AMANAH DALAM ZAKAT
Sesungguhnya banyak problem zakat yang mengitari umat. Salah
satunya adalah soal pendistribusian zakat. Amil zakat baik berupa lembaga
maupun badan yang profesional memang sudah menjamur. Demikian juga dengan badan
yang dibentuk Pemerintah Daerah atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
juga sudah mapan dalam menggenjot potensi zakat sebagian masyarakat. Belum
termasuk amil zakat yang dibentuk tahunan menjelang Idul Fitri sebagaimana
tampak di masjid-masjid. Namun, penditribusian yang tidak tepat sasaran tetap
menjadi ganjalan hingga kini.
Zakat, meskipun dari dan untuk umat, tetap punya peruntukan
tersendiri. Jadi, ia tidak bisa disalurkan untuk kepentingan di luar yang telah
digariskan syariat. Pembangunan masjid/mushalla, pembangunan pondok pesantren,
insentif karyawan tidak tetap atau honorer, dana untuk ormas atau partai
berlabel Islam—langsung/tidak langsung—, sering diambilkan dari dana zakat.
Padahal kita tidak boleh gegabah dalam menyalurkan zakat karena itu menyangkut
amanah yang mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Karena itu, tidak bisa kita
bermudah-mudah dalam menyalurkan dana zakat dengan dalih demi “Islam”, demi
“dakwah”, dan sebagainya.
Tumpang tindihnya peruntukan zakat ini tak bisa dimungkiri
menjadi faktor yang menyebabkan “energi” zakat menjadi tidak maksimal. Banyak
tokoh agama yang terhitung mampu justru rutin mendapat gelontoran dana
zakat—dengan istilah bisyarah atau lainnya—, padahal masih banyak tetangganya
yang hidup menderita. Banyak masjid berdiri megah—meski tempatnya sangat
berdekatan—yang dana pembangunannya bersumber dari zakat. Sementara di tempat
lain, banyak masyarakat miskin yang tidak bisa makan secara layak. Lebih parah
lagi, kemegahan masjid tersebut ternyata tak diimbangi dengan jumlah orang yang
memakmurkannya.
Ini tentu ironis. Kita acapkali bersemangat ketika berbicara
pemurtadan karena faktor ekonomi yang dialami saudara-saudara kita. Namun,
kepekaan kita ternyata masih tumpul kala berbicara tentang zakat. Banyak orang
justru berdalih macam-macam untuk menghindari kewajiban zakat. Alhasil, kerabat
atau tetangga dekat kita yang miskin saja nyaris tak tersentuh.
Zakat, ditambah sedekah dan infak, sebenarnya punya kekuatan
besar bila dikelola dengan benar. Itulah sebabnya, kita mesti memahami fikih
zakat dan adab-adab penyalurannya agar kita—terutama yang menjadi petugas zakat
atau amil—tidak serampangan menyalurkannya. Tafsir tentang siapa-siapa yang
berhak menerima zakat harus dipahami dulu agar kita tidak salah bertindak.
Alih-alih menyoal tepat sasaran, sikap amanah kita dalam hal zakat sendiri
nyata-nyata masih perlu diuji
Dalam
membayar zakat ada adab-adab yang perlu diketahui serta diperhatikan demi sah
dan sempurna pembayarannya. Adab-adab tersebut adalah sebagai berikut.
1. Zakat yang wajib dikeluarkan dari
setiap harta zakat adalah yang bernilai sedang. Zakat bukan berupa harta yang bagus, demi hak dan kepentingan pemilik harta.
Bukan pula yang jelek, demi hak dan kepentingan fakir miskin serta ahli zakat
lainnya. Oleh karena itu, pemilik zakat tidak boleh mengeluarkan yang jelek dan
‘amil (petugas) zakat pun tidak boleh memungut yang bagus. Dalil-dalil yang
menunjukkan hal ini di antaranya:
•
Firman Allah: “Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk untuk kalian
nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya.” (QS al-Baqarah: 267)
•
Hadits Ibnu ‘Abbas z yang menyebutkan kisah Rasulullah SWA mengutus Mu’adz bin
Jabal a.s ke negeri Yaman. Beliau bersabda kepadanya:
فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ
أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
“Berhati-hatilah,
jangan sampai engkau mengambil harta mereka yang istimewa. Jagalah dirimu dari
doa pihak yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia
dan Allah (untuk dikabulkan).” (Muttafaqun ‘alaih)
Berdasarkan
dalil-dalil ini, zakat yang wajib dibayarkan adalah yang bernilai sedang, bukan
yang jelek dan bukan pula yang bagus. Harta sendiri dikelompokkan menjadi tiga
bagian: sepertiga yang bagus, sepertiga yang sedang, dan sepertiga yang jelek.
