Pertanyaan:
1. Beda
Zakat dan Sedekah. – (1) Apa beda zakat dengan Sedeqah, (2) Apakah Penerima Zakat harus diberi tahu bahwa
itu dana Zakat? (3) - Zakat
Profesi PNS yg gaji antara 5-10 juta/ bulan harus zmkat 2,5% menurut syariah
islam bener tidak. sbg PNS harus bagaimana? Ini saya menolak krn tidak sesuai
syarih islam. saya menjelas kalau infak boleh terserah PNS mau infak berapa.
Mohon pencerahan
2. Tidak Harus Memberi Tahu
Penerima bahwa itu Zakat
3. Zakat Profesi untuk PNS
Jawab:
1. Bismillah was
shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Zakat secara
bahasa artinya tumbuh (an-Nama’), bertambah (ar-Rii’), keberkahan
(al-Barakah), dan mensucikan (at-Tathiir). (Lisan al-Arab, 14/358
dan Fathul Qadir, 2/399). Sementara kata sedekah secara bahasa turunan dari
kata as-Shidq yang artinya kejujuran. Karena sedekah adalah kejujuran iman
orang yang mengeluarkannya. (Fathul Qadir, 2/399).
Sedangkan
pengertiannya secara syariat,
[1] Zakat: beribadah kepada Allah – Ta’ala – dengan “mengeluarkan
barang yang wajib dizakati” untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya,
dengan ukuran tertentu sesuai yang dijelaskan syariat.
[2] Sedekah: beribadah kepada Allah dengan menginfakkan harta yang tidak
diwajibkan syariat. Meskipun terkadang istilah sedekah digunakan untuk menyebut
zakat.
Dalam beberapa
ayat, Allah menyebut zakat dengan sedekah. Seperti firman Allah yang
menjelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat,
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ …
“Sesungguhnya sedekah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, … (QS. at-Taubah: 60)
Yang dimaksud
sedekah pada ayat ini adalah zakat. Diantara perbedaan sedekah dan zakat,
[1] Zakat
adalah KEWAJIBAN dalam Islam untuk komoditas tertentu, seperti emas, perak,
pertanian, binatang ternak, dst. Sementara sedekah bukan kewajiban dan tidak
dibatasi jenis komoditasnya.
[2] Ada syarat
tertentu untuk zakat, seperti harus mencapai nishab, bertahan selama satu tahun
(haul), dan dikeluarkan dengan nilai tertentu. Sementara sedekah, tidak ada
syarat khusus, tidak ada nishab (batas minimal harta), tidak harus menunggu
haul, dan bisa dikeluarkan dengan jumlah berapapun, selama tidak merugikan diri
sendiri atau keluarga.
[3] Zakat
diwajibkan untuk diserahkan kepada golongan tertentu yang telah disebutkan oleh
Allah. dan tidak boleh diberikan kepada selain mereka. Sementara sedekah bisa
diberikan kepada selain 8 ashnaf, seperti anak yatim, dst.
[4] Orang yang
mati dan belum menunaikan zakat, wajib dibayarkan oleh ahli warisnya. Dan
pembayaran utang zakat, lebih didahulukan dari pada pembagian wasiat atau
warisan. Sementara untuk sedekah tidak ada kewajiban semacam ini.
[5] Orang yang
tidak membayar zakat, mendapatkan hukuman khusus di dunia dan di akhirat. Di
dunia, dihukum dalam bentuk ditarik paksa zakatnya dan dihukum ta’zir sesuai
keputusan pemimpin.
Ibnu Qudamah
mengatakan,
وإن
منعها معتقدا وجوبها, وقدر الإمام على أخذها منه, أخذها وعزره
“Orang yang tidak membayar zakat, dengan tetap meyakini bahw aitu
wajib, sementara pemimpin memungkinkan untuk mengambil hartanya, maka pemimpin
boleh memaksa dan memberinya hukuman ta’zir”. (al-Mughni, 2/434)
Dan berhak
mendapat hukuman di akhirat seperti yang disebutkan dalam hadis. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ
آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا
مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ
“Siapa yang diberi harta oleh Allah, lalu dia tidak menunaikan
zakatnya, maka pada hari kiamat hartanya dijadikan seekor ular jantan aqra’
(botak karena di kepalanya ada banyak racun), yang berbusa dua sudut mulutnya.
Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari kiamat. Ular itu memegang dengan
kedua sudut mulutnya, sambil berkata,’Saya adalah hartamu, saya adalah
simpananmu.” (HR. Bukhari 1403).
Sementara untuk
orang yang tidak menyerahkan sedekah, tidak ada ancaman semacam ini.
[6] Menurut 4
madzhab, zakat tidak boleh diberikan kepada anak, cucu dst ke bawah, juga tidak
boleh diberikan ke bapak, kakek, dst. ke atas. Sementara sedekah bisa diberikan
kepada anak atau orang tua. Dan masih ada beberapa hal lain yang membedakan
antara zakat dengan sedekah.
