, karena terus menerus merasa kurang dan tidak menganggap dirinya termasuk muzakki. Bersyukurlah kepada Allah –‘azza wa jalla- yang menjadikan anda sebagai pemberi bukan penerima”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin: 18/39)
Beliau –rahimahullah- juga berkata dalam fatwa yang lain tentang masalah ini (18/38):
“…kecuali jika hutang itu segera harus dilunasi, ia pun ingin melunasinya, maka jika demikian kami katakan: “Lunasilah hutang anda, lalu zakatilah sisa harta anda jika sudah sampai nishab”.
Hal ini dikuatkan dengan pendapat para ulama fiqh madzhab hambali tentang zakat fitrah, mereka berkata: “Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat fitrah kecuali jika hutang tersebut sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi”.
Demikian juga sebuah atsar yang diriwayatkan dari Utsman –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata pada bulan Ramadhan:
( هذا شهر زكاتكم فمن كان عليه دين فليقضه )
“Bulan ini adalah bulan berzakat kalian, barang siapa mempunyai tanggungan hutang maka segera melunasinya”.
Hal ini menunjukkan jika hutangnya sudah jatuh tempo, dan ia ingin segera melunasinya, maka wajib didahulukan hutangnya dari pada zakat, sedangkan hutang yang masih jauh jatuh temponya, maka tidak menjadi penghalang untuk membayarkan zakat dari harta yang ada sekarang.
Disebutkan dalam Fatwa Lajnah Daimah 9/189: “Pendapat yang benar dari para ulama bahwa hutang tidak menjadi penghalang dari membayar zakat, karena dahulu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengutus para amilnya untuk mengumpulkan zakat dan tidak berkata: apakah para muzakkinya masih mempunyai hutang apa tidak ?.
3. Alhamdulillah
Dibolehkan bagi anda untuk meminjami uang kepada keluarga di atas yang sedang membutuhkan uang untuk merenovasi rumah mereka, kemudian untuk melunasinya diambilkan dari uang zakat yang mereka terima, karena posisi anda sebagai peminjam uang dan mereka yang mempunyai hutang, dan orang yang mempunyai hutang termasuk dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, dan tidak disyaratkan harta zakat diberikan kepada mereka dahulu, jadi boleh langsung dibayarkan kepada peminjam uang langsung. Semua ini jika memang terjadi hutang-piutang yang jelas antara anda dan mereka, demikian juga jika anda memberikan dana untuk merenovasi rumah mereka untuk menghentikan permusuhan sedang anda berniat kembalinya uang tersebut dari penerima zakat.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- mentarjih pendapat ketiga, yaitu; boleh membayarkan uang kepada yang berhak menerimanya –meskipun tidak ada permusuhan sebelumnya- dengan niat sebagai zakat dari salah seorang yang kaya, jika si kaya tadi meridhoi dan membolehkannya, maka uang tersebut sudah dianggap sebagai zakatnya.
Tiga opsi inilah yang boleh dalam masalah anda; yaitu: memberikan pinjaman yang jelas, memberikan harta kepada mereka untuk membantu sesama dengan niat uang itu akan kembali dari harta zakat, dan membayarkan hutang mereka dengan harta zakat seseorang yang memang mempunyai kewajiban membayar zakat, setelah dibayarkan baru dia dikabari bahwa zakatnya sudah dibayarkan.
Disebutkan dalam “Kasyful Qana’ ” (2/283): “Harta zakat yang dibayarkan kepada orang yang meminjami uang tanpa persetujuan si fakirnya, maka hukumnya tetap sah dan pemilik harta telah terbebas dari kewajiban membayarkan zakat; karena ia membayarkan zakat untuk melunasi hutang si fakir tadi, sama dengan ketika harta zakat tersebut dibayarkan kepada si fakir, baru si fakir membayarkan kepada anda”. Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ishlah dzatil bain (memperbaiki hubungan sesama) adalah seperti jika terjadi permusuhan antara dua kubu, lalu ada pihak ketiga yang mendamaikannya, dan bisa jadi tidak bisa damai kecuali dengan mengeluarkan uang, dengan berkata misalnya: “Saya menjamin masing-masing di antara kalian mendapatkan 10.000 riyal, dengan syarat berdamai. Mereka pun menerima tawaran tersebut, maka pihak ketiga di atas boleh diberikan 20.000 dari harta zakat karena teleh mendorong kedua belah pihak untuk berdamai.
Dan jika ia melunasinya dengan hartanya sendiri maka tidak perlu diberikan harta zakat, karena ia mampu melunasinya sendiri dan bukan termasuk “gharim” (orang yang mempunyai hutang).
Akan tetapi hal tersebut perlu dirinci, tetap diberikan harta zakat dalam dua kategori:
1.Jika belum mampu membayar hutangnya, berarti ia mempunyai tanggungan dan masih perlu dibantu.