Zakat dikeluarkan dari sepertiga yang sedang itu. Namun, jika pemilik harta
secara sukarela menyerahkan yang terbaik dari hartanya, zakat itu sah dan
pahalanya lebih besar, karena hal itu adalah haknya dan dia rela
menyerahkannya.
2. Zakat harus dibayarkan dalam bentuk harta yang diwajibkan dan
tidak boleh menggantinya dengan harganya (dalam bentuk uang), kecuali jika ada
tuntutan hajat dan maslahat. Zakat hewan ternak dibayarkan dalam bentuk hewan
ternak yang ditetapkan oleh syariat. Zakat biji-bijian dan buah-buahan
dibayarkan dalam bentuk biji-bijian dan buah-buahan yang ditetapkan oleh
syariat. Pembayarannya tidak boleh diganti dengan membayarkan harganya (uang)
tanpa ada tuntutan hajat dan maslahat. Syaikhul Islam berfatwa dalam Majmu’
al-Fatawa (25/82—83), “Yang paling
jelas dalam permasalahan ini adalah tidak boleh membayarkan zakat harta berupa
harganya, tanpa ada tuntutan hajat dan maslahat yang rajihah (dominan). Oleh
karena itu, Rasulullah SAW menetapkan sistem jubran (penutup kekurangan) berupa
dua ekor kambing atau dua puluh dirham1 dan beliau tidak beralih kepada
pembayaran harganya.
Selain
itu, jika pembayaran harga dalam bentuk uang dibolehkan secara mutlak, bisa jadi
pemilik harta akan beralih ke jenis yang jelek dan mungkin akan terjadi mudarat
(penyimpangan) ketika menghitung harganya. Terlebih lagi, zakat sendiri
dibangun di atas asas menyantuni orang-orang yang berhajat dari kalangan “ahli”
(yang berhak menerima) zakat, dengan memperhitungkan kadar harta dan jenisnya.
Adapun membayarkan harganya karena tuntutan hajat, maslahat, dan keadilan, ini tidaklah mengapa. Misalnya, seseorang menjual hasil kebun atau sawahnya dalam bentuk uang dirham. Dalam hal ini, sah baginya mengeluarkan zakatnya sebesar sepersepuluh dari harga hasil kebun/sawah tersebut tanpa harus membeli buah-buahan atau biji-bijian (yang serupa) untuk mengeluarkan zakatnya dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, karena dengan membayarkan harganya dia telah menyamakan dirinya dengan fakir miskin dalam menikmati hartanya. Al-Imam Ahmad ra telah menegaskan bolehnya hal ini.
Adapun membayarkan harganya karena tuntutan hajat, maslahat, dan keadilan, ini tidaklah mengapa. Misalnya, seseorang menjual hasil kebun atau sawahnya dalam bentuk uang dirham. Dalam hal ini, sah baginya mengeluarkan zakatnya sebesar sepersepuluh dari harga hasil kebun/sawah tersebut tanpa harus membeli buah-buahan atau biji-bijian (yang serupa) untuk mengeluarkan zakatnya dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, karena dengan membayarkan harganya dia telah menyamakan dirinya dengan fakir miskin dalam menikmati hartanya. Al-Imam Ahmad ra telah menegaskan bolehnya hal ini.
Contoh
lainnya, seseorang terkena kewajiban zakat seekor kambing dari lima ekor unta
dan tidak ada seorang pun yang menjual kambing untuk dibelinya. Sah baginya
dalam hal ini untuk membayarkan harganya saja dan dia tidak dibebani melakukan
safar ke daerah lain untuk mencari kambing yang bisa dibelinya.
Contoh berikutnya, ahli zakat (yang berhak menerima zakat) meminta agar mereka diberi zakat berupa harganya, karena itu lebih bermanfaat bagi mereka; atau petugas zakat yang memandang bahwa pembayaran dengan uang lebih bermanfaat bagi mereka. Dia pun membayarkannya kepada mereka dalam bentuk harganya.”