2. Bismillah was
shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Bukan bagian
dari syarat membayar zakat, harus memberi tahu kepada penerima bahwa itu adalah
zakat. Selama kita yakin bahwa orang yang menerima zakat itu adalah mustahiq.
Sehingga tidak perlu ada ijab qabul. Lain halnya jika kita titipkan ke lembaga
tertentu, kita harus memberi tahu bahwa harta yang kita titipkan statusnya
adalah harta zakat, agar petugas bisa menyerahkannya ke pihak yang berhak
menerima zakat (mustahiq zakat). An-Nawawi mengatakan,
إذا
دفع المالك أو غيره الزكاة إلى المستحق ولم يقل هي زكاة ، ولا تكلم بشيء أصلا :
أجزأه ، ووقع زكاة ، هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذي قطع به الجمهور ، وقد صرح
بالمسألة إمام الحرمين – أي : الجويني – ، وآخرون
“Jika pemilik atau orang lain menyerahkan zakat kepada mustahiq,
dan dia tidak menyampaikan keterangan bahwa itu zakat, atau sama sekali tidak
menyampaikan keterangan apapun, maka hukumnya sah sebagai zakat. Inilah
pendapat yang lebih kuat, sebagaimana yang ditegaskan jumhur. Dan masalah ini
telah ditegaskan oleh Imam al-Haramain – al-Juwaini – dan beberapa ulama
lainnya”. (al-Majmu’, 6/233). Ibnu Qudamah mengatakan,
وإذا
دفع الزكاة إلى من يظنه فقيراً : لم يحتج إلى إعلامه أنها زكاة ، قال الحسن :
أتريد أن تقرعه ؟! لا تخبره
“Ketika si A menyerahkan zakat kepada orang yang dia yakini fakir,
maka dia tidak perlu memberi tahukan bahwa itu zakat. Al-Hasan mengatakan,
“Apakah kamu ingin untuk membuat sedih hatinya dengan mengatakan, ‘Ini zakat?!
Jangan kasih tahu bahwa itu zakat.”
Lalu Ibnu
Qudamah membawakan riwayat dari Imam Ahmad, Ahmad bin Hasan pernah bertanya
kepada Imam Ahmad, ‘Ketika seseorang menyerahkan zakat ke orang miskin,
apakah dia perlu memberi tahu bahwa itu zakat atau cukup diam saja?’
Jawab Imam
Ahmad,
ولم
يبكِّته بهذا القول ؟! يعطيه ، ويسكت ، ما حاجته إلى أن يقرعه
“Mengapa dia harus membuatnya sedih dengan menyampaikan semacam
ini?! Kasihkan saja, dan cukup diam. Apa perlunya dia memberi tahukan ini
hingga membuatnya sedih”. (al-Mughni, 2/508). An-Nawawi ulama bermadzhab Syafiiyah,
sementara Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali. Kita tambahkan komentar dari
madzhab Malikiyah, Dalam as-Syarh al-Kabir, Syaikh ad-Dardir menyatakan,
ولا
يشترط إعلامه ، أو علمه بأنها زكاة ، بل قال اللقاني : يكره إعلامه ؛ لما فيه مِن
كسر قلب الفقير ، وهو ظاهر ، خلافاً لمَن قال بالاشتراط
“Tidak disyaratkan untuk memberi tahu bahwa itu zakat. Bahkan
al-Laqqani mengatakan, ‘Makruh memberi tahu bahwa itu zakat, karena bisa
membuat sedih hati si miskin.’ Dan ini yang lebih kuat, tidak sebagaimana
pendapat yang mengatakan harus memberi tahu”. (as-Syarh al-Kabir,
1/500)
Dan ini pula
yang difatwakan Lajnah Daimah,
إذا
دفعت زكاتك إلى من تعلم أنه مستحق لها بنية الزكاة فهي زكاة صحيحة ، ونرجو أن
يقبلها الله تعالى منك ، ولا يلزمك إخبار الآخذ بأنها زكاة
“Jika kamu menyerahkan zakat kepada orang yang kamu yakini dia
berhak menerima, dengan niat zakat, maka ini menjadi zakat yang sah. Kami
berharap semoga diterima oleh Allah Ta’ala. Dan anda tidak harus memberi
tahukan kepada penerima bahwa itu zakat”. (Fatwa Lajnah Daimah, no.
11241). Sekali lagi, ini berlaku jika penerima adalah orang yang kita yakini
sebagai pihak yang berhak menerimanya, seperti fakir, miskin atau lainnya. Sementra
jika ini dititipkan ke lembaga atau yayasan penampung zakat, kita harus memberi
tahu. Agar petugas bisa menyalurkannya ke sasaran yang benar. Demikian, Allahu
a’lam.
