Manfaat membayar zakat sangat besar bagi setiap orang yang
membayarkannya. Memberikan sebagian harta kepada golongan masyarakat yang tidak
mampu baik dalam bentuk zakat maupun sedekah memiliki 'fadhilah' atau keutamaan
yang tidak sedikit. "Fadhilahnya belas kasihan itu sangat luar biasa.
Membuat manusia menjadi dekat pada Allah, dekat pada manusia, dekat pada surga
dan jauh dari api neraka. Di samping kita melaksanakan kewajiban yang
diwajibkan oleh Allah SWT, kita harus bermurah hati dan penuh kasih sayang.
Oleh karenanya, jika kita telah menunaikan zakat yang wajib kita juga sebaiknya
memperbanyak ibadah sunnah. "Maka kita harus bersyukur jika kita
semua sudah menunaikan zakat, kita menunaikan juga sedekat sebanyak-banyaknya.
Kita harus memiliki sifat mengasihi pada orang yang tidak punya karena
fadhilahnya sangat besar.
Manfaat sedekah juga sebagai cara untuk meraih kekayaan. Kata
habib Yahya: "Kalau pengen kaya maka bersedekahlah,
jangan bersedekah menunggu kaya," Nabi Muhammad bersabda: Tidak akan
berkurang harta yang disedekahkan, (tetapi tambah, tambah, tambah-peny). Assodaqotu pangkal
kaya, utawi sedekah itu pangkal kaya," tegas Habib Yahya.
Tetapi menurutnya, setan menakut-nakuti manusia jika bersedekah akan jatuh
miskin atau fakir. Makanya hati manusia sering bimbang perihal sedekah yang
banyak. Akibatnya banyak orang yang enggan mengeluarkan hartanya untuk
bersedekah.
Sebagai ibadah yang sangat penting dalam agama
Islam, zakat menjadi media untuk meraih berbagai pahala yang dijanjikan bagi
para pembayarnya. Baik pahala di dunia maupun pahala di akhirat kelak. Ada lima
(5) pahala zakat sekaligus dalil al-Qur’an dan haditsnya.
1. Mendatangkan Hidayah atau Petunjuk dalam Segala Urusan. Zakat dapat mendatangkan hidayah dan petunjuk dari Allah Swt bagai parfa pembayarnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt:
إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ
يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya, “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (pada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharap termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah ayat 18).
Merujuk Tafsir Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi, dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa para pembayar zakat dapat berharap mendapat hidayah dalam segala urusan mereka. (Al-Fakhrur Razi, Tafsir Al-Fakhrur Razi, [Beirut, Dar Ihya`it Turats al-’Arabi, tanpa catatan tahun], juz I, halaman 2189).
2. Dimasukkan ke Surga. Dengan membayar zakat seseorang dijanjikan pahala yang sangat besar yaitu masuk ke surga, sesuai firman Allah:
لَكِنِ
الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ
وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur`an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (QS An-Nisa` ayat 162). Maksud pahala besar dalam ayat ini adalah jaminan surga bagi orang yang patuh membayar zakat, sebagaimana hal ini pernah dijanjikan oleh Allah SWT kepada Bani Israil.
Demikian penjelasan Imam At-Thabari dalam kitab tafsirnya. (Lihat At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an, [Muassisatur Risalah, 2000 M], juz IX, halaman 399).
3. Mendatangkan Ampunan. Membayar zakat juga berguna untuk mendatangkan ampunan dari Allah Swt atas berbagai kesalahan yang telah dilakukan, seperti disebutkan dalam Al-Qur`an:
... لَئِنْ أَقَمْتُمُ
الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ
وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
Artinya, “... Sesungguhnya jika kalian mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada Rasul-RasulKu, kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sungguh Aku akan melebur dosa-dosa kalian, dan sungguh kalian akan Ku masukkan ke surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai ...” (Al-Ma`idah ayat 12) Dengan ayat ini Allah SWT menjanjikan ampunan dari berbagi dosa bagi orang yang membayar zakat sekaligus menjanjikan jaminan surga sebagaimana ayat sebelumnya. (Lihat Abul ‘Abbas Al-Fasi, Al-Bahrul Madid, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiah, 2002 M], juz IX, halaman 399).