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin juga memfatwakan hal ini dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/67—68). Yang dikenal dalam mazhab Malik dan asy-Syafi’i, pembayaran zakat dengan harganya, tidak boleh. Adapun Abu Hanifah berpendapat boleh. Wallahu a’lam.
Masalah:
Apakah sah pembayaran zakat emas dan perak dengan uang senilainya?
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (9/259—260), “Tidak mengapa mengeluarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang yang senilai dengan harganya pada waktu sempurnanya haul. Hal ini karena emas, perak, dan uang memiliki kesamaan sebagai satuan harga dalam menilai suatu barang/harta.”. Maksudnya, pada masa Rasulullah saw harga suatu barang/harta dinilai dengan dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak). Pada masa ini, kedudukan dinar dan dirham digantikan oleh mata uang-mata uang yang ada. Berarti, pada hakikatnya emas, perak, dan mata uang yang ada memiliki kesamaan sebagai nilai/harga untuk menilai suatu harta/barang. Itulah sebabnya dibolehkan zakat emas dan perak dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan harga emas dan perak saat pembayaran zakat itu.
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (9/259—260), “Tidak mengapa mengeluarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang yang senilai dengan harganya pada waktu sempurnanya haul. Hal ini karena emas, perak, dan uang memiliki kesamaan sebagai satuan harga dalam menilai suatu barang/harta.”. Maksudnya, pada masa Rasulullah saw harga suatu barang/harta dinilai dengan dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak). Pada masa ini, kedudukan dinar dan dirham digantikan oleh mata uang-mata uang yang ada. Berarti, pada hakikatnya emas, perak, dan mata uang yang ada memiliki kesamaan sebagai nilai/harga untuk menilai suatu harta/barang. Itulah sebabnya dibolehkan zakat emas dan perak dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan harga emas dan perak saat pembayaran zakat itu.
3.
Wajib membayarkan zakat sesegera mungkin.
Barang siapa menundanya tanpa sebab yang bisa ditolerir, dia berdosa. Dalilnya
adalah kaidah, “Hukum asal setiap kewajiban yang diperintahkan harus segera
dilaksanakan tanpa menundanya.” Kaidah ini didukung oleh sekian banyak
dalil. Demikian pula tinjauan makna dan fungsi zakat menuntut untuk segera
dibayarkan tanpa menundanya, sebab terkait dengan kebutuhan ahli zakat
(penerima zakat). Penundaan pembayaran zakat akan mengakibatkan terlantarnya
kebutuhan ahli zakat. Ini adalah mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, Malik, dan jumhur
(mayoritas) ulama. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dalam
asy-Syarhul Mumti’ (6/186—187) dan difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang
diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa al-Lajnah (9/393, 395, 398).
Contoh
aplikasi adab ini adalah fatwa al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul
Mumti’ (6/187) dan Majmu’ ar-Rasa’il (18/522, 138). Disebutkan di
sana, jika seorang wanita terkena kewajiban zakat perhiasan (emas atau perak)
dan dia tidak memiliki harta lainnya untuk pembayaran zakatnya, dia wajib
membayarkan zakatnya dengan mengeluarkan sebagian dari perhiasannya itu, atau
menjual sebagian perhiasannya senilai zakat yang wajib dikeluarkannya, kemudian
membayarkan zakatnya dalam bentuk uang. Jika ada salah satu kerabat atau
suaminya bermaksud membayarkan zakat tersebut untuknya dan wanita itu rela
dibayarkan, hukumnya sah. Demikian pula fatwa al-Imam Ibnu Baz t dalam Majmu’
al-Fatawa (14/96).
Masalah:
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang
yang terkena kewajiban zakat setiap tahun dan dia belum membayarkannya untuk
jangka waktu beberapa tahun?
Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/296, 302—303) dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa al-Lajnah (9/395) memfatwakan bahwa dia WAJIB BERTOBAT KEPADA ALLAH ATAS KESALAHANNYA menunda pembayaran zakatnya berikut tidak membayarkannya hingga beberapa tahun. Di samping itu, dia WAJIB SEGERA MEMBAYARKAN SELURUH ZAKAT YANG MASIH ADA DITANGANNYA dan menyerahkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerima zakat.
Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/296, 302—303) dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa al-Lajnah (9/395) memfatwakan bahwa dia WAJIB BERTOBAT KEPADA ALLAH ATAS KESALAHANNYA menunda pembayaran zakatnya berikut tidak membayarkannya hingga beberapa tahun. Di samping itu, dia WAJIB SEGERA MEMBAYARKAN SELURUH ZAKAT YANG MASIH ADA DITANGANNYA dan menyerahkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerima zakat.
Oleh karena itu, hendaklah dia berijtihad (bersungguh-sungguh), menghitung semampunya kadar zakat tersebut jika dia tidak mengetahuinya secara pasti. Dan tidak ada udzur (pemaafan) baginya selama dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin, karena kewajiban zakat telah umum dipahami oleh kaum muslimin. Seharusnya dia bertanya kepada orang yang berilmu.
3. Pada asalnya yang afdhal adalah
zakat dibayarkan pada waktunya, saat haul (periode setahun) dari nishab yang
telah sempurna. Diperbolehkan memajukan waktu pembayaran zakat suatu harta yang
mencapai nishab sebelum waktunya tiba. Dalilnya adalah rukhsah (keringanan)
yang diberikan oleh Rasulullah kepada al-’Abbas ra yang akan kami sebutkan. Hal
ini menjadi semakin kuat dengan tinjauan makna bahwa penetapan waktu pembayaran
zakat di akhir haul adalah demi melapangkan pemilik zakat, sebagaimana halnya
pembayaran zakat hasil tanaman yang wajib dilakukan saat panen, tanpa
persyaratan haul. Jika pemilik zakat ingin membayarkannya sebelum haul
sempurna, hal itu adalah pilihannya sendiri agar lebih berhati-hati. Ini adalah
mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan jumhur ulama. Berbeda dengan Malik,
Ibnu Hazm, dan Ibnul Mundzir yang berpendapat bahwa pembayaran zakat tidak
boleh dimajukan.
Namun, boleh jadi yang lebih afdhal adalah memajukan pembayarannya jika ada
hajat dan maslahat yang menuntut untuk dimajukan, seperti memenuhi kebutuhan
kerabat fakir-miskin yang mendesak, kebutuhan para mujahid yang sedang berjihad
di jalan Allah l, dan yang semisalnya.
Akan
tetapi, ada perbedaan pendapat di antara jumhur, apakah hanya boleh dimajukan
untuk periode setahun ke depan, dua tahun ke depan, atau lebih dari itu?
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz memfatwakan bolehnya dimajukan untuk periode dua tahun ke depan. Pendapat ini didukung oleh hadits ‘Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulullah saw memberi rukhsah (keringanan) kepada al-’Abbas, paman beliau, untuk menyegerakan pembayaran zakatnya dua tahun sebelum waktunya tiba. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Pada sanadnya ada kelemahan, namun menjadi kuat dengan syawahid (penguat-penguat) yang semakna. Oleh karena itu, dihasankan oleh al-Imam al-Albani dalam al-Irwa’ (no. 857).
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz memfatwakan bolehnya dimajukan untuk periode dua tahun ke depan. Pendapat ini didukung oleh hadits ‘Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulullah saw memberi rukhsah (keringanan) kepada al-’Abbas, paman beliau, untuk menyegerakan pembayaran zakatnya dua tahun sebelum waktunya tiba. Hadits ini dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Pada sanadnya ada kelemahan, namun menjadi kuat dengan syawahid (penguat-penguat) yang semakna. Oleh karena itu, dihasankan oleh al-Imam al-Albani dalam al-Irwa’ (no. 857).
Pendapat yang terkuat adalah boleh dimajukan untuk periode dua tahun ke depan dan tidak boleh lebih dari itu, karena hal itu adalah rukhshah (keringanan), sedangkan batas keringanan yang ditetapkan dalam syariat tidak boleh dilampaui.
Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang tidak mencapai nishab, ulama bersepakat bahwa hal itu tidak boleh. Alasannya, nishab adalah sebab (faktor) yang menjadikan suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut tidak ada, pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat.
Dengan
demikian, jika memajukan pembayarannya untuk periode setahun berkonsekuensi
mengurangi harta dari nishab untuk periode tahun berikutnya, pembayarannya
tidak boleh dimajukan lebih dari setahun. Misalnya, seseorang memiliki empat
puluh ekor kambing. Dia memajukan pembayaran zakatnya untuk dua periode haul ke
depan dengan mengeluarkan dua ekor kambing lain, bukan dari empat puluh ekor
tersebut yang merupakan nishab. Hal ini dibolehkan. Jika dia bermaksud
mengeluarkan dua ekor yang salah satunya dari nishab yang ada, hal itu
dibolehkan untuk periode setahun ke depan namun tidak untuk periode dua tahun
berikutnya. Alasannya, dengan mengeluarkan salah satunya dari nishab berarti
kambingnya tersisa 39 ekor, dan jumlah ini tidak mencapai nishab.
