PERTIMBANGAN
KALENDER MASEHI DALAM MENENTUKAN HAUL PADA ZAKAT*
Oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi Lc; Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF (Editor)
Sebagaimana
telah kita ketahui bersama dalam masalah zakat mâl ada
syarat nishâb dan haul. Haul ini
diambil dari kataحال يحول حولا yang
berarti telah berlalu. Dari sini tahun disebut dengan haul karena
ia berlalu. Haul digunakan dalam arti tahun. [1] Haul adalah salah satu
syarat wajib zakat pada harta-harta yang wajib dizakati selain hasil bumi.[2]. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لاَزَكاَةَ فِي مَالٍ
حَتَّى يَحُوْلَ عَلّيْهِ حَوْلٌ
Tidak
ada zakat pada harta sehingga ia berputar satu haul [3]
Demikian
juga zakat harta berulang-ulang, sehingga memerlukan patokan yang jelas, agar
tidak menyebabkan terulangnya kewajiban zakat di waktu yang sama. Apalagi
penetapan haul sangat sesuai karena secara umum selama
satu tahun harta sudah tumbuh dan berkembang. [4] Dalam masalah haul ini,
muncul persoalan baru yang disebabkan banyak sekali kaum Muslimin dewasa ini
sangat bersandar kepada kalender masehi dan tidak mengenal kalender hijriah.
Banyak sekali mu’amalah kaum Muslimin yang berpijak kepada
kalender masehi.
Kalender
masehi adalah kalender matahari yang menghitung perputaran matahari di
sekeliling bumi. Akibatnya satu tahun terbagi menjadi empat musim; musim panas,
dingin, semi dan gugur. Tahun kalender masehi kurang lebih terdiri dari
365,2422 hari. Adapun pembagiannya menjadi beberapa bulan maka itu merupakan
kreasi sebagian umat menyesuaikan kepentingannya, dari sini terbentuk kalender
masehi.
Sedangkan
kalender hijriah dikenal dengan tahun rembulan karena ia terkait dengan
perputaran bulan di sekeliling bumi dan karena itu bulan-bulan ditetapkan. Satu
kali perputaran bulan merupakan satu bulan yang masanya mencapai kurang
lebih 29,52 hari dan jumlah bulan di tahun rembulan ini adalah dua belas
bulan Arab yang terkenal, diawali dengan Muharram dan ditutup dengan Dzul
Hijjah. Dengan demikian, jumlah hari di tahun rembulan adalah 354,36 hari. Bila
dibandingkan dengan tahun masehi, kita dapati tahun berdasarkan rembulan ini
lebih sedikit 10,88 hari daripada tahun masehi. Bisa diperhatikan bahwa haul rembulan
berkaitan dengan gerakan rembulan dan perputarannya di sekeliling bumi dan
tidak terkait dengan gerakan bumi di sekitar matahari.[5] Dengan demikian terjadi perbedaan
waktu yang cukup signifikan dalam penggunaan kedua kalender itu.
Oleh
karena itu munculah masalah, bolehkah menghitung haul zakat
dengan berpijak pada kalender masehi atau wajib berpijak hanya pada haul rembulan
yang dinamakan dengan kalender hijriah?
PARA
ULAMA KONTEMPORER BERBEDA PENDAPAT MENJADI DUA PENDAPAT:
Pendapat
Pertama:
Penetapan
waktu yang syar’i adalah dengan menggunakan kalender hijriah dan tidak
dibenarkan menggunakan kalender masehi. Inilah pendapat mayoritas Ulama
dan dirajihkan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah dan menjadi ketetapan Lajnah
Dâ’imah lilbuhûts wal Ifta Kerajaan Saudi Arabia, sebagaimana dalam
fatwa mereka yang menetapkan bahwa Haul yang sah dalam
membayar zakat adalah tahun hijriah dan bulan-bulannya. Tidak menggunakan
tahun masehi dan bulan-bulan yang bukan hijriah.[6] Argumentasi pendapat ini adalah:
Pertama ; Dalil-dalil
syar’i yang menetapkan keharusan mengambil waktu rembulan yang tertuang dalam
kalender hijriah dan meninggalkan waktu matahari yang tertuang dalam kalender
masehi, di antara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Firman
Allâh Azza wa Jalla :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji,’ [Al-Baqarah/2:189]
Dalam
ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjadikan hilal (bulan sabit)
sebagai tanda bagi awal dan akhir bulan, sehingga hilal adalah
tanda waktu. Sehingga benar, bila bulannya menggunakan kalender hijriah yang
keterkaitan dengan bulan sabit (hilal) tersebut.
