Pertanyaan:
:
1. Perbedaan Antara Qurban Dengan
Zakat. Assalamu
'alaikum wr. wb. Ustdz yang dimuliakan Allah, perkenankan saya ingin
mengajukan pertanyaan seputar masalah penyembelihan hewan qurban. Khususnya
mohon dijelaskan perbedaan prinsip antara ibadah qurban dengan zakat. Sebab
banyak berkembang pemahaman kita yang awam ini tentang qurban yang dianggap
sama dengan zakat, yaitu sama-sama ibadah sosial yang tujuannya semata-mata
berbagi dengan fakir miskin. Apakah pendapat itu benar adanya atau tidak, mohon
diberikan penegasan. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih banyak. Wassalam
2. Bolehkah Bayar Zakat Fithr dengan
Uang? Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebentar lagi Ramdhan dan tiap pada akhir Romadhan Umat
Islam yang menjalankan puasa diwajibkan membayar zakat fithr. Pertanyaan
saya adalah:
(a). Bolehkah membayar zakat fithr dengan
sejumlah uang yang telah ditetapkan besarannya sesuai dengan harga 2.5 kg
beras? Misal harga beras perkg adalah Rp. 10.000,-, maka zakat fithr yang
dibayarkan adalah Rp. 25.000,-
(b). Dan bagaimanakah mekanisme pembagian zakat fithr berupa
uang itu? Apakah harus dirupakan ke dalam beras lagi baru dibagi atau dibagi
tetap dalam bentuk uang dibagi ke para mustahiq? Jazakallah khair
Jawaban :
1. Apa
yang berkembang di tengah masyarakat untuk menyamakan antara qurban dan zakat,
sedikit banyak memang ada benarnya. Pada salah satu dimensi kecil ibadah
qurban, memang kita temukan nuansa sosial, yaitu ketika daging qurban itu
diberikan kepada fakir miskin. Namun tujuan utama penyembelihan hewan qurban
bukan terletak pada dimensi sosialnya. Jadi meski sama-sama punya dimensi
sosial dan terkait dengan ibadah yang menggunakan harta benda (ibadah maliyah),
namun keduanya tetap saja berbeda. Dan kalau kita dalamilebih jauh,
ternyata perbedaan antara qurban dan zakat cukup banyak, dan bukan hanya pada
tataran teknis, tetapi termasuk juga pada tataran perbedaan prinsip dasar.
Oleh karena itu sebagai muslim yang baik, kita perlu mempelajari
lebih dalam masing-masing karakter antara qurban dengan zakat. Tujuannya agar
ibadah kita bisa lebih optimal, dan tentu saja tujuan utamanya adalah demi
terjaganya keaslian (ashalah) syariah Islam yang kita
jalankan. Diantara sekian banyak perbedaan antara qurban dengan zakat adalah :
(a). Qurban Hukumnya Sunnah Zakat Hukumnya Wajib
Satu perbedaan
yang paling fundamental antara qurban dan zakat adalah dari sisi hukumnya. Ibadah menyembelih hewan qurban hukumnya bukan
wajib melainkan sunnah muakkadah. Sedangkan hukum mengeluarkan harta zakat bagi
yang sudah memenuhi ketentuannya adalah WAJIB. Oleh karena itu, secara logika
dasar, seharusnya kita lebih mendahulukan dan mementingkan bayar zakat
ketimbang berqurban. Jangan sampai terbalik, berqurban terlalu rajin tetapi
bayar zakat malah tidak pernah.
(b). Qurban : Ibadah Ritual, Zakat : Ibadah Sosial
Yang dimaksud
dengan ibadah ritual adalah ibadah yang maknanya tidak bisa dipahami dengan
akal sehat dan nalar yang logis. Segala tata cara dan ketentuannya telah
ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Dan terkadang memang kita sulit memahaminya
dengan akal sehat. Oleh karena itu para ulama sering menyebut ibadah ritual
dengan julukan : ibadah gairu ma'qulil ma'na (غير معقول المعنى).
Sebuah jenis ibadah yang maknanya tidak bisa didekati dengan nalar dan logika. Dalam
hal ini, intisari ibadah qurban tidak terletak pada sedekah dan bagi-bagi
daging kepada fakir miskin, tetapi justru pada penyembelihannya itu sendiri.