D. Mendatangkan Rahmat dan Kasih Sayang Allah SWT. Zakat juga akan mendatangkan rahmat dan kasih sayang Allah SWT kepada pembayarnya, sebagaimana difirmankan:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan dirikan shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Rasul, agar kamu diberi rahmat.” (QS An-Nur ayat 56).
5. Mendatangkan Keberkahan. Menjadikan hartanya barakah, berkembang semakin baik dan banyak, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ قَالَ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ
مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ
للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Sedekah (zakat) tidak akan mengurangi harta, tidaklah Allah menambah seorang hamba sebab pengampunannya (bagi orang lain) kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah melainkan Allah angkat derajatnya,’” (HR Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah SAW menegaskan, zakat seseorang tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Artinya, meskipun harta seseorang berkurang karena digunakan membayar zakat, namun setelah dizakati hartanya akan menjadi penuh barakah dan bertambah banyak. (Lihat An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut, Daru Ihya`it Turats Al-’Arabi, 1392 H], juz XXVI, halaman 141).
Inilah lima pahala zakat di antara berbagai
pahala yang dijanjikan Allah SWT bagi orang-orang yang patuh membayarkannya:
mendatangkan hidayah, ampunan, kasih sayang dan keberkahan dari Allah SWT serta
dijanjikan masuk ke dalam surga-Nya. Sangat menarik bukan? Wallahu
a‘lam.
Diakui bahwa potensi zakat umat
Muslim yang sedemikian besar belum digarap secara maksimal, walaupun diakui
trennya setiap tahun selalu naik.
Realita saat ini masih luputnya wawasan fiqh prioritas dari Muslim Indonesia. Banyak di antara kita yang menyalurkan sedekah atau infaknya, namun tidak mengindahkan skala prioritas. Padahal seharusnya orangtua, keluarga, dan kerabat dekat lebih dahulu menjadi perhatian utama. Kita sering bersedekah kepada fakir miskin ataupun masjid. Tapi lupa sama saudara sendiri yang susah. Seakan akan gak kelihatan," Harus diakui tak jarang masyarakat kita justru gemar sedekah dan berinfak, namun abai pada keluarga atau kerabat dekat. Padahal ganjaran sedekah terhadap keluarga dan kerabat dekat nilainya dua kali lipat. Pertama, dinilai sedekah. Kedua dinilai sebagai upaya shilah (menyambung silaturahim) sebagaimana tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Turmudzi dan An-Nasa'i.
Realita saat ini masih luputnya wawasan fiqh prioritas dari Muslim Indonesia. Banyak di antara kita yang menyalurkan sedekah atau infaknya, namun tidak mengindahkan skala prioritas. Padahal seharusnya orangtua, keluarga, dan kerabat dekat lebih dahulu menjadi perhatian utama. Kita sering bersedekah kepada fakir miskin ataupun masjid. Tapi lupa sama saudara sendiri yang susah. Seakan akan gak kelihatan," Harus diakui tak jarang masyarakat kita justru gemar sedekah dan berinfak, namun abai pada keluarga atau kerabat dekat. Padahal ganjaran sedekah terhadap keluarga dan kerabat dekat nilainya dua kali lipat. Pertama, dinilai sedekah. Kedua dinilai sebagai upaya shilah (menyambung silaturahim) sebagaimana tercantum dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Turmudzi dan An-Nasa'i.
Jika kita merujuk kepada Al-Qur’an, di antaranya terdapat dalam Surat An-Nisa ayat 36 dan An-Nahl ayat 90, berbicara tentang pentingnya berbuat kebaikan kepada keluarga dan kerabat dekat. Bahkan ada satu ayat yang bicara tentang memberi harta pada ''dzawi al-Qurba", baru kemudian menunaikan zakat seperti yang tercantum dalam Al-Baqarah ayat 177.
