Golongan Yang Tidak Berhak dan
Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Ada tujuh golongan yang tidak berhak menerima zakat,
yaitu:
1. Bani Hasyim, yaitu Nabi dan kerabatnya.
2. Orang kaya
3. Orang yang berfisik kuat dan berpenghasilan cukup
4. Orang yang dinafkahinya
5. Orang yang tercukupi nafkahnya oleh yang menanggungnya.
6. Budak
7. Orang kafir
1. Bani Hasyim, yakni Nabi SAW dan dan
Kerabatnya. Zakat diharamkan atas Bani Hasyim, yaitu Nabi dan dan kerabatnya. Mereka adalah keluarga ‘Abbas, keluarga ‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga
al-Harits bin ‘Abdil Muththalib. Adapun tentang keluarga Abu Lahab, ada
perbedaan pendapat tentangnya. Asy-Syaukani berkata, “Keluarga Abu Lahab tidak
termasuk dalam hukum ini, berdasarkan apa yang dikatakan (bahwa tidak ada
seorang pun dari mereka yang masuk Islam pada masa hidup Nabi). Namun hal ini
terbantah dengan apa yang disebutkan dalam Jami’ul Ushul bahwa dua putra Abu
Lahab yang bernama ‘Utbah dan Mu’attib masuk Islam pada Fathu Makkah.
Rasulullah pun bergembira dengan keislaman keduanya. Keduanya juga ikut Perang
Hunain dan Thaif. Menurut ahli nasab, keduanya memiliki keturunan.”Penulis
kitab ar-Raudhul Murbi’ menetapkan keluarga Abu Lahab tergolong Bani Hasyim
yang haram menerima zakat.
Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan bahwa sejak lebih dari seribu tahun yang silam,
raja-raja yang berkuasa di negeri Yaman adalah Bani Hasyim. Nasab mereka
masyhur dan dikenal sebagai Bani Hasyim. Selain mereka, banyak juga yang
bernasab Bani Hasyim. Beliau menyatakan bahwa barang siapa mengaku sebagai Bani
Hasyim, pengakuannya diterima dan tidak diberi zakat. Zakat diharamkan atas
Bani Hasyim, yaitu Nabi SAWdan kerabatnya, sebagai pemuliaan terhadap mereka,
karena mereka adalah kerabat Nabi. Kerabat Nabi adalah nasab manusia yang
paling mulia sehingga tidak pantas menerima zakat yang merupakan kotoran
manusia, karena zakat membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Dalilnya
adalah sebagai berikut.
(1). Hadits al-Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits:
“Rabi’ah bin al-Harits dan al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib berkumpul. Keduanya
mengutus al-Muththalib dan al-Fadhl bin ‘Abbas untuk menemui Rasulullah agar
beliau mengangkat keduanya sebagai amil zakat, sehingga keduanya ikut mendapat
bagian dari zakat sebagaimana yang lainnya. Tatkala keduanya menemui Rasulullah SAW , beliau SAW bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ
تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi Nabi SAW dan keluarganya. Zakat itu
hanyalah merupakan kotoran manusia.”
Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya dan memerintahkan petugas al-khumus
agar memberikan harta al-khumus kepada keduanya untuk mahar pernikahan.” (HR.
Muslim Bab Tarki Isti’mali Ali an-Nabi ‘alash Shadaqah no. 1072).
(2). Hadits Abu Hurairah :
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ
عَلِيٍ c تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِى
فِيهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ n: كِخْ كِخْ ارْمِ بِهَا! أَمَا
عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةََ؟
Al-Hasan bin Ali memungut sebutir kurma dari kurma zakat lalu memasukkannya ke
dalam mulutnya. Nabi n berkata, “Kikh kikh,2 muntahkan! Tidakkah engkau
mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?” (HR. al-Bukhari no.
1491 dan Muslim no. 1069). Dalam riwayat al-Bukhari yang lain dengan lafadz:
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ
آلَ مُحَمَّدٍ لاَ يَأْكُلُونَ الصَّدَقَةَ
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad dan keluarganya tidak
boleh memakan harta zakat?” (HR. al-Bukhari no. 1485).
Kedua hadits ini menunjukkan haramnya zakat bagi mereka. Hadits yang pertama
menunjukkan bahwa sebabnya adalah zakat merupakan kotoran manusia, karena zakat
yang dikeluarkan membersihkan pemiliknya dari kotoran (dosa). Suatu pembersih
tentu saja bercampur dengan kotoran yang dibersihkannya. Dalil bahwa zakat
membersihkan pemiliknya dari kotoran adalah firman Allah:
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang
dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka.”
(at-Taubah: 103)
Keumuman hadits-hadits tersebut meliputi Bani Hasyim, baik yang fakir-miskin,
sebagai amil zakat, muallaf, maupun lainnya. Bahkan hadits al-Muththalib bin
Rabi’ah bin al-Harits merupakan nash yang menunjukkan bahwa zakat adalah haram
bagi Bani Hasyim meskipun mereka sebagai amil zakat, karena kisahnya terkait
dengan permintaan mereka menjadi amil zakat, dan Rasulullah n tetap
mengharamkan bagi mereka. Inilah pendapat yang rajih.
Demikian pula keumuman hadits-hadits yang ada, meliputi zakat Bani Hasyim dan
yang lainnya. Inilah pendapat yang rajih.
Bani Hasyim haram menerima zakat. Sebagai gantinya, mereka berhak dibantu
dengan harta al-khumus, yaitu seperlima bagian dari seperlima ghanimah (harta
rampasan perang), sedangkan empat perlima bagian dari ghanimah dibagikan kepada
pasukan yang merampasnya. Jadi, seperlima bagian dari ghanimah dibagi menjadi
lima bagian, salah satunya untuk kerabat Nabi n. Seperlima bagian tersebut
untuk kerabat Nabi n, yaitu Bani Hasyim. Dalam hal ini Banil Muththalib
memiliki hukum yang sama dengan mereka. Jubair bin Muth’im z berkisah:
مَشَيْتُ أَنَا
وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ n فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ
اللهِ، أَعْطَيْتَ بَنِي الْمُطَّلِبِ وَتَرَكْتَنَا، وَنَحْنُ وَهُمْ مِنْكَ
بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّمَا بَنُو
الْمُطَّلِبِ وَبَنُو هَاشِمٍ شَيءٌ وَاحِدٌ
Aku berjalan bersama ‘Utsman bin ‘Affan z menemui Rasulullah n, lalu kami
berkata, “Wahai Rasulullah, engkau memberi bagian dari al-khumus kepada Banil
Muththalib dan engkau membiarkan kami, padahal kami dan mereka memiliki
kedudukan yang sama darimu.” Rasulullah n pun bersabda: “Hanyalah Banil
Muththalib dan Bani Hasyim itu satu kesatuan.” (HR. al-Bukhari no. 2971)
Oleh karena itu, apabila mereka dizalimi dengan tidak diberi bagian dari
khumus, atau tidak ada khumus yang akan dibagikan kepada mereka, sebagaimana
realita di masa sekarang, fakir-miskin di antara mereka berhak dibantu dengan
zakat untuk memenuhi kebutuhan darurat (pokok) mereka. Ini adalah pendapat
sebagian fuqaha Hanabilah, salah satu sisi pendapat di kalangan fuqaha
Syafi’iyah, dinukilkan juga dari Abu Hanifah, dan dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah
serta Ibnu ‘Utsaimin.