Asalkan hewan qurban itu sudah disembelih dengan benar, maka selesailah sudah
ibadahnya. Adapun dagingnya mau dimakan atau mau dibuang, itu lain urusan.
Ketika Nabi
Ibarahim alaihissalam selesai menyembelih kambing, tidak ada
saat itu acara bagi-bagi daging kambing kepada masyarakat. Memang kebetulan
tempat dimana beliau menyembelih itu, yaitu Mina, saat itu memang tidak ada
penduduknya. Namun meski dagingnya cuma dibuang begitu saja, ritual
penyembelihan qurban sudah sah, dan persembahan kepada Allah tentu sudah diterima.
Dan ternyata 40 abad kemudian, yaitu hari ini, Mina sebagai tempat
penyembelihan hewan qurban, dam dan hadyu, tetap saja masih tidak berpenghuni.
Mina didatangi manusia dalam setahun cuma empat hari saja, yaitu tanggal
10,11,12 dan 13 Dzulhijjah. Di luar keempat hari itu, Mina kosong tak berpenghuni.
Sebaliknya, di
empat hari itu, tiba-tiba jutaan manusia tumplek ke Mina dan masing-masing bawa
hewan ternak untuk disembelih. Maka jutaan tubuh hewan qurban itu dibuang
begitu saja. Kalau pun sebagiannya dibekukan atau dikemas dalam kaleng, tetap
saja tidak akan bisa mengkover seluruhnya. Sebab jumlah hewannya bisa jutaan
ekor. Akibatnya, hewan-hewan sembelihan itu dibiarkan begitu saja membusuk.
Nah, inilah yang secara nalar sulit diterima akal sehat, tetapi karena memang
menyembelih qurban itu merupakan ibadah ritual, hukumnya sudah sah, walaupun
dagingnya cuma dibuang dan dimakan hewan pemakan bangkai. Oleh karena itu, yang
lebih afdhal dan utama, kita sendirilah yang melakukan penyembelihannya,
setidaknya ikut menghadiri penyembelihan itu. Sebab ibadahnya justru pada
penyembelihannya dan bukan pada distribusi dagingnya.
Kalau kita
berniat mau memberi makan fakir miskin, apalagi ingin mengangkat mereka dari
kemiskinannya, justru sebaiknya kita tidak usah berqurban, tetapi kita memberi
zakat, infaq atau sedekah. Sebab zakat memang semata-mata bertujuan unntuk
memberikan harta kepada mereka. Dan bentuknya tidak harus berupa daging. Kita
bisa beri mereka dalam bentuk uang, karena mereka justru lebih membutuhkan uang
ketimbang daging. Sebab barangkali mereka perlu bayar kontrakan rumah yang
sudah menunggak beberapa bulan. Dan bisa juga dijadkan sebagai biaya sekolah
anak, atau biaya untuk berobat ke rumah sakit dan seterusnya. Dan tidak
mungkn bagi orag miskin membayar semua kebutuhan hidup itu dengan memakai
daging qurban. Sebab daging qurban bukan alat pembayaran yang sah. Mana mau
sekolah dibayar dengan daging qurban?
(c). Penerima Qurban Berbeda Dengan Penerima Zakat
Yang berhak
makan daging qurban amat luas. Dan boleh dibilang siapa saja boleh memakannya,
termasuk yang utama adalah kita sendiri yang menyembelih, malah disunnahkan
untuk ikut memakannya.
Selain itu,
daging hewan qurban itu boleh kita hadiahkan kepada siapa saja yang kita sukai,
tidak harus mereka yang miskin. Orang kaya dan makmur hidupnya, boleh saja kita
hadiahkan. Bahkan boleh jadi di kaya itu pun menyembelih hewan qurban juga.
Malah bisa saja dia lebih banyak menyembelih hewan ketimbang kita. Ibaratnya,
kita cuma menyembelih seekor kambing kurus. Sedangkan tetangga kita yang kaya
raya itu menyembelih sapi, buan cuma seekor tetapi tujuh ekor sendirian. Tetap
saja kita boleh memberinya hadiah kantung daging kambing yang kita sembelih
kepadanya.