2.Jika ia sudah mampu melunasi hutangnya dengan berniat terbebas sebagai orang yang berhak menerima zakat untuk menutup pintu ishlah. Sebagaimana firman Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
( لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ ) النساء/114؛
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”. (QS. An Nisa’: 114).
Dan karena kondisi yang menuntut untuk segera dibayarkan. (Syarh Mumti’: 6/233)
Beliau juga berkata:
“Para ulama mengatakan: Demikian juga bagi siapa saja yang melunasi hutang orang lain, jika berniat untuk menggugurkan maka ia boleh menggugurkan, meskipun tanpa seizinnya. Kecuali jika pelunasan hutang tersebut berkaitan dengan orang yang mempunyai hutang, maka ia tidak boleh menggugurkan tanpa izin, seperti: zakat dan kaffarat (denda); karena yang berkewajiban membayar zakat belum berniat juga tidak mewakilkannya.
Contoh:
Seseorang berkata: “Saya mau bergabung dengan para mujahid, maka berilah saya bagian tertentu dari harta zakat”. Saya sebelumnya telah mengetahui bahwa sahabatku tadi memiliki banyak harta yang wajib dizakati, maka orang tadi saya beri 30.000 sebagai zakat dari temanku, apakah bisa saya menggugurkannya?, jawabannya: tidak; karena bayar zakat harus dengan niat, dan disini yang wajib berzakat belum berniat, dan 30.000 tadi tidak akan hilang pahalanya shadahnya di sisi Allah diberikan kepada yang membayarnya.
Kalau seandainya saya memberitahu dia dengan berkata: “Saya telah membayarkan zakat anda”. Dan ia pun berkata: “Jazakallahu khoiran, saya mengizinkanmu untuk melakukan hal itu”. Madzab Hambali tidak membolehkan hal ini; karena tidak ada niat pada saat penyerahannya, namun pendapat yang benar adalah hal tersebut benar dan sah zakatnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- pada saat beliau menjaga kurma, posisi dia adalah wakil Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menjaga zakat fitrah. Suatu malam dia didatangi oleh syetan dan mengambil sebagian kurma, maka Abu Hurairah pun menangkapnya. Syetan tadi berujar: “Saya adalah orang yang miskin dan mempunyai keluarga”, Abu Hurairah pun terenyuh dan melepaskannya. Demikian juga pada malam kedua dan malam ketiga. Abu Hurairah pun berkata: “Kamu harus menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia pun takut kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: “Saya akan memberitahumu sebuah ayat yang jika kamu baca pada malam hari, maka Allah akan sediakan bagimu sang penjaga yang akan tetap menjagamu sampai pagi syetan pun tidak akan mendekatimu. Ia pun memberitahunya tentang ayat kursi. Pada pagi harinya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadanya: “Apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?”, beliau pun bersabda: “Ia jujur dengan perkataannya, meskipun sebenarnya ia adalah pendusta”. Beliau pun bertanya kepadanya: “Tahukah engkau siapa yang mendatangimu selama tiga malam ?”. Abu Hurairah menjawab: “Tidak”. Beliau pun bersabda: “Dia adalah syetan”.
Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dalam hadits di atas pada saat memberikan harta zakat ia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membolehkannya.
Maka yang benar adalah jika seseorang membayarkan zakat orang lain, dan orang tersebut membolehkannya maka hal itu dibolehkan. (Asy Syarhul Mumti’: 9/199). Wallahu a’lam.
4. Alhamdulillah
Zakat mempunyai tempat penyalurannya yang terbatas yang telah dijelaskan oleh Alloh –Ta’ala- dalam firman-Nya:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60 .
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60).
Jika anak yatim tersebut termasuk dari delapan golongan di atas, misalnya termasuk fakir atau miskin, maka boleh menyalurkan zakat kepadanya.
