Ganjaran Ilahi Bagi
Pembayar Zakat
Sebagai ibadah yang sangat penting dalam agama Islam, zakat
menjadi media untuk meraih berbagai pahala yang dijanjikan bagi para
pembayarnya. Baik pahala di dunia maupun pahala di akhirat kelak. Sedkitnya ada
lima (5) pahala zakat sekaligus dalil al-Qur’an dan haditsnya.
1. Mendatangkan Hidayah atau Petunjuk dalam
Segala Urusan
Zakat dapat mendatangkan hidayah dan petunjuk
dari Allah Swt bagai parfa pembayarnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ
يَخْشَ إِلَّا اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Yang memakmurkan masjid-masjid Allah
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (pada siapapun) selain
kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharap termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah
ayat 18).
Merujuk Tafsir Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi,
dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa para pembayar zakat dapat berharap
mendapat hidayah dalam segala urusan mereka. (Al-Fakhrur Razi, Tafsir
Al-Fakhrur Razi, [Beirut, Dar Ihya`it Turats al-’Arabi, tanpa catatan tahun],
juz I, halaman 2189).
2. Dimasukkan ke Surga
Dengan membayar zakat seseorang dijanjikan
pahala yang sangat besar yaitu masuk ke surga, sesuai firman Allah:
لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ
وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ
قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di
antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepadamu (al-Qur`an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan
orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada
mereka pahala yang besar.” (An-Nisa`
ayat 162). Maksud pahala besar dalam ayat tersebut adalah jaminan surga bagi
orang yang patuh membayar zakat, sebagaimana hal ini pernah dijanjikan oleh
Allah SWT kepada Bani Israil.
Demikian penjelasan Imam At-Thabari dalam kitab
tafsirnya. (Lihat At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an,
[Muassisatur Risalah, 2000 M], juz IX, halaman 399).
3. Mendatangkan Ampunan
Membayar zakat juga berguna untuk mendatangkan
ampunan dari Allah Swt atas berbagai kesalahan yang telah dilakukan, seperti
disebutkan dalam Al-Qur`an:
... لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ
الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ
قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“... Sesungguhnya jika kalian mendirikan
shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada Rasul-RasulKu, kalian bantu
mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sungguh Aku akan
melebur dosa-dosa kalian, dan sungguh kalian akan Ku masukkan ke surga yang di
dalamnya mengalir sungai-sungai ...” (Al-Ma`idah
ayat 12)
Dengan ayat ini Allah SWT menjanjikan ampunan
dari berbagi dosa bagi orang yang membayar zakat sekaligus menjanjikan jaminan
surga sebagaimana ayat sebelumnya. (Lihat Abul ‘Abbas
Al-Fasi, Al-Bahrul Madid, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiah, 2002 M],
juz IX, halaman 399).
4. Mendatangkan Rahmat dan Kasih Sayang Allah
SWT
Zakat juga akan mendatangkan rahmat dan kasih
sayang Allah SWT kepada pembayarnya, sebagaimana difirmankan:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan dirikan shalat, tunaikan zakat, dan
taatlah kepada Rasul, agar kamu diberi rahmat.” (An-Nur ayat 56).
5. Mendatangkan Keberkahan
Menjadikan hartanya barakah, berkembang semakin
baik dan banyak, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ
قَالَ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ (رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, ia
bersabda, ‘Sedekah (zakat) tidak akan mengurangi harta, tidaklah Allah menambah
seorang hamba sebab pengampunannya (bagi orang lain) kecuali kemuliaan, dan
tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah melainkan Allah angkat derajatnya,’” (HR Muslim).
Dalam hadits ini Rasulullah SAW menegaskan,
zakat seseorang tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Artinya, meskipun
harta seseorang berkurang karena digunakan membayar zakat, namun setelah
dizakati hartanya akan menjadi penuh barakah dan bertambah banyak. (Lihat
An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut, Daru Ihya`it
Turats Al-’Arabi, 1392 H], juz XXVI, halaman 141).