Bagaimana
dengan zakat?
Syariat Islam
tegas menyebutkan bahwa penerima zakat amat terbatas, yaitu hanya apabila
mereka termasuk salah satu dari delapan ashnaf. Dan ketentuan itu tidak bisa
diotak-atik seenaknya. Sebab yang menetapkan langusng Allah SWT dan bukan kita.
Bahkan janda dan anak yatim sekali pun, bukan termasuk ashnaf yang berhak
menerima zakat, selama mereka bukan orang miskin. Masjid, madrasah, pesantren
dan pengajian majelis taklim juga bukan penerima zakat yang sah.
Orang kafir
dan keluarga Nabi SAW juga termasuk yang diharamkn menerima harta zakat.
Sedangkan
daging hewan qurban, boleh saja dimakan oleh orang orang kafir dan keluarga
Nabi SAW. Satu saja yang haram dilakukan atas daging qurban, yaitu dijual atau
dijadikan alat pembayaran jagal dan panitia. Jagal dan panitia boleh ikut
makan, tetapi bukan dalam rangka 'upah' dan 'honor' kerja mereka.
(d). Qurban Harus Berbentuk Hewan Tertentu Yang Disembelih
Namanya saja
qurban, maka bentuknya harus berwujud hewan tertentu yang disembelih. Jenis
hewannya pun tidak boleh sembarangan, harus kambing, sapi dan unta, atau
variannya. Menyembelih ayam walaupun jumlahnya 200 ekor, tetap saja tidak
bisa dibilang qurban. Begitu juga menyembelih burung perkutut juara berkicau
yang harganya ratusan juta, tetap saja tidak sah untuk dijadikan hewan qurban.
Dan menyembelih gajah, badak atau kuda nil yang bobotnya jauh melebihi unta pun
tidak sah sebagai qurban.
Sedangkan
zakat, bentuknya bisa berupa uang tunai, tetapi bisa juga dalam bentuk hewan,
hasil panen, emas, perak, dan lainnya. Semua tergantung jenis zakatnya.
(e). Qurban Tidak Mensyariatkan Amil
Ibadah
penyembelihan hewan qurban tidak mensyariatkan keberadaan amil qurban
sebagaimana lazimnya zakat. Kalau ada semacam kepanitiaan penyembelihan hewan
qurban, statusnya jauh berbeda dengan status amil zakat.
Keberadaan
amil zakat ditetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim, bahkan apa yang menjadi hak
amil zakat pun jelas landasannya. Karena dari delapat ashnaf penerima zakat,
amil zakat malah berada dalam urutan ketiga, setelah fakir dan miskin. Artinya,
amil zakat memang diperlukan keberadaannya dan diakui hak-haknya. Jumhur
ulama sepakat bahwa hak amil adalah 1/8 atau 12,5% dari total harta zakat yang
terkumpul.
Bagaimana
dengan panitia qurban?
Al-Quran sama
sekali tidak menyebut-nyebut pensyariatan panitia penyembelihan hewan qurban.
Dan wujudnya di dalam kehidupan Rasulullah SAW pun tidak sepeti masa sekarang
ini. Ali bin AbuThalib radhiyallahuanhu pernah
dimintai tolong oleh Rasulullah SAW untuk mengurus hewan-hewan qurban. Tetapi
sifatnya memang benar-benar menolong secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan
atau pamrih apa pun. Dan tetap saja Rasulullah SAW tidak pernah mendirikan
institusi yang disebut sebagai panitia penyembelihan hewan qurban. Sebagaimana
beliau juga tidak pernah mendirikan panitia penyelenggaraan Shalat Idul Fithri
dan Shalat Idul Adha.
Namun bukan
berarti keberadaan panitia qurban itu menjadi bid'ah atau terlarang,
mentang-mentang di masa Nabi SAW tidak pernah didirikan. Hanya yang perlu kita
catat, keberadaan panitia itu sifatnya teknis saja sesuai dengan kebutuhan.