Hanya berstatus sebagai anak yatim maka dia tidak secara otomatis termasuk golongan penerima zakat, karena bisa jadi dia termasuk orang kaya yang mapan.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya tentang penyaluran zakat untuk menanggung biaya anak-anak yatim, maka beliau menjawab: “Anak-anak yatim yang fakir termasuk mereka yang berhak menerima zakat, jika harta zakat dibayarkan kepada wali mereka maka sudah dianggap sah, jika mereka semua amanah. Wali mereka diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka, dia pun hendaknya membelanjakannya sesuai dengan yang mereka butuhkan”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/346)
Beliau juga berkata: “Namun yang perlu diperhatikan, sebagian orang mengira bahwa anak yatim bagaimanapun statusnya mempunyai hak dari harta zakat, padahal tidak demikian bahwa anak yatim tidak termasuk mereka yang berhak menerima zakat, anak yatim tidak berhak menerima zakat kecuali jika mereka termasuk dari delapan golongan penerima zakat. Adapun jika hanya berstatus sebagai anak yatim, bisa jadi dia termasuk orang kaya yang tidak membutuhkan zakat”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/353)
Beliau juga berkata: “Wajib kita ketahui bahwa harta zakat itu bukan untuk anak-anak yatim, akan tetapi untuk mereka orang-orang fakir, miskin dan golongan penerima zakat lainnya. Bisa jadi anak yatim itu termasuk orang kaya, terkadang bapaknya telah mewarisi banyak harta, bisa jadi dia mendapatkan dana bulanan yang berasal dari bantual sosial atau dari sumber lainnya yang sudah cukup. Oleh karena itu kami berkata: “Diwajibkan bagi walinya anak yatim untuk tidak menerima harta zakat, jika anak yatim tersebut sudah mempunyai harta yang cukup”. Adapun sedekah hukumnya sunnah untuk diberikan kepada anak-anak yatim, meskipun mereka termasuk orang kaya”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/307)
Adapun pembayaran zakat kepada orang-orang fakir secara bertahap, telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 52852, bahwa yang demikian itu tidak boleh karena mengakhirkan penyaluran zakat setelah berlalunya satu tahun, kecuali jika pembayarannya didahulukan (sebelum satu tahun) maka boleh disalurkan secara bertahap kepada orang-orang fakir; karena tidak terjadi keterlambatan penyalurannya sejak awal diwajibkannya. Wallahu A’lam.
5. Alhamdulillah
Penyaluran harta zakat wajib dilakukan kepada delapan golongan, Alloh –Ta’ala- telah menjelaskan dengan rinci, Dia –‘Azza wa Jalla- juga telah mengabarkan bahwa hal itu wajib dan berdasarkan ilmu dan hikmah. Alloh –Jalla Dzikruhu- :
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60 .
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60).
Kepada delapan golongan tersebut zakat harus disalurkan.
Pertama dan kedua:
Mereka adalah orang-orang fakir dan miskin, diberikannya zakat kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. Perbedaan antara orang fakir dan orang miskin adalah bahwa orang fakir lebih sangat membutuhkan, tidak bisa mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya dalam waktu setengah tahun, sedangkan orang miskin, dia lebih tinggi statusnya dari pada orang fakir; karena mereka masih mendapatkan setengah kecukupannya atau lebih namun tidak sampai terpenuhi, mereka diberikan harta zakat karena mereka membutuhkan.
Akan tetapi bagaimana caranya memperkirakan kebutuhan tersebut ?
Para ulama berkata: “Mereka diberikan (zakat) karena kebutuhan mereka yang mencukupi mereka dan keluarganya untuk jangka waktu satu tahun; karena jangka waktu satu tahun jika sudah berlalu maka diwajibkan bayar zakat mal, sebagaimana “haul” (jangka waktu satu tahun) yang merupakan batasan waktu minimal untuk diwajibkannya zakat, maka sebaiknya haul juga menjadi batasan waktu minimal penyaluran zakat kepada orang-orang fakir dan miskin yang berhak menerima zakat. Ini merupakan pendapat yang baik dan bagus, yaitu; kita memberikan zakat kepada orang fakir dan miskin yang cukup bagi mereka dan keluarganya untuk kebutuhan selama satu tahun penuh, baik diberikan berupa barang, seperti; makanan, pakaian, atau diberikan berupa uang yang bisa dibelanjakan sesuai dengan kebutuhannya, atau diberikan kepadanya berupa alat tertentu untuk memproduksi barang tertentu, jika dia mampu memproduksinya, seperti; tukang jahit (tailor), tukang kayu, tukang besi atau yang serupa dengan itu. Yang penting kita memberinya sesuai kebutuhan dirinya dan keluarganya selama satu tahun.
Ketiga:
Mereka adalah para amil zakat, yang mereka ini ditunjuk dan diberi kekuasaan oleh waliul amri (penguasa setempat), oleh karenanya firman Alloh: ( وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا ) التوبة/60(para pengurus-pengurus zakat ), tidak difirmankan: العاملون فيها(para pengurus yang ada di dalamnya), Hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai legalitas, mereka merupakan petugas pemerintah yang mengumpulkan zakat penduduknya dan membagikannya kepada mereka, mencatatnya dan lain-lain. Para amilin zakat dari pemerintah tersebut diberi bagian dari zakat.
Namun berapa banyak yang diberikan kepada mereka ?