Imam
asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla
mengharuskan penetapan waktu dengan berpijak kepada rembulan dalam semua yang
ditetapkan sebagai waktu bagi orang Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “ Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah,
‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.”
Hingga beliau berkata, “Allâh Azza wa Jalla memberi tanda dengan hilal (bulan
sabit) dihitung ketentuan waktu dan dengan hilal juga ditentukan
hari-hari pada setiap bulannya. Allâh Azza wa Jalla tidak menentukan tanda
waktu yang lain bagi orang Islam selain hilal. Barangsiapa
menentukan tanda penetapan waktu dengan selainnya, berarti dia telah memberi
tanda penentuan yang bukan dari Allâh Azza wa Jalla .”[7]
Syaikhul
Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan menyatakan,
“Allâh Azza wa Jalla memberitahukan bahwa bulan sabit (hilâl) sebagai
tanda-tanda waktu bagi manusia. Ini berlaku umum untuk segala urusan mereka.”
Kemudian Syaikhul Islâm rahimahullah melanjutkan, “Allâh Azza wa Jalla
menjadikan bulan sabit (hilâl) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dalam
hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat, baik sebagai permulaan (ibadah)
maupun sebagai sebab wajibnya sebuah ibadah. Juga pijakan untuk hukum-hukum
yang ditetapkan melalui persyaratan dari manusia. Semua perkara yang ada
ketentuan waktunya, baik yang ditetapkan dengan syariat atau syarat, maka bulan
sabit (al-hilâl) menjadi tolok ukur dalam perhitungan waktunya. Termasuk dalam
hal ini adalah ibadah puasa, haji, masa ilâ`[8], iddah[9] dan puasa kaffarat…juga
puasa nadzar dan lainnya. Demikian pula dengan syarat-syarat terkait
dengan pekerjaan yang berhubungan dengan segala bentuk pembayaran, seperti;
pelunasan hutang, salâm, zakat, jizyah (upeti), diyât[10], khiyâr[11], sumpah, hutang mahar, cicilan
akad kitâbah (pembebasan budak dengan tebusan), perdamaian
dalam qishash [12] dan urusan-urusan lainnya yang
ditunda baik berupa hutang atau akad dan selainnya.”[13]
1. Firman
Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allâh adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allâh di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, ” [At-Taubah/9:36]
Pada
dasarnya, yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan adalah penggunaan waktu dengan
berpijak kepada bulan sabit (al-hilâl). Islam hanya menjadikan pedoman
kalender hijriah yang terdiri dari dua belas bulan sebagaimana
yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan.
Al-Qurthubi
rahimahullah berkata, “Ayat ini
menunjukkan kewajiban mengaitkan hukum-hukum ibadah dan lainnya dengan bulan
dan tahun yang dikenal oleh bangsa Arab, bukan bulan dan tahun yang dikenal
oleh orang a’jam, Romawi
dan Qibthi. Sehingga Allâh Azza wa Jalla berfirman, “ Itulah (ketetapan) agama yang lurus.”