Inilah lima pahala zakat di antara berbagai
pahala yang dijanjikan Allah SWT bagi orang-orang yang patuh membayarkannya:
mendatangkan hidayah, ampunan, kasih sayang dan keberkahan dari Allah SWT serta
dijanjikan masuk ke dalam surga-Nya. Sangat menarik bukan? Wallahu
a‘lam.
Urgensi dan tuntutan
Zakat
Zakat
merupakan ajaran Islam yang sangat urgen. Ia adalah salah satu rukun Islam
seperti ditegaskan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya dengan terjemahan, “Islam
dibangun atas lima hal; kesaksian sungguh tiada tuhan selain Allah, sungguh
Muhammad adalah utusan Allah, pelaksanaan shalat, pembayaran zakat, haji dan puasa
Ramadhan,” (Bukhari dan Muslim).
Zakat juga merupakan ajaran Islam yang ma’lum
minad din bid dharuri (ajaran agama yang diketahui secara luas baik
oleh orang alim maupun orang awam). Dalam titik inilah mengingkari hukum
wajibnya akan menyebabkan seseorang terjerumus dalam kekufuran. (Lihat
An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Mesir, Al-Muniriyah, tanpa
catatan tahun, juz V, halaman 331).
Sementara, hukum wajib zakat berdasarkan
beberapa ayat Al-Qur`an, antara lain adalah:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا ... (التوبة: 103)
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka ...”
(At-Taubah ayat 103).
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة: 43)
“Dirikan shalat, tunaikan zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (Al-Baqarah ayat 43).
Kemudian dari ayat-ayat itu terbentuklah ijma’
ulama atas hukum wajibnya. (Lihat Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyyatul
Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qasim, Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan
tahun, juz I, halaman 270-271).
Selain itu, secara subtansial zakat termasuk
kategori kewajiban yang mempunyai dua dimensi (murakkab), yaitu dimensi
ta’abbudi, penghambaan diri kepada Allah, dan dimensi sosial. Tidak seperti
perlemparan jumrah dalam ritual haji yang hanya berdimensi ta’abbudi saja dan
tidak pula seperti melunasi hutang yang hanya berdimensi sosial saja. Dimensi sosial zakat terlihat pada objek
utamanya, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup mustahiqqin (orang-orang yang berhak
menerima zakat) yang mayoritas masyarakat ekonomi kelas bawah dan peningkatan
taraf hidup mereka, supaya cerah di hari depannya, terentaskan dari kemiskinan,
tidak butuh uluran tangan, hidup layak dan berbalik menjadi penolong bagi orang
lain yang masih berkubang di jurang kemiskinan.
Sementara dimensi ta’abbudi yang
tidak kalah penting dari dimensi sosial terletak pada keharusan memenuhi
berbagai cara pengkalkulasian, pendistribusian, dan aturan-aturan lainnya yang
harus dipatuhi muzakki (orang yang membayar zakat), sehingga zakat yang
ditunaikannya sah secara syar’i. Dalam dimensi inilah Imam Syafi’i
mengingatkan, zakat menjadi salah satu rukun Islam yang sejajar dengan shalat,
puasa, dan haji.
Sudah menjadi hal maklum, bahwa aturan-aturan
zakat tidaklah mudah. Sehingga sebelum seseorang membayar zakat, ia memerlukan
pengetahuan yang cukup tentang zakat untuk melaksanakannya sesuai prosedur,
mulai dari pengklasifikasian aset wajib zakat dari aset lainnya, pengkalkusian
aset yang wajib dikeluarkan, dan sampai pada pendistribusiannya ke tangan
mustahiqqin.
Semuanya harus dilakukan secara tepat.