Para amil zakat tersebut mereka berhak mendapatkan zakat karena pekerjaan mereka, dan barang siapa yang mempunyai kreteria tersebut maka diberikan sesuai pekerjaannya tersebut, maka atas dasar itu mereka diberikan karena mereka sebagai amil, baik mereka itu termasuk orang kaya atau orang fakir; karena mereka mengambil zakat disebabkan pekerjaan mereka bukan karena mereka membutuhkan, maka mereka diberikan sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka. Jika mereka para amil zakat dianggap juga sebagai orang-orang fakir, maka mereka diberikan karena sebagai amil dan diberikan juga untuk kebutuhan selama satu tahun karena kefakirannya; karena mereka berhak menerima zakat dengan dua kreteria, sebagai amil dan karena orang fakir, maka berhak menerima dua bagian. Akan tetapi jika mereka kita berikan untuk bagian amil saja dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun, maka kita lengkapi bantuan kepadanya selama satu tahun, contohnya: “Jika kami prediksi bahwa mereka cukup dengan 10.000 riyal selama satu tahun, dan jika karena kefakiran mereka kami beri mereka 10.000 riyal, dan bagiannya sebagai amil adalah 2.000 riyal, maka kami berikan 2.000 riyal karena dia sebagai amil, dan kami berikan 8.000 riyal karena dia juga sebagai orang fakir.
Keempat:
Orang-orang muallaf, adalah mereka berhak menerima zakat karena untuk mendekatkan hati mereka kepada Islam, baik masih sebagai orang kafir yang diharapkan masuk Islam, ataupun seorang muslim agar menguatkan imannya di dalam hatinya, bisa juga diberikan kepada seorang yang jahat untuk mencegah kejahatannya kepada umat Islam, atau yang serupa dengan itu yang dengan mengendalikannya menjadi maslahat bagi umat Islam.
Akan tetapi apakah dia disyaratkan harus sebagai seorang tokoh yang ditaati di kaumnya hingga dengan mengendalikannya menjadi maslahat bagi banyak orang, atau dibolehkan untuk memberikan zakat untuk mengendalikannya secara personal dan maslahat bagi dia pribadi, seperti seseorang yang baru saja masuk Islam, membutuhkan pendekatan (pendekatan hatinya kepada Islam) dan penguatan imannya ?
Inilah yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama, yang lebih kuat bagi saya bahwa tidak masalah disalurkan zakat kepadanya untuk mendekatkan dirinya kepada Islam dengan menguatkan imannya, meskipun diberikan kepadanya secara personal dan bukan sebagai tokoh di kaumnya, berdasarkan keumuman firman-Nya:
( وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ ) “dan para mu'allaf yang didekatkan hatinya”. (QS. At Taubah: 60)
Dan jika dibolehkan untuk memberikan kepada orang fakir karena kebutuhan fisiknya, maka pemberian kami kepada orang yang lemah imannya ini untuk menguatkan imannya tentu lebih utama; karena penguatan iman bagi seseorang lebih penting dari pada konsumsi jasmani.
Keempat golongan di atas diberikan zakat kepada mereka sebagai hak milik, menjadi hak miliki sepenuhnya meskipun kreteria mereka tidak lagi sesuai pada pertengahan tahun, mereka tidak wajib mengembalikan zakat mereka, akan tetapi tetap halal bagi mereka; karena Allah mengabarkan kepemilikan mereka dengan huruf lam, sebagaimana dalam firman-Nya:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ )
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya…”. (QS. At Taubah: 60)
Dia Allah menggunakan huruf lam (ل ) yang mengandung faedah: “Bahwa seorang yang fakir jika pada pertengahan tahun telah berubah menjadi kaya, maka dia tidak wajib mengembalikan zakat yang diterimanya, misalnya telah kami berikan kepadanya 10.000 riyal karena kefakirannya dan jumlah itu cukup untuk selama setahun, kemudian Alloh menjadikannya orang kaya pada pertengahan tahun dengan pekerjaannya, atau karena mendapatkan warisan dari kerabatnya yang meninggal dunia, dan lain-lain. Maka tidak wajib baginya untuk mengembalikan sisa hartanya yang berasal dari harta zakat, karena sudah menjadi hak miliknya.
Golongan kelima yang berhak menerima zakat adalah: Perbudakan, berdasarkan firman Allah:
( وَفِي الرِّقَابِ ) “untuk (memerdekakan) budak”. (QS. At Taubah: 60)
Para ulama mentafsiri ar Riqaab menjadi tiga bagian:
1.Mukatab, budak yang membeli dirinya sendiri kepada tuannya dengan dibayar hutang yang menjadi tanggungannya, maka diberikan sesuai kesepakatan dengan tuannya.
2.Budak yang dimiliki secara penuh lalu dibeli dengan harta zakat agar menjadi merdeka.
3.Tawanan muslim yang ditahan oleh orang kafir, orang kafir tersebut diberikan dari harta zakat agar mereka tidak menyiksa tahanan tersebut. Demikian juga sebagai tebusan, jika ada orang kafir atau orang Islam yang menyandra salah seorang dari kaum muslimin, maka tidak masalah uang tebusannya diambilkan dari harta zakat; karena illah (sebabnya) satu, yaitu; membebaskan seorang muslim dari penahanan. Hal itu jika tidak ada cara lain untuk menebus para Sandra kecuali dengan tebusan uang dan para tahanan adalah kaum muslimin.