Yakni perhitungan yang shahih dan jumlah bilangan yang sempurna.”[14]
Al-Fakhrurrazi
rahimahullah berkata, “Ahli ilmu menyatakan, wajib atas kaum Muslimin sesuai
dengan tuntutan makna ayat ini yaitu menjadikan rembulan sebagai patokan waktu
mereka dalam berjual-beli, waktu pembayaran hutang dan hal-hal yang berkenaan
dengan zakat serta hukum-hukum mereka yang lainnya. Tidak boleh menggunakan
tahun a’jam atau tahun Romawi.”[15]
Dia
juga berkata, “Bulan-bulan yang mu’tabar dalam syariat bertumpu
kepada ru`yatul hilal (melihat bulan sabit). Tahun yang mu’tabar dalam
syariat adalah tahun hijriah.[16]
1. Firman
Allâh Azza wa Jalla ,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ
السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu), ” [Yûnus/10:5]
Dalam
ayat ini Allâh Azza wa Jalla menetapkan tahun dan perhitungan waktu berkaitan
dengan manzilah-manzilah (tempat-tempat) rembulan. Ini hanya
bisa terwujud dengan menggunakan bulan hijriah, yang tanda awal dan akhir
bulannya berpijak pada ru’yatul hilâl (melihat
bulan)”[17]
1. Sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
إِذَارَأَيْتُمُ الهِلالَ
فَصُومُوا وَإذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا
ثَلاَثِيْنَ يَومًا
Bila
kalian melihat hilal maka berpuasalah, bila kalian melihatnya maka berbukalah,
bila kalian terhalangi maka berpuasalah selama tiga puluh hari.” [Muttafaq alaihi]
Dalam
hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan tanda masuk dan
akhir bulan dengan melihat hilal (bulan sabit). Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantungkan hukum syar’i berpuasa
kepadanya.”
Kedua;
Mengambil
kalender hijriah (Haul Qamari atau kalender hijriah)
dan berpijak kepadanya selaras dengan karakteristik agama Islam yang mudah,
lapang serta universal bagi seluruh manusia. Karena perhitungan dan mengenal
hari serta bulannya bisa dilakukan oleh semua orang tanpa memerlukan orang
khusus (spesialis).
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, perhitungan rembulan lebih
terkenal dan lebih masyhur di kalangan umat manusia. Juga lebih sedikit
kekeliruannya dan lebih akurat perhitungannya daripada hisab berdasarkan matahari.
Hisab rembulan dapat diketahui oleh semua orang, berbeda dengan hisab
matahari.”[18]
Dengan
demikian kalender hijriah cocok untuk semua orang, baik yang berilmu (alim)
maupun yang tidak berilmu (awam), baik orang kota yang berperadaban (al-hadhari)
maupun orang desa kampungan (al-Baduwi), dimasa dahulu dan sekarang. Ini
semakin menegaskan wajibnya menggunakan kalender rembulan (kalender
hijriah) bukan kalender matahari (haul syamsi), karena
beberapa hal tadi disampaikan berupa keuniversalan yang
sejalan dengan keuniversalan agama ini. Apa lagi dengan adanya kebutuhan
seluruh manusia kepada kalender yang menjadi dasar perjalanan kehidupan mereka
dalam tempat yang beraneka ragam dan sepanjang zaman. Dasar pijakan itu
hanyalah perhitungan waktu rembulan yang menjadi alat penghitung kalender
tahunan qamari (kalender hijriah).”[19]
Pendapat
Kedua:
Menggunakan haul rembulan
(kalender hijriah) dalam membayar zakat adalah sebuah sebuah
keharusan, kecuali bila sulit untuk dilaksanakan karena terkait dengan anggaran
keuangan perusahaan atau yayasan yang dengan tahun matahari (kalender masehi).
Dalam kondisi ini diperbolehkan memperhatikan kalender tahun masehi, dengan
memperhitungkan prosentase selisih hari antara tahun rembulan (kalender hijriah)
dengan tahun matahari (kalender masehi), sehingga prosentase dalam setahun
adalah 2,575 %. Inilah fatwa yang dikeluarkan lembaga Baituz Zakah Kuwait
(rumah zakat Kuwait).[20]
Bila
diperhatikan dengan seksama, didapatkan perbedaan dalam masalah ini lebih dekat
kepada khilaf (perbedaan) lafazh, karena semua pihak
sepakat menggunakan haul rembulan (kalender hijriah).