5.
Yang berkewajiban membayarkan zakat anak yang belum baligh dan orang gila
adalah walinya. An-Nawawi menerangkan dalam al-Majmu’ (5/302) bahwa jika
walinya tidak menunaikan kewajiban tersebut, maka anak itu—setelah baligh—dan
orang gila itu—jika telah sembuh dari gilanya—wajib mengeluarkan seluruh
kewajiban zakat hartanya yang belum dikeluarkan.
6.
Pembayaran zakat tidak sah tanpa disertai niat, menurut pendapat empat imam
mazhab dan jumhur (mayoritas) ulama.
Pendapat
inilah yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh
al-Imam Ibnu Baz dan dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena
itu, orang yang mengeluarkan zakat wajib berniat mengeluarkan zakat hartanya
dan meniatkan jenis zakat harta yang dikeluarkannya, apakah zakat emas, perak,
uang, hewan ternak, atau jenis zakat harta lainnya. Jika dia adalah wali anak
yang belum baligh dan orang gila, dia harus meniatkannya untuk pembayaran zakat
keduanya.
Hal
itu karena pengeluaran harta dilakukan dengan niat dan maksud yang
berbeda-beda. Ada yang mengeluarkannya dengan niat sebagai zakat yang wajib,
sedekah, hadiah, hibah, pembayaran ganti rugi, atau maksud lainnya. Maka dari
itu, yang membedakan antara satu dan yang lainnya adalah niat. Dalilnya adalah
keumuman hadits ‘Umar bin al-Khaththab z, bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah setiap amalan itu dikerjakan dengan niat dan hanyalah setiap pelaku amalan dibalasi sesuai niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Hanyalah setiap amalan itu dikerjakan dengan niat dan hanyalah setiap pelaku amalan dibalasi sesuai niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
7.
Pembayaran dan pembagian zakat kepada pihak yang berhak dapat dilakukan dengan
tiga cara.
• Dilakukan sendiri oleh pemilik zakat.
•
Diwakilkan kepada orang yang tepercaya, dengan cara memberikan zakat itu
kepadanya untuk dibagikan, atau meminta agar wakil tersebut mengeluarkannya
terlebih dahulu dari hartanya. Wakil yang diamanahi tidak boleh mengambil
inisiatif sendiri dalam pembagian zakat tersebut.
Al-Imam
Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/311) ditanya tentang hukum
seorang fakir yang dipercaya sebagai wakil untuk membagikannya kepada orang
lain yang berhak, tetapi dia mengambilnya untuk dirinya sendiri.
Beliau berkata, “Hal itu haram dan menyelisihi amanah, karena pemilik zakat mengamanahinya sebagai wakil untuk dibagikan kepada orang lain, namun dia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Para ulama telah menyebutkan bahwa seorang wakil tidak boleh berinisiatif sendiri membagikan zakat yang diamanahkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, dia wajib menjelaskan kepada pemilik zakat tersebut bahwa zakat yang diambil itu disalurkan kepada dirinya sendiri. Jika dia membolehkan maka tidak mengapa. Namun, jika dia tidak membolehkannya, dia wajib mengganti dan membagikannya kepada yang dikehendaki oleh pemilik zakat tersebut.”
Demikian pula fatwa al-Lajnah ad-Da’imah dalam Fatawa al-Lajnah (9/409—410) ketika ditanya tentang seorang wakil zakat yang diamanahi oleh pemiliknya untuk membagikannya kepada fakir-miskin dalam satu negeri, namun dia membagikannya kepada fakir miskin selain mereka.
Beliau berkata, “Hal itu haram dan menyelisihi amanah, karena pemilik zakat mengamanahinya sebagai wakil untuk dibagikan kepada orang lain, namun dia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Para ulama telah menyebutkan bahwa seorang wakil tidak boleh berinisiatif sendiri membagikan zakat yang diamanahkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, dia wajib menjelaskan kepada pemilik zakat tersebut bahwa zakat yang diambil itu disalurkan kepada dirinya sendiri. Jika dia membolehkan maka tidak mengapa. Namun, jika dia tidak membolehkannya, dia wajib mengganti dan membagikannya kepada yang dikehendaki oleh pemilik zakat tersebut.”
