Skip to main content

Rahasia Sedekah: Hidup Semakin Berkah


Rahasia Sedekah:  Hidup Semakin Berkah


Tahukah kita dengan arti kata “sedekah”? Ada yang mengatakan sedekah adalah "kunci rezeki”. Orang-orang yang berpendapat seperti ini biasanya percaya bahwa bersedekah orang yang belum kaya pun akan tercukupi rezekinya. Namun, ada lagi pendapat kedua yang mengatakan bahwa “sedekah hanya berlaku bagi orang kaya yang memiliki gelimangan harta”. Benarkah demikian? Untuk orang kategori yang kedua bisa jadi sifat kikirnya lebih dominan daripada sifat pengasihnya. Sayangnya, masih banyak orang atau bahkan kita sendiri secara “tidak sadar” sering memilih untuk mengikuti kategori yang kedua. Biasanya pilihan ini didasari atas kekhawatiran jika terjadi kekurangan dari lingkungan keluarga maupun diri sendiri. Sehingga kita perlu untuk membuang kekhawatiran seperti itu dan menumbuhkan motivasi dengan mengetahui rahasia sedekah.
Sebelum dijelaskan beberapa rahasia sedekah, perlu terlebih dahulu mengetahui sendi-sendi lingkup sedekah. Secara bahasa sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Sedekah dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang untuk kebaikan yang mengharap ridha Allah SWT. Sehingga sedekah merupakan amalan yang dianjurkan sebagai bukti kebenaran ibadah kepada-Nya, seperti yang tertera dalam firman Allah,
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. ” (QS. Al- Baqarah: 195)
Selain itu, sedekah tidak tertutup hanya harta yang bersifat materi namun juga "amalan kebaikan yang non-materi". Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memiliki arti sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit; kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Melalui hadis ini dapat disimpulkan bahwa sedekah merupakan amalan yang luas jangkauannya, tidak terbatas pada harta benda saja. Setelah mengetahui ruang lingkup sedekah, kita akan memaparkan rahasia sedekah agar berkah dan selalu menambahkan kebaikan.
Rezeki Baik untuk Bersedekah
Rahasia sedekah yang pertama adalah menggunakan rezeki yang baik. Rezeki yang baik dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari cara mendapatkannya dan cara menggunakannya. Dengan melihat cara mendapatkannya, seseorang yang bersedekah seyogianya menjauhi harta yang didapatkan dari kemaksiatan, keburukan seperti mencuri dan korupsi. Kemudian rezeki  yang disedekahkan juga harus digunakan dengan kebutuhan baik, bukan untuk kemaksiatan. Jika seseorang yang bersedekah mengetahui kalau hasil sedekahnya digunakan untuk kemaksiatan, maka hukumnya haram. Dengan rezeki yang baik, keberkahan akan mudah didapatkan.

Bersedekah Setiap Saat

Rahasia sedekah yang kedua yaitu rutin terus-menerus. Menurut Syekh Zainuddin Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in,  orang yang ingin berbuat baik seharusnya tidak melewatkan kesempatan bersedekah setiap hari semampunya, meskipun sedikit. Dengan cara bersedekah seperti itu, keikhlasan akan terlatih dan tidak merasa keberatan. Selain itu, ketika sedekah sudah menjadi kebiasaan yang secara konsisten akan memberikan keajaiban melebihi karamah. Karena al-istiqmatu khairun min alfi karamatin, istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah. Maka dari itu, untuk menggapai keberkahan dalam sedekah, kita perlu membiasakan sedekah setiap saat.

Bersedekah Diam-diam

Rahasia sedekah yang ketiga yaitu dilakukan secara diam-diam. Sedekah lebih utama diberikan secara diam-diam dibandingakan dengan terang-terangan. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi bahwa orang yang bersedekah sembunyi-sembunyi akan mendapatkan naungan Allah kelak di hari kiamat. Berikut terjemah hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang sedekah dan menyembunyikannya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang sudah disedekahkan  tangan kanannya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa untuk mencapai keberkahan, sedekah tidak perlu ditunjukkan secara terang-terangan. Hal ini dikhawatirkan akan didominasi sifat pamer dan riya. Meskipun begitu, sedekah yang terag-terangan juga sah-sah saja. Karena yang menerima dari seluruh amal perbuatan kita adalah Allah Swt.
Itulah tadi  beberapa rahasia sedekah yang perlu kita amalkan. Karena sedekah bukan persoalan berapa banyak kita memberi, namun seberapa ikhlas dan kontinyu kita saling membantu antar sesama. Mari bersedekah, semoga kita mendapatkan keberkahan selalu. 