3. Bismillah was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada banyak channel ibadah dalam bentuk mengeluarkan harta. Ada
yang bentuknya zakat, sedekah, infak, wakaf, hadiah, atau hibah. Islam
memberikan kebebasan bagi umatnya untuk memilih channel apapun yang dia
inginkan. Meskipun tentu saja dia harus prioritaskan yang wajib, yaitu zakat. Dan
jika kita perhatikan, dari sekian channel mengeluarkan harta, zakat dijelaskan
paling lengkap oleh Allah. Dari hulu sampai hilir semuanya dijelaskan.
Mulai dari kriteria wajib zakat, batas minimal harta yang
dizakati, berapa persen angka yang dikeluarkan, jenis harta yang dizakati,
hingga siapa yang berhak menerima zakat, semuanya telah dijelaskan Allah
Ta’ala. Sehingga para ulama menggolongkan zakat sebagai ibadah mahdhah dalam
bentuk mengeluarkan harta. Artinya tidak ada peluang bagi logika manusia untuk
berkreasi di sana. Allah telah menjelaskannya dengan sempurna. Sehingga siapa
yang mau berzakat, tinggal ikuti panduan yang ada.
Diantara dalil yang menjadi panduan zakat adalah hadis dari Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا
الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي
الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا ، فَإِذَا كَانَ لَكَ
عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ ،
فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Jika kamu punya 200 dirham dan sudah mengendap selama setahun
maka ada kewajiban zakat 5 dirham. Dan kamu tidak memiliki kewajiban zakat
untuk emas, kecuali jika kamu memiliki 20 dinar. Jika kamu memiliki 20 dinar,
dan sudah genap selama setahun, maka zakatnya setengah dinar. Lebih dari itu,
mengikuti hitungan sebelumnya.” (Abu
Daud 1575 dan dishahihkan al-Albani).
Juga hadis dari Aisyah & Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, mereka
mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَأْخُذُ مِنْ كُلِّ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا نِصْفَ دِينَارٍ ،
وَمِنْ الْأَرْبَعِينَ دِينَارًا دِينَارًا
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil zakat dari 20
dinar atau lebih sebesar ½ dinar. Sementara dari 40 dinar masing-masing diambil
satu dinar-satu dinar.”
(HR. Ibnu Majah 1863, Daruquthni 1919 dan dishahihkan al-Albani).
Dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu di atas dinyatakan,
“Dan kamu tidak memiliki kewajiban
zakat untuk emas, kecuali jika kamu memiliki 20 dinar”
Kalimat ini sangat tegas menunjukkan bahwa seorang muslim tidak
berkewajiban bayar zakat sampai dia memiliki tabungan senilai 20 dinar. Jika
kita konversi:
1 dinar Islam = 4,25 gr emas
20 dinar = 4,25 gr emas x 20 = 85
gr emas
Jika kita asumsikan harga emas Rp 500rb/gr, berarti nilai nishab
zakat mal adalah 42,5 jt. bisa kita genapkan ke bawah menjadi 42 juta. Para
ulama menegaksan bahwa ukuran nishab dalam zakat ini dijadikan para ulama
sebagai syarat wajib zakat.
Dalam Ensiklopedi Fiqh juga dinyatakan,
لا خلاف بين الفقهاء في عدم جواز التكفير قبل اليمين ؛
لأنه تقديم الحكم قبل سببه ، كتقديم الزكاة قبل ملك النصاب ، وكتقديم الصلاة قبل
دخول وقتها .
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang tidak
bolehnya membayar kaffarah sumpah sebelum ada sumpah, karena berarti
mendahulukan hukum sebelum ada sebabnya. Seperti mendahulukan zakat sebelum
memiliki satu nishab, atau mendahulukan shalat sebelum masuk waktunya”. (al-Masusu’ah al-Fiqhiyah,
35/48)
Para ulama ushul fiqh menegaskan bahwa hukum itu ada sebabnya. Adanya
hukum wajibnya shalat dzuhur, sebabnya telah masuk waktu dzuhur. Adanya hukum
wajibnya membayar kaffarah sumpah, sebabnya ada sumpah yang diucapkan. Adanya
hukum cerai, sebabnya ada pernikahan. Adanya hukum zakat, sebabnya karena orang
memiliki harta satu nishab.