Demikian pula fatwa al-Lajnah ad-Da’imah dalam Fatawa al-Lajnah (9/409—410) ketika ditanya tentang seorang wakil zakat yang diamanahi oleh pemiliknya untuk membagikannya kepada fakir-miskin dalam satu negeri, namun dia membagikannya kepada fakir miskin selain mereka.
Al-Lajnah
menyatakan, “Seorang wakil zakat tidak boleh mengambil inisiatif sendiri yang
menyelisihi amanah pemilik zakat. Jika wakil zakat menyelisihi amanah pemilik
zakat yang memercayainya, dia wajib menggantinya (dan memberikannya kepada
pihak yang dikehendaki oleh pemiliknya).”
•
Diserahkan kepada amil (petugas pemungut zakat) yang diutus oleh pemerintah
agar mereka membagikannya kepada yang berhak, dengan syarat pemerintah yang
adil. Ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang sahnya menyerahkan zakat kepada
pemerintah yang adil (tidak menzalimi rakyat).
Masalah:
Manakah yang afdhal (lebih utama) membagikannya sendiri, diwakilkan, atau
melalui pemerintah yang adil?
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama
.1. Zakat amwal bathinah (harta yang tersembunyi) yang lebih utama adalah
membagikannya sendiri, sedangkan zakat amwal zhahirah (harta yang
tampak) yang lebih utama adalah membayarkannya melalui pemerintah. Yang
dimaksud amwal bathinah (harta yang tersembunyi) adalah emas, perak, uang,
barang perdagangan2, dan rikaz3. Adapun amwal zhahirah (harta yang
tampak) adalah hasil tanaman dan binatang ternak.
2. Membayarkannya melalui pemerintah lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah.
3. Membagikannya sendiri lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah. Alasannya adalah beberapa hujjah berikut.
2. Membayarkannya melalui pemerintah lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah.
3. Membagikannya sendiri lebih utama, baik amwal bathinah maupun amwal zhahirah. Alasannya adalah beberapa hujjah berikut.
–
Pembayar zakat akan meraih pahala lelah yang dirasakannya dalam mengeluarkan
zakatnya, karena hal itu adalah ibadah.
–
Pembayar zakat lebih yakin bahwa dia telah menunaikan tanggung jawabnya.
–
Adanya kemungkinan yang tidak diinginkan jika dibayarkan melalui pemerintah
atau wakil. Misalnya, adanya kemungkinan pemerintah atau wakil meremehkan
pembagiannya, kurang berhati-hati menjaganya hingga hilang/musnah, atau
kemungkinan lainnya.
–
Menghindari celaan masyarakat sekitarnya yang mungkin tidak mengetahui bahwa
dirinya telah membayar zakat melalui pemerintah atau wakilnya. Apalagi kalau
dia seorang kaya-raya yang terkenal. Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat
terakhir yang merupakan mazhab Hanabilah.
8.
Wajib dipastikan secara yakin bahwa pihak yang diberi zakat termasuk pihak yang
berhak menerima zakat. Jika tidak bisa dipastikan, pembayar zakat wajib
berijtihad (menganalisis) dengan penuh kesungguhan dalam memilih dengan dugaan
kuat bahwa yang diberi berhak menerima zakat. Jika seseorang telah
bersungguh-sungguh memperkirakan bahwa orang yang diberinya zakat memang berhak
menerimanya, lalu di kemudian hari diketahui bahwa perkiraannya keliru, apakah
hal itu sah dan dianggap telah menunaikan kewajiban membayar zakat? Ada silang
pendapat di antara ulama dalam hal ini. Yang benar hal itu sah, meskipun
ternyata yang diberi adalah orang kaya, orang kafir, budak, atau Bani Hasyim,
sebab dia telah bertakwa kepada Allah SWT semampunya dalam melaksanakan
kewajiban. Allah tidak membebani seorang hamba lebih dari kemampuannya.
9.
Jika yang diberi zakat diketahui sebagai fakir-miskin yang berhak menerima
zakat, tidak ada hajat untuk menyatakan kepadanya bahwa harta yang diberikan
kepadanya adalah zakat, untuk menjaga agar dirinya tidak merasa hina dengan itu.
