PENGERTIAN
AR-RIKAZ DAN AL-MA’DIN
Istilah
harta terpendam (harta karun) sudah sangat tidak asing lagi bagi kita. Dalam ilmu Fiqih Islam,
harta karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah ar-rikâz,
sedangkan barang tambang dikenal dengan istilah al-ma’din. Para Ulama
telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan
(harta karun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang
(al-ma’din), barang temuan (ar-rikâz), atau harta simpanan (kanz),
jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat
untuk setiap barang tambang dan temuan.
Menurut
Hanafiyyah (para pengikut madzhab imam Abu Hanîfah), bahwa ar-rikâz dan al-ma’din
adalah harta yang sama atau satu makna. Sedangkan menurut mayoritas Ulama
(Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah dan Hanabilah, pent), kedua hal tersebut maknanya
berbeda.[1]
Ar-Rikâz, secara bahasa artinya
adalah sesuatu yang terpendam dalam perut bumi berupa barang tambang atau harta
terpendam. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ar-rikâz ialah harta terpendam
zaman jahiliyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras, baik
berupa emas, perak, maupun selainnya. al-Ma’din, secara bahasa berasal
dari kata al-‘adn yang berarti al-iqâmah. Dan inti segala sesuatu adalah
ma’din-nya. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah segala sesuatu yang
keluar dari bumi yang tercipta dalam perut bumi dari sesuatu yang lain yang
memiliki nilai. Barang
tambang ada yang berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan
menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, dan timah. Dan ada pula
yang berbentuk cairan, seperti minyak, ter dan sejenisnya.
Menurut
madzhab Hanafi, harta terpendam dan barang tambang adalah sama, sementara
menurut mayoritas Ulama keduanya berbeda. Mereka berdalil dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ،
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
…menggali
barang tambang mengandung resiko [2], dan pada harta terpendam seperlima[3]
Dalam
hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara harta terpendam
dan barang tambang. Para
Ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang
wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ
"Wahai
orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu."
[QS al-Baqarah/2:267]
Dan
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَفِى الرِّكَازِ
الْخُمُسُ
"Dan
pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.[4]
Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima keadaan berikut :
Pertama : Ia menemukannya di
tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui pemiliknya. Maka harta itu
menjadi milik orang yang menemukannya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan
empat perlimanya menjadi miliknya. Ini sebagaimana hadits :
عن عَمْرو بنِ شُعَيْبٍ عن
أبيه عن جَدِّه : – أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال في كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ
في خَرِبَة جَاهِلِيَّة : إنْ وَجَدْتَهُ في قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ أو في سَبِيلِ
ميتاء فَعَرِّفْهُ , و إنْ وَجَدْتَهُ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة أوفي قَرْيَةٍ غير
مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وفِي الرِّكازِ الخُمْسُ
Diriwayatkan
dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata –tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing
Jahiliyah- , “Jika ia menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan
yang dilalui orang, maka ia harus mengumumkannya. Jika ia menemukannya di
puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka itu menjadi
miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”[5]
Kedua: Ia menemukannya di
jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia harus
mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta.
Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Ketiga: Ia menemukannya di
tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat Ulama:[6]
1.
Harta itu untuk pemilik tanah. Ini adalah pendapat Abu Hanîfah dan Muhammad bin
al-Hasan, qiyas dari pendapat imam Mâlik, dan salah satu riwayat dari imam
Ahmad.
2.
Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari imam
Ahmad, dan dianggap bagus oleh Abu Yusuf (Murid Abu Hanîfah).
Mereka
mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan tanah.
Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
3.
Dengan perincian: jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu
menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah
yang pertama. Ini adalah madzhab imam asy-Syâfi’i.
Keempat
: Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan,
dengan cara membeli atau selainnya.[7] Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.
Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab
imam Mâlik, imam Abu Hanîfah dan pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, yaitu
jika pemilik pertama tidak mengakuinya.
2.
Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak,
maka milik pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak
diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu
menjadi luqathah (barang temuan). Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i.
