Skip to main content

Sumber-sumber Zakat dalam Perekonomian Kontemporer-2


Sumber-sumber Zakat dalam Perekonomian Kontemporer-2(Zakat Madu, Zakat Perusahaan, Zakat Saham dan Obligasi, Zakat Hasil Bumi atas Sewa Tanah)



D. Zakat Madu Dan Produksi Hewani
Pendapat Ulama Tentang Zakat Madu
Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat, bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya, dengan syarat lebahnya tidak bersarang di tanah kharajiya, karena tanah kharajiya sudah di pungut pajaknya, sesuai dengan ketentuan bahwa dua kewajiban tidak bisa sama-sama terdapat dalam satu kekayaan oleh satu sebab yang sama pula. Zakat madupun wajib, baik tanah tersebut tanah usyriya maupun tidak begitu pula bila lebahnya bersarang di hutan atau di pergunungan besar zakat madu tersebut adalah 10%. Ahmad juga mewajibkan pengeluaran zakat atas madu demikian juga pendapat Umar, Abu Abdillah yaitu Ibnu Hanbal, Maklul, Az-Zuhri, Sulaiman bin Musa, Auza‟i, dan Ishaq. Dalam al-Bahr diriwayatkan pula dari sumber Umar, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Hadi dan Muayyid Billah, serta juga merupakan pendapat Syafi‟i. Turmizi diriwayatkan oleh jumhur berpendapat demikian pula, tetapi disanggah oleh Ibnu Abdil Bar yang meriwayatkan pendapat yang bertentangan dengan riwayat Jumhur tersebut.

Pendapat yang mewajibkan madu wajib dikeluarkan zakatnya, mengambil alasan dari hadis dan qias.

1. Alasan-alasan berupa Hadist :
a. Landasan hukum : Dari Amru bin Syuaib dari kakeknya dari Nabi Muhammad SAW. berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW. mengambil zakat madu sebesar 1/10 (HR Daruqutni).
b. Hadist Sulaiman bin Musa
Abu sayarah mut‟i: saya bertanaya kepada Rosulullah bahwa saya mempunyai lebah beliau bersabda : keluarkanlah sepersepuluh. Saya meminta kepada Rosulullah, agar gunung saya dilindungi rosullah. Rosulullah melindungi gunung tersebut untuk saya, diriwayatkan oleh Ibnu Ahmad dan Ibnu Majah.

2. Dukungan dari logika dan qias bahwa madu yang terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bungaan yang terus menerus ditimbun itu wajib dikeluarkan zakatnya, seperti halnya bijian dan kurma, karena beban tanggung jawab di dalamnya tidak berbeda dari pada beban tanggung jawab yang terdapat di dalam tanaman dan buahan. Mazhab Abu Hanifah berpendapat bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak sepersepuluh apabila terdapat di tanah usyriya, tetapi bila terdapat di tanah kharajiya tidak wajib dikeluarkan zakatnya sesuai dengan ketentuan bahwa zakat dengan pajak (kharajiya) tidak boleh terdapat pada satu sasaran zakat, karena tanah kharaj telah wajib mengeluarkan pajak untuk pengembangan dan penanamannya, yang oleh karena itu maka tidak wajib lagi mengeluarkan kewajiban-kewajiban yang lain hanya imam Ahmad menyamakan status kedua macam tanah itu dan mewajibkan pemilik madu untuk mengeluarkan zakat madunya, baik madu tersebut berada di tanah usyriya maupun di tanah kharaj Sedangkan Malik, Syafi‟i Ibnu Abi laila, Hasan bin Abi Shalih dan Ibnu Al-Mundziri berkata bahwa madu tidak wajib zakat dengan alasan :

a. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Mundziri, bahwa madu wajib zakat itu tidak terdapat Hadist yang pasti maupun ijmak, yang oleh karena itu tidak wajib zakat
b. Bahwa madu adalah cairan yang keluar dari hewan seperti susu, sedangkan susu menurut ijmak, tidak wajib zakat.