Keenam: Mereka para gharimin (yang mempunyai hutang), ghurm adalah hutang. Para ulama –rahimahullah- telah membagi hutang menjadi dua ulama: hutang untuk memperbaiki karib kerabat dan hutang untuk memenuhi kebutuhan. Adapun hutang untuk memperbaiki kerabat, mereka (para ulama) telah memberikan contoh jika terjadi permusuhan, pertengkaran atau perang antara dua kabilah. Kemudian ada orang baik, berwibawa dan ditokohkan yang datang untuk memperbaiki hubungan kedua belah pihak dengan bantuan dana yang ditanggung olehnya, maka kita memberikan kepada orang tersebut dana yang ditanggungnya dari harta zakat, sebagai balasan dari perbuatan baiknya yang telah dilakukan dengan menghilangkan permusuhan di antara kaum mukminin dan menjaga pertumpahan darah mereka. Orang tersebut diberikan harta zakat baik sebagai orang kaya atau orang fakir; karena kita tidak memberikan untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi kita berikan karena dia telah melakukan perbutan demi kemaslahatan umum.
Adapun bentuk hutang yang kedua: orang yang berhutang untuk dirinya sendiri, dia berhutang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan dan menjadi tanggungannya, namun dia tidak mempunyai uang, maka hutangnya dilunasi dari harta zakat dengan syarat dia tidak mempunyai uang untuk melunasi hutangnya.
Di sini ada masalah, mana yang lebih utama kita memberikan harta zakat kepada orang yang berhutang agar melunasi hutangnya sendiri, atau kita langsung pergi menemui orang yang dihutanngi untuk melunasinya ?
Ini tentu berbeda, jika orang yang berhutang sangat serius untuk melunasi hutangnya dan membebaskan tanggungannya, sedangkan dia termasuk orang yang amanah, maka kita salurkan dana zakat kepadanya untuk melunasi hutangnya sendiri; karena akan lebih menjaga rahasianya dan mejadikannya jauh dari rasa malu dari orang-orang yang menagihnya.
Adapun jika orang yang berhutang tersebut termasuk orang yang suka mubadzir dan memhamburkan harta, dan kalau kita berikan dana langsung kepadanya maka dia akan membeli sesuatu yang tidak penting, maka kita tidak perlu memberikan kepadanya, akan tetapi kita langsung pergi kepada orang yang dihutangi olehnya dan berkata kepadanya: “Berapa hutang fulan ini kepada anda ?”, kemudian kita bayarkan semua hutangnya atau sebagiannya sesuai dengan kemampuan yang ada.
Ketujuh: Mereka yang berada di jalan Allah, maksud dari fi sabilillah di sini adalah jihad fi sabilillah bukan yang lain, tidak boleh diartikan pada semua sisi kebaikan; karena jika yang dimaksud semua sisi kebaikan maka tidak ada gunanya pembatasan istilah dengan “fii sabilillah” pada firman Alloh:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Maksud fii sabilillah pada ayat tersebut adalah jihad fii sabilillah, orang yang berperang di jalan Allah disalurkan harta zakat. Mereka yang secara dzahir berperang untuk meninggikan kalimat Allah disalurkan harta zakat sesuai dengan kebutuhan mereka, untuk nafkah dan persenjataan, dan lain sebagainya. Dan boleh langsung dibelikan senjata bagi mereka dari harta zakat untuk berperang, dengan syarat peperangan tersebut harus di jalan Allah. Perang di jalan Allah telah dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat ditanya tentang orang yang berperang untuk membela kelompok, berperang karena keberanian, berperang agar dilihat ia berada di jalan Alloh ?, beliau bersabda:
( من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله )
“Barang siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dia berada di jalan Alloh”.
Seseorang yang berperang untuk membela kelompok negaranya atau yang lainnya untuk membela kelompok-kelompok lainnya, maka dia bukan termasuk yang berperang di jalan Allah yang berarti dia tidak berhak mendapatkan apa yang didapat oleh mereka yang berperang di jalan Allah, baik berupa harta duniawi ataupun urusan akherat. Seseorang yang berperang karena keberaniannya maksudnya dia menyukai perang karena dia berani –yang mempunyai sifat tersebut dan atas dasar apapun dia akan berangkat perang- maka dia bukan termasuk yang berperang di jalan Allah, dan orang yang berperang agar dilihat kedudukannya berperang karena riya’ dan sum’ah maka juga bukan termasuk yang berperang di jalan Alloh, dan semua orang yang tidak berperang di jalan Alloh maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat, karena Alloh –Ta’ala- berfirman:
( وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ( “Dan (yang berperang) di jalan Alloh”
Dan orang yang berperang di jalan Allah adalah orang yang berperang untuk meninggikan kalimat Alloh.