Baituz Zakah Kuwait membolehkan perhitungan zakat mengikuti haul matahari
(kalender masehi) dengan tetap membandingkannya dengan haul rembulan
yang menjadi pijakan utamanya. Ini dilakukan untuk membayarkan ukuran tambahan
dari harta zakat yang seharusnya sebagai ganti untuk hari yang berlebih
pada haul matahari (kalender masehi). Mereka membatasi
pembolehan dengan batasan ini ketika kesulitan mengeluarkan zakat dengan
berpijak kepada haul rembulan (kalender
hijriyah). Namun pada dasarnya yang disepakati adalah memperhitungkan
zakat dengan berpijak kepada kalender hijriyah dan tidak patut menggunakan
kalender masehi dalam masalah ini kecuali dengan adanya kesulitan yang mu’tabar.
Diantara
alasan dari fatwa Baituz Zakat Kuwait adalah sebagai berikut:
Pertama:
Berdasarkan
dalil-dalil yang telah diutarakan sebelumnya yang menetapkan kewajiban
menggunakan haul rembulan (kalender Hijriah)
bukan haul matahari (kalender masehi). Apalagi haul matahari
(kalender masehi) merupakan hasil bikinan manusia sebelum Islam. Dalam kalender
ini mereka menambah dan mengurangi, sehingga tidak bersandar kepada patokan
yang baku, bahkan sekedar dugaan murni.
Kedua:
Tidak
boleh menggunakan kalender matahari yang tertuang dalam kalender masehi dan
menghitung waktu dan hari dengannya, maka secara otomatis tidak boleh
menggunakannya untuk haul zakat.
Ketiga:
Menggunakan haul matahari
yang tertuang dalam kalender masehi menyebabkan tertundanya pembayaran zakat
selama kurang lebih sebelas hari, karena haul matahari
lebih banyak sebelas hari daripada haul rembulan.
Akibatnya dalam rentang waktu kurang lebih tiga puluh tahun seorang muslim bisa
tidak membayar zakat selama satu tahun. Ini berarti jutaan kaum muslimin
melalaikan kewajiban zakat satu atau dua kali selama hidup mereka. Ini tentu
merugikan kemasalahatan umat, baik yang bersifat umum maupun yang khusus yang
berakibat langsung pada delapan pos penerima zakat.
Keempat
: Menggunakan haul matahari
mengakibatkan bebasnya beban muzakki pada saat hartanya belum
mencapai nishab atau ketika dia wafat padahal haul rembulan
sudah tiba sementara haul matahari belum tiba, yakni
hal itu tidak menjadi kewajibannya dalam rentang waktu yang merupakan selisih
antara kedua haul tersebut, yaitu sebelas hari. Jelas
ini merupakan kerugian yang besar dan menyia-nyiakan hak Allah dan hak manusia.
Bila
menghitungnya dengan berpijak kepada kalender hijriah benar-benar menyulitkan,
maka tidak mengapa menghitungnya dengan kalender masehi dengan berpijak kepada
pendapat yang membolehkan penundaan pembayaran zakat bila ada hajat untuk itu,[21] lebih-lebih hal itu merupakan
penundaan demi kemudahan dan kesulitan itu mendatangkan kemudahan,[22] namun dengan tetap berpegang kepada
aturan berikut:
1. Keterkaitan
wajib zakat dengan tanggung jawab muzakki (pembayar zakat) ada
dengan sempurnanya haul hijriah (kalender tahunan
hijriah). Sehingga menjadi hutang atasnya sampai dia membayarnya. Seandainya dia
wafat maka ia tetap dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada
ahli warisnya.
2. Wajib
memperhitungkan selisih akibat dari penundaan tersebut.
Inilah
yang dinyatakan oleh fatwa lembaga Baituz Zakah Kuwait (rumah zakat Kuwait)
yang telah disebutkan diatas.
Dengan
demikian jelaslah bahwa akhir haul masehi
menjadi waktu untuk membayar zakat bukan waktu wajib zakat. sedangkan
waktu wajib zakat tetap didasarkan pada kalender hijriah. wallahu
a’lam.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIX/1437H/2016M.