Pendapat Abu Ubaid
Dalam hal ini, Abu Ubaid bersikap menengah antara yang mewajibkan zakatnya, karena melihat hadist-hadist yang membicarakan masalah tersebut berbeda-beda meskipun ia sendiri cenderung untuk mewajibkan zakatnya. Setelah mengemukakan kedua pendapat tentang zakat madu tersebut, ia mengatakan, “saya melihat orang-orang yang berpendapat
demikian seakan-akan mewajibkan pemilik-pemilik madu itu mengeluarkan zakatnya, menganjurkannya atau tidak suka kepada orang yang membayar zakat madu tersebut, padahal mereka tidak berkewajiban demikian, yang sama wajibnya dengan zakat hasil tanah dan binatang ternak dan orang yang tidak membayarnya harus diperangi. Hal itu oleh karena kesahihan hadist dari Rasulullah dalam masalah ini tidak setegas kesahihan hadist tentang kewajiban zakat hasil bumi dan binatang ternak. Bila zakat madu sama kedudukannya dengan zakat yang lain, tentu ia akan mempunyai waktu dan ketentuan ketentuan yang lain, seperti ketentuan jumlah wasaq mengenai hasil bumi dan 40 mengenai kambing juga oleh karena tidak ada buku-buku tentang zakat yang mewajibkan zakatnya. Begitu pula tidak ada seorang imampun sesudahnya yang menetapkan wajibnya zakat madu tersebut. hanya terdapat ketentuan bahwa bila seseorang imam diberi zakat madu tersebut agar menerimanya, seperti Umar bin Al-Khattab menerima dari Adu Zubab. Kemudian ia berkata, “ketegasannya adalah bahwa tidak membayar zakat madu bearti mengurangi bakti kepada agama, tetapi memungutnya dengan paksa atau tidak, tidak ada dasarnya”. (Qardawi 2007, hal. 401).

Pendapat yang Lebih Kuat Tentang Zakat Madu
1. Keumuman nash yang tidak membeda-bedakan satu jenis kekayaan satu harta dari kekayaan lainnya. Misalnya firman Allah :
Pungutlah zakat dari harta benda mereka, dan firmanNya, keluarkanlah oleh sekalian sebagian hasil yang kalian peroleh, dan sebagian dari yang kami keluarkan untuk kalian dari bumi”.
2. Qias zakat madu itu dengan hasil tanaman dan buah-buahan.
Yaitu bahwa penghasilan yang di peroleh dari bumi dinilai sama dengan penghasilan yang diperoleh dari lebah.
3. Hadist-hadist yang menyangkut masalah itu diriwayatkan dari sumber yang banyak. Semua hadist tersebut menurut Ibnu Qayyim saling menguatkan dan mempunyai sumber riwayat yang banyak, dan yang mursal dikuatkan oleh yang musnat. Karena itulah Turmizi tidak menolak kesahihan hadisthadist tentang masalah ini secara tegas seperti penolakan orang lain.

Besar Zakat Madu
Para ulama yang mewajibkan zakat madu sepakat bahwa besar zakat madu adalah 10% berdasarkan hadist-hadist diatas dan pengiasannya kepada tanaman dan buah-buahan untuk itu dimasukkan kedalam faktor kesulitan dan biaya. Abu Ubaid meriwayatkan dari Umar tentang zakat madu. Bila madu tersebut berada di tanah datar maka zakatnya sepersepuluh tetapi bila berada di pegunungan maka zakatnya seperdua puluh. Dengan demikian jelas bahwa kesulitan dan biaya berpengaruh dalam mengurangi besar wajib zakat, sama halnya dengan hasil tanaman. Jadi zakat madu diambil dari pendapatan bersih madu tersebut atau setelah biaya-biaya dikeluarkan, sebesar sepersepuluh, sama halnya dengan zakat tanaman dan buahbuahan.

Nisab Zakat Madu
Mengenai besar nisab madu, tidak ada hadist yang menentukanya dengan tegas, oleh karena itu para ulama berbeda-beda pendapat dalam masalah itu. Abu Hanifah berpendapat bahwa baik sedikit maupun banyak zakatnya sepersepuluh, berdasarkan pada landasan biji-bijian dan buah-buahan. Menurut Abu Yusuf, nisab madu diukur sama dengan nilai lima wasaq gandum yang paling rendah kualitasnya. Bila harganya mencapai nilai tersebut, wajib zakat sebesar sepersepuluh sedangkan bila tidak, tidak wajib pula zakatnya hal itu berdasarkan ketentuan nisab wasaq barang yang tidak bisa ditimbang.

Menurut Ahmad nisab madu sepuluh farq, Umar diriwayatkan berpendapat demikian. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa nisab madu besarnya sama dengan harga lima wasaq makanan pokok tingkat sedang seperti gandum, karena gandum adalah makanan pokok tingkat sedang internasional. Syariat telah menetapkan besar nisab hasil tanaman dan buah-buahan lima wasaq sedangkan madu diqiaskan kepada hasil tanaman tersebut karena itulah dipungut zakatnya sepersepuluh.