Adapun jika yang diberi zakat tidak diketahui dengan pasti sebagai pihak yang berhak menerima zakat, hendaknya dia diberitahu agar dia menolaknya kalau ternyata bukan pihak yang berhak menerimanya, sehingga pemilik zakat bisa memberikannya kepada yang berhak.
Adapun jika yang diberi zakat tidak diketahui dengan pasti sebagai pihak yang berhak menerima zakat, hendaknya dia diberitahu agar dia menolaknya kalau ternyata bukan pihak yang berhak menerimanya, sehingga pemilik zakat bisa memberikannya kepada yang berhak.
10.
Yang afdhal (lebih utama) bagi pemilik zakat adalah memberikan zakatnya kepada
kerabatnya sendiri yang berhak mendapatkannya, dengan syarat bukan kerabat yang
dinafkahinya. Jika orang itu dinafkahi olehnya, dia tidak boleh menerima,
karena jika zakat itu diberikan kepada orang tersebut, lantas hajatnya
tercukupi dengan zakat itu, dengan sendirinya gugurlah kewajibannya memberi
nafkah kepadanya. Berarti, pemberian zakat tersebut kepada yang dinafkahinya
menggugurkan kewajibannya untuk menafkahi yang bersangkutan. Hal ini tidak
boleh. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Utsaimin. Termasuk
dalam hal ini adalah lebih utama seorang istri memberikan zakat kepada suami
sendiri yang berhak mendapat zakat, karena istri tidak berkewajiban menafkahi
suaminya yang fakir-miskin.
11.
Yang afdhal adalah membagikan harta zakat kepada yang berhak dari penduduk
negeri/daerahnya sendiri. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
hukum mengirim zakat ke luar negeri atau ke luar daerah pemilik zakat. Yang
rajih adalah makruh mengirimnya ke luar daerah pemilik zakat jika tidak ada
tuntutan hajat atau maslahat. Jika ada hajat atau maslahat yang menuntut untuk
di kirim ke luar daerah pemilik zakat, hal ini diperbolehkan dan afdhal. Misalnya,
pemilik zakat memiliki kerabat fakir-miskin di daerah lain yang sangat miskin.
Lebih utama dia mengirimnya kepada mereka untuk memenuhi hajat mereka dan untuk
mempererat hubungan kekerabatan. Contoh lain, jika di negeri lain ada penuntut
ilmu syariat yang berhajat seperti hajat fakir-miskin yang ada di negerinya
maka lebih utama mengirimnya kepada mereka. Hal itu karena kegiatan menuntut
ilmu syariat berkaitan dengan maslahat Islam dan kaum muslimin secara umum.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah : “Hanyalah sesungguhnya zakat itu
untuk orang-orang fakir, miskin, …. dst.” (at-Taubah: 60) Maksudnya,
fakir-miskin di seluruh penjuru dunia. Ini pendapat yang dirajihkan oleh
as-Sa’di, Ibnu ‘Utsaimin, serta yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang
diketuai oleh Ibnu Baz. Pendapat inilah yang rajih, insya Allah.
Apabila di tempat tinggalnya tidak ada penerima zakat yang berhak, dia wajib mengirimnya kepada penerima zakat yang ada di tempat lain.
Apabila di tempat tinggalnya tidak ada penerima zakat yang berhak, dia wajib mengirimnya kepada penerima zakat yang ada di tempat lain.
12.
Jika zakat dikirim ke luar wilayah tempat tinggal, biaya pengirimannya
ditanggung oleh pemilik zakat, tidak dipotong dari zakat tersebut.
13.
Apabila hartanya berada di tempat yang berbeda dengan tempat dia berada, yang
afdhal membagikan zakatnya di tempat harta tersebut berada. Terutama jika
hartanya berupa binatang ternak dan hasil tanaman yang merupakan amwal zhahirah
(harta-harta yang tampak). Karena, harta itulah yang merupakan sebab/faktor
wajibnya zakat dan perhatian fakir-miskin tertuju kepadanya.
14.
Boleh mengkhususkan pemberian zakat hanya kepada satu orang ahli zakat dari
delapan golongan ahli zakat yang ada. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, Ahmad,
Sufyan ats-Tsauri, dan jumhur ulama. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan)
oleh Ibnu Qudamah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin berdasarkan dalil-dalil berikut
ini.