(f). Amil Qurban Tidak Boleh Diupah Dengan Daging Qurban
Harus
dijelaskan dengan gamblang bahwa bukan tidak boleh buat panitia ikut makan dan
kebagian pembagian daging hewan qurban. Kalau orang kafir saja dibolehkan ikut
makan dan kebagian daging qurban, masak panitia yang membagikan malah tidak
boleh ikut makan dan tidak boleh kebagian? Yang tidak boleh buat panitia itu
bukan ikut makan atau kebagian daging, tetapi yang diharamkan adalah panitia
mengambil daging atau bagian tubuh hewan qurban sebagai upah atau honor.
Kalau sebagai anggota masyarakat yang menerima pembagian, tentu boleh saja
hukumnya.
Sayangnya,
banyak orang yang susah membedakan antara pembagian daging dan upah lelah jadi
panitia. Ada begitu banyak panitia penyembelihan hewan qurban yang merasa
dirinya seperti amil zakat, yaitu merasa berhak mendapatkan imbalan dari daging
hewan. Buktinya, kalau dalam pembagian daging, masyarakat cuma dapat satu
kantung untuk tiap kepala keluarga, maka anggota panitia qurban bisa bawa
pulang 5 hingga 10 kantung. Bahkan masih ditambah lagi jatah kepala, kaki,
kulit dan lainnya. Bahkan panitia merasa berhak menjual kepala, kulit, kaki dan
bagian lain dari tubuh hewan qurban, lalu uangnya dibagi-bagi sebagai 'honor'
tambahan. Seolah-olah hewan qurban yang sudah diserahkan oleh pemiliknya itu
100% berubah jadi milik panitia secara mutlak.
Lalu apakah
panitia tidak boleh diberi uang lelah? Jawabnya tentu saja boleh, bahkan sudah
seharusnya mereka dibayar secara profesional. Selain dapat jatah pembagian
daging, kantung mereka seharusnya diisi dengan uang, misalnya masing-masing
dapat 200 ribu bersih. Cuma yang jadi catatan, sumber uang honor buat panitia
itu harus diambilkan dari luar bagian hewan qurban. Misalnya, pihak yang
menitipkan hewan qurban memberikan uang kelebihan di luar harga kambing.
Katakanlah untuk seekor kambing yang dititipkan, ada uang jasa panitia sebenar
200 ribu.
Bagaimana
dengan zakat?
Nah, disinilah
bedanya qurban dengan zakat. Di dalam syariat zakat, amil zakat bukan cuma
boleh digaji, tetapi malah wajib digaji dan gajinya diambilnya dari harta zakat
yang terkumpul. Dengan kata lain, amil zakat berhak MEMOTONG dana zakat sampai
12,5% alias 1/8 bagian. Sebuah angka yang cukup tinggi nilainya. Dan hal itu
diharamkan dalam kepanitiaan penyembelihan hewan qurban.
(g). Qurban Tidak Memberlakukan Nishab, Haul dan Kadar Yang Dikeluarkan
Dalam zakat
kita mengenal nishab, haul dan kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Bila suatu
harta belum mencapai nilai nishab dan masa kepemilikanya belum satu haul
(tahun), maka belum wajib zakat. Misalnya orang yang punya 80 gram emas, tentu
belum wajib berzakat, karena nishab emas yang 85 gram belum terpenuhi. Atau
mungkin emasnya 100 gram, tetapi masa kepemilikannya belum genap setahun, maka
jua tidak wajib berzakat. Ketika nishab dan haulnya sudah terpenuhi, barulah
wajib dikeluarkan zakatnya. Itu pun masih ada hitungan dan ketentuannya, yaitu
yang wajib dizakati hanya sekian persen saja.
Bagaimana
dengan qurban?
Kita tidak
mengenal batas nishab dan haul dalam penyembelihan hewan qurban. Tidak ada
batas minimal dan nilai tertentu yang mewajibkan seseorang berqurban. Dan hewan
qurban atau pun uang untuk membelinya tidak harus dimiliki dulu selama setahun.
Dalam ibadah qurban, siapa saja yang merasa mampu membeli hewan qurban,
silahkan saja dia menyembelihnya. Orang yang jumlah kekayaannya trilyunan boleh
saja menyembelih seekor kambing. Sedangkan yang jumlah kekayaannya cuma
milyaran, boleh menyembelih sapi. Semua boleh dilakukan suka-suka, toh hukumnya
pun bukan kewajiban.