Sedangkan produk hewani sepeti sutera, susu dan sebagainya zakatnya sama dengan madu sebesar sepersepuluh dari penghasilan bersih (berlaku pada ternak-ternak piaraan yang khusus diambil susunya dan tidak merupakan barang dagangan). Ketentuan yang bisa kita tegaskan di sini adalah bahwa dasar yang belum dikeluarkan zakatnya wajib dikeluarkan zakatnya dari produksinya, seperti hasil tanaman dari tanah, madu dari lebah, susu dari binatang ternak, telur dari ayam, dan sutera dari ulat sutera. Hal ini adalah pendapat imam Yahya, salah satu seorang Fuqaha Syi'ah, yang mewajibkan sutera dikeluarkan zakatnya. Seperti zakat madu karena kedua-duanya dikeluarkan dari pohon. Tetapi tidak mewajibkan zakat pada ulat suteranya seperti juga tidak pada lebahnya, kecuali jika ulat sutera tersebut untuk perdagangan.

Jadi, Jumhur ulama tidak mewajibkan zakat madu dengan alasan tidak ada dalil yang kuat. Abu Hanifah dan Ahmad mewajibkan zakat madu dengan dasar keumuman ayat dan hadits. Imam Abu Hanifah tidak menetapkan nishab madu dan menetapkan tarifnya 10 %. Imam Ahmad menentukan nishabnya sebanyak 16 liter Bagdadi. Sebagian Ulama menganalogikan pada hasil pertanian maka nishabnya adalah senilai 652,8 kg sedangkan tarifnya 10 % jika terdapat di tanah yang datar dan 5 % jika berada di pegunungan.

Para ulama bersepakat bahwa zakat madu diambil dari pendapatan bersih madu, atau setelah dikurangi dari biaya-biaya untuk mendapatkannya dan besarnya sepersepuluh (10%). Sedangkan zakat atas produk hewani seperti harus diperlakukan sama dengan madu. Hal ini berlaku pula pada ternak-ternak piaraan yang memang khusus diambil susunya dan tidak merupakan barang dagangan. Zakat atas produk hewani adalah sebesar sepersepuluh dari penghasilan bersih atau setelah dikurangi biaya-biaya. Diantara ulama fiqh ada pula yang berpendapat jika seseorang yang membeli hewan untuk dijual produknya, misalnya sapi untuk dijual susunya, ulat sutera untuk dijual suteranya, atau sejenisnya; maka orang itu harus menghitung nilai benda-benda tersebut dengan produknya pada akhir tahun, lalu mengeluarkan zakatnya seperti zakat perniagaan (2,5%). Apabila madu dipanen dari miliknya, atau dari tempat tidak bertuan dari pohon-pohon dan gunung-gunung, maka zakatnya sepersepuluh. Nisabnya adalah seratus enam puluh (160) kati Iraq, yaitu sama dengan enam puluh dua (62) kg. Jika ia menjual belikan madu, ia mengeluarkan zakatnya sebagai barang dagangan, yaitu seperempat puluh (1/40).

Produksi hewani seperti madu, telur, sutera dan susu merupakan bentuk dari usaha yang dapat mengakibatkan kekayaan pada seseorang. Dengan demikian, ia menjadi suatu keniscayaan untuk dikeluarkan zakatnya. Para ulama yang mewajibkan zakat madu dan produk hewani lainnya menggunakan qiyas (analogi) dengan zakat hasil tanaman dan buah-buahan bahwa penghasilan yang dihasilkan dari bumi (tanah) dinilai sama dengan penghasilan yang dikeluarkan oleh lebah, ulat, dan sebagainya. Nishab zakat untuk produksi hewani seperti madu, susu, telur, sutera, dan sebagainya adalah setara dengan 653 Kg makanan pokok yang ada di negeri tersebut tanpa harus menunggu masa satu tahun (haul). Sedangkan kadarnya adalah 10% dari pendapatan bersih setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan (Qardawi 2007, hal. 404).

E. Zakat Perusahaan
Definisi Zakat Perusahaan
Yusuf Qardawi menghimpun jenis ini dengan sebutan harta yang diusahakan, yaitu harta yang diusahakan oleh para pemiliknya untuk berusaha dengan cara menyewakannya atau
menjual hasilnya. Perbedaanya dengan harta perniagaan adalah bahwa keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan adalah lewat penjualan atau pemindahan benda-benda itu ke tangan orang lain. Sedangkan harta perusahaan masih berada di tangan pemilik, dan keuntungan diperoleh dari penyewaan atau penjualan produknya.

Zakat perusahaan (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Gejala ini dimulai dengan prakarsa para pengusaha dan manajer muslim modern untuk mengeluarkan zakat perusahaan. Kaum cendekiawan muslim ikut mengembangkan sistem ini, dan akhirnya BAZ (Badan Amil Zakat) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) juga ikut memperkokoh pelaksanaannya. Para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas (Hasan 2003, hal. 161).

