ZAKAT BUMI DAN BANGUNAN
Oleh ; Ustadz Kholid Syamhudi Lc; Ust. Sofyan Kaoy Umar (Editor)
Perkembangan permasalahan zakat itu demikian pesat dan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat juga semakin meningkat dan membaik. Namun pengetahuan dan informasi seputar fikih zakat tidak setara dengan peningkatan semangat membayar zakat pada masyarakat, terkhusus masalah zakat tanah dan bangunan.
Dewasa ini, tanah dan bangunan merupakan properti yang sangat dibutuhkan dan banyak digemari para pengusaha, karena kebutuhan masyarakat kepada bangunan rumah atau tempat usaha semakin hari semakin meningkat. Maraknya usaha properti ini belum seimbang dengan informasi seputar hak-hak yang harus dikeluarkan, diantaranya zakat sehingga perlu ada sosialisasi tentang pensyariatan zakat bumi dan bangunan ini dengan rincian hukum-hukumnya.
Sudah dimaklumi dalam fikih zakat, bahwa hukum-hukum seputar zakat bumi dan bangunan berbeda-beda sesuai dengan niat pemiliknya. Hukum-hukum ini berubah sesuai dengan niat pemiliknya, apakah untuk niaga, sewa atau dipakai sendiri dan niat lainnya.
HAKEKAT ZAKAT BUMI DAN BANGUNAN.
Zakat bumi dan bangunan bila dikembalikan kepada istilah syariat dan etimologi bahasa Arab dinamakan zakat al-‘Iqâr. Al-‘Iqâr berdasarkan definisi dari para Ulama adalah tanah dan semua bangunan yang ada di atas tanah tersebut yang dimiliki oleh seseorang dengan salah satu cara kepemilikan yang diakui syari’at, misalnya menjadi miliknya dengan sebab membuka lahan baru, warisan, jual beli atau dengan sebab pemberiaan.
Kewajiban mengeluarkan zakat bumi dan bangunan ini tidak terpengaruh oleh cara kepemilikan, asalkan cara kepemilikan itu dibenarkan syari’at. Kewajiban zakat juga tidak terpengaruh dengan keadaan si pemiliknya yang sudah baligh dan berakal atau belum, yatim atau tidak yatim, pun tidak terpengaruh dengan status kepemilikannya terhadap tanah dan bangunan tersebut, maksudnya, dia sebagai pemilik tunggal atau milik orang banyak dan dia salah satu diantara yang memilikinya.
Wajib atau tidaknya mengeluarkan zakat bumi dan bangunan tergantung pada niat si pemilik berdasarkan keumuman hadits Umar bin al-Khathab radhiyAllâhu ‘anhu yang berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungghnya amalan itu tergantung pada niat dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrah untuk meraih dunia atau menikahi seorang wanita maka hijrahnya tersebut hanya kepada yang diniatkannya tersebut. (HR. Al-Bukhâri).
Terkait niat ini, kepemilikan bumi dan bangunan dan semisalnya dapat dibagi dalam lima kategori:
Bumi Dan Bangunan Yang Wajib Dizakati
Yang masuk dalam kategori ini hanya satu jenis yaitu bumi dan bangunan yang disiapkan oleh pemiliknya untuk diperjual belikan. Bumi dan bangunan seperti ini wajib dizakati karena termasuk barang dagangan yang diwajibkan zakat dan masuk dalam keumuman dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat pada harta yang disiapkan untuk niaga; diantaranya :
· Firman Allâh Azza wa Jalla :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka [At-Taubah/9:103]
· Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian [Adz-Dzâriyât/51:19]
· Hadits Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِمَّا نَعُدُّهُ لِلْبَيْعِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari semua yang kami siapkan untuk perniagaan. [HR. Abu Daud. Hadits ini dinilai sebagai hadits yang hasan oleh syaikh Bakr abu Zaid rahimahullah namun di lemahkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah].
Ukuran Wajib Zakat.
Ukuran zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari nilainya ketika jatuh tempo wajib zakat. Misalnya, jika nilainya adalah Rp. 200.000.000. maka dikeluarkan 2,5 % X 200.000.000 = Rp. 5.000.000
Cara Mengeluarkannya
Ketika telah genap setahun (haul) terhitung sejak tanggal kepemilikan bumi dan bangunan yang dipersiapkan untuk diperjual belikan tersebut atau terhitung sejak memiliki harta seharga bumi dan bangunan tersebut, maka pemiliknya berkewajiban menerapkan kaidah syar’iyyah dalam zakat barang dagang. Yaitu menghitung nilai bumi dan bangunan yang dimilikinya ketika genap setahun (sempurna haul) dengan patokan harga pasar kala itu, lalu mengeluarkan zakatnya 2,5% dari nilai tersebut, baik nilai itu sama dengan nilai saat dia membelinya, atau lebih rendah darinya atau lebih mahal. Haul mulai dihitung setelah mencapai nisab, baik dengan digabungkan dengan harta lain yang wajib dizakati seperti emas, perak atau barang dagangan lainnya atau dengan tanpa digabungkan dengan harta lainnya. Zakat diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam surat At-Taubah ayat ke-60.