Ada beberapa golongan yang diperselisihkan oleh ulama, apakah memiliki hukum
yang sama dengan Bani Hasyim atau tidak? Golongan-golongan tersebut adalah
sebagai berikut.
(1). Maula Bani Hasyim, yaitu budak yang dimerdekakan oleh Bani Hasyim
Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa mereka memiliki hukum yang sama
dengan Bani Hasyim dalam hal haramnya zakat bagi mereka. Ini berdasarkan hadits
Abu Rafi’ maula Rasulullah n yang dilarang oleh Rasulullah untuk menjadi amil
zakat. Beliau bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا
تَحِلُّ لَنَا وَإِنَّ مَوَالِيَ الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya zakat tidak dihalalkan bagi kami, dan maula suatu kaum adalah
bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan yang
lainnya, disahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 880)
(2). Istri-istri Rasulullah SAW
Syaikhul Islam memilih salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad bahwa zakat itu
haram bagi istri-istri Rasulullah n, sebab mereka merupakan keluarga/kerabat
Nabi SAW. Ini adalah pendapat yang rajih.
Adapun maula istri-istri Nabi n, tidak ada perbedaan pendapat bahwa
kedudukannya berbeda dengan maula Bani Hasyim. Zakat itu halal atas mereka.
(3). Banil Muththalib
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim. Mereka empat bersaudara, yaitu: Hasyim,
al-Muththalib, ‘Abdusyams, dan Naufal. Ayah mereka bernama ‘Abdumanaf.
Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat bahwa Banil
Muththalib memiliki hukum yang sama dengan Bani Hasyim, yakni haram menerima
zakat. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hajar. Mereka berdalil dengan qiyas
(analogi) terhadap penyamaan hukum antara keduanya dalam hal menerima bagian
dari al-khumus. Rasulullah n mengabarkan bahwa Bani Hasyim dan Banil Muththalib
adalah dua keluarga yang merupakan satu kesatuan yang berhak menerima
al-khumus, sebagaimana dalam hadits Jubair bin Muth’im di atas. Berdasarkan
pendapat ini, berlaku perbedaan pendapat tentang hukum maula Banil Muththalib
dalam menerima zakat seperti pada maula Bani Hasyim, berikut yang rajih dari
perbedaan pendapat tersebut.
Namun pendalilan ini lemah, karena Rasulullah menyamakan hukum keduanya dalam
menerima al-khumus dan menyatakan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan,
berdasarkan loyalitas Banil Muththalib terhadap Bani Hasyim yang senantiasa
membela dan menolong mereka dalam peperangan, baik di masa jahiliah maupun di
masa Islam. Bukan semata-mata karena Banil Muththalib memiliki hubungan
kekerabatan. Buktinya, Bani ‘Abdisyams dan Bani Naufal yang juga memiliki
hubungan kekerabatan dengan Bani Hasyim, hukumnya lain. Adapun dalam masalah
zakat, urusannya berbeda dan tidak bisa disamakan.
Oleh karena itu, yang rajih adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu
riwayat dari Ahmad yang menjadi mazhab Hanabilah bahwa Banil Muththalib halal
menerima zakat, karena mereka masuk dalam keumuman ayat tentang delapan
golongan yang berhak menerima zakat. Mereka tidak termasuk kerabat Muhammad yang bernasab mulia yang karenanya diharamkan menerima zakat. Pendapat inilah
yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin.
Masalah: Apakah sedekah yang bersifat sunnah juga
diharamkan atas Bani Hasyim?
Ada perbedaan pendapat di antara ulama. Yang rajih, sedekah itu haram atas
Rasulullah dan halal untuk Bani Hasyim yang lainnya. Jadi, khusus bagi Nabi
SAW, seluruh sedekah haram, baik yang wajib (zakat) maupun yang sunnah. Ini
adalah pendapat jumhur, yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu ‘Utsaimin.
Ibnu Qudamah menerangkan sebabnya, “Karena hal itu termasuk ciri dan tanda yang
menunjukkan kenabian beliau n, sehingga beliau n tidak pernah menerimanya sama
sekali.” Ada banyak hadits yang menunjukkan hal ini.
Adapun Bani Hasyim yang lainnya halal menerima sedekah sunnah namun haram
menerima yang wajib (zakat). Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, yang
dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu ‘Utsaimin. Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, “Sebab diharamkannya
zakat bagi Bani Hasyim ini tidak sesuai penerapannya pada sedekah sunnah.
Sebab, sedekah sunnah hukumnya tidak wajib (seperti zakat), sehingga bukan
merupakan pembersih harta (kotoran manusia), melainkan sebagai penghapus dosa.”
2. Orang
Kaya
Yang dimaksud dengan orang kaya di sini adalah orang yang memiliki harta yang
cukup dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari bersama keluarganya—jika dia
berkeluarga—dalam jangka waktu setahun, menurut tingkat kehidupan masyarakat
sekitarnya yang sederajat dengannya. Golongan orang kaya diharamkan menerima
zakat untuk memenuhi kebutuhannya bersama keluarganya—jika dia
berkeluarga—karena dia bukan golongan fakir-miskin yang membutuhkan.
Dalilnya adalah hadits Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar z tentang dua orang
sahabat, keduanya bercerita kepada ‘Ubaidullah:
أَنَّهُمَا أَتَيَا
النَّبِيَّ n فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ يَقْسِمُ الصَّدَقَةَ
فَسَأَلاَهُ مِنْهَا فَرَفَعَ فِينَا الْبَصَرَ وَخَفَضَهُ فَرَآناَ جَلْدَينِ
فَقَالَ: إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلاَ
لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
Mereka berdua mendatangi Nabi n pada hajjatul wada’ ketika beliau tengah
membagi-bagikan zakat. Keduanya lantas meminta bagian kepada beliau n. Mereka
berkata, “Beliau menatap kami dan mengamati dari atas ke bawah. Beliau
melihat kami berdua sebagai lelaki yang kuat.” Beliau n kemudian berkata, “Jika
kalian menginginkannya (akan kuberikan). Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada
bagian dari zakat untuk seorang yang kaya, tidak pula untuk seorang yang
berfisik kuat, serta punya profesi yang mencukupinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasa’i, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya, dinyatakan bagus sanadnya
oleh Ahmad, disahihkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ [6/170] dan al-Albani
dalam Irwa’ al-Ghalil no. 876).