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi dalam bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, maka syariat Islam dalam bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah perusahaan ditempatkan sebagai muzakki/wajib zakat.

Dasar Hukum Zakat Perusahaan
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang. Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersamasama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah SWT. dalam bentuk zakat. (Khalid 2007, hal. 55). Demikian halnya juga, para ulama sepakat bahwa hukummenginvestasikan harta melalui pembelian/pemilikan saham adalah sah secara syar‟i dan keuntungannya wajib dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan dapat diketahui pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat itulah zakat di wajibkan. Namun para ulama berbeda tentang kewajiban pengeluaran zakatnya.

Pendapat pertama, yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa dalam kitabnya “al-Muamalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha”, mengatakan bahwa yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini dikarenakan saham-saham itu terletak pada alat-„alat, perlengkapan, gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya.
Namun keuntungan yang diperoleh dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.

b. Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti perusahaan yang menjual hasil–
hasil industri, perusahaan dagang Internasional, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham-saham perusahaan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari
keuntungan yang diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris
lainnya baru kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.

c. Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan bahwa saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjual-belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut, karena itu wajib dizakati. Ini termasuk dalam kategori barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%. Caranya adalah setiap akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga saham sesuai dengan harga yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya dengan keuntungan yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai nisab maka wajib dizakatkan. Beda halnya, Yûsuf Qardâwi mengatakan jika saham perusahaan berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain lain, maka saham perusahaan tersebut tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang diperoleh sebesar 10%. Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang diperdagangkan. Zakat dapat dikenakan pada saham dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urûd tijârah. Besarnya suku zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga berlaku untuk aset serupa yang dimiliki oleh perorangan.

Al-hasil, dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan, belum lama ini telah mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang ijtima‟ telah mewajibkan zakat perusahaan. Menurut Agustianto Mingka dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 267 :
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Perhitungan Zakat Perusahaan
Ketentuan Zakat Perusahaan :
a. Berjalan 1 tahun (haul), Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir dalam satu tahun kemudian dikeluarkan zakatnya.
b. Nisab zakat perusahaan sama dengan nisab emas yaitu senilai 85 gr emas c. Kadarnya zakat sebesar 2,5 %
d. Dapat dibayar dengan uang atau barang
e. Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

Perhitungan : (Modal diputar + Keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) - (hutang + kerugian) x 2,5 %.
Contoh : “Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dan lain-lain) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 94 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 94 gram emas (asumsi jika pergram Rp 75.000,- = Rp 6.375.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % ”.

Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari nishab). Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1. Kekayaan dalam bentuk barang
2. Uang tunai
3. Piutang

Maka yang dimaksud dengan harta perusahaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh: Sebuah perusahaan mebel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sebagai berikut :
1. Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp 10.000.000
2. Uang tunai Rp 15.000.000
3. Piutang Rp 2.000.000
4. Jumlah Rp 27.000.000
5. Utang & Pajak Rp 7.000.000
6. Saldo Rp 20.000.000
7. Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dan lain-lain, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang). Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dan lain-lain, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:

a. Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti taksi, kapal, hotel, dan lain-lain, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.
b. Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.

Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Hal tersebut dikuatkan oleh keputusan seminar zakat di Kuwait, tanggal 3 April 1984 tentang zakat perusahaan sebagai berikut:
Zakat perusahaan disamakan dengan perdagangan apabila kondisi-kondisi sebagai berikut terpenuhi :
1. Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat perusahaan tersebut.
2. Anggaran Dasar perusahaan memuat hal tersebut.
3. RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal itu.
4. Kerelaan para pemegang saham menyerahkan pengeluaran zakat sahamnya kepada dewan direksi perusahaan.

Pendapat ini berdasarkan prinsip usaha bersama yang diterangkan dalam hadis Nabi SAW. tentang zakat binatang ternak yang penerapannya digeneralisasikan oleh beberapa madzhab fikih dan yang disetujui pula dalam Muktamar Zakat I. Idealnya perusahaan yang bersangkutan itulah yang membayar zakat jika memenuhi keempat kondisi yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka perusahaan harus menghitung seluruh zakat kekayaannya kemudian memasukkan ke dalam anggaran tahunan sebagai catatan yang menerangkan nilai zakat setiap saham untuk mempermudah pemegang saham mengetahui erapa zakat sahamnya. (Fatwa zakat kontemporer).