Ibadah sosial dan yang memperkuat hubungan silaturahim memang lebih ditekankan di dalam Al-Qur’an ketimbang ibadah yang hanya membawa kenikmatan secara individual. Karena dampak ibadah sosial jauh lebih besar manfaatnya kepada masyarakat.
Di dalam Islam kita dilarang meminta-minta. Tapi di saat yang sama kita harus memberi sebelum mereka yang membutuhkan, meminta." Fenomena itu mungkin terjadi karena adanya penyakit hati. “Sehingga justru urusan harta dan hubungan kekeluargaan menjadi amat sensitif. Perbedaan ekonomi bukan jadi kesempatan untuk saling mengisi, justru yang ‘berada’ tak peduli walau terhadap keluarga sendiri,”
"Ibadah sosial bukan hanya membutuhkan tekad dan iming-iming pahala tapi juga kebersihan hati, kearifan serta kepekaan yang tinggi dalam menentukan prioritas,"
Tidak Bayar Zakat Sekian Tahun karena Belum Tahu Kewajiban (1). Zakat adalah
salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Salah
satu hikmah di balik kewajiban zakat yang dibebankan pada umat Islam adalah
karena dalam pelaksanaan zakat terkandung wujud penyucian terhadap pribadi
seseorang dan pada harta yang dimiliki olehnya. Hal ini seperti yang terdapat
dalam Al-Qur’an:
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sungguh doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui,” (QS Surat
At-Taubah ayat 103). Kewajiban zakat meliputi beberapa jenis harta benda
tertentu yaitu emas perak, hewan ternak, makanan pokok, harta dagangan,
buah-buahan yang kesemuanya terdiri atas komponen-komponen yang termasuk dari
kategori jenis harta benda tersebut.
Penjelasan dan perincian tentang kategori benda zakat dan kapan
zakat menjadi wajib pada benda-benda diatas, dijelaskan secara panjang lebar
dalam kitab-kitab fiqih klasik. Namun ironisnya tidak jarang orang-orang yang
masih tidak mengetahui tentang kewajiban zakat yang harus dibayar oleh mereka,
ada yang baru mengerti bahwa benda yang dimilikinya wajib untuk dizakati
setelah mendapatkan pengertian langsung dari tokoh masyarakat atau orang lain
tentang kewajiban zakat harta yang dimilikinya.
Seperti seseorang yang memiliki lahan sawah yang luas, sawah
tersebut ditanami olehnya berbagai makanan pokok seperti padi dan jagung. Ia
tidak mengerti bahwa padi dan jagung adalah salah satu harta benda yang wajib
dizakati. Karena tidak mengerti setiap kali panen tiba, ia tidak mengeluarkan
apapun dari hasil panennya. Hal demikian dijalaninya selama bertahun-tahun. Namun
seiring berjalannya waktu, ia baru mengetahui bahwa padi dan jagung adalah
harta benda yang wajib dizakati setelah diberi tahu oleh orang lain yang
dianggapnya alim dalam bidang agama. Sejak saat itu, ia pun tidak lupa untuk
selalu membayar zakat pada setiap panenan sawahnya. Namun, wajibkah baginya
untuk mengqadha membayar zakat atas hasil panen yang sejak dulu belum ia bayar?
Dalam hal ini, ia tetap WAJIB MENGQADHA membayar zakat hasil
panen yang telah lampau. Sehingga ia dianggap memiliki tanggungan kewajiban
membayar zakat atas hasil panennya, meski ia tidak dikenai dosa karena ketidak
tahuannya atas kewajiban zakat atas hasil panen padi dan jagungnya. Sebab
ketidaktahuan (jahl) pada suatu hal yang diperintahkan oleh syara’ (seperti
shalat, zakat, puasa dan lain-lain) menuntut untuk wajibnya melaksanakan
perintah-perintah yang tidak dilakukannya di masa lalu seperti penjelasan
Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:
اعلم
ان قاعدة الفقه أن النسيان والجهل مسقط للإثم مطلقا وأما الحكم فإن وقعا في ترك
مأمور لم يسقط بل يجب تداركه ولا يحصل الثواب لمترتب عليه لعدم الائتمار –إلى أن
قال- فهذه أقسام فمن فروع القسم الأول من نسي صلاة أو صوما أو حجا أو زكاة أو
كفارة أو نذرا وجب تداركه بالقضاء بلا خلاف.