Juga hadits Abu Sa’id al-Khudri z yang telah lewat, Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ
لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللهِ، أَوْ لِعَامِلٍ
عَلَيْهَا، أَوْ لِغَارِمٍ، أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ لِرَجُلٍ
كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا
الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ.
“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima lima jenis orang kaya: yang
berjihad di jalan Allah l, amil zakat, yang berutang, yang membelinya (zakat
tersebut) dengan hartanya, dan yang bertetangga dengan orang miskin yang
mendapat zakat kemudian menghadiahkannya kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa orang kaya haram menerima zakat dari bagian
golongan fakir-miskin, bagaimana pun derajat kekayaannya, baik dia memiliki
harta yang mencapai nishab maupun tidak.
3. Orang
yang Berfisik Kuat dan Berpenghasilan Cukup
Orang yang berfisik kuat dan punya profesi/penghasilan yang mencukupinya untuk
keluarganya—jika dia berkeluarga—pada hakikatnya termasuk kaya. Oleh karena
itu, zakat haram baginya untuk memenuhi kebutuhannya bersama keluarganya—jika
dia berkeluarga—, sebab dia tidak termasuk golongan fakir-miskin yang
membutuhkan. Dalilnya adalah hadits dua laki-laki sahabat di atas. Makna muktasib dalam
hadits tersebut, seperti kata asy-Syaukani dalam Nailul Authar, adalah berpenghasilan
cukup.
Ibnu ‘Utsaimin t berkata menerangkan hadits ini dalam Fathu Dzil Jalali wal
Ikram, “Nabi n mempersyaratkan dua syarat untuk golongan ini, yaitu fisik kuat
dan punya profesi/penghasilan. Jika dia berfisik kuat, namun tidak punya
profesi/penghasilan, zakat halal baginya. Jika dia punya profesi, namun
fisiknya lemah, zakat halal baginya. Seperti halnya seorang lelaki yang
memiliki profesi yang ditekuni, namun dia tidak mampu bekerja menjalankan
profesinya karena sakit, maka zakat halal baginya. Inilah dua golongan yang
haram menerima zakat: orang kaya serta orang yang berfisik kuat dan berprofesi
dengan penghasilan yang mencukupinya. Orang kaya tercukupi dengan hartanya.
Orang yang berfisik kuat dan berprofesi tercukupi dengan penghasilannya.”
4. Orang
yang Tercukupi Nafkahnya oleh yang Menanggungnya
Orang yang telah tercukupi nafkahnya oleh pihak yang bertanggung jawab
menafkahinya, tidak berhak diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena
kebutuhannya telah tercukupi dengan nafkah itu. Maka dari itu, zakat tidak boleh diberikan kepada seorang wanita fakir yang
dipenuhi nafkahnya oleh suaminya, seorang anak yang dipenuhi nafkahnya oleh
ayahnya, dan siapa saja yang kebutuhannya dipenuhi oleh pihak yang menanggung
nafkahnya. Demikian pendapat yang rajih, menurut Ibnu ‘Utsaimin t.
Perhatian:
Zakat halal bagi orang yang kaya—dengan harta/penghasilannya—dan orang yang
terpenuhi nafkahnya oleh yang menanggungnya dari sisi makna yang lain selain
kemiskinan dan kefakiran, yaitu sebagai amil zakat, orang yang berutang,
mujahid, atau ibnus sabil yang kehabisan bekal dalam safarnya, sebagaimana
telah berlalu pembahasannya pada Golongan yang Berhak Menerima Zakat.
5. Orang
yang Dinafkahinya
Yang wajib dinafkahi oleh seseorang terkait dengan pembahasan zakat meliputi:
(1). Kerabat yang dinafkahinya
Orang yang kaya wajib menafkahi keturunannya ke bawah dan asal-usulnya ke atas
secara mutlak (mewarisi atau tidak mewarisi). Demikian pula kerabatnya yang
lain, dengan syarat dia mewarisi dari kerabatnya itu. Adapun kerabat yang pada
asalnya tidak diwarisi olehnya atau dia tertutupi oleh yang lainnya untuk
menerima warisan darinya, dia tidak berkewajiban memberi nafkah kepadanya. Oleh
karena itu, seseorang yang mampu (kaya) berkewajiban menafkahi kedua orang
tuanya yang miskin, kakek dan neneknya yang miskin, anak-anak dan cucu-cucunya
yang miskin, serta kerabat lainnya yang miskin yang diwarisinya.
Seseorang diharamkan memberikan zakatnya kepada kerabat yang dinafkahinya untuk
menutupi kebutuhannya dengan zakat itu. Sebab, jika zakatnya diberikan kepada
orang yang dinafkahinya, berarti kebutuhannya tercukupi dengan zakat itu.
Dengan sendirinya, gugurlah kewajibannya memberi nafkah kepadanya. Maka dari
itu, pemberian zakat kepadanya mengandung makna pengguguran kewajiban menafkahinya,
ini tentu tidak boleh. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i dan salah satu riwayat
dari Ahmad, yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat jumhur yang membolehkan zakat
diberikan kepada kerabat selain orang tua dan anak.
Berdasarkan hal ini, seseorang yang menafkahi anaknya tidak boleh memberikan
zakatnya kepada anaknya, yang berarti menggugurkan nafkahnya. Seseorang yang
menafkahi orang tuanya tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang tuanya,
yang berarti menggugurkan nafkahnya. Seseorang yang menafkahi kakek atau
neneknya tidak boleh memberikan zakatnya kepada kakek atau neneknya, karena
menggugurkan nafkahnya. Seseorang yang menafkahi saudaranya tidak boleh
memberikan zakatnya kepada saudaranya tersebut, yang berarti menggugurkan
nafkahnya.
Jika pemberian zakat kepada salah seorang mereka tidak menggugurkan nafkahnya,
hukumnya boleh menurut mazhab Syafi’iyah, salah satu pendapat dalam mazhab
Hanabilah, yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat ini
yang rajih, insya Allah.
Berdasarkan hal ini, jika seseorang tidak menafkahinya karena hartanya tidak
cukup untuk menafkahinya dan dia memiliki zakat, dia boleh memberikan zakatnya
kepadanya, karena hal itu tidak bermakna menggugurkan kewajibannya memberi
nafkah kepadanya. Misalnya, seseorang menafkahi ayahnya tapi tidak cukup untuk
menafkahi kakeknya, maka zakatnya harus diserahkan kepada kakeknya, bukan
ayahnya. Hal ini agar kewajiban memberikan nafkah kepada ayah tidak gugur.
Begitu seterusnya, dengan anak dan cucu. Zakat itu diberikan kepada cucu, bukan
kepada anak.