Mengingat penganalogian zakat perusahaan kepada zakat perdagangan maka pola penghitungan, nisab dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar penghitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada suatu riwayat yang diterangkan Oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayarzakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki” Dari penjelasan di atas maka pola penghitungan zakat perusahaan adalah didasarkan pada neraca (balance sheet) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metoda penghitungan ini biasa disebut dengan metoda Syariyyah, Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan penghitungan zakat perusahaan (Khalid 2007, hal. 56).

F. Zakat Saham dan Obligasi
Saham dan obligasi adalah salah satu bentuk dari surat-surat berharga. Surat-surat berharga adalah: “Dokumen untuk menetapkan adanya hak pemilikan dalam suatu proyek atau hutang dalam hal itu”. Transaksi dalam surat berharga tersebut bukan atas surat itu sendiri melainkan atas hak-hak yang dipresentasikan oleh kertas-kertas tersebut. Surat berharga dalam hal ini yang dipresentasikan adakalanya berupa bonds (surat pengakuan hutang/obligasi). Masing-masing jenis surat berharga tersebut mempunyai pembagian yang bermacam-macam sesuai dengan sifat hak dan kewajiban yang terkandung oleh surat-surat tersebut. (Ali 2003, hal. 58).

1. Zakat Saham
Saham adalah kertas yang mempresentasikan hak pemiliknya dalam pemilikan sebagian dari perusahaan dan memberikannya hak untuk ikut serta dalam mengatur dalam perusahaan, baik dengan jalan saham atau dengan jalan komisaris. Menurut Abdurrahman Isa, tidak semua saham dizakati, apabila saham-saham itu berkaitan dengan perusahaan/perseroan yang menangani langsung perdagangan, untuk diperdagangkan; maka wajib dizakati seluruh sahamnya. Tetapi apabila saham itu berkaitan dengan perusahan/perseroan yang tidak menangani langsung perdagangan atau tidak memproduksi barang untuk diperdagangkan, seperti perusahaan bus angkutan umum, penerbangan, pelayaran, perhotelan, dimana nilai saham-saham itu terletak pada pabrik-pabrik, mesin-mesin, maka pemegang saham tidak wajib menzakati saham-sahamnya, tetapi hanya keuntungan dari saham itu digabungkan dengan harta lain yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib menzakatinya.

Contoh operasional dasar-dasar perhitungan zakat saham :
Untuk menghubungkan hukum-hukum fiqh dan dasar-dasar perhitungan zakat saham diatas dengan penerapan operasional, berikut dipaparkan contoh penerapannya :1000 lembar saham dari perusahaan Al-Mu‟amalat Al-Islamiyah. Nilai nominal perusahaan 500 dinar. Harga pasar ketika datang waktu pembayaran zakat adalah 600 dinar dan keuntungan yang dicapai selama setahun adalah 20 dinar per lembar saham.

Jawab :
Saham Perusahaan : 1000 x 600 dinar : Rp. 600.000
Deviden/ keuntungan : 1000 lembar x 20 dinar : Rp. 20.000
Total : Rp. 620.000
Berdasarkan hal di atas, sesungguhnya hukum Islam, hukum asalnya adalah kewajiban zakat dibebankan kepada pemilik saham dan boleh bagi perusahaan membantu mereka atas perhitungan zakat setiap saham. Berdasarkan keterangan informasi yang dimiliki serta menyerahkan proses, pembayaran kepada pemilik saham. Hal ini jika tidak ada peraturan perusahaan atau undang-undang negara yang mengharuskan perusahaan untuk membayar zakat. Apabila sebuah perusahaan sudah membayarkan kewajiban zakat hartanya, para pemilik saham tidak lagi berkewajiban mengeluarkan zakat dari kepemilikan saham. Tetapi, apabila perusahaan tidak membayarkan kewajiban zakat hartanya, maka para pemilik saham wajib mengeluarkan zakat saham dengan perhitungan zakat sebagai berikut:

1. Apabila kepemilikan saham bertujuan untuk penerimaan laba perusahaan (deviden), saham tersebut masuk dalam ketentuan wajib zakat dari kategori aset keuangan, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut: Jika pemilik saham dapat mengetahui nilai setiap saham dari total kekayaan perusahaan yang wajib zakat, si pemilik tersebut wajib membayar zakat kepemilikan sahamnya sebesar 2,5% dari nilai saham tersebut. Akan tetapi, jika si pemilik tidak dapat mengetahuinya, maka laba saham tersebut dengan asset keuangan lainnya harus digabungkan.