Barangsiapa berkewajiban mengeluarkan zakat namun saat itu dia tidak memiliki harta yang cukup untuk menunaikan zakat itu, misalnya, karena harta yang ada ditangannya kurang, maka zakat itu tetap menjadi hutang dalam tanggungannya sampai ia mendapatkan harta yang cukup untuk zakat kemudian mengeluarkannya. Sangat dianjurkan untuk mencatat kewajiban zakat yang menjadi tanggungannya itu agar tidak lupa dan bisa dikeluarkan setelah wafatnya dari warisan ketika tidak mampu mengeluarkannya sebelum wafat, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيْدُ أَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ
Jangan sampai seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin diwasiatkan hingga ia bermalam dua malam kecuali wasiatnya tertulis. [Muttafaqun ‘alaihi].
Catatan:
1. Zakat yang berhubungan dengan bumi dan bangunan yang diniatkan jual beli tidak gugur kewajiban zakatnya oleh cara pembeliannya, baik dengan kontan atau diangsur.
2. Bukan termasuk syarat sah niat perdagangan pada tanah dan bangunan, penawaran kepada kantor pemasarannya, namun cukup dengan niat pemiliknya untuk diperdagangkan.
3. Orang yang berniat menggunakan tanah dan bangunannya untuk keperluannya seperti tempat tinggal kemudian berubah niat untuk memperjual belikannya, maka haul zakatnya dimulai hitungannnya dari tanggal niat barunya tersebut.
4. Orang yang memiliki tanah dan berniat ketika memilikinya untuk menjualnya dengan niat untuk mahar atau kebutuhan lainya. Maka niat ini tidak menggugurkan kewajiban zakat. Zakat tetap wajib ketika sempurna haul pada nilai harga belinya apabila akhirnya dibeli atau ketika sempurna haul dari masa kepemilikan tanah apabila berakhir tanpa jual beli seperti diwariskan atau wasiat atau hibah. Kecuali bila telah terjual sebelum sempurna haul dan digunakan hasil penjualannya sesuai yang diniatkan sebelum masuk kewajiban zakat, maka tidak ada kewajiban zakat karena telah keluar dari kepemilikannya sebelum kewajiban zakat.
5. Orang-orang yang berserikat dalam bisnis bumi dan bangunan, masing-masing dari mereka berkewajiban mengeluarkan zakat dengan syarat nilai sahamnya mencapai nishab, baik nishab itu terpenuhi hanya dengan saham yang ada pada bisnis bumi dan bangunan itu saja tanpa digabung dengan harta perniagaan lainnya ataupun nishabnya terpenuhi ketika digabung dengan harta perniagaan lainnya.
6. Orang yang menukar bangunan yang disiapkan untuk niaga dengan bangunan lainnya yang juga untuk diperdagangkan atau dengan barang dagangan lainnya, maka haul terhitung sejak kepemilikan bangunan pertama yang diniatkan untuk jual beli, lalu zakatnya dikeluar ketika sempurna haul (sempurna satu tahun).
7. Orang yang mendapatkan warisan tanah dan dia tahu bahwa orang yang mewariskannya tidak mengeluarkan zakat tanah itu selama beberapa tahun namun si penerima (dalam hal ini ahli waris) tersebut tidak mengetahui, apakah orang yang mewariskan itu berniat untuk menjadikannya barang dagangan atau tidak? Maka dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya beberapa tahun tersebut. Adapun setelah wafat orang yang mewariskannya, maka setiap ahli waris mengeluarkan zakat dari bagiannya apabila dia berniat untuk menjadikan bagiannya barang dagangan dan haulnya terhitung sejak tanggal niat tersebut dan sampai nilai nishabnya.
8. Pemilik tanah dan bangunan yang sejak awal kepemilikannya berniat menjadikan barang dagangan lalu dia batalkan niatnya itu atau dia bimbang antara menjadikannya sebagai hunian atau menyewakannya, maka dalam keadaan seperti ini tidak ada kewajiban zakat padanya, karena tidak ada tekad kuat untuk memperjual belikannya.