Demikian pula halnya jika yang dinafkahinya berhak menerima zakat dengan makna lain selain kefakiran dan kemiskinan, seperti halnya jika dia berutang atau musafir yang terputus bekalnya dalam safar. Dalam hal ini dia boleh memberikan zakat tersebut kepadanya untuk melunasi utangnya atau bekalnya dalam menyempurnakan safarnya. Namun, jika yang dinafkahinya berutang untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya yang semestinya merupakan tanggung jawabnya, dia tidak boleh memberikan zakatnya untuk pelunasan utang tersebut. Hal ini karena maknanya kembali kepada pengguguran nafkah yang wajib ditanggungnya. Dia berkewajiban untuk melunasi utang kerabatnya dengan hartanya, bukan dari zakatnya, sebab utang itu untuk memenuhi kebutuhan/nafkah kerabat yang merupakan tanggung jawabnya.
Demikian pula halnya jika yang dinafkahinya berhak menerima zakat dengan makna lain selain kefakiran dan kemiskinan, seperti halnya jika dia berutang atau musafir yang terputus bekalnya dalam safar. Dalam hal ini dia boleh memberikan zakat tersebut kepadanya untuk melunasi utangnya atau bekalnya dalam menyempurnakan safarnya. Namun, jika yang dinafkahinya berutang untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya yang semestinya merupakan tanggung jawabnya, dia tidak boleh memberikan zakatnya untuk pelunasan utang tersebut. Hal ini karena maknanya kembali kepada pengguguran nafkah yang wajib ditanggungnya. Dia berkewajiban untuk melunasi utang kerabatnya dengan hartanya, bukan dari zakatnya, sebab utang itu untuk memenuhi kebutuhan/nafkah kerabat yang merupakan tanggung jawabnya.
Jika kerabat yang dinafkahinya berhak menerima zakat untuk kebutuhan dan
maslahat kaum muslimin, yaitu sebagai mujahid, atau berutang untuk mendamaikan
dua pihak yang bertikai, dia boleh memberikan zakatnya kepada kerabatnya itu.
Hal ini diterangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah.
(2).
Istri
Seorang suami wajib menafkahi istrinya secara mutlak, baik istrinya miskin
maupun kaya. Haram baginya memberikan zakatnya kepada istrinya untuk memenuhi
kebutuhannya yang seharusnya dipenuhi dengan nafkahnya. Karena akan bermakna
menggugurkan kewajiban memberikan nafkah kepadanya, ini tidak boleh.
Adapun seseorang memberikan zakatnya kepada istrinya untuk makna lain yang
tidak mengandung makna pengguguran nafkah, seperti melunasi utangnya, maka
dibolehkan. Ini menurut pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin.
(3). Budak
Zakat tidak boleh diberikan kepada seorang budak untuk memenuhi kebutuhannya,
karena nafkah seorang budak merupakan tanggung jawab tuan/pemiliknya.
Kebutuhannya telah terpenuhi dengan nafkah dari tuannya. Di samping itu,
seorang budak tidak mempunyai hak milik, karena diri dan hartanya adalah milik
tuannya. Jika dia diberi zakat, otomatis zakat itu akan beralih ke tangan
tuannya. Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat
dalam masalah ini.”
Berbeda halnya jika seorang budak diberi zakat sebagai amil zakat dengan izin
tuannya, hal ini boleh sebagaimana bolehnya menyewa tenaga seorang budak untuk
suatu pekerjaan dengan izin tuannya. Demikian pula, boleh menyalurkan
zakat untuk memerdekakan budak, sebagaimana telah dibahas pada Kajian Utama:
Golongan yang Berhak Menerima Zakat.
(4) Orang
Kafir
Orang kafir tidak boleh diberi zakat. Ibnul Mundzir menukilkan ijma’
(kesepakatan) ulama tentang hal ini. Ibnu Qudamah mengatakan, “Kami tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.” Akan tetapi, dikecualikan orang kafir yang diberi zakat sebagai mu’allaf.
B. Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat disebut juga ahli
zakat. Jumlahnya delapan golongan. Allah l menyebutkan mereka dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, para amil (petugas) zakat, para muallaf yang dibujuk kalbunya, untuk
(pemerdekaan) budak, untuk pelunasan utang orang-orang yang berutang, untuk
jihad, dan untuk kepentingan musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.” (at-Taubah: 60)
Perlu diketahui bahwa delapan golongan tersebut terbagi menjadi dua kelompok,
kelompok yang menggunakan huruf lam (اللَّامُ) dan kelompok yang menggunakan huruf fi (فِي).
Kelompok yang menggunakan huruf lam adalah:
“Untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil (petugas) zakat, dan
para muallaf yang dibujuk kalbunya.”
Huruf ini bermakna kepemilikan. Artinya, zakat itu diberikan kepada
golongan-golongan tersebut untuk dimiliki oleh mereka. Berdasarkan hal ini,
zakat tersebut harus diberikan kepada mereka untuk dimiliki oleh mereka
sendiri. Setelahnya, terserah pemiliknya masing-masing dalam memanfaatkan harta
tersebut untuk kepentingan dan maslahat dirinya, apakah untuk kebutuhan makan
dan minum, pakaian, tempat tinggal, melunasi utang, atau hajat lainnya.
Seandainya seorang fakir-miskin yang telah diberi zakat tiba-tiba mendapat
warisan dalam jumlah besar dan menjadi kaya karenanya, zakat yang telah
diterimanya tetap menjadi miliknya. Dia tidak dituntut mengembalikannya.
Kelompok yang menggunakan huruf fi adalah:
“Untuk (pemerdekaan) budak, untuk pelunasan utang orang-orang yang berutang,
untuk jihad, dan untuk kepentingan musafir yang kehabisan bekal dalam
perjalanan.”
Huruf ini bermakna zharfiyah (ruang lingkup). Artinya, zakat itu disalurkan
dalam ruang lingkup kepentingan golongan-golongan tersebut, bukan dimiliki oleh
mereka untuk digunakan secara bebas dalam memenuhi seluruh hajat dan maslahat
yang diinginkannya. Zakat itu digunakan secara terbatas dalam ruang lingkup
kepentingan yang menjadi alasan zakat itu diberikan. Atas dasar ini, Ibnu ‘Utsaimin
dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/229, 234–235) menyatakan bahwa zakat tersebut tidak
harus diserahkan langsung ke tangan mereka, namun bisa disalurkan untuk
kepentingan yang bersangkutan tanpa melalui tangannya. Berikut ini
penjelasannya.
– Untuk memerdekakan budak
Zakat bisa diberikan ke tangan seorang budak mukatab (yang membeli dirinya)
yang telah membeli dirinya dari tuannya dengan mencicil, untuk dia bayarkan
kepada tuannya agar dia dimerdekakan. Bisa pula langsung dibayarkan kepada
tuannya agar memerdekakannya tanpa sepengetahuan budak yang bersangkutan.
– Untuk yang berutang
Zakat bisa diberikan kepadanya untuk dia gunakan melunasi utangnya. Bisa pula
diberikan langsung kepada pemilik piutang tersebut tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan.