1.
Ayat penetapan delapan golongan ahli zakat tersebut dalam konteks menerangkan
golongan-golongan yang berhak mendapat zakat, bukan konteks mewajibkan untuk
dibagikan kepada mereka seluruhnya.
2.
Firman Allah l: “Jika kalian menampakkan sedekah (untuk dicontoh orang lain)
maka itu adalah baik sekali. Jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan
kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kalian.” (al-Baqarah: 271)
Dalam ayat ini, terdapat dalil pengkhususan sedekah untuk golongan fakir/miskin
saja, padahal kata sedekah dalam ayat ini meliputi sedekah wajib (zakat) dan
sedekah sunnah. 3. Sabda Rasulullah n kepada Mu’adz bin Jabal z ketika
mengutusnya ke negeri Yaman:
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. “Kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat mal (harta) yang dipungut dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang fakir/miskin mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas c) Hadits ini menunjukkan bolehnya mengkhususkan zakat untuk golongan fakir/miskin saja.
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. “Kabarkan kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat mal (harta) yang dipungut dari orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang fakir/miskin mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas c) Hadits ini menunjukkan bolehnya mengkhususkan zakat untuk golongan fakir/miskin saja.
4.
Sabda Rasulullah SAW kepada Qabishah bin Mukhariq al-Hilali z yang datang meminta
zakat untuk melunasi utangnya dalam rangka mendamaikan dua kelompok/suku yang
bertikai:
أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا.
أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا.
“Tinggallah
di sini hingga datang harta zakat kepada kami, kami akan memerintahkan untuk
diberikan kepadamu.” (HR. Muslim).
Hadits
ini menunjukkan bolehnya mengkhususkan zakat untuk satu orang saja dari
golongan orang yang berutang.
15.
Sebagian ulama menyatakan disunnahkan bagi pemilik zakat untuk berdoa saat
menyerahkan zakatnya. Menurut mereka, doanya adalah:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا
وَلاَ تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا
“Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian.” Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.4
Adapun pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيهِ “Ya Allah, bershalawatlah atasnya.”
atau membaca:
“Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian.” Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.4
Adapun pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيهِ “Ya Allah, bershalawatlah atasnya.”
atau membaca:
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي
مَالِهِ
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” Dalil doa yang pertama adalah firman Allah l:
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (at-Taubah: 103)
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” Dalil doa yang pertama adalah firman Allah l:
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (at-Taubah: 103)
Demikian
pula hadits Ibnu Abi Aufa :
كَانَ النَّبِىُّ n إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ. فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
Adalah Nabi SAW jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” (HR. al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078) Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr z, disebutkan di dalamnya bahwa Nabi SAW mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
Adalah Nabi SAW jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” (HR. al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078) Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr z, disebutkan di dalamnya bahwa Nabi SAW mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي
مَالِهِ
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” (HR. an-Nasa’i, disahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458).Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib. Wallahu a’lam.
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” (HR. an-Nasa’i, disahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458).Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib. Wallahu a’lam.
Catatan
Kaki:
1
Sistem jubran hanya berlaku pada zakat unta, karena dalil masalah ini hanya
disebutkan pada zakat unta, dalam hadits Anas z tentang kitab zakat yang
ditulis oleh Abu Bakr z. Sistem jubran berlaku ketika seseorang terkena
kewajiban untuk mengeluarkan zakat unta dengan umur tertentu yang telah
ditetapkan, ternyata dia tidak memilikinya, atau memilikinya namun untanya
cacat. Dalam keadaan seperti ini, dia mengeluarkan yang setahun lebih tua
usianya dan mengambil salah satu dari dua pilihan yang ditetapkan petugas
pemungut zakat pada jubran tersebut, atau mengeluarkan yang setahun lebih muda
usianya (yang sah dalam pembayaran zakat) dan membayar kepada petugas pemungut
zakat salah satu dari dua pilihan yang ditetapkan pada jubran tersebut.
2
Jika berpendapat bahwa barang perdagangan terkena zakat.
3
Lihat kembali tentang rikaz pada pembahasan Jenis-Jenis Harta yang
Diperselisihkan Zakatnya pada edisi 54.
4
Pembahasan tentang hadits tersebut bisa dibaca pada rubrik Hadits edisi ini.
Penulis:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar,
MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com