9. Tanah atau bangunan yang disiapkan untuk diperdagangkan lalu dipinjamkan kepada orang yang memanfaatkannya, maka peminjaman ini tidak menggugurkan kewajiban zakat.
10. Tanah atau bangunan yang diperdagangkan apabila telah dikeluarkan zakatnya untuk setahun atau lebih, kemudian terjadi sengketa dan dicabut kepemilikannya berakhir dengan penggagalan jual beli, karena tidak sah kepemilikannya. Maka dia tidak punya hak pengembalian semua zakat yang dikeluarkannya.
11. Apabila seorang menjual tanah atau bangunan miliknya yang dipersiapkan untuk jual beli, maka haul dari hasil penjualannya mengambil haul asalnya, artinya haul bumi dan bangunan itu masih berlanjut. Misalnya, tanah atau bangunan yang diniatkan untuk jual beli itu sudah menjadi miliknya selama sepuluh bulan kemudian terjual dan uang hasil penjualannya masih ada padanya atau digunakan untuk membeli tanah atau bangunan lain dengan niat perdagangan juga, maka jika sudah berlalu dua bulan dari waktu penjualan tersebut, si pemilik wajib mengeluarkan zakatnya.
Tanah atau bangunan yang zatnya tidak terkena zakat, tapi yang dihasilkan dari tanah dan bangunan tersebut terkena kewajiban zakat.
Jenis ini ada dua:
1. Tanah yang dipergunakan untuk pertanian.
Tanahnya tidak terkena kewajiban zakat, tapi biji-bijian dan buah-buahan yang dihasilkan dari tanah tersebut terkena kewajiban zakat pada waktu panen atau petik, jika telah memenuhi syarat wajib zakat, sebagaimana dijelaskan dalam zakat hasil pertanian.
Catatan:
1. Apabila dikemudian hari, pemilik tanah pertanian itu merubah niatnya ke niat jual beli atau direncanakan akan diperjual belikan, maka tanah tersebut wajib dizakati ketika sempurna haul (genap setahun) terhitung sejak tanggal niat jual beli tersebut muncul.
2. Apabila pemilik tanah pertanian menyewakan tanah kepada orang yang akan menggunakannya untuk pertanian dan sewanya dengan uang, maka pemilik tanah wajib mengeluarkan zakat dari hasil sewanya ketika telah berlalu satu haul (genap setahun) terhitung sejak hari transaksi dan mencapai nisab dengan harta itu atau dengan digabungkan dengan harta atau barang niaga yang dizakati. Apabila uang sewaan itu telah habis untuk memenuhi kebutuhan sebelum sempurna haulnya (sebelum genap setahun sejak transaksi) maka tidak ada kewajiban zakat sama sekali. Sedangkan zakat hasil pertaniannya tetap dibebankan kepada yang menyewa tanah itu pada waktu panen atau petik, jika hasilnya mencapai nisab.
2. Bangunan yang disewakan
Bangunan seperti ini tidak wajib dizakati tapi uang hasil sewanya wajib dizakati. Hasil sewa ini dalam bahasa fikih disebut dengan al-ghulah atau ar-rii’. Apabila hasil sewanya mencapai nisab dan telah berlalu setahun (haul) dari tanggal transaksi sewa menyewa, maka si pemilik wajib menunaikan zakatnya dengan ukuran 2,5 %.
Cara mengeluarkan zakatnya:
Hitungan haul uang hasil sewa bangunan dihitung sejak tanggal transaksi sewa menyewa. Apabila uang hasil sewa itu sendiri telah mencapai nisbab tanpa digabung dengan harta lainnya atau dengan digabungkan dengan harta yang wajib dizakati seperti emas, perak atau barang dagangan lainnya, maka si pemilik wajib mengeluarkan 2,5 % dari uang yang ada ketika sempurna haulnya dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak mengambil zakat.
Catatan:
1. Apabila uang sewa telah habis semua atau sebagiannya sebelum sempurna haul, maka tidak ada kewajiban menzakati harta yang telah habis namun si pemilik harta tetap wajib menzakati harta yang tersisa bila telah berlalu haul (genap setahun) dan sisanya masih mencapai nishab.
2. Apabila bangunan yang disewakan itu milik beberapa orang, maka masing-masing berkewajiban membayarkan zakat jika bagiannya atau sahamnya telah mencapai nishab, baik nishabnya itu tercapai dengan cara digabungkan dengan harta perniagaan lainnya ataupun tercapai dengan bagian atau saham yang pada bangunan yang disewakan tersebut.