Para ulama berkata: “Dan termasuk fii sabilillah adalah seseorang yang memfokuskan diri untuk belajar ilmu syar’i, maka disalurkan kepadanya harta zakat sesuai dengan kebutuhannya, baik nafkah, pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal dan buku-buku yang dibutuhkan; karena ilmu syar’i bagian dari jihad fii sabilillah, bahkan Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “Ilmu itu tidak bisa digantikan dengan yang lain, bagi siapa yang niatnya benar”. Ilmu adalah asal dari syari’at semuanya, tidak ada syari’at kecuali dengan ilmu. Alloh –Subhanahu wa Ta’ala- telah menurunkan al Qur’an agar manusia bisa mampu melaksanakan keadilan, dan mempelajari hukum-hukum syari’at mereka dan apa yang menjadi konsekuensi dari akidah, ucapan dan perbuatan mereka. Sedangkan jihadi di jalan Alloh maka benar, ia termasuk amal yang paling mulia, bahkan menjadi ujung tombak dari Islam, tidak diragukan lagi tentang keutamaannya, akan tetapi ilmu juga memiliki peran penting dalam Islam, hingga menjadikan masuknya seseorang ke medan jihad di jalan Alloh menjadi jelas tidak ada masalah di dalamnya.
Kedelapan: Ibnu sabil, dia adalah seorang musafir yang perbekalannya habis di tengah jalan, maka disalurkan kepadanya harta zakat agar bisa pulang ke daerahnya, meskipun di daerahnya dia termasuk orang kaya; karena posisinya saat ini dia sedang membutuhkan, kita tidak mengatakan pada keadaan seperti itu: “Anda harus berhutang dan nanti wajib dilunasi”, karena kalau demikian kita telah memaksanya untuk membebaskan tanggungan hutangnya, akan tetapi jika dia memilih untuk berhutang dan tidak mau mengambil harta zakat maka silahkan saja. Jika kita mendapatkan seseorang yang bepergian dari Makkah menuju Madinah, dan di tengah perjalanan dia kehilangan bekalnya dan tidak mempunyai apa-apa lagi, padahal dia di kota Madinah termasuk orang kaya, maka kita berikan kepadanya zakat secukupnya agar dia bisa sampai Madinah saja, karena memang itulah kebutuhannya dan kita tidak memberinya lebih dari itu.
Dan jika kita telah mengetahui siapa saja yang berhak menerima zakat, maka selain dari pada itu baik yang berkaitan dengan kemaslahatan umum atau kemaslahatan khusus maka tidak bisa disalurkan zakat kepadanya, maka zakat tidak disalurkan untuk pembangunan masjid, tidak untuk memperbaiki jalan, tidak juga untuk membangun perkantoran dan lain sebagainya; karena Alloh –‘Azza wa Jalla- pada saat menyebutkan delapan golongan penerima zakat dalam firman-Nya:
( فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ). “…sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60)
Yaitu; bahwa pembagian tersebut hukumnya fardhu dari Alloh –‘Azza wa Jalla-.
Kemudian apakah semua mereka yang berhak menerima zakat, masing-masing harus disalurkan kepada mereka; karena huruf و (wawu) dalam ayat di atas menunjukkan penggabungan ?
Jawabannya:
Hal itu tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- pada saat dia diutus ke Yaman:
( أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم ، تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم )
“Beritahukan kepada mereka, bahwa Allah telah menetapkan kepada mereka zakat dari harta mereka, yang diambilkan dari para orang kaya di antara mereka lalu dikembalikan kepada para fakir mereka”. Di sini Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak menyebutkan kecuali satu golongan saja. Hal ini menunjukkan bahwa Alloh ingin menunjukkan pada ayat di atas siapa saja yang berhak menerima zakat, jadi maksudnya bukan mewajibkan agar semua golongan mendapatkan bagian zakat. Jika dikatakan: Kepada siapakah yang lebih utama penyaluran zakat dari delapan golongan penerima zakat tersebut ?
Jawaban kami: “Yang lebih utama adalah jika kebutuhannya lebih mendesak; karena semua mereka itu telah berhak menerima sesuai dengan kreterianya, dan barang siapa yang lebih membutuhkan maka dia lebih berhak menerimanya, secara umum mereka yang lebih membutuhkan adalah orang-orang fakir dan orang-orang miskin, oleh karenanya Alloh memulai delapan golongan tersebut dengan mereka:
( إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) التوبة/60 .
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 60). Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa Ibni Utsaimin: 18/331-339).