“Ketahuilah bahwa
terdapat kaedah fiqih yang menjelaskan sungguh sifat lupa dan tidak tahu
(terhadap suatu hukum) dapat menggugurkan dosa secara mutlak. Sedangkan
perincian hukumnya, jika keduanya (lupa dan tidak tahu) terjadi pada perihal
meninggalkan perkara yang diperintahkan maka perintah tersebut TIDAK MENJADI
GUGUR bahKAN WAJIB untuk melaksanakannya dan tidak mendapatkan pahala (atas
pelaksanaan perintah tersebut) bagi orang yang sengaja untuk menyebabkan
dirinya lupa atau tidak tahu sebab ia dianggap tidak memperhatikan perintah
tersebut. Permasalahan ini terdapat beberapa pembagian, di antara permasalahan
yang termasuk dalam kategori pertama yaitu seseorang yang lupa tidak melakukan
shalat, puasa, haji, zakat, denda kafarah atau nadzar maka wajib untuk
melaksanakan hal tersebut dengan mengqadla’inya dengan tanpa adanya perbedaan
para ulama,’” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan
Nazha’ir, halaman 188).
Qadha zakat ini tetap wajib bagi seseorang yang tidak
melaksanakan zakat di masa lalu, meskipun harta bendanya telah habis atau tidak
mencukupi untuk mengqadha zakatnya. Sebab kewajiban zakat yang telah dibebankan
pada seseorang tidak lantas menjadi hilang dan gugur hanya karena harta
yang dimilikinya habis atau tidak mencukupi. Namun ia wajib untuk segera
membayar zakatnya di masa lalu, ketika hartanya sudah mencukupi untuk membayar
zakat-zakatnya di masa lalu tersebut.
Kewajiban di atas juga berlaku bagi orang yang tidak membayar
zakat, meski sebenarnya ia telah mengetahui tentang kewajiban zakat pada harta
bendanya, namun ia masih enggan untuk membayar zakat atas hartanya karena belum
mendapat hidayah untuk melaksanakan zakat seperti karena rasa pelit yang
dimilikinya sehingga ia enggan membayar zakat. Ketika umurnya mulai beranjak
tua dan hartanya semakin melimpah, ia mulai menyesali kekhilafan yang dilakukan
olehnya di masa lalu. Ia bertekad mulai saat itu juga akan membayar zakat. Maka
dalam hal ini, ia wajib untuk mengqadha’ membayar zakatnya di masa lalu dan ia MENDAPATKAN
DOSA KARENA KELALAIANNYA DALAM MENJALANKAN KEWAJIBAN membayar zakat yang wajib
baginya, padahal ia telah mengetahui kewajiban tersebut.
Lalu apa saja etika membayar zakat yang harus
diperhatikannya?
1. Segera Membayar Zakat Setelah Waktu Wajibnya Tiba. Ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu: a) menampakkan rasa senang menaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya; b) membahagiakan orang yang menerimanya; c) sadar bahwa kalau ditunda bisa saja ada hal lain yang menghalanginya; dan d) menjadi maksiat apabila sampai habis waktunya zakat belum jadi dikeluarkan.