(h). Waktu Pelaksanaan
Di antara
perbedaan antara qurban dengan zakat adalah dalam masalah waktu pelaksanaan.
Qurban dilaksanakan seusai shalat Idul Adha, hingga tiga atau empat hari
berikutnya. Tepatnya sejak selesai shalat Idul Adha pada tanggal 10 dan
berakhir hingga masuk Maghrib di tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Berarti total
selama empat hari lamanya.
Sedangkan
waktu untuk melaksanakan ibadah zakat, tentu berbeda dengan qurban.
Khusus untuk
zakat al-fithr, dilakukan sebelum shalat Idul Fithri. Dan sudah boleh dilakukan
sejak 2 atau 3 hari sebelumnya. Bahkan ada pendapat ulama yang membolehkan
dilakukan sejak awal Ramadhan. Di luar zakat al-Fithr, waktu pelaksaan
zakat-zakat yang lain malah sepanjang tahun tanpa ada batasnya. Dua belas bulan
dalam setahun, 30 hari dalam sebulan, dan 7 hari dalam seminggu, semua adalah
waktu untuk berzakat. Semua kembali kepada jatuh tempo masa kepemilikan yang
sudah memenuhi haul sejak tembus nilai nishabnya. Zakat pertanian, rikaz
dan ma'adin dikeluarkan saat seseorang menerima harta itu.
Prinsipnya,
setiap jenis harta ada waktunya sendiri-sendiri untuk membayarkan zakatnya.
Sehingga orang yang punya beberapa jenis harta yang berbeda, bisa saja dalam
setahun mengeluarkan zakat berkali-kali. Hari ini bayar zakat panen hasil
pertanian, besok bayar zakat ternak, lusa bayar zakat simpanan emas dan perak,
setelah itu bayar zakat al-fithr dan begitu seterusnya.
Sedangkan
penyembelihan hewan qurban hanya boleh dilakukan dalam empat hari itu saja. Di
luar empat hari yang sudah ditetapkan, sudah tidak sah lagi sebagai qurban.
Sebenarnya
masih banyak lagi perbedaan antara qurban dengan zakat. Tetapi penulis cukupkan
saja sampai disini. Semoga bermanfaat.
2. Bolehkah Bayar Zakat Fithr dengan Uang?. Pertanyaan yang anda sampaikan ini sejak dahulu memang sudah menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Dan kalau kita telusuri lebih jauh ke lubuk terdalam ke dunia ilmu fiqih, rupanya memang telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para pakarnya. Ada perbedaan pendapat antara jumhur (mayoritas) ulama di masa lalu dengan mazhab Al-Hanafiyah. Rinciannya sebagai berikut :
2. Bolehkah Bayar Zakat Fithr dengan Uang?. Pertanyaan yang anda sampaikan ini sejak dahulu memang sudah menjadi bahan pertanyaan masyarakat. Dan kalau kita telusuri lebih jauh ke lubuk terdalam ke dunia ilmu fiqih, rupanya memang telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para pakarnya. Ada perbedaan pendapat antara jumhur (mayoritas) ulama di masa lalu dengan mazhab Al-Hanafiyah. Rinciannya sebagai berikut :
(a). Jumhur Ulama : Tidak Boleh
Mazhab
Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah yang merupakan tiga mazhab besar
dan bisa kita sebut sebagai jumhur (mayoritas) ulama, telah sepakat mengatakan
bahwa zakat al-fithr itu harus dikeluarkan sebagaimana aslinya, yaitu dalam
bantuk makanan pokok yang masih mentah.
Apabila hanya diberikan dalam bentuk uang yang senilai, maka dalam
pandangan mereka, zakat itu belum sah ditunaikan. Istilah yang digunakan adalah
lam yujzi’uhu (لم يجزئه).
Al-Imam Ahmad
rahimahullah memandang bahwa hal itu menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Suatu
ketika pernah ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini, yaitu bolehkah
zakat al-fithr diganti dengan uang saja, maka beliau pun menjawab,”Aku khawatir
zakatnya belum ditunaikan, lantaran menyalahi sunnah Rasulullah SAW”. Orang
yang bertanya itu penasaran dan balik bertanya,”Orang-orang bilang bahwa
Umar bin Abdul Aziz membolehkan bayar zakat al-fithr dengan uang yang senilai”.