Menyepelekan dan menganggap mudah hal ini sebenarnya tidak berdampak negatif
pada dimensi sosial zakat, selama zakat sampai kepada mereka yang berhak. Namun
mengingat zakat juga mempunyai dimensi ta’abbudi, maka hal ini akan menjadi
catatan merah yang berakibat zakat yang dikeluarkan tidak sah. Dalam konteks
ini Imam Al-Ghazali mengatakan:
وَالتَّسَاهُلُ
فِيهِ غَيْرُ قَادِحٍ فِي حَظِّ الْفَقِيرِ لَكِنَّهُ قَادِحٌ فِي التَّعَبُّدُ.
“Dan serampangan dalam dimensi ibadah
zakat (tidak memperhatikan aturan-aturannya) tidak berpengaruh bagi orang fakir
(asal zakat sampai kepadanya), namun berpengaruh dalam sisi ibadahnya,” (Lihat
Al-Ghazali, Ihya` ‘Ulumid Din, [Indonesia, Darul Kutub
Al-‘Arabiyah], tanpa catatan tahun, juz I, halaman 213). Karena itu, menjadi penting bukan bekal keilmuan
untuk melaksanakan zakat agar sesuai dengan tuntunan syariat sebenarnya?
Dua Jenis Zakat Yang Wajib ditunaikan
Di dalam fiqih, zakat wajib
dibagi menjadi dua macam. Pertama, zakat nafs (badan)
atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah. Dalam suatu hadits disebutkan:
فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ
أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Baginda Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan kepada
manusia yaitu satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum kepada setiap
orang merdeka, budak laki-laki atau orang perempuan dari kaum Muslimin.” (HR.
Bukhari Muslim)
Dengan demikian, zakat
fitrah ditunaikan dalam bentuk bahan makanan pokok di daerah setempat.
Dalam konteks Indonesia, satu sha’ setara dengan sekitar dua setengah kilogram
beras per orang (ada yang berpendapat 2,7 kilogram).
Kedua, zakal mal. Secara umum
aset zakat mal meliputi hewan ternak, emas dan perak, bahan makanan pokok,
buah-buahan, dan mal tijarah (aset perdagangan). Syekh an-Nawawi Banten
berkata:
وزكاة مال وهي
واجبة في ثمانية أصناف من أجناس المال وهي الذهب والفضة والزروع والنخل والعنب
والإبل والبقر والغنم -- إلى أن قال-- وأما عروض التجارة فهي ترجع للذهب والفضة
لأن زكاتها تتعلق بقيمتها، وهي إنما تكون منهما
“Zakat mal wajib di dalam
delapan jenis harta. Yaitu, emas, perak, hasil pertanian (bahan makanan pokok),
kurma, anggur, unta, sapi, kambing ... Sedangkan aset perdagangan dikembalikan
pada golongan emas dan perak karena zakatnya terkait dengan kalkulasinya dan
kalkulasinya tidak lain dengan menggunakan emas dan perak.”(Syekh an-Nawawi
Banten, Nihayatz Zain, Surabaya, al-Haramain, cetakan pertama,
halaman: 168)
Namun kemudian menurut
beberapa ulama kotemporer, aset zakat juga memasukkan uang (bank
note/al-auraq al-maliyah), hasil profesi, atau hadiah yang diterima oleh
seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili di dalam
al-Fiqh al-Islami, Syekh Yusuf al-Qardawi di dalam Fiqhuz Zakah,
Syekh Abdurrahman al-Juzairi di dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, dan yang lainnya. Pendapat ini berpedoman pada beberapa riwayat
ulama, di antaranya:
1. Riwayat dari Ibn Abbas
عن ابن عباس في
الرجل يستفيد المال قال يزكيه حين يستفيد
“Diriwayatkan dari Ibn
‘Abbas tentang seseorang yang memperoleh harta, (lalu) Ibn ‘Abbas berkata:
‘(Hendaknya) ia menzakatinya pada saat memperolehnya.’.” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
2. Riwayat dari Ibn Mas’ud
عن هبيرة بن