2. Merahasiakan Pembayaran Zakat . Merahasiakan zakat lebih dapat menghindarkan seseorang
dari riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas). Allah berfirman:
... وَإِنْ تُخْفُوهَا
وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ... (البقرة: 271
“... Dan apabila kalian menyembunyikan (pembayaran) zakat dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagi kalian ...” (QS Al-Baqarah ayat 271). Bahkan segolongan ulama salaf secara sungguh-sungguh berupaya merahasikan zakatnya, yaitu dengan menyalurkannya lewat perantara, sehingga penerima zakat tidak mengetahui siapa pemberi sebenarnya. Hal itu dilakukan tidak lain karena menghindari sifat riya’ dan sum’ah. Sebab, ketika sifat riya' mendominasi pembayaran zakat, maka ia akan meleburnya, meskipun secara fiqh zakatnya sah.
3. Membayar Zakat Secara Terang-terangan . Allah SWT berfirman:
إِنْ
تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ...
“Jika kalian menampakkan zakat kalian, maka itu baik sekali ...” (QS Al-Baqarah ayat 271).
Etika ini dilakukan ketika situasi dan kondisi mendukungnya. Yaitu ada kalanya agar ditiru atau karena ada seseorang yang meminta zakat secara terang-terangan di depan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya muzakki tidak menghindar dari memberikan zakatnya dengan alasan khawatir riya’. Namun seharusnya ia tetap memberikan zakat serta menjaga hati dari riya’ semampunya. Sebab, dalam membayar zakat secara terang-terangan, selain terdapat riya’ dan al-mann (menyebut kebaikan), terdapat unsur yang tercela lain, yaitu menampakkan kefakiran orang lain. Karena terkadang seseorang merasa hina ketika dirinya terlihat membutuhkan. Sebab itu, orang yang terang-terangan meminta, ia telah merusak rahasianya sendiri, dan unsur tercela (menampakkan kefakiran orang lain) yang ada dalam pembayaran zakat secara terang-terangan tadi sudah tidak berarti lagi.
4. Tidak Merusak Zakat. Maksudnya tidak merusak zakat dengan al-mann dan al-adza. Allah berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) zakat kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) ...” (Al-Baqarah ayat 264). Al-Mann adalah menyebut-nyebut amal saleh (dalam hal ini zakat) dan menceritakannya, mengeksploitasi si penerimanya, atau takabur kepadanya karena zakat yang diberikan. Sementara al-adza adalah menampak-nampakkan zakat, mencela kefakiran, membentak-bentak, atau mencerca si penerima karena meminta-minta zakat kepadanya.
5. Menganggap Zakatnya Sebagai Hal Kecil. Hendaknya orang yang membayar zakat menilai zakatnya sebagai hal kecil dan tidak membesar-besarkannya. Sebab bila dibesar-besarkan maka akan melahirkan sifat ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri). Padahal ‘ujub termasuk perkara yang melebur amal. Allah berfirman:
وَيَوْمَ
حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا ...
(التوبة: 25
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat sedikitpun bagi kalian ...” (QS At-Taubah ayat 25).
6. Zakat dengan Harta Terbaik. Mengeluarkan zakat dengan harta yang terbaik dan yang paling disukai. Sebab, Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan tidak menerima kecuali harta yang baik. Bila yang dikeluarkan bukan harta yang terbaik maka termasuk su`ul adab kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur`an disebutkan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ... (البقرة: 267)
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian menafkahkan daripadanya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata padanya.” (QS Al-Baqarah ayat 267).
7. Selektif Memilih Penerima Zakat. Yaitu dengan memprioritaskan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat berikut ini; bertakwa, ahli ilmu agama, benar tauhidnya, merahasiakan dari membutuhkan zakat, punya keluarga, sedang sakit dan semisalnya, dan merupakan keluarga atau kerabat. (Jamaluddin Al-Qasimi, Mauizhatul Mu`minin, juz I, halaman 95-99).
Dengan
memenuhi tujuh etika ini, harapannya zakat yang dilakukan dapat diterima dan
diridhai Allah SWT, serta mendapatkan balasan pahala yang sangat sempurna. (Artikel: www.nu.or.id_
Kontributor: KH Masbuhin Faqih; Habib Yahya Rosyad; Ust. Ali Zainal Abidin dan Ahmad Muntaha AM. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com