Al-Imam Ahmad pun menjawab,”Apakah mereka meninggalkan perkataan Rasulullah
SAW dan mengambil perkataan si fulan?”. Beliau pun membacakan hadits Ibnu
Umar tentang zakat al-fithr.
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ زَكَاةَ الفِطْرِ
مِنْ رَمَضَانَ عَلىَ الناَّسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ
عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المـسْلِمِين
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
memfardhukan zakat fithr bulan Ramadhan kepada manusia sebesar satu shaa' kurma
atau sya'ir, yaitu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki dan perempuan
dari orang-orang muslim. (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar)
Setelah itu
beliau pun membacakan ayat Al-Quran :
أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ
Taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya.(QS. An-Nisa’
: 59)
Ibnu Hazm Juga Melarang
Di antara
mereka yang menolak kebolehan zakat al-fithr dengan uang adalah Ibnu Hazm.
Beliau ini termasuk rujukan di kalangan ahli Dzhahir. Beliau berhujjah bahwa
memberikan zakat al-fithr dengan uang tidak sebagaimana yang diperintah oleh
Rasulullah SAW. Lagi pula dalam urusan mengganti nilai uang atas suatu harta
itu tidak boleh ditentukan secara sepihak, melainkan harus dengan keridhaan
kedua belah pihak, yaitu muzakki dan mustahiq.
(b). Mazhab Al-Hanafiyah : Boleh
Mazhab
Al-Hanafiyah memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan
makanan pokok yang wajib dibayarkan. Selain mazhab Al-Hanafiyah secara resmi,
di antara para ulama yang sering disebut-sebut membolehkan penggunaan uang
antara lain Abu Tsaur, Umar bin Abdul Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri, Abu Ishak,
Atha’.
Abu Yusuf,
salah satu pentolan ulama di kalangan mazhab ini menyatakan,"Saya lebih
senang berzakat fitrah dengan uang dari pada dengan bahan makanan, karena yang
demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin".
(c). Pendapat Pertengahan
Di masa
sekarang ini, Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan, "Yang saya anggap baik dan saya
laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan
seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka
saya keluarkan uang (harganya)". Tokoh ini membolehkan zakat fitrah
dengan uang, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa
ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan
kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).
Kalau ada
uang, belum tentu segera bisa dibelikan makanan. Bayangkan di zaman itu tidak
ada restoran, rumah makan, mall, super market 24 jam dan sebagainya. Padahal
waktu membayar zakat fitrah itu pada malam lebaran. Bisa-bisa di hari raya,
orang miskin itu punya uang tapi tidak bisa makan. Ini hanya sebuah analisa.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Dr. Yusuf
Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz-Zakatnya mengasumsikan kenapa dahulu
Rasulullah SAW membayar zakat dengan makanan, yaitu karena dua hal :
Pertama, karena uang di masa itu agak kurang banyak beredar bila dibandingkan
dengan makanan. Maka membayar zakat langsung dalam bentuk makanan justru
merupakan kemudahan. Sebaliknya, di masa itu membayar zakat dengan uang malah
merepotkan. Pihak muzakki malah direpotkan karena yang dia miliki justru
makanan, kalau makanan itu harus diuangkan terlebih dahulu, berarti dia harus
menjualnya di pasar. Pihak mustahiq pun juga akan direpotkan kalau dibayar
dengan uang, karena uang itu tidak bisa langsung dimakan.
Hal ini
mengingatkan kita pada cerita para dokter yang bertugas di pedalaman, dimana
para pasien yang datang berobat lebih sering membayar bukan dengan uang
melainkan dengan bahan makanan, seperti pisang, durian, beras atau ternak ayam
yang mereka miliki. Apa boleh buat, makanan berlimpah tetapi uang kurang banyak
beredar.