– Untuk jihad
Zakat boleh diberikan kepada para mujahid yang berjihad untuk memenuhi
kebutuhannya selama jihad berlangsung. Boleh juga langsung dibelanjakan untuk
kepentingan jihad berupa peralatan/persenjataan perang dan lainnya.
– Untuk musafir yang kehabisan bekal dalam safarnya
Zakat boleh diberikan kepadanya untuk memenuhi kepentingan safarnya hingga dia
tiba di negerinya. Boleh juga langsung dibelikan tiket kendaraan (pesawat,
kereta, atau bus), perbekalan makan/minum, dan lainnya yang dibutuhkannya dalam
safar, setelah itu diberikan kepadanya hingga dia tiba di negerinya.
Apabila zakat itu telah digunakan olehnya untuk kepentingan yang menjadi alasan
dia diberi zakat dan ada yang tersisa, sisanya wajib dikembalikan. Selain
mujahid (orang yang berjihad), maka menurut Ibnu Qudamah t, sisa yang ada
menjadi haknya, sebagaimana akan datang penjelasannya. Wallahu a’lam.
Peringatan:
Bila di antara kelompok yang pertama (yang berhak memilikinya) ada yang lemah
akalnya dalam pemanfaatan harta, zakat itu diberikan kepada wali yang mengurusi
kepentingan dan maslahatnya untuk disalurkan olehnya demi kepentingan dan
maslahat yang bersangkutan.
Fakir
dan Miskin
Sebagian ulama ada yang beranggapan bahwa fakir dan miskin adalah sama, padahal
keduanya berbeda. Namun, ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam
membedakan keduanya. Ada yang berpendapat bahwa orang fakir lebih kesusahan
daripada orang miskin, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Yang rajih, orang
fakir lebih kesusahan daripada orang miskin.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Orang fakir lebih kesusahan daripada orang
miskin. Orang miskin adalah orang yang punya harta/penghasilan, namun tidak
mencukupinya, sedangkan orang fakir tidak punya harta/penghasilan sama sekali.
Ini adalah pendapat asy-Syafi’i serta jumhur ahli hadits dan ahli fiqih.” Ini
pula pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri.
Dalil-dalil yang ada menunjukkan secara jelas hakikat fakir dan miskin, serta
perbedaan keduanya. Jadi, jika digandengkan maka keduanya berbeda dengan
perbedaan yang disebutkan. Namun, perlu diketahui bahwa jika disebutkan kata
fakir secara tersendiri, maknanya meliputi miskin. Demikian pula jika kata
miskin disebutkan secara tersendiri, maknanya meliputi fakir.
Yang diperhitungkan dalam penetapan miskinnya seseorang adalah kebutuhannya
dalam setahun penuh. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa periode setahun
merupakan periode perputaran haul harta zakat yang senantiasa dikeluarkan
zakatnya setiap akhir tahun. Maka dari itu, zakat yang diberikan kepada fakir
miskin adalah untuk memenuhi hajat kebutuhannya dalam setahun hingga tahun
berikutnya, demikian seterusnya. Ini adalah pendapat Hanabilah yang difatwakan
oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Ibnu Baz.
Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan bahwa yang
diperhitungkan adalah kebutuhan seumur hidup, sehingga dia diberi zakat untuk
memenuhi kebutuhannya seumur hidup.
Apabila dia berkeluarga, yang diperhitungkan bukan semata-mata kebutuhan dia
sendiri, melainkan kebutuhannya bersama seluruh anggota keluarga yang dia
tanggung nafkahnya. Apabila penghasilan dan hartanya tidak mencukupi untuk
kebutuhan bersama keluarganya dalam setahun, dia termasuk miskin. Misalnya,
penghasilannya setiap bulan satu juta rupiah dan terkadang ada tambahan,
sehingga dalam setahun penghasilannya sekitar 12—14 juta rupiah. Ternyata
kebutuhannya bersama keluarganya dalam setahun sekitar enam belas juta rupiah,
berarti dia termasuk miskin. Selaku pimpinan keluarga yang mewakili seluruh
anggota keluarga yang dia tanggung nafkahnya, dia boleh mengambil zakat yang
akan memenuhi kebutuhannya bersama mereka selama setahun.
Dhabith (kriteria) yang menjadi tolok ukur dalam hal ini adalah penghasilan
yang tidak mencukupi kebutuhan seseorang bersama keluarganya menurut tingkat
kehidupan masyarakat sekitarnya yang sederajat dengannya, sebagaimana fatwa
al-Lajnah yang diketuai oleh Ibnu Baz (Fatawa al-Lajnah, 9/428).
Amil
(Petugas Zakat)
Mereka adalah para petugas zakat yang mendapat tugas dan wewenang dari
pemerintah untuk pengurusan zakat. Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin menyatakan dalam
asy-Syarhul Mumti’ (6/225) bahwa pengurusan zakat membutuhkan tiga jenis
petugas yang ditunjuk, yaitu:
1. Petugas yang memungut zakat dari para pemilik, dinamakan mushaddiq
(mushaddiqun), sa’i (su’at), atau jabi (jubat).
2. Petugas yang menjaga zakat yang terkumpul, dinamakan hafizh (huffazh).
3. Petugas yang membagi zakat, dinamakan qasim (qasimun).
Beliau menyatakan bahwa yang bertugas memungut zakat, menjaga dan
membagikannya, merekalah yang dimaksud dengan para amil zakat.
Amil tidak dipersyaratkan harus seorang fakir-miskin, boleh dari kalangan orang
kaya selama dia tepercaya. Sebab, para amil bekerja demi maslahat zakat, bukan
karena membutuhkan zakat. Yang menunjukkan hal ini adalah hadits Abu Sa’id
al-Khudri :
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ
لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللهِ، أَوْ لِعَامِلٍ
عَلَيْهَا، أَوْ لِغَارِمٍ، أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ لِرَجُلٍ
كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ
لِلْغَنِيِّ.
“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima jenis orang kaya: yang
berjihad di jalan Allah l, amil zakat, yang berutang, yang membelinya dengan
hartanya, yang bertetangga dengan orang miskin yang mendapat zakat, kemudian
menghadiahkannya kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim)
Hadits ini diperselisihkan apakah maushul (sanadnya bersambung) atau mursal
(sanadnya putus). Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabi, an-Nawawi
dalam al-Majmu’ (6/191), dan al-Albani dalam al-Irwa’ (no. 870).
Para amil zakat diberi bagian dari zakat sebagai bayaran atas pekerjaan mereka
mengurus zakat dan dinamakan ‘umalah. Mereka mendapatkan bagian sesuai kadar
pekerjaan mereka dalam mengurusi zakat.
Demikian pula semua pihak yang ikut beramal dalam pengurusan zakat hingga zakat
itu diterima oleh ahli zakat yang berhak, mereka diberi upah dari zakat sesuai
dengan kadar pekerjaan mereka. Seperti juru hitung, juru tulis, juru gudang,
penggembala, dan semisalnya.