Ibnu Qudamah mengatakan,
لَا يَجُوزُ تَعْجِيلُ الزَّكَاةِ قَبْلَ مِلْكِ
النِّصَابِ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ عَلِمْنَاهُ ، وَلَوْ مَلَكَ بَعْضَ نِصَابٍ ،
فَعَجَّلَ زَكَاتَهُ ، أَوْ زَكَاةَ نِصَابٍ ، لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ تَعَجَّلَ
الْحُكْمَ قَبْلَ سَبَبِهِ
“Tidak boleh menyegerakan zakat sebelum memiliki harta senilai
satu nishab, tanpa ada perbedaan pendapat yang kami ketahui. Jika ada orang
yang memiliki sebagian nishab, lalu dia segera membayarkan zakatnya atau zakat
senilai nisabnya, hukumnya tidak boleh. Karena ini sama dengan mendahulukan
hukum sebelum ada sebab.”
(al-Mughni, 2/471).
Para ulama melarang membayar zakat sebelum nishab, dan mereka
hukumi sebagai zakat yang batal, karena sama halnya dia melakukan amal tanpa
ada sebab. Seperti orang yang shalat sebelum masuk waktu.
Antara Tabungan dan
Penghasilan
Dan yang perlu diperhatikan zakat ini untuk tabungan bukan untuk
penghasilan. Kita bisa membedakan antara tabungan dengan penghasilan.
Penghasilan belum tentu menjadi tabungan, tapi apa yang menjadi tabungan itu
bagian dari penghasilan.
Si A seorang PNS di jakarta berpenghasilan 7jt/bln. Karena tinggal
di jakarta, si A mengeluarkan biaya untuk kebutuhan sekeluarga dan cicilan
utang. Dari pendapatan 7jt/bln, terkadang pas untuk sebulan dan terkadang masih
ada yang kurang. Sehingga si A harus menurunkan kebutuhannya. jika si A harus
membayar zakat untuk penghasilannya sebesar 2,5% x 7jt, berarti si A akan
mendapat beban tambahan 175rb tiap bulan.
Karena itu, zakat ditetapkan untuk harta yang di luar pengeluaran
harian, seperti tabungan atau harta dagangan. Sementara harta yang digunakan
untuk pengeluaran keseharian, tidak diperhitungkan zakatnya.
Apakah berarti tidak
berpahala?
Bedakan antara tidak sah sebagai zakat dan tidak berpahala. Yang
dinyatakan mereka adalah tidak sah sebagai zakat. Artinya belum menggugurkan
kewajiban zakatnya. Sehingga jika nantinya dia sudah memenuhi syarat zakat,
harus dibayarkan zakatnya. Sementara apakah yang dia keluarkan bisa berpahala? Jika
dia lakukan dengan ikhlas, insyaaAllah dia mendapat pahala sebagai sedekah.
Sebagaimana orang yang shalat 2 rakaat dengan niat shalat subuh
padahal belum masuk waktu subuh. Shalatnya tidak sah sebagai shalat subuh,
sehingga wajib diulang setelah masuk waktu subuh, namun dia tetap mendapat
pahala shalat sunah 2 rakaat.
Dua konsekuensi ketika
zakat profesi diterapkan
[1] Orang yang belum memiliki harta
sebesar nishab, membayar zakat. Padahal itu zakat sebelum waktunya, dan itu
zakat yang tidak sah.
[2] Muncul anggapan bagi mereka yang
sudah membayar zakat profesi tidak lagi wajib membayar zakat karena sudah
dikeluarkan zakat profesinya setiap bulan ketika menerima gaji. Padahal dia
punya tabungan di atas nishab tersimpan tahunan, yang seharusnya itu dizakati. Demikian…
Allahu a’lam.
==================
( Sumber: kosultasisyariah.com).
Pertanyan dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com). Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar. email: ustazsofyan@gmail.com
=====================
=====================
*Ust.Ammi Nur Baits, Alumnus Madinah International
University, Saudi Arabia. Beliau merupakan penulis yang sangat produktif.
Pengasuh Rubrik konsultasisyariah, com
* Ust. Sofyan
Kaoy Umar, MA, CPIF, Alumnus Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Spesialisasi bidang Ekonomi, Bisnis
dan Keuangan Islam. Gelar Profesi CPIF (Chartered Professional in Islamic
Finance) dari CIIF (Chartered Institute of Islamic Finance) yang berpusat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Berguru dengan banyak ulama di Malaysia dan Indonesia. Alhamdulillah,
sudah berguru dengan beberapa Ulama dunia pemegang Sanad al-Qur’an yaitu dengan
Asy-Syaikh Sayyid Harun ad-Dahhab (Ulama Qira’at dari Univ. Al Azhar, Mesir), dan
Syeikh al-Mukri Abdurrahman Muknis al-Laitsi (Guru al-Qur’an dari Dar
al-Azhar, Mesir), serta belajar metode Hafalan dengan Syaikh DR Said Thalal
al-Dahsyan (Direktur Dar al-Qur’an al-Karim wa Sunnah, Palestina).
Sekarang ini mengurus Baitul Mal
Mina, NGO IndoCares, MTEC dan Darul Qur’an Mina. e-mail: ustazsofyan@gmail.com.