3. Barangsiapa memiliki bangunan yang disewakan, namun seandainya ada orang yang berminat membelinya dan harganya sesuai akan dijualnya. Jika faktanya seperti ini, maka yang terkena kewajiban zakat adalah uang sewa bukan pada nilai bangunannya. Karena bangunan tersebut bukan barang dagangan. Pemiliknya tidak memiliki niat pasti untuk diperjual belikan, tapi karena ada yang berminat dan harganya cocok, maka dia menjualnya.
4. Pada bangunan yang disewakan, yang wajib dizakati adalah uang hasil sewanya, sehingga kewajiban ini tidak gugur karena bangunan itu digadaikan baik lembaga resmi atau perorangan.
Tanah atau Bangunan Yang Wajib Dizakati Dzat dan Hasilnya
Yang masuk dalam ketegori ini adalah tanah atau bangunan yang disewakan dengan niat dijual belikan. Pemiliknya berniat menjualnya, namun sambil menunggu pembeli dan harga yang cocok, dia menyewakan bangunan tersebut. Dalam hal ini, ada zakat yang ditanggung oleh pemilik karena menjadikan bangunannya sebagai barang dagangan dan haulnya terhitung sejak niat jual belinya ada sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama dan pemiliknya juga menanggung zakat dari uang hasil sewa yang terhitung haulnya sejak tanggal transaksi sewa menyewanya seperti dijelaskan terdahulu.
Tanah atau Bangunan Yang Tidak Wajib Dizakati, Baik Dzatnya Ataupun Hasil Dan Manfaatnya.
Tanah dan bangunan jenis ini tidak termasuk tiga kategori di atas. Pemiliknya tidak berniat untuk memperjual belikannya dan tidak berniat untuk mengembangkannya. Jenis ini ada beberapa bentuk, diantaranya:
1. Tanah atau bangunan yang diwakafkan untuk kebaikan masyarakat umum. Ini tidak wajib dizakati karena tidak ada kepemilikan.
2. Tanah atau bangunan untuk digunakan sebagai kebutuhan seperti tanah atau rumah untuk tempat tinggal atau tempat peristirahatan. Ini juga tidak terkena kewajiban zakat karena tidak dikelola untuk mencari keuntungan dan tidak bisa dikembangkan.
3. Tanah atau bangunan untuk membangun pabrik yang dikelola langsung oleh pemiliknya. Tanah seperti ini tidak terkena kewajiban zakat, namun bila disewakan untuk pabrik maka terkena kewajiban zakat yaitu pada hasil sewanya.
4. Tanah atau bangunan yang belum jelas niat pemiliknya, apakah akan dijual belikan atau tidak? Atau akan dijual atau disewakan ? antara digunakan sendiri atau dijual belikan?
5. Tanah atau bangunan yang disiapkan untuk jual beli, namun ada penghalang yang menghalangi pemiliknya sehingga tidak bisa mengelola tanah atau bangunan tersebut, seperti tanah dan bangunan yang dipersengketakan sampai haulnya lewat tapi sengketanya belum selesai juga.
6. Tanah atau bangunan untuk kebutuhan seperti rumah untuk tempat tinggal. Apabila dia menjual rumah tersebut untuk membeli rumah yang lebih baik untuk ditempati, maka tidak terkena kewajiban zakat, karena ia menjualnya bukan dengan niat jual beli (bukan dengan niat bisnis).
MERUBAH NIAT UNTUK MENGHINDARI ZAKAT
Ketika hukum-hukum zakat pada barang-barang yang bisa diperdagangkan itu sangat terkait erat dengan niat, padahal yang tahu niat seseorang itu hanya Allah Azza wa Jalla lalu si hamba tersebut, maka haram hukumnya orang yang berkewajiban menunaikan zakat merubah niatnya karena takut dan demi menghindari kewajiban zakat.
Orang seperti ini wajib bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan niatnya yang benar. Apabila dia tidak bertaubat dan diketahui pasti dia sengaja merubah niatnya untuk menghindari kewajiban zakat, maka zakatnya tetap diambil oleh petugas. Misalnya seorang yang telah berniat menjadikan tanah atau bangunannya untuk diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan, kemudian ketika mendekati masa satu haul, ia merubah niatnya menjadi disewakan atau digunakan sebagai tempat tinggal, dan tujuannya merubah niatnya adalah menghindari atau takut terhadap kewajiban zakat, maka orang tersebut tetap diambil zakatnya. WaAllâhu a’lam
Diadaptasi dari Fatawa Jaami’ah Fi Zakat al-Iqaar karya Syeikh Bakr Abu Zaid rahmatullah, Dar al-Ashimah, KSA cetakan tahun 2000/1421 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIX/1437H/2016M)
(Sumber: https://almanhaj.or.id/6358-zakat-bumi-dan-bangunan.html )