Dalam QS Ali Imran Ayat 133-134, Allah SWT berfirman yang maksudnya:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.” (QS. Ali Imran 133-134)
Sungguh aneh jika kita menelisik berbagai ayat atau hadits mengenai sedekah. Tak ada ayat dan hadits yang menyatakan untuk bersedekah di kala rezeki lapang saja. Justru kita dianjurkan menginfakkan sedekah baik di kala mudah maupun susah. Bukankah hal ini terdengar aneh? Bagaimana kita bisa bersedekah jika kebutuhan diri sendiri saja tidak cukup? Apa maksudnya kita diminta bersedekah padahal kondisi sendiri masih susah? Nah, ternyata di sinilah letak keajaiban sedekahSesungguhnya sedekah bisa membuat rezeki yang sedikit sekalipun menjadi barokah, dalam artian membuat yang sedikit menjadi cukup, yang sempit menjadi lapang.
“Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At Thalak: 7)
Dari ayat di atas jelas bahwa sekalipun dalam kondisi sulit, kita diminta untuk menginfakkan harta. Salah satu contoh Sahabat Rasulullah yang biasa bersedekah sekalipun dalam kondisi sempit dan bisa kita jadikan pelajaran adalah kisah keluarga Ali bin Abi Thalib radiyallaahu ‘anhu, yang ikhlas berbagi bahkan dalam kondisi mereka yang amat miris sekalipun. 
Dikisahkan bahwa saat itu Hasan dan Husein, putra dari Ali dan Fathimah, sedang jatuh sakit. Oleh karena itu, Ali, Fathimah, bahkan juga kedua putranya bernazar untuk melakukan puasa karena Allah selama 3 hari bila diberi kesembuhan atas penyakit yang diderita. 
Allah pun mengabulkan nazar mereka. Hasan dan Husein sembuh. Maka mereka sekeluarga pun berpuasa selama 3 hari untuk memenuhi nazar. Pada hari pertama saat hendak berbuka, tak ada makanan untuk berbuka selain sepotong roti. Namun saat mereka baru saja hendak melahapnya, tiba-tiba saja terdengar suara orang yang mengucapkan salam dari balik pintu. Ali menjawab salam kemudian bangkit untuk menemui orang tersebut.
Rupanya, ada seorang miskin yang menyatakan bahwa dirinya sedang kelaparan karena sudah beberapa hari tidak makan apapun. Ia datang memohon kemurahan hati Ali untuk memberinya sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Sungguh kondisi ini membuat Ali bimbang. Ia tahu bahwa keluarganya juga lapar karena telah berpuasa seharian, akan tetapi orang yang berdiri di hadapannya kini tentu jauh lebih kelaparan daripada keluarganya. Ali pun masuk ke dalam. Ia sampaikan kondisi dan penderitaan orang miskin tadi kepada Fathimah dan kedua putranya. Dengan hati lapang, mereka semua sepakat rela memberikan sepotong roti yang hendak mereka makan kepada orang miskin itu. Tinggallah mereka semua, hanya berbuka dengan beberapa teguk air putih saja, dan pada malam harinya tertidur dengan kondisi menahan lapar.
Pada hari kedua, juga pada saat berbuka, sekali lagi hanya ada sepotong roti yang tersedia bagi keluarga Ali bin Abi Thalib. Roti itu baru saja hendak masuk ke mulut mereka sebagai hidangan berbuka. Namun terdengarlah ucapan salam dari mulut seorang bocah di balik pintu rumah. Ali pun bangkit lalu pergi ke sumber suara. Di sana ia menjumpai seorang bocah yang mengaku yatim dan berkata bahwa dirinya lapar karena ia tidak memiliki orang tua yang memberinya makan. Hati Ali terenyuh mendengarnya, namun ia sadar bahwa keluarganya pun sedang dalam lapar. Akan tetapi begitu luar biasa keluarga Ali bin Abi Thalib, bahkan roti yang hampir dilahap tadi, akhirnya diberikan kepada bocah yatim yang malang itu. Malam kedua, mereka pun merasakan rasa lapar yang bertambah berat.
Hari terakhir berpuasa untuk memenuhi nazar pun mereka jalankan. Kondisi tubuh sudah semakin lemah. Perut melilit dan terasa perih. Namun sedikit pun mereka tiada mengeluh, bahkan mereka berharap ganjaran pahala berlebih dari Allah yang tiada pernah terpejam. Saat berbuka sudah menjelang, sekali lagi hanya sepotong roti yang hendak mereka santap berlima. Kali itu, pintu pun diketuk dan ucapan salam terdengar. Hati mereka was-was karena sudah begitu lapar. Namun sekali lagi Ali bangkit dan pergi ke luar. Di sana ia temui ada seorang tawanan yang baru saja dilepaskan. Seperti tawanan lainnya, ia selalu disiksa dan tidak diberi makan. Ia datang dengan perawakan kurus kering, wajah lusuh dan hampir ambruk karena tidak bertenaga. Ali pun merasakan penderitaannya. Sejurus ia pergi ke dalam, ia sampaikan kondisi manusia malang itu. Dengan sukarela mereka sekeluarga mengikhlaskan roti yang hendak mereka santap. Malam itu pun mereka lalui dengan rasa lapar yang makin menjadi.
Sungguh mengagumkan apa yang dilakukan oleh keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az Zahra ini, mereka mampu mengekang keinginan untuk menyantap hidangan yang disukainya dan justru mengalah dengan lebih memilih bersedekah meski dalam keadaan susah.
Allah memuji keluarga Ali dan Fathimah dan mengisahkannya dalam Al Qur’an surah Al-Insan ayat 7-11:
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.”

Mungkin kondisi kita tak seburuk apa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang menahan lapar tiga hari berturut-turut hanya dengan beberapa teguk air saja. Maukah kita berbagi meski dalam kondisi yang tak ideal? Jika kita tetap dapat bersedekah di kala susah, rezeki yang ada akan menjadi berkah. Bisa jadi dengan jalan Allah limpahkan kesehatan, ketenangan jiwa, kebahagiaan, maupun bentuk kemudahan hidup lainnya. In syaa Allah. (Dari berbagai sumber zakat.or.id dan tabungwakaf.com)

*************************
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th