Dan jangan
membayangkan keadaan sekarang dengan masa lalu. Di masa itu kita tidak bisa
menemukan pasar setiap saat. Jakarta beberapa puluh tahun yang lalu pun cuma
pasar seminggu sekali. Adanya nama pasar sesuai nama hari, kalau ditelusuri
disebabkan pasar itu hanya eksis pada hari pasarnya. Pasar Minggu berarti pasar
itu hanya ada di hari Minggu. Pasar Senen hanya ada di hari Senin. Dan begitu
juga dengan Pasar Rabu, Pasar Jumat, dan seterusnya. Di luar hari pasaran,
pasar itu tidak ada. Bisa dibayangkan kalau harus menjual beras dulu biar bisa
jadi uang, maka harus menunggu seminggu. Lalu uang itu diserahkan kepada fakir
miskin. Tetapi tidak bisa langsung dimakan, karena harus menunggu lagi seminggu
agar bisa untuk beli beras. Nah, kalau yang berzakat punya beras dan yang
diberi zakat butuh beras, kenapa harus dikonversi dua kali jadi uang?
Kedua, karena nilai uang di masa Rasulullah SAW tidak stabil, selalu
berubah tiap pergantian zaman. Hal itu berbeda bila dibandingkan dengan nilai
makanan, yang jauh lebih stabil meski zaman terus berganti.
Penamaan Baku : Zakat Fithr Bukan Zakat Fitrah
Istilah zakat
yang baku untuk zakat ini sebenarnya bukan zakat fitrah, melainkan zakat
al-fithr. Zakat ini dinamakan al-fithr (زكاة الفطر) yang mengacu kepada kata
fithr (فطر)
yang artinya adalah makan. Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa
menjadi ifthar (إفطار),
yang maknanya adalah makan untuk berbuka puasa. Dan bisa diubah menjadi kata
fathur (فطور),
yang artinya sarapan pagi. Dinamakan zakat fithr karena terkait dengan bentuk
harta yang diberikan kepada mustahiknya, yaitu berupa makanan. Selain itu zakat
ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan hari lebaran yang bernama fithr.
Kita di Indonesia sering menyebutnya dengan Iedul Fithr, yang artinya hari raya
fithr.
Dan di hari
Iedul Fithr itu kita diharamkan berpuasa, sebaliknya wajib berbuka atau memakan
makanan. Oleh karena itulah hari raya itu disebut dengan hari Iedul Fithr. Dan
arti secara bahasanya adalah hari raya makan-makan.
Namun ada juga
sebagian orang yang menyebutkan dengan zakat fitrah. Penyebutan ini sebenarnya
kurang tepat, karena yang menjadi inti dari zakat ini memang makanan, dan bukan
fitrah. Kata fithr (فطر)
meskipun mirip namun punya makna yang jauh berbeda dengan kata fithrah (فطرة).
Fithrah seringkali dimaknai dengan kesucian, kemurnian bahkan juga bisa
diartikan sebagai Islam. Di dalam salah satu sabda Nabi SAW, kita menemukan
kata fithrah dengan makna Islam :
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ وُلِدَ
عَلىَ الفِطْرَةِ أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِهِ
Tidak ada kelahiran bayi kecuali lahir dalam keadaan fitrah
(muslim). Lalu kedua orang tuanya yang akan menjadikannya yahudi, nasrani atau
majusi. (HR.
Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab
3. Adakah Zakat Atas Tanah Gusuran?
Bismillah washshalatu was-salamu 'ala Rasululillah, wa ba'd
Bismillah washshalatu was-salamu 'ala Rasululillah, wa ba'd
Seluruh ulama
empat mazhab sepakat bahwa kewajiban zakat itu tidak mutlak pada semua jenis
harta kekayaan. Yang wajib dizakatkan itu hanyalah sebatas kekayaan yang telah
ditentukan, baik jenis atau wujud harta itu, jumlah atau nilainya, termasuk
juga berapa lama masa kepemilikannya.
(a). Wujud Harta Yang Wajib Dizakati
Ketika masih
berbentuk tanah, maka seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa tanah itu
bukan termasuk harta yang wajib terkena zakat. Kecuali kalau mau melirik
sekelompok kecil 'pembaharu' di masa sekarang, memang ada yang merekayasa
seolah-olah tanah itu termasuk harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun
kalau melihat pendapat yang muktamad empat mazhab dan jumhur ulama sepanjang
zaman, nyaris tidak seorangpun dari mereka yang mewajibkan zakat atas kepemilikan
tanah. Kalau pun ada, istilahnya kharaj yang maknanya pajak dan bukan zakat. Kalau
tanah kita jual tentu akan membuat kita jadi memiliki uang. Dan uang yang kita
miliki memang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun syariat Islam menetapkan bahwa
hanya uang dengan jumlah tertentu dan masa kepemilikan tertentu yang terkena
zakat.