يريم قال: كان عبد الله ابن مسعود يعطينا العطاء في زبل صغارثم يأخذ منها زكاة
“Diriwayatkan dari Habirah
ibn Yarim, ia berkata: ‘Abdullah ibn Mas’ud memberi kami suatu pemberian di
dalam keranjang kecil, kemudian beliau mengambil zakat dari pemberian-pemberian
tersebut.” (HR. Abu Ishaq dan Sufyan ats-Tsauri)
3. Riwayat dari Umar ibn
‘Abdul ‘Aziz
ذكر أبو عبيد
أنه كان إذا أعطى الرجل عُمَالته أخذ منها الزكاة، وإذا رد المظالم أخذ منها
الزكاة، وكان يأخذ الزكاة من الأعطية إذا خرجت لأصحابها
“Abu ‘Ubaid menyebutkan
bahwa sesungguhnya Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz memberi upah seorang pekerja, maka
beliau mengambil zakat darinya, ketika mengembalikan madhalim (harta
yang diambil secara zalim), maka beliau mengambil zakat darinya, dan beliau
mengambil zakat dari ‘athiyah (pemberian-pemberian) saat
dibagikan pada pemiliknya.” (Yusuf al-Qardawi, Fiqhuz Zakah,
Beirut, Dar al-Fikr, jilid I, halaman: 431)
Begitulah sekilas
penjelasan global tentang pembagian zakat yang wajib dibayarkan. Insyaallah,
selanjutnya akan dijelaskan lebih detail dan terperinci terkait satu persatu
harta yang wajib dizakati.
Di
depan telah dijelaskan dasar-dasar kewajiban zakat. Di dalam fiqih, zakat wajib
dibagi menjadi dua macam.
Pertama, zakat nafs (badan)
atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah. Dalam suatu hadits disebutkan:
فَرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ
عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Baginda
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam mewajibkan zakat fitrah di bulan
Ramadhan kepada manusia yaitu satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum
kepada setiap orang merdeka, budak laki-laki atau orang perempuan dari kaum
Muslimin.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan
demikian, zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk bahan makanan pokok di daerah
setempat. Dalam konteks Indonesia, satu sha’ setara dengan sekitar dua
setengah kilogram beras per orang (ada yang berpendapat 2,7 kilogram).
Kedua, zakal mal. Secara umum
aset zakat mal meliputi hewan ternak, emas dan perak, bahan makanan pokok,
buah-buahan, dan mal tijarah (aset perdagangan). Syekh an-Nawawi Banten
berkata:
وزكاة مال وهي
واجبة في ثمانية أصناف من أجناس المال وهي الذهب والفضة والزروع والنخل والعنب
والإبل والبقر والغنم -- إلى أن قال-- وأما عروض التجارة فهي ترجع للذهب والفضة
لأن زكاتها تتعلق بقيمتها، وهي إنما تكون منهما
“Zakat
mal wajib di dalam delapan jenis harta. Yaitu, emas, perak, hasil pertanian
(bahan makanan pokok), kurma, anggur, unta, sapi, kambing ... Sedangkan aset
perdagangan dikembalikan pada golongan emas dan perak karena zakatnya terkait
dengan kalkulasinya dan kalkulasinya tidak lain dengan menggunakan emas dan
perak.”(Syekh an-Nawawi Banten, Nihayatz Zain, Surabaya,
al-Haramain, cetakan pertama, halaman: 168)
Namun
kemudian menurut beberapa ulama kotemporer, aset zakat juga memasukkan uang (bank
note/al-auraq al-maliyah), hasil profesi, atau hadiah yang diterima oleh
seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili di dalam
al-Fiqh al-Islami, Syekh Yusuf al-Qardawi di dalam Fiqhuz Zakah,
Syekh Abdurrahman al-Juzairi di dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, dan yang lainnya. Pendapat ini berpedoman pada beberapa riwayat
ulama, di antaranya:
1.