2. Seandainya kepemilikan saham bertujuan untuk diperjual belikan (capital gain), saham tersebut masuk dalam ketentuan wajib zakat dari kategori zakat perniagaan.
Contoh :
Ibu Amanda memiliki 650.000 lembar saham pada PT Anugerah Makmur, dengan harga nominalnya Rp. 5.000 per lembar. Pada akhir tahun atau setelah satu tahun kepemilikan, ia memperoleh laba (deviden) sebanyak 550 per lembar, maka penghitungan zakatnya adalah:
Nilai saham 650.000 X 5.000 = Rp. 3.250.000.000,-
Laba saham 5.000 X 550 = Rp. 2.750.000,-
Rp. 3.252.750.000,-
Maka zakatnya adalah 2,5% X 3.252.750.000 = Rp. 81.378.750,-

2. Zakat Obligasi
Obligasi merupakan istilah dari surat berharga bagi penerapan hutang dari pemilik/pihak yang mengeluarkan obligasi atas suatu proyek dan memberikan kepada pemegang hak bunga telah disepakati. Disamping nilai nominal obligasi tersebut pada saat habisnya masa. Obligasi ialah surat pinjaman dan sebagainya yang dapat diperdagangkan dan biasa dibayar dengan jalan untuk tiap-tiap tahun. Kalau pemegang perusahaan turut memiliki perusahaannya dan nilai/kurs saham-sahamnya bisa naik-turun, sehingga pemilik sahamnya bisa untung-rugi, seperti Mudharabah, maka berbeda dengan pemilik obligasi, sebab ia hanya memberikan pinjaman kepada pemerintah, bank yang mengeluarkan obligasi dengan diberi bunga tertentu dan dalam jangka waktu tertentu berlaku obligasi itu.

Mengenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang obligasi, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia tidak wajib menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara penuh, karena masih hutang, belum di tangan pemiliknya. Demikianlah pendapat Malik dan Abu Yusuf. Apabila sudah bisa dicairkan uang obligasinya, maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5 % (Hasan 2003, hal. 59).

G. Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan
Para ulama‟ telah sepakat mewajibkan zakat atas hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan yang sudah mencapai nisabnya (750 kg) pada setiap panen, berdasarkan Al-Qur‟an surat Al-An‟am ayat 141 yang artinya: “Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. Hadist Nabi (dari Ibnu Umar r.a bahwa Nabi SAW.) bersabda : “Tanam-tanaman yang dialiri oleh hujan dan mata air atau air yang datang sendiri, zakatnya sepersepuluh, dan yang dialiri dengan alat penyiram seperduapuluh”. (Hadist riwayat Bukhari dan lainlain).

Ayat di atas menunjukan bahwa semua hasil bumi wajib dizakati tanpa ada terkecuali termasuk pula hasil yang terkena pajak, tanaman keras seperti cengkeh, tanaman hias seperti bunga anggrek, semua jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Zakat bumi ini berkaitan dengan masa panennya bukan setahun sekali tetapi bisa lebih dari sekali, jika bisa panen lebih dari sekali setahun dan sebaliknya bisa lebih dari setahun sekali zakatnya,
jika tanaman itu panennya lebih dari setahun.

Ulama hanya mewajibkan zakat atas empat macam hasil tanam-tanaman dan buah-buahan yang ditetapkan berdasarkan nash itu tidak berarti bahwa selain empat macam hasil bumi tersebut bebas zakat sama sekali. Sebab apabila selain empat macam hasil bumi yang ditetapkan zakatnya berdasarkan nash hadist itu ditanam untuk dijadikan komoditi perdagangan, maka sudah tentu wajib dizakati atas nama perdagangan (2,5% setahun) bukan zakat hasil pertanian/perkebunan, misalnya cengkeh, tebu dan kopi. Maka dari itu, apabila hasil bumi berupa tanam-tanaman dan buah-buahan ditanam di atas tanah sewaan, siapakah yang wajib menzakati hasil tanah yang disewakan, pemilik tanahkah atau penyewa tanah yang mengeluarkan zakat hasil tanahnya?

Pendapat Ulama Tentang Zakat Hasil Bumi Atas Tanah Yang Disewakan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat, jika ada orang yang menyewa sebidang tanah lalu ditanaminya atau dia meminjam tanah kemudian menanaminya dengan tanaman yang berbuah, maka hasil atas tanah itu dikenakan zakat. Kewajiban mengeluarkan zakat dibebankan kepada penyewa atau orang yang meminjam tanah itu, bukan kepada pemilik tanah karena sesungguhnya zakat itu diwajibkan atas tanaman. Tidak adil bila kewajiban zakat diberikan kepada pemilik tanah sebab zakat dikenakan atas tanamannya, dengan demikian dia berkewajiban mengeluarkan zakat karena menanami tanahnya. Begitulah keterkaitan antara zakat, tanah, dan tanamannnya. Mahmud Syaltut memperkuat pendapat jumhur dengan alasan bahwa beban zakat berkaitan dengan hasil tanamannya, sehingga zakatnya itu sebagai pernyataan syukur yang bersangkutan atas hasil tanaman yang baik, selamat dari musibah banjir, hama wereng dan sebagainya.