Kelima:
Ia menemukannya di dar al-harb (negeri yang diperangi). Jika digali
bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan
perang), hukumnya seperti ghanimah.
Jika
ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua
pendapat Ulama :[8]
1.
Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan
dengan harta yang ditemukannya di tanah yang tidak berpenghuni.
2.
Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha
mempertahankannya, maka itu adalah ghanimah. Jika pemiliknya tidak
mengetahuinya dan tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam.
Ini adalah madzhab imam Mâlik, Abu Hanîfah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan
perincian yang mereka buat.
APAKAH
DISYARATKAN NISHAB DAN HAUL PADA HARTA TERPENDAM?
Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَفِى الرِّكَازِ
الْخُمُسُ
Pada
harta terpendam (zakatnya) seperlima.[9]
Dan
ini adalah pendapat mayoritas Ulama.
Para
Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta
terpendam menjadi dua pendapat :[10]
Pendapat
Pertama : Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran
zakat untuk delapan golongan. Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dan imam
Ahmad. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan, jika ia menyedekahkannya kepada orang
miskin, maka itu sudah cukup baginya.
Mereka
melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu:
1.
Apa yang diriwayatkan dari Abdullâh bin Bisyr al-Khats’ami rahimahullah , dari
seseorang dari kaumnya yang biasa dipanggil Hajmah. Ia berkata, “Sekantung
uang kuno jatuh menimpaku di Kufah dekat pekuburan Bisyr. Di dalamnya berisi
empat ribu Dirham. Aku membawanya kepada Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu ,
maka dia berkata, “Bagikanlah lima bagian!” aku membagikannya. Ali Radhiyallahu
anhu mengambil seperlima darinya dan memberikan kepadaku empat perlimanya. Saat
aku ingin pergi, dia memanggilku seraya berkata, “Apakah ada tetanggamu yang
fakir dan miskin ?” Aku jawab, “Ya.” Dia berkata, “Ambillah ini, dan
bagikan kepada mereka.”[11]
2.
Karena diperoleh dari bumi, maka disamakan dengan tanaman.
Pendapat
Kedua : Tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta
rampasan yang diperoleh dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah
pendapat imam Abu Hanîfah, imam Mâlik, dan sebuah riwayat dari imam Ahmad yang
dishahihkan oleh Ibnu Qudâmah.
Mereka
melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu :
1.
Apa yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa ada seorang lelaki menemukan
seribu Dinar yang terkubur di luar Madinah. Ia membawanya ke hadapan Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu Umar Radhiyallahu anhu mengambil seperlima
darinya, yaitu dua ratus Dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tersebut.
Mulailah Umar Radhiyallahu anhu membagikan dua ratus dinar tersebut kepada kaum
Muslimin yang hadir hingga tersisa beberapa dinar, maka dia berkata, “Dimanakah
pemilik dinar tadi ?” Ia bangkit dan berjalan kearahnya, lalu Umar Radhiyallahu
anhu berkata, “Ambillah dinar ini, karena ini milikmu.”[12]
Mereka
mengatakan, jikalau itu zakat, pastilah dikhususkan kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya, dan tidak dikembalikan lagi kepada orang yang menemukannya.
2.
Karena ini wajib atas kafir dzimmi, sementara zakat tidak wajib atasnya. Dan
karena harta itu termasuk harta makhmus (yang harus dikeluarkan seperlimanya)
yang telah terlepas kepemilikannya dari tangan orang kafir (dengan anggapan
harta itu termasuk harta terpendam milik kaum jahiliyah), maka disamakan
seperti pembagian seperlima harta ghanimah.