Riwayat dari Ibn Abbas
عن ابن عباس في
الرجل يستفيد المال قال يزكيه حين يستفيد
“Diriwayatkan
dari Ibn ‘Abbas tentang seseorang yang memperoleh harta, (lalu) Ibn ‘Abbas
berkata: ‘(Hendaknya) ia menzakatinya pada saat memperolehnya.’.” (HR. Ahmad
ibn Hanbal)
2.
Riwayat dari Ibn Mas’ud
عن هبيرة بن
يريم قال: كان عبد الله ابن مسعود يعطينا العطاء في زبل صغارثم يأخذ منها زكاة
“Diriwayatkan
dari Habirah ibn Yarim, ia berkata: ‘Abdullah ibn Mas’ud memberi kami suatu
pemberian di dalam keranjang kecil, kemudian beliau mengambil zakat dari
pemberian-pemberian tersebut.” (HR. Abu Ishaq dan Sufyan ats-Tsauri)
3.
Riwayat dari Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz
ذكر أبو عبيد
أنه كان إذا أعطى الرجل عُمَالته أخذ منها الزكاة، وإذا رد المظالم أخذ منها
الزكاة، وكان يأخذ الزكاة من الأعطية إذا خرجت لأصحابها
“Abu
‘Ubaid menyebutkan bahwa sesungguhnya Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz memberi upah
seorang pekerja, maka beliau mengambil zakat darinya, ketika
mengembalikan madhalim (harta yang diambil secara zalim), maka
beliau mengambil zakat darinya, dan beliau mengambil zakat dari ‘athiyah (pemberian-pemberian)
saat dibagikan pada pemiliknya.” (Yusuf al-Qardawi, Fiqhuz Zakah,
Beirut, Dar al-Fikr, jilid I, halaman: 431)
Begitulah
sekilas penjelasan global tentang pembagian zakat yang wajib dibayarkan.
Insyaallah, selanjutnya akan dijelaskan lebih detail dan terperinci terkait
satu persatu harta yang wajib dizakati.
Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Membayar Zakat
Di sini akan dijelaskan ancaman dan resiko yang besar pula bagi orang
yang tidak mau membayar zakat. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an dan hadits banyak
dijelaskan balasan dan imbalan bagi penunai zakat, begitu juga banyak
disampaikan ancaman bagi para pembangkang zakat.
Allah subhanahu
wata‘ala berfirman:
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
"Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) SIKSA YANG PEDIH.” (QS. At-Taubah: 34). Maksud
menafkahkan di jalan Allah dalam ayat di atas adalah mengeluarkan zakat. Di
antara siksaan pedih tersebut adalah tubuh orang yang tidak mau membayar zakat
akan disulut dengan batu-batu dan besi yang dipanaskan di dalam neraka jahanam.
Al-Ahnaf ibn Qais radliyallahu ‘anh berkata:
كُنْتُ فِيْ
نَفَرٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَمَرَّ أَبُوْ ذَرٍّ فَقَالَ: بَشِّرِ الْكَانِزِيْنَ
بِكَيٍّ فِيْ ظُهُوْرِهِمْ يَخْرُجُ مِنْ جُنُوْبِهِمْ وَبِكَيٍّ فِيْ
أَقْفَائِهِمْ يَخْرُجُ مِنْ جِبَاهِهِمْ
“Saya
pernah berada di antara kaum Quraisy. Kemudian Abu Dzar lewat dan berkata,
‘Sampaikanlah berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya
(tidak mau membayar zakat) bahwa punggung mereka akan disulut hingga keluar
dari lambungnya, dan tengkuk mereka dicos hingga keluar dari keningnya’.” (HR.