2. Abu Hanifah berpendapat, pemilik tanah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya, sebab tanah itulah asal mula timbulnya kewajiban zakat, tiada tanah tiada pula hasil tanaman. Madzab Maliki dan Syafi‟i tidak sepakat dengan Abu Hanifah, mereka mengatakan, kewajiban zakat tanah sewaan dibebankan kepada pihak penyewa karena tanah yang menghasilkan diwajibkan zakatnya sebesar sepersepuluh dan yang menikmati hasil tanah itu adalah pinak penyewa. Oleh karena itu pihak penyewa dibebani untuk membayar zakat sebesar sepersepuluh dan dia dianggap sebagai peminjam, akan tetapi kita harus meminta Fatwa imam untuk melaksanakannya karena begitulah makna lahiriyah riwayat yang ada. Bila kewajiban zakat atas penyewa itu akan membawa manfaat yang lebih bagi fakir miskin, kewajiban itu mesti dilaksanakan karena memang begitulah fatwa ulama‟ mutaakhirin.

Berkata Ibnu Rusyd, ”sebab pertikaian mereka adalah, apakah zakat itu kewajiban tanah atau kewajiban tanaman, ataukah kedua-duanya, yakni tanah dan hasilnya. Nampaknya Jumhur melihat kepada harta benda yang wajib dizakati, ialah berupa hasil tanaman itu, sedangkan Abu Hanifah melihat kepada “harta benda yang menjadi asal mula timbulnya kewajiban zakat yaitu tanah”. Maka dari itu Ibnu Qudamah memandang pendapat jumhur lebih kuat, katanya, ”zakat itu wajib pada tanaman, maka terpikullah atas si pemilik tanaman itu, seperti menzakatkan uang sebagai harga dari barang dagangan, dan mengeluarkan tanaman hasil tanah kepunyaan sendiri. Jalan yang baik dan aman dalam pandangan agama adalah zakat dikeluarkan oleh pemilik tanah dan penyewa walaupun jumlah yang dikeluarkan tidak sama besarnya”. Mungkin si pemilik tanah yang lebih besar atau sebaliknya atas kesepakatan bersama pada saat di buat perjanjian sewa-menyewa, dapat juga dengan cara bahwa pemilik tanah mengeluarkan zakat dari hasil sewanya bila telah mencapai nisab,demikian juga penyewa tanah mengeluarkan zakat dari hasil tanah yang dikelolanya, dengan jalan ini baik pemilik tanah maupun penyewanya telah bersih jiwanya atau dirinya. Begitu pula dengan harta yang diperoleh pemilik tanah (sewanya) dan penyewa (hasil tanah yang diolah) telah bersih dari hak orang lain di dalamnya. Dengan cara ini tidak ada helah atau upaya dari masing-masing pemilik dan penyewa membebaskan diri dari kewajiban zakat, namun kuncinya sangat tergantung kepada kesadaran kedua belah pihak.

Akan tetapi dari pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan di atas bahwa yang berhak mengeluarkan zakatnya adalah penyewa tanah atau yang memiliki tanaman tersebut yang
mana sesuai dengan pendapat jumhur yang lebih kuat yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dan juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi‟i, Ats-Tsauri Ibnu Mubarak, Abu Tsaur dan golongan fuqaha‟ lainnya. Sedangkan zakat yang harus dikeluarkan darinya ialah 10% atau 5% tergantung dari tanahnya apa diairi dengan alat mekanik (dengan biaya) atau tidak, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/disepakati para ulama‟ berdasarkan hadist Nabi. (Didin 2002, hal. 65).