6. Alhamdulillah
Pertama:
Telah disebutkan dalam pertanyaan di atas bahwa dana yang masuk pada lembaga terdiri dari dua bagian:
1. Shodaqah yang hukumnya sunnah
2. Shodaqah yang hukumnya wajib (zakat)
Adapun shadaqah yang sunnah, maka penyalurannya sangat luas, selama anda telah memberitahukan kepada donatur instansi-instansi mana yang menjadi penyaluran dana tersebut, hendaknya memperhatikan permintaan donatur dalam penyalurannya dan tidak melampaui penyaluran yang lain, kecuali jika pihak donatur menyerahkan sepenuhnya kepada anda dalam hal penyaluran dana tersebut, atau karena dia tidak mampu menyalurkan sendiri kepada instansi yang sudah ditentukan, maka hendaknya anda mencari instansi yang mirip dengan kreteria pihak donatur.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Harta yang dikumpulkan untuk tujuan tertentu, tidak boleh disalurkan kecuali untuk tujuan tersebut selama masih bisa dijalankan”. (Liqo Babil Maftuh: 43)
Kedua:
Adapun zakat yang wajib maka tidak boleh disalurkan kecuali kepada delapan golongan yang telah dijelaskan oleh Allah –Ta’ala- dalam kitab-Nya. Hukum asalnya adalah zakat tersebut disalurkan kepada mustahik (yang berhak menerimanya) dalam bentuk dana agar bisa digunakan sesuai dengan kebutuhannya, namun dikecualikan keadaan mustahik zakat yang tidak memungkinkan, seperti; karena gila, masih anak-anak, tidak mudah faham, atau telah meminta izin kepada mustahik untuk dibelikan kebutuhannya maka dalam kondisi seperti itu pihak penyalur menjadi wakilnya untuk membelikannya.
Ketiga:
Adapun untuk keperluan membayar sewa kantor yayasan maka tidak boleh menggunakan harta zakat.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya: “Sebuah yayasan sosial yang mengumpulkan harta zakat dan membagikannya kepada fakir miskin, saat ini yayasan tersebut menggunakan gedung milik saya, maka apakah yayasan boleh menggunakan dana zakat untuk membayar sewa gedung tersebut ?”
Beliau menjawab: “Harta zakat tidak boleh dibayarkan untuk sewa gedung, kemudian menjadi kewajiban yayasan tersebut untuk bekerja seperti yayasan lain, yaitu: merinci penerimaan dana, untuk pos zakat, pos shadaqah, pos untuk program sosial yang umum. Yang penting yayasan tersebut hendaknya memisahkan antara zakat dan lainnya. Penanya: “Wahai Syeikh, kami tidak mendapatkan dana yang cukup dari pos shadaqah dan donasi yang lain untuk biaya sewa ?” Syeikh: “Jika tidak cukup, anda mintakan kepada orang tertentu untuk bisa sewa kantor tersebut”. (Liqo Bab Maftuh: 12/141)
Keempat:
Penyaluran dana zakat untuk pendanaan proyek pengembangan tersebut hendaknya dirinci sebagai berikut:
1. Adapun penggunaan dana zakat untuk pembelian buku-buku guna mengajarkan mereka yang buta huruf, hukum asalnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan harta zakat tersebut harus dimiliki dulu oleh mereka, maka anda tidak dibolehkan membelikan buku dari harta zakat yang menjadi hak orang fakir, kecuali jika orang fakir tersebut memang membutuhkannya dan tidak bisa belanja sendiri dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf kedua, namun apabila seorang fakir tersebut meminta untuk dibelikan buku dari harta zakat tersebut untuk mengangkat kebodohannya dalam hal agamanya, atau dia membutuhkannya untuk kemaslahatan dunianya yang akan membantunya mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya, maka hal tersebut menjadi bagian dari kebutuhan orang fakir yang berhak menerima zakat.
Al Mardawi berkata: “Syeikh Taqiyuddin telah memilih pendapat: “Boleh diambilkan dari harta zakat untuk membeli buku-buku (yang bermanfaat dan yang sangat penting) untuk kemaslahatan agamanya dan dunianya, dan inilah pendapat yang benar”. (Al Inshaf: 3/218)
Demikian juga dibolehkan untuk membeli buku-buku agama dari harta zakat untuk membantu mereka yang fokus dalam mencari ilmu, pendirian perpustakaan yang syar’i untuk membantu memperdalam ilmu agama. Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Pendapat kami adalah dibolehkan menyalurkan harta zakat bagi para pencari ilmu yang fokus untuk belajar, jika ilmu yang dipelajari adalah ilmu syar’i (agama); karena agama akan tegak dengan ilmu dan senjata, Alloh –Ta’ala- berfirman:
( يَاأَيُّهَاالنَّبِىُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ)
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya”. (QS. At Taubah: 73)
Sebagaimana diketahui bahwa jihad dengan orang-orang munafik itu dengan ilmu tidak dengan senjata, atas dasar inilah maka menyalurkan zakat kepada mereka untuk nafkah mereka, atau buku-buku yang mereka perlukan, baik untuk dimiliki secara pribadi atau untuk umum seperti buku-buku yang ditaruh di perpustakaan yang selalu dikunjungi oleh para pencari ilmu; karena buku bagi para pencari ilmu laksana pedang dan senapan atau yang serupa dengan keduanya yang dimiliki oleh seorang pejuang.