(b). Uang Dengan Nilai Tertentu Terkena Zakat
Para ulama
umumnya sepakat bahwa yang kena zakat sebagaimana yang disebutkan di dalam
Al-Quran adalah emas dan perak. Dan fungsi keduanya adalah alat tukar alias
sebagai uang dan bukan semata-mata perhiasan. Karena di zaman sekarang ini kita
sudah tidak lagi menggunakan emas atau perak sebagai alat tukar, melainkan
dengan uang kertas, maka hukum uang itu disamakan dengan hukum emas dan
perak, yaitu bahwa memiliki uang dalam jumlah tertentu akan terkena zakat.
Dan biasanya nishab zakat uang itu disamakan dengan nisah emas, yaitu 20
mitsqal yang setara dengan 85 gram emas.
Seandainya
harga 1 gram emas 500 ribu, maka nishab zakat uang adalah 500 ribu dikali 85
gram, sama dengan 42,5 juta. Jadi bila uang yang dimiliki oleh seseorang belum
sampai 42,5 juta, maka belum ada kewajiban zakat. Hanya yang sudah melebihi
42,5 juta saja yang sudah terkena kewajiban zakat.
(c). Masa Kepemilikan Setahun Qamariyah
Para ulama
umumnya juga sepakat bahwa kewajiban zakat itu belum jatuh manakala harta yang
dimiliki itu baru saja diterima. Setidaknya harta itu sudah dimiliki dulu
selama setahun qamariyah, barulah ada kewajiban zakatnya. Bila uang yang Anda
terima itu sudah tersimpan selama setahun qamariyah, dengan jumlah yang
setidaknya tidak pernah kurang dari 42,5 juta, barulah wajib dikeluarkan
zakatnya. Dan belum ada kewajiban zakat pada saat menerima uang pembayaran,
karena pada dasarnya syariat Islam tidak pernah menerapkan kewajiban zakat yang
disebabkan ada akad jual-beli. Maksudnya, diantara seluruh syariat zakat yang
disebutkan dalam Al-Quran dan As-sunnah serta fiqih para ulama 4 mazhab
sepanjang zaman, memang tidak dikenal adanya zakat jual-beli.
Zakat Uang Hasil Jual Tanah
Maka uang
hasil jual tanah itu wajib dizakati manakala jumlahnya telah melebihi nishab,
yaitu 42,5 juta dan telah dimiliki selama setahun menurut perhitunan tahun
qamariyah. Sebaliknya, bila jumlah uangnya kurang dari itu, ataupun belum dimiliki
selama setahun, maka tidak ada kewajiban zakatnya. Namun meski belum jatuh
kewajiban untuk dizakati, bukan berarti kalau mau bersedekah menjadi tidak
boleh. Bersedekah itu meski hukumnya
sunnah, tetapi pahalanya tentu sangat besar, apalagi bila sifatnya merupakan
wakaf atau shadaqah jariyah.
Demikian
semoga mudah dipahami. Wallahu a'lam bishshawab.
Pertanyaan dijawab oleh DR Ahmad
Sarwat, Lc., MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com
(Sumber: https://www.rumahfiqih.com/)
================
* Ust. DR Ahmad Sarwat,
Lc, MA, Alumnus Institute Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IAT), Jakarta, Beliau
telah menulis banyak buku yang dibagi dalam 18 Jilid. Buku Serial seri Fiqih
Kehidupan dan buku-buku non-serial dan beliau sering menulis artikel-artikel
mengenai Islam di banyak media.
* Ust Sofyan Kaoy Umar, SE, MA, CPIF, Alumnus
Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis
dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic
Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Sekarang ini mengurus Baitul Mal Mina, NGO IndoCares,
MTEC dan Darul Quran Mina. E-mail: ustazsofyan@gmail.com. CP: +6281269256161
(WA/Messenger/Telegram)