_______
Footnote
*Diadaptasi dari kitab Nawâzil as-Zakât Dirasât Fiqhiyah Ta’shiliyah Limustajadât az-Zakât, Dr. Abdullâh bin Manshûr al-Ghufaili , Wizarât al-Auqâf Way-Syu’ûn al-Islâmiyah Negara Qathar dari halaman 79-87.
_______
Footnote
*Diadaptasi dari kitab Nawâzil as-Zakât Dirasât Fiqhiyah Ta’shiliyah Limustajadât az-Zakât, Dr. Abdullâh bin Manshûr al-Ghufaili , Wizarât al-Auqâf Way-Syu’ûn al-Islâmiyah Negara Qathar dari halaman 79-87.
[1]
Lihat al-Qâmûs al-Muhîth hlm.1278 dan al-Mishbâh
al-Munîr hlm.157.
[2] Lihat al-Mabsûth 2/15, Fathul
Qadîr 2/112, Bidâyatul Mujtahid 3/114, al-Muntaqa
Syarh al-Muwaththa` 2/94, Raudhah ath-Thalibîn 2/184, asy-Syarhul
Kabir bersama kitab al-Inshaf 6/350) .
[3] HR Ibnu Mâjah no.
1782, Abu Daûd no. 1405 dan lafazhnya riwayat al-Baihâqi dalam Sunan
al-Kubra dan dishahihkan al-Albâni t dalam Shahih al-Jâmi’ no.
7497
[4] Lihat asy-Syarhul
Kabir bersama kitab al-Inshaf 6/351.
[5] Lihat at-Târikh
al-Hijri karya Dr. Zaid az-Zaid hlm.22.
[6] Fatawa
Al-Lajnah Ad-Dâ’imah Lil Buhûts Al-Ilmiyyah Wal Ifta` 9/200 fatwa no.
9410.
[7] Al-umm 3/118.
[8] Ilâ’ adalah
sumpah seseorang untuk tidak menggauli istrinya melebihi empat bulan (pen)
[9] Masa Iddah adalah
masa menunggu bagi wanita yang ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya
(pen)
[10] diyât secara
terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberi oleh
pelaku jinâyah kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi
disebabkan jinâyah yang dilakukan oleh pelaku jinâyah atas
korban.(edit)
[11] Khiyâr adalah
Hak yang dimiliki orang yang bertransaksi untuk memilih antara dua hal yang
disukainya, meneruskan transaksi atau membatalkannya karena adanya alasan
syar’i atau tuntutan kesepakatan transaksi. (edit)
[12] al-Qishâsh adalah
perbuatan (pembalasan) korban atau walinya terhadap pelaku kejahatan, sama atau
seperti perbuatan pelaku tadi (edit)
[13] Majmu’
al-Fatâwa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/133-134.
[14] Al-Jami’ li
Ahkâm al-Qur`ân 8/133-134.
[15] At-Tafsîr
al-Kabîr 16/53.
[16] lihat At-Tafsîr
al-Kabîr 17/35-36.
[17] At-Tafsîr
al-Kabîr 16/50.
[18] Miftâh Dar
as-Sa’âdah 2/272.
[19] Lihat at-Târikh
al-Hijri hlm.52.
[20] Lihat Ahkâm
wa Fatawa az-Zakah wash-Shadaqât wan Nudzur wal Kaffarât tahun 1423 H
yang diterbitkan oleh Baituz Zakah Kuwait hlm.20.
[21] Hal ini terbaca
dengan jelas pada sebagian perusahaan yang mana neraca keuangannya berpijak
kepada kalender masehi, sebab ia berkait dengan cabang-cabang lain di
negara-negara lain yang juga menggunakan kalender yang sama, sebab kalender
inilah yang digunakan dalam skala internasional dengan tetap memperhitungkan
tambahan pada waktu aktif bagi para pemegang saham, yaitu sebelas hari dalam
setahun, sekalipun awal bulan dan akhirnya di kalender ini tidak berubah dan
tidak berpijak kepada ru`yat yang syar’i.
[22] Lihat al-Asybah
wan Nazhair karya as-Suyuthi hlm. 76 dan al-Mantsûr fil Qawâid
al-Fiqhiyyah 3/171.