Yusuf Qardawi memberikan pendapat bahwa menguatkan pendapat jumhur yang mewajibkan zakat kepada pihak penyewa sehingga dia berkewajiban membayar uang sewanya dan sekaligus membayar zakatnya, sementara pihak pemilik tidak dibebani membayar zakat. Imam Al-Rafi’i dalam Syarah Al-Kabir juga sama pendapatnya dan mengatakan : Tidak ada perbedaan antara tanah milik dan tanah dapat menyewa dalam hal wajib zakat 10% (atau 5%). Penyewa membayar zakat dan uang sewanya seperti halnya seorang pedagang yang menyewa tempat untuk berdagang (toko), dia membayar uang sewa toko dan zakat dagangannya. Selanjutnya Qardawi mengkritisi dan mengatakan bahwa pendapat ini tidak dapat diterima dengan alasan bahwa karena pedagang akan membayar zakatnya setelah mencapai haul dan setelah menghitung biaya-biaya yang telah dikeluarkan, termasuk uang sewa dan gaji pegawai dan lain-lainnya pertanian tidak demikian, dia harus membayar zakatnya pada setiap kali panen. Menurut Qardawi yang adil adalah dikenakan wajib zakat pada keduanya karena keduanya telah sama-sama memperoleh hasilnya. Tidaklah benar apabila membebaskan sama sekali pihak penyewa dan membebankan keseluruhannya kepada pihak pemilik seperti ketentuan madzhab Abu Hanifah, atau membebaskan pihak pemilik sama sekali dan membebankan keseluruhannya kepada pihak penyewa seperti ketentuan Jumhur ulama, tetapi harus dibebankan kepada keduaduanya.

Ibnu Rusydi telah mengingatkan dengan pemikiran filsafatnya bahwa beban kewajiban yang menyangkut pertanian bukanlah beban atas tanah semata-mata dan bukan pula beban atas tanaman semata-mata, tetapi beban atas kedua-duanya. Ini berarti bahwa beban kewajiban itu ditanggung bersama antara pemilik dan penyewa. Selanjutnya Qardawi menjelaskan mengenai teknisnya dengan contoh-contoh di Mesir. Di sini seandainya pemilik tanah menyewakan tanahnya seluas 10 Ha dengan harga 2 juta permusim atau 4 juta pertahun dan penyewa memperoleh hasilnya 6,5 ton perhektar permusim atau 13 ton perhektar pertahun, maka pemilik mengeluarkan zakatnya 10% X Rp. 40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00 sedangkan penyewa mengeluarkan zakatnya 10% X 65 ton ditambah 20% (catu/upah derep) dikurangi uang sewa Rp.40.000.000,00, jika harga gabah rata-rata Rp 1.250.000,00 perton, maka zakatnya = 10% X 78 ton – 30 ton = 4,8 ton atau uang senilai Rp. 6.000.000,00. (Fiqh al-Zakat, I : 398-403).

Pengembangan illat hukum selanjutnya dapat dilihat dari praktek-praktek di lapangan, bahwa pemilik tanah, terutama yang mencapai puluhan hektar menyewakan tanahnya pada setiap tahun dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dengan resiko yang relatif kecil, seperti halnya memiliki investasi berupa hotel atau tempat-tempat penginapan yang sengaja dibangun untuk disewakan. Demikian pula orang-orang yang menyewa tanah dalam jumlah yang besar, ditanami padi, jagung, tebu, tembakau, bawang, dan palawija tujuannya untuk mengembangkan usaha melalui sektor-sektor yang dianggap akan menguntungkan. Dengan demikian pola usaha yang mereka lakukan bukanlah pola petani, tetapi pola pengusaha. Dalam prakteknya telah banyak orang yang membeli sawah berpuluhpuluh hektar dengan tujuan untuk disewa-sewakan. Dengan demikian mereka dikenakan wajib zakat usaha, bukan zakat pertanian, dengan menghitung haul dan masing-masing hanya mengeluarkan 2,5%-nya. (Fahrur 20011, hal. 111).

Nishab dan Kadar Zakat Sewa Tanah
Bagi yang menyewakan sebidang tanah yang ia miliki, maka ia wajib membayar zakat harga (sewa) berupa uang bila telah mencapai nishab (seharga 85 gram emas murni) dan berlalu satu tahun dari sejak akad sewa-menyewa dengan kadar zakat 2,5%. Dari „Ali RadhiyAllahu „anhu, ia berkata, “Tidak ada kewajiban zakat untukmu sehingga engkau memiliki 20 dinar (85 gram emas) dan tekah lewat setahun. Yang zakatnya adalah setengah dinar”. Hasan. HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi 620. (Hasan 2003, hal. 12).

Contoh Perhitungan : Seseorang memiliki sebidang tanah yang disewakan dengan sewa sebesar Rp. 20.000.000. Kadar nishab adalah 85 gram emas. Seandainya harga setiap gram emas adalah Rp. 200.000 maka nishabnya adalah Rp. 17.000.000. Dengan demikian uang hasil sewa tanah tersebut mencapai nishab dan harus dihitung zakatnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan : 2,5% x Rp. 20.000.000 = Rp. 500.000. 
(Sumber: https://www.academia.edu/34025447/FIQIH_ZAKAT_SHODAQOH_DAN_WAKAF )

***************************


Kontributor: Saprida, MHI. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th