Bukhari)
Dalam
satu riwayat disebutkan bahwa Abu Dzar radliyallahu ‘anh berkata:
بَشِّرْ
الْكَانِزِينَ بِرَضْفٍ يُحْمَى عَلَيْهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ثُمَّ يُوضَعُ عَلَى
حَلَمَةِ ثَدْيِ أَحَدِهِمْ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ نُغْضِ كَتِفِهِ وَيُوضَعُ عَلَى
نُغْضِ كَتِفِهِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ حَلَمَةِ ثَدْيِهِ يَتَزَلْزَلُ
“Sampaikanlah
berita gembira pada orang-orang yang menyimpan hartanya (tidak mau
membayar zakat) bahwa batu-batu yang dipanaskan di neraka Jahannam akan
diletakan di puting mereka hingga keluar dari pundaknya, dan diletakan di
pundaknya hingga keluar dari puting kedua dadanya, hingga membuat tubuhnya
bergetar tidak karuan.” (HR. Bukhari)
Dan
jika harta yang wajib dizakati berupa binatang, si pembangkang zakat itu akan
menerima amukan dan injakan binatang piaraannya. Baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
ما من صاحب إبل
ولا بقر ولا غنم لا يؤدي زكاتها إلا جاءت يوم القيامة أعظم ما كانت وأسمنه تنطحه
بقرونها وتطؤه باظلافها كلما نفدت اخراها عادت عليه اولاها حتى يقضى بين الناس
“Tidak
ada pemilik unta, sapi, dan kambing yang tidak membayar zakatnya kecuali
binatang-binatang tersebut datang di hari kiamat dengan postur yang sangat
besar dan sangat gemuk yang mengamuki pemiliknya dengan tanduk-tanduk mereka
dan menginjak-nginjaknya dengan kaki mereka. Ketika binatang yang paling
belakang habis, maka yang depan kembali lagi padanya hingga pemutusan (hisab)
selesai di antara manusia).” (HR. Muslim)
Bukan
hanya di akhirat, sanksi bagi para pembangkang zakat di dunia juga ada, yaitu,
pemerintah yang berwenang diperkenankan mengambil paksa zakat yang harus
dibayarkan dan memberi hukuman pada pelaku agar jera sebagaimana yang
disampaikan oleh Imam al-Qaffal dalam kitab Hilyatul Ulama’ fi Ma’rifati
Madzahibul Fuqaha’:
وإن امتنع من
إخراج الزكاة بخلا أخذت منه وعزر
“Jika
pemilik harta tidak mau membayar zakat sebab bakhil, maka zakat diambil paksa
darinya dan ia berhak di-ta’zir.” (Abu Bakar al-Qaffal, Hilyatul
Ulama’ fI Ma’rifati Madzahibul Fuqaha’, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan kedua,
2004, jilid 3 halaman 10)
Itulah
sebagian ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang wajib membayar zakat namun
tidak mau membayarnya. Bahkan jika alasan tidak mau membayar zakat itu didasari
pengingkaran terhadap kewajiban zakat, maka ia dihukumi murtad. Na’udzubillah
min dzalik. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan Syekh Muhyiddin an-Nawawi:
وجوب الزكاة
معلوم من دين الله تعالى ضرورة فمن جحد وجوبها فقد كذب الله وكذب رسوله صلى الله
عليه وسلم فحكم بكفره
“Kewajiban
zakat adalah ajaran agama Allah ta’ala yang diketahui secara pasti. Sehingga,
orang yang mengingkari kewajibannya sesungguhnya telah mendustakan Allah ta’ala
dan mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga
ia dihukumi kufur.” (Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,
Mesir, al-Muniriyah, cetakan kedua, 2003, jilid V, halaman 331)
Semoga
kita selalu diberi taufiq oleh Allah subhanahu wata’ala hingga
kita mudah untuk melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan mudah menjauhi apa
yang dilarang-Nya. Amin ya rabbal alamin.
(Artikel: nu.or.id)
Kontributor: Moh.Sibromulisi dan Ahmad Muntaha. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. email: ustazsofyan@gmail.com