Adapun yang menimbang dan menakar zakat, serta menghitung zakat binatang ternak
yang akan dipungut oleh ‘amil, yang membayar upahnya adalah pemilik zakat.
Sebab, hal itu merupakan bagian dari biaya pembayaran zakat yang merupakan
tanggung jawab pemilik zakat. Ini pendapat yang dirajihkan Ibnu Qudamah t dan
dianggap paling benar oleh fuqaha yang bermazhab Syafi’i. Wallahu a’lam.
Muallaf
yang Dibujuk/Dilunakkan Kalbunya
Muallaf yang dibujuk kalbunya adalah:
1. Orang kafir yang diharapkan keislamannya, hatinya dibujuk agar masuk Islam
dengan pemberian zakat. Hikmahnya adalah untuk menghidupkan kalbunya yang mati.
Jika seorang fakir-miskin diberi zakat untuk kehidupan jasadnya, tentu seorang
kafir yang diberi zakat untuk kehidupan kalbunya lebih pantas. Ibnu ‘Utsaimin
menegaskan dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/225) bahwa hal itu harus berdasarkan
adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya harapan dia akan masuk Islam.
Indikasi tersebut misalnya adanya ketertarikan terhadap Islam, dia mencari
kitab-kitab Islam untuk dipelajari, atau lainnya. Adapun orang kafir yang tidak
diharapkan keislamannya karena tidak ada indikasi yang mendasarinya, tidak
termasuk muallaf. Sebab, menginginkan sesuatu yang tidak berdasar berarti
mengkhayalkan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
2. Orang kafir yang dikhawatirkan gangguan dan kejahatannya terhadap kaum
muslimin berikut harta benda dan kehormatan mereka, kalbunya dibujuk dengan
zakat untuk mencegah gangguan dan kejahatannya terhadap mereka. Hal itu apabila
gangguan dan kejahatannya tidak dapat dicegah dengan selain zakat.
3. Seorang muslim yang lemah imannya, agak meremehkan shalat, zakat, puasa, dan
semisalnya, kalbunya dibujuk dengan pemberian zakat agar imannya bertambah kuat
dan tetap kokoh dalam Islam. Hikmahnya adalah untuk menghidupkan kalbunya, yang
lebih penting daripada kehidupan jasadnya.
Ada perbedaan pendapat di antara ulama, apakah dipersyaratkan muallaf tersebut
seorang sayyid (pemimpin/tokoh) yang ditaati oleh kaum/sukunya ataukah tidak?Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (28/290) dan as-Sa’di dalam Tafsir-nya
menetapkan pendapat yang mempersyaratkan hal itu. Dalilnya:
1. Ketika Nabi n memberikan zakat kepada para muallaf, beliau hanya memberikan
para tokoh kaum/suku, bukan orang biasa.
2. Kekufuran dan kelemahan iman orang biasa tidak memudaratkan kaum muslimin,
berbeda dengan seorang pemimpin atau tokoh kaum/suku yang diharapkan kaumnya
juga ikut beriman dan iman mereka menjadi kuat. Demikian pula halnya seorang
yang dikhawatirkan kejahatannya terhadap kaum muslimin, jika dia seorang
pemimpin/tokoh boleh jadi kejahatannya tidak dapat dicegah dengan cara lain
selain dengan membujuk kalbunya melalui zakat. Adapun jika dia hanya orang
biasa, memungkinkan untuk dihukum dengan hukuman penjara, dipukul, atau hukuman
lainnya.
Sedangkan Ibnu ‘Utsaimin t dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/227) merajihkan hal ini
untuk muallaf yang dikhawatirkan gangguan dan kejahatannya berdasarkan hujjah
yang disebutkan di atas. Adapun muallaf yang diharapkan keislamannya dan
muallaf yang hendak dikuatkan imannya, beliau tidak mempersyaratkannya. Menurut
beliau, menjaga agama seseorang agar tetap kokoh dan menghidupkan kalbunya
dengan pemberian zakat lebih penting daripada menjaga jasadnya.
Pemerdekaan
Budak
Pemerdekaan budak yang dimaksud dalam ayat di atas meliputi:
1. Pemerdekaan budak yang berstatus mukatab, yaitu budak yang membeli dirinya
dari tuannya dengan pembayaran yang dicicil dua kali atau lebih.
2. Pembelian budak untuk dimerdekakan, yaitu dengan membeli budak tersebut dari
tuannya dengan zakat untuk dimerdekakan. Terlebih budak yang berada di tangan
seorang tuan yang menyakitinya atau tuan yang tidak tepercaya atas budaknya.
3. Pembebasan muslim yang ditawan oleh musuh (kaum kafir), yaitu dengan
menebusnya dengan zakat yang diberikan kepada pihak kafir yang menawannya agar
dia dibebaskan. Jika seorang budak saja dibantu dengan zakat agar bebas dari
perbudakan, tentu membantu pembebasan seorang muslim yang tertawan musuh dan
terancam nyawanya lebih pantas.
Pelunasan
Utang Orang-Orang yang Berutang
Hal ini meliputi:
1. Seorang yang berutang untuk memenuhi hajat/maslahat dirinya dan keluarganya.
Utangnya berhak dilunasi dengan zakat jika dia tidak mampu untuk melunasinya,
meskipun dia memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya bersama keluarganya,
berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri z yang telah lalu. Namun, apabila
seseorang berutang untuk suatu maksiat, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, dan Ibnu
‘Utsaimin merajihkan bahwa utangnya tidak berhak dilunasi dengan zakat hingga
dia bertobat. Sebab, pelunasan utangnya dengan zakat berarti mendukung
maksiatnya. Lain halnya jika dia telah bertobat, utangnya berhak dilunasi
dengan zakat.
2. Orang yang berutang untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai, yakni ketika
dia tidak mendapatkan jalan untuk mendamaikannya kecuali dengan memberikan
harta/uang/materi kepada kedua pihak yang bertikai dan menanggung korban
harta/jiwa dari kedua pihak, lalu berutang untuk hal itu. Ibnu ‘Utsaimin
menyatakan dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram bahwa yang dikenal dari keterangan
ulama adalah dipersyaratkan dalam hal ini pertikaian antarkelompok atau
antarsuku, bukan pertikaian antarpribadi. Hanya ini yang disebutkan oleh Ibnu
Qudamah dan as-Sa’di. Namun, an-Nawawi menukilkan dalam al-Majmu’ dari
asy-Syafi’i dan fuqaha Syafi’iyah bahwa hal ini meliputi pertikaian antarsuku,
antarkelompok, dan antarpribadi.