Syaikh
Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm berkata, “Dua dalil di atas tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu syaikh al-Albâni rahimahullah
berkata,[13] “Tidak ada dalam al-hadits yang menguatkan penjelasan salah satu
dari kedua belah pihak atas pihak yang lainnya. Oleh karena itu, aku memilih
dalam ahkâm (hukum-hukum) harta terpendam, tempat penyalurannya dikembalikan
kepada keputusan (kebijakan) pemimpin kaum Muslimin. Ia menyalurkannya ke mana
saja yang ada kemaslahatan bagi Negara. Inilah pendapat yang dipilih Abu Ubaid
dalam kitab al-Amwâl.”[14]
Dalam
masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama fiqih menjadi dua
pendapat :
Pendapat
Pertama : Imam Mâlik –dalam salah satu dari dua riwayatnya-, dan imam
asy-Syâfi’i dalam pendapatnya yang kedua berpendapat tidak ada kewajiban
apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).
Pendapat
Kedua : Mayoritas Ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam
jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah dan minyak bumi, seperti
rikâz (barang terpendam) yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka
berselisih tentang kadar zakatnya.[15]
TARJIH
:
Pendapat
yang râjih (kuat dan benar) adalah pendapat kedua, berdasarkan keumuman firman
Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai
orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. [al-Baqarah/2:267]
Tidak
diragukan lagi, minyak bumi yang dikenal dengan sebutan “emas hitam” termasuk
barang tambang yang paling berharga. Oleh karena itu, tidak sah mengeluarkannya
dari hukum zakat ini. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Dalam
masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat para Ulama fiqih menjadi beberapa
pendapat :
Pendapat
Pertama: Imam Abu Hanîfah dan para sahabatnya, Abu Ubaid, dan selainnya
berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %) dari
barang tambang seperti harta terpendam (harta karun).
Pendapat
Kedua: Mayoritas Ulama berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh atau dua
setengah persen (2,5 %), diqiyaskan dengan emas dan perak.
Sebab
perselisihan ini adalah perbedaan pendapat tentang makna ar-rikâz (harta
terpendam/harta karun); apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya
ataukah tidak?
Pendapat
Ketiga: Sebagian Ulama fiqih membedakannya; jika hasil yang didapat banyak,
jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan
seperlimanya (20 %). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha
dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (2,5 %).[16]
Demikian
penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta karun atau harta
terpendam dan barang tambang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi
kita semua. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2011)
==================== _______
Footnote:
[1]. Lihat al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Karya Wahbah Az-Zuhaili
II/775.
[2]. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud (وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ)
maknanya ialah barangsiapa menggali barang tambang di tanah miliknya, atau di
kampung yang tidak berpenghuni atau tidak dilalui oleh banyak orang, lalu
tiba-tiba ada orang lewat di tempat galian tersebut dan ia jatuh ke dalamnya,
kemudian ia mati, maka pemilik tempat galian barang tambang tadi tidak ada
kewajiban menanggungnya.” (Lihat Syarah Shohih Muslim VI/134).
[3]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu
[4]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu
[5]. HR. Abu Daud II/606 no.4593, asy-Syâfi’ dalam Musnad-nya I/96 (440), Ahmad
II/207, dan al-Baihaqi II/15 no.7898. Dan sanadnya dinyatakan Hasan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud I/321 no.1504.
[6]. Fathul Qadîr II/183, al-Mughni III/49, al-Majmû’ VI/41, al-Umm II/41, dan
al-Mabsûth II/214. Dinukil dari Shahîh Fiqhis-Sunnah II/59.
[7]. al-Mughni III/49, al-Mudawwanah (I/290), al-Majmû’ VI/40, al-Umm II/44,
dan al-Mabsûth II/212.
[8]. al-Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/291), al-Majmu’ VI/40, dan al-Mabsûth
II/215.
[9]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu
[10]. al-Mughni III/51, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/44, dan al-Mabsûth
II/212.
[11]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no.7179, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani
Al-Atsar III/304, dan al-Baihaqi IV/157 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[12]. al-Amwâl karya Ibnu Ubaid no.874 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[13]. Tamâmul Minnah hlm. 378.
[14]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, II/61.
[15]. al-Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/45, dan al-Mabsûth
II/295.
[16]. Fiqihuz zakat I/471 dan halaman setelahnya.
*******************************
*******************************
Kontributor: Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar , MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com