Adapun pembangunan asrama dan sekolah bagi para pencari ilmu, maka pendapat saya cenderung membolehkan penyaluran zakat untuk hal tersebut, adapun perbedaannya dengan disalurkan untuk membeli buku adalah pemanfaatan buku sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu, karena tidak mungkin mendapatkan ilmu kecuali dengan buku-buku, berbeda dengan asrama dan sekolah-sekolah, akan tetapi jika para pencari ilmu itu banyak yang fakir, kemudian mereka disewakan asrama dari harta zakat, maka dari sisi ini maka harta zakat yang mereka terima diambilkan dari jatah orang-orang fakir, mereka berhak mendapatkannya karena kefakiran mereka, demikian juga untuk pembangunan sekolah-sekolah, karena tidak memungkinkan untuk belajar di masjid-masjid”. (Majmu’ Fatawa: 18/392)
2. Sedangkan penyaluran zakat untuk pencerahan akan bahaya merokok dan narkotika, dengan menyebarkan selebaran dan ruqyah, maka tidak dibolehkan; karena hal itu bukan sebagai pos penyaluran zakat; maka cukup membantunya dengan dana shadaqah umum yang masuk kepada anda.
3. Adapun penyaluran zakat untuk proyek-proyek orang-orang fakir agar mereka mendapatkan rizki dari proyek tersebut, maka ada dua gambaran:
Pertama:
Jika kepemilikan akhir dari proyek tersebut tidak untuk mereka orang fakir, jadi penyaluran zakatnya untuk membeli tempat atau peralatan yang dibutuhkan dan menjadi hak milik untuk umum bagi yayasan atau yang lainnya, para mustahik zakat sebagai penyewa di tempat tersebut, maka tidak boleh disalurkan dengan cara seperti itu, karena tidak ada kepemilikan yang kembali kepada mustahik baik diawal maupun diakhirnya, akan tetapi penyaluran tersebut sama dengan wakaf, dan ada perbedaan antara harta wakaf dan harta zakat.
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah (9/451):
“Tidak boleh bagi yayasan sosial untuk membangun rumah atau yang serupa dengannya dengan dana yang bersumber dari harta zakat yang menjadi hak milik orang-orang yang membutuhkannya dan akan bermanfaat bagi mereka sebagai tempat tinggal atau disewakan; karena kepemilikan zakat tersebut akan beralih kepada yang tidak berhak menerimanya, di samping itu juga akan menyebabkan hilangnya kepemilikan aslinya, juga karena pemanfaatan yang bersifat khusus dan adanya keterlambatan sampainya kepada mustahik, juga karena adanya keputusan yang kemaslahatannya akan kembali kepada pihak pengelola.
Secara umum sudah pernah dicoba dan gagal, disamping itu juga bertentangan dengan nash tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syari’at”.
Kedua:
Harta zakatnya menjadi hak milik bagi mustahik, dengan cara memberikan kepadanya harta zakat untuk dibelanjalan peralatan profesi tertentu sehingga dengannya dia bisa mendapatkan uang, atau harta tersebut dijadikan modal untuk bisnis tertentu yang mampu dia lakukan, maka yang demikian itu tidak masalah menggunakan harta zakat.
Ar Romli asy Syafi’i berkata:
“Barang siapa yang mampu melakukan profesi tertentu dan mendapatkan hasil yang cukup darinya, maka boleh diberikan seharga peralatan profesi tersebut meskipun mahal harganya, atau ada yang mampu berdagang, maka diberikan bantuan modal yang cukup dan kemungkinan besar akan untung disesuaikan dengan kebiasaan pada daerahnya”. (Nihayatul Muhtaj: 6/161)
Pendapat tersebut salah satu pendapat Imam Ahmad. Al Mardawi berkata: “Dan dari beliau juga, dia selalu mengambil sesuai kebutuhannya, untuk berdagang atau alat produksi atau yang lainnya, merupakan pendapat yang dipilihnya dalam al Faiq, pendapat ini juga disebutkan dalam Ar Ri’ayah”. (Al Inshaf: 3/238)
Syeikh Islam –rahimahullah- berkata: “Dibolehkan mengambil dari zakat untuk keperluan hidupnya sehari-hari, meskipun tidak berupa uang. Dikatakan kepada Imam Ahmad –rahimahullah-: “Seseorang yang mempunyai tanaman, namun tidak mendapatkan untuk dipanen, apakah dia boleh menerima penyaluran zakat ?, beliau menjawab: “Ya , dia boleh menerimanya”. (Al Mustadrak ‘ala Fatawa Ibnu Taimiyah: 1/132). Wallahu a’lam.\
**************************
**************************
Semua Pertanyaan dijawab oleh Tim Islam Q&A yang disupervisi oleh Syaikh Muhammed Salih al-Munajjid. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar. Email: ustazsofyan@gmail.com