Dalilnya adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali z, dia berkata:
تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً
فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ n أَسْأَلُهُ فِيهَا. فَقَالَ:
أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا. ثُمَّ قَالَ: يَا
قَبِيصَةُ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٍ
تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ
يُمْسِكُ …. الْحَدِيثَ
“Aku menanggung utang (untuk mendamaikan dua suku/kelompok yang bertikai). Aku
pun menemui Rasulullah n untuk meminta harta guna melunasinya.” Maka Rasulullah
n berkata, “Tinggallah di sini hingga datang harta zakat kepada kami, kami akan
memerintahkan untuk diberikan kepadamu.” Lalu beliau n berkata, “Wahai
Qabishah, sesungguhnya meminta itu tidak boleh kecuali bagi salah satu dari
tiga golongan: seorang yang menanggung utang (untuk mendamaikan dua
suku/kelompok yang bertikai), maka halal baginya untuk meminta hingga dia
mendapatkannya (untuk melunasinya), lalu dia berhenti …. dst.” (HR. Muslim no.
1044)
Oleh karena itu, utangnya berhak dilunasi dengan zakat, meskipun dia kaya
berdasarkan zahir (yang tampak) dari hadits Qabishah di atas, juga berdasarkan
hadits Abu Sa’id al-Khudri z yang telah lewat.
Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, “Dia diberi zakat
meskipun kaya. Hal ini termasuk membantu dan menolong dalam urusan yang baik
lagi terpuji dan disyukuri. Sudah sepantasnya dia diberi zakat untuk melunasi
utangnya tersebut agar memotivasi dirinya dan yang semisalnya untuk
melakukannya, karena biasanya utang tersebut berjumlah besar.”
Masalah:
Perbedaan pendapat di antara ulama tentang penyaluran zakat untuk pelunasan
utang orang yang telah meninggal.
Ibnu ‘Utsaimin merajihkan mazhab Ahmad dan jumhur ulama bahwa hal itu tidak
boleh dengan beberapa alasan berikut.
1. Tampaknya pelunasan utang dengan zakat bertujuan untuk menghilangkan
kehinaan dari dirinya, sebab utang adalah seperti kata pepatah, “Utang adalah
kegelisahan di malam hari dan kehinaan di siang hari.”
2. Adalah Nabi n tidak melunasi utang orang yang telah meninggal dengan zakat.
Pada awalnya, jika ada mayat yang tidak meninggalkan harta untuk melunasi
utangnya beliau tidak menshalatinya. Setelah Allah l memberikan banyak kemenangan
kepada beliau dan banyak harta fai’ (baitul mal) yang diperuntukkan bagi
kemaslahatan kaum muslimin, beliau pun melunasi utang mayat darinya.
3. Jika pintu ini dibuka, akan mengakibatkan telantarnya pelunasan utang
orang-orang yang masih hidup, karena biasanya perasaan lebih condong untuk
mengasihani orang yang telah meninggal ketimbang yang hidup.
Kepentingan
Jihad
Yang dimaksud dengan fi sabilillah (di jalan Allah l) dalam ayat adalah jihad
saja, bukan yang lainnya. Inilah yang benar dari seluruh pendapat ulama. Ini
adalah pendapat jumhur dan Ibnu Hazm. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id
Al-Khudri z:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ
لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ …. الحديث.
“Zakat tidak halal bagi orang kaya, kecuali lima lima jenis orang kaya: yang
berjihad di jalan Allah l …. dst.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
Oleh karena itu, penafsiran ayat ini dengan seluruh jalan kebaikan seperti
pembangunan masjid, madrasah/sekolah agama, biaya operasional madrasah, pencetakan/penerbitan
buku-buku agama, dan yang semisalnya adalah pendapat yang lemah.
Diingkari pula oleh Ibnu Qudamah, al-Albani, Ibnu ‘Utsaimin, dan al-Lajnah
ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz. Menurut mereka, jika demikian maknanya,
berarti tidak ada faedahnya pembatasan ahli zakat pada delapan golongan saja,
karena penafsiran ini berkonsekuensi meliputi seluruh jalan kebaikan yang tidak
terbatas. Bahkan, al-Albani menyatakan bahwa pendapat seperti ini tidak
dinukilkan dari siapa pun dari kalangan ulama salaf.
Adapun ibadah haji sebagai salah satu amalan fi sabilillah telah diperdebatkan
sengit oleh para ulama, apakah termasuk dalam cakupan ayat yang berhak
mendapatkan penyaluran zakat atau tidak?
Syaikhul-Islam dan Al-Albani memilih pendapat yang mengatakan bahwa ibadah haji
termasuk dalam cakupan fi sabilillah yang berhak mendapat penyaluran zakat. Ini
adalah salah satu riwayat dari dua pendapat Al-Imam Ahmad serta merupakan fatwa
Ibnu ‘Abbas z dan Ibnu ‘Umar z. Pendapat ini berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Abbas
z tentang seorang wanita yang meminta kepada suaminya agar di berangkatkan
berhaji oleh suaminya dengan mengendarai ontanya yang telah di wakafkan untuk
kepentingan jihad fi sabilillah, lalu suaminya mendatangi Rasulullah n untuk
menanyakan hal itu, maka Rasulullah n bersabda:
أَمَا إِنَّكَ لَوْ
أَحْجَجْتَهَا عَلَيْهِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ .
“Ketahuilah bahwa jika engkau memberangkatkannya berhaji dengan mengendarai
onta itu, sesungguhnya hal itu termasuk di jalan Allah.” (HR. Abu Dawud,
Ath-Thabarani, Al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah, dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Tamamul-Minnah hal. 381 dan Al-Irwa’ no. 869)
Adapun Ibnu ‘Utsaimin beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa ibadah haji
tidak termasuk dalam cakupan fi sabilillah yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut, sehingga tidak berhak mendapat penyaluran zakat. Ini adalah madzhab
Al-Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, salah satu riwayat dari dua pendapat
Al-Imam Ahmad, dan jumhur ulama serta Ibnu Hazm. Ibnu Hazm berkata: “Jika
dikatakan, “Bukankah telah diriwayatkan dari Rasulullah n bahwa ibada haji
termasuk fi sabilillah dan telah benar pula riwayat dari Ibnu ‘Abbas r.a bahwa
beliau berfatwa ibadah haji berhak mendapat penyaluran zakat?” Maka kami jawab,
memang benar demikian dan seluruh amalan kebaikan termasuk di jalan Allah. Akan
tetapi, tidak ada perbedaan pendapat bahwa Allah l tidak menginginkan seluruh
jalan-jalan kebaikan dalam masalah pembagian zakat. Oleh karena itu, tidak
boleh membagikan zakat kepada selain yang ditetapkan oleh nash.” Nash yang
beliau maksud adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri r.a di atas yang menetapkan bahwa
fi sabilillah yang berhak mendapat penyaluran zakat adalah jihad. Mereka
menguatkan hal ini dengan hujjah bahwa seorang mujahid di medan jihad diberi
zakat demi kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin terhadapnya. Sedangkan
seorang yang berhaji kaum muslimin tidak punya kebutuhan dan kepentingan
terhadapnya serta tidak ada manfaat untuk kaum muslimin dengan berhajinya
seseorang. Lagi pula tidak ada tuntutan kebutuhan bagi seorang fakir miskin
untuk diberangkatkan berhaji dengan zakat, karena haji tidak diwajibkan baginya
selaku orang yang tidak mampu menunaikannya dari sisi kemampuan harta. Berikut
penyaluran zakat untuk menutupi kebutuhan orang-orang yang berhajat dari delapan
golongan yang berhak mendapat zakat serta penyalurannya untuk kepentingan dan
maslahat kaum muslimin tentu saja lebih diutamakan daripada ini.
Kesimpulannya, pendapat jumhur tampak lebih kuat dan sepertinya inilah yang
rajih. Wallahu a’lam.
Berdasarkan hal ini, jihad dalam ayat ini meliputi:
1. Perang melawan orang-orang kafir.
Ibnu ‘Utsaimin menegaskan bahwa dalam hal ini tidak hanya diberikan ke tangan
para mujahid tersebut, melainkan berhak disalurkan untuk memenuhi seluruh
kebutuhan dan kepentingan perang berupa nafkah para mujahid selama perang,
pembelian persenjataan/peralatan perang, kendaraan perang, dan lainnya yang
terkait dengan kepentingan jihad tersebut. Termasuk pula membayar para penunjuk
jalan yang disewa untuk menunjukkan tempat-tempat yang dibutuhkan dalam perang
tersebut, sebab fi sabilillah (jihad) dalam ayat menggunakan huruf fi
sebagaimana telah diterangkan di atas.
Seorang mujahid berhak diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya selama perang
berlangsung, meskipun dia termasuk orang kaya. Ini berdasarkan hadits Abu Sa’id
al-Khudri z yang telah lewat. Hal itu karena para mujahid tersebut diberi zakat
untuk kebutuhan dan maslahat kaum muslimin. Oleh karena itu, jika dia tidak
jadi berangkat ke medan perang, dia berkewajiban mengembalikan zakat tersebut.
Jika dia pulang di tengah jalan sebelum berperang atau tidak menyelesaikan
perangnya, dia berkewajiban mengembalikan yang tersisa dari zakat yang
diterimanya. Adapun jika menyelesaikan perangnya dan ada yang tersisa, Ibnu
Qudamah menegaskan bahwa zakat yang diberikan kepadanya telah menjadi miliknya,
sebab dia tidaklah diberi kecuali sebatas kebutuhannya selama jihad. Jika ada
yang tersisa, berarti dia sendiri yang mempersempit dirinya dalam penggunaan
zakat tersebut.
2. Menuntut ilmu syariat (agama).
As-Sa’di berkata dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, “Jika seorang lelaki yang
memiliki kemampuan untuk mencari nafkah berkonsentrasi menuntut ilmu agama, dia
berhak diberi zakat, sebab menuntut ilmu agama termasuk jihad di jalan Allah l.”
Apa yang dinyatakan oleh as-Sa’di ditegaskan oleh para fuqaha Hanabilah,
sebagaimana dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/221).
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam Majmu’ ar-Rasa’il (18/391—392), “Aku berpendapat
akan bolehnya menyalurkan zakat kepada para penuntut ilmu syar’i, sebab agama
Islam tegak dengan ilmu dan senjata. Allah l berfirman:
“Wahai Nabi, perangilah kaum kafir dan munafik.” (at-Tahrim: 9)
Telah diketahui bersama bahwa jihad memerangi kaum munafik dilakukan dengan
ilmu, bukan senjata. Berdasarkan hal ini, zakat disalurkan untuk nafkah mereka
dan pembelian kitab-kitab yang mereka butuhkan. Sama saja, baik dibelikan
kitab-kitab yang dibutuhkan untuk dimiliki secara pribadi oleh masing-masing
mereka maupun dibelikan kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan untuk
dimanfaatkan oleh penuntut ilmu secara umum. Kitab di tangan penuntut ilmu
seperti pedang, senapan, dan senjata lainnya di tangan pasukan perang.
Adapun penyaluran zakat untuk pembangunan asrama dan madrasah (sekolah) untuk
kepentingan para penuntut ilmu, kami ragu akan hal itu. Perbedaan antara
keduanya, pemanfaatan kitab merupakan sarana untuk menuntut ilmu. Jadi, tidak
ada ilmu tanpa kitab. Berbeda halnya dengan asrama dan madrasah. Namun, jika
para penuntut ilmu itu fakir miskin, boleh menyewakan perumahan untuk mereka
dari zakat yang merupakan bagian fakir miskin. Demikian pula halnya dengan
madrasah, jika tidak memungkinkan bagi mereka belajar di masjid. Wallahu
a’lam.”
Kepentingan
Perjalanan Musafir yang Kehabisan Bekal
Yang dimaksud dengan ibnus sabil dalam ayat adalah musafir yang terputus
perjalanannya karena kehabisan bekal dalam safar (perjalanan), sehingga dia
membutuhkan bantuan dengan zakat agar bisa pulang ke negerinya. Dia disebut
ibnus sabil yang artinya anak jalan, karena dia menetapi jalan dalam safarnya.
Berdasarkan makna tersebut, seseorang yang baru saja hendak memulai safar
meninggalkan negerinya dan tidak punya bekal, dia tidak termasuk ibnus sabil
yang berhak dibantu dengan zakat, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah
pendapat Ibnu Hazm, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, dan jumhur ulama yang dipilih
oleh Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan al-‘Utsaimin. Sedangkan asy-Syafi’i
berpendapat bahwa dia termasuk ibnus sabil. Akan tetapi, pendapat yang pertama
lebih kuat, insya Allah.
Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Jika safar yang hendak dilakukannya sangat mendesak
dan bersifat darurat, sementara dia tidak punya bekal untuk safar, dia berhak
dibantu dengan zakat dari sisi lain, yaitu sebagai orang fakir.”
Seorang ibnus sabil berhak dibantu dengan zakat karena kebutuhannya dalam
safar. Oleh karena itu, dia diberi zakat meskipun hartanya melimpah di
negerinya.
Apabila perjalanannya terputus sebelum mencapai tempat tujuan safarnya, dia
diberi zakat yang cukup sebagai bekal untuk mencapai tempat tujuannya hingga pulang
ke negerinya, menurut pendapat Hanabilah dan tampaknya dibenarkan oleh Ibnu
‘Utsaimin.
Menurut kami, pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang dikuatkan oleh
Ibnu Qudamah bahwa dia hanya berhak dibantu dengan zakat untuk pulang ke
negerinya, tidak untuk menyelesaikan perjalanannya ke tempat tujuan hingga dia
pulang ke negerinya.
Tidak ada perbedaan antara musafir yang safarnya jauh dan safarnya dekat.
Namun, apabila safarnya dalam rangka maksiat, dia tidak berhak dibantu dengan
zakat hingga dia bertobat, menurut pendapat yang rajih. Pendapat ini adalah
mazhab Hanabilah dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin.
Wallahu a’lam.
=========================
Penulis: Al-Ustadz
Abu Abdillah Muhammad al-Makassari. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com