Kewajiban Zakat
Mengeluarkan zakat termasuk salah satu dari
rukun Islam yang lima. Ia diwajibkan pertama kali pada Bulan Sya’ban, tahun
kedua Hijriyah dan diberlakukan secara umum kepada seluruh kaum Muslimin yang
mampu dan memenuhi syarat-syaratnya.
Ibadah ini disebut-sebut sebagai saudara kandung dari ibadah shalat karena seringkali dalam banyak ayat dan hadits, perintahnya disandingkan secara langsung dengan perintah shalat. Sebagai contoh dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-110 berikut.
Ibadah ini disebut-sebut sebagai saudara kandung dari ibadah shalat karena seringkali dalam banyak ayat dan hadits, perintahnya disandingkan secara langsung dengan perintah shalat. Sebagai contoh dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-110 berikut.
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat serta bayarkanlah zakat!”
Begitu juga dalam beberapa haditsnya, Nabi SAW menyebutkan kewajiban untuk mengeluarkan zakat yang berbarengan dengan empat kewajiban lainnya. Salah satu di antaranya disebutkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut.
عن
أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن
محمدا رسول الله وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان. (رواه البخاري)
“Dari Abi Abdurrahman, Abdullah ibn Umar ibnul Khattab ra, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam didirikan dengan lima perkara, kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa di Bulan Ramadan,’’” (HR Bukhari).
Selain kedua dalil tersebut, Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab dan begitu juga Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menyebutkan adanya kesepakatan ulama (ijmak) terkait kewajiban zakat. An-Nawawi menulis.
أما
حكم المسألة، فالزكاة فرض وركن باجماع المسلمين وتظاهرت دلائل الكتاب والسنة
وإجماع اللأمة على ذلك
“Adapun hukum persoalan ini, maka zakat merupakan salah satu rukun dan fardhu Islam berdasarkan ijmak kaum muslimin. Banyak dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan ijmak terkait masalah tersebut.”
Berdasarkan
keterangan ini wajar kiranya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerangi
orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada masa pemerintahannya. Karena
baginya kewajiban mengeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan kewajiban shalat. Ia pernah berkata, “Demi Allah,
sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dan
zakat.”
Dengan
kerasnya ancaman terhadap mereka yang enggan mengeluarkan zakat, kiranya dapat
menjadi perhatian bagi seluruh umat Islam yang telah mampu dan melengkapi
syarat-syaratnya agar dapat mengeluarkannya pada waktu yang telah
ditentukan. Allahu a’lam.
Bolehkah Menyalurkan Zakat ke Pasantren
Indonesia adalah negara sejuta pesantren. Sebutan ini tidak
berlebihan karena faktanya hampir di setiap daerah, mulai dari perkotaan sampai
pedesaan, terdapat banyak pesantren. Malahan dalam satu daerah terkadang tidak
hanya ditemukan satu atau dua pesantren, tetapi puluhan pesantren. Para santri
yang belajar di pesantren pun tidak hanya berasal dari daerah terdekat, tetapi
ada juga yang datang dari daerah yang jauh dari lokasi pesantren.
Latar belakang ekonomi santri beragam: ada dari keluarga ekonomi paling bawah dan tidak sedikit pula dari kelas menengah ke atas. Akan tetapi, siapa pun itu, dari keluarga mana mereka berasal, mereka tetap bisa sekolah di pesantren, sebab sebagian besar pesantren saat ini biaya sekolah dan buku-bukunya relatif murah dibanding sekolah umum. Terlebih lagi, sebagian besar pesantren tidak memungut biaya dari santrinya. Masih banyak ditemukan kiai dan ustadz yang mengajar di pesantren atas dasar keikhlasan, alih-alih mencari uang.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila pesantren sampai saat ini masih bisa eksis di bumi Nusantara ini, berkat keikhlasan dari pengajarnya. Kendati di beberapa pesantren tidak dipungut biaya sekolah dan kalaupun berbayar biayanya masih relatif murah, tapi kehidupan sehari-hari santri tetap harus dipikirkan dan dibantu. Apalagi, sebagian santri sebenarnya sudah dewasa dan tidak lagi ditanggung biaya mereka oleh kedua orang tuanya. Mereka juga tidak bekerja lantaran memilih hidup untuk belajar agama. Kalau mereka bekerja dikhawatirkan akan tidak fokus belajar di pesantren.
Menurut sebagian ulama, dibolehkan membantu santri ataupun pelajar agama dengan cara berzakat kepadanya, supaya mereka tetap fokus belajar dan ilmunya dapat bermanfaat bagi orang banyaknya. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab mengatakan:
قالوا
ولو قدر على كسب يليق بحاله إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض العلوم الشرعية بحيث لو أقبل
على الكسب لانقطع عن التحصيل حلت له الزكاة لأن تحصيل العلم فرض كفاية (وأما) من
لا يتأنى منه التحصيل فلا تحل له الزكاة إذا قدر على الكسب وإن كان مقيما بالمدرسة
هذا الذي ذكرناه هو الصحيح المشهور
“Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan
yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat bekerja
karena sibuk belajar agama; sebab kalau bekerja, dia tidak bisa fokus belajar
dan tidak mendapatkan ilmu, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya. Karena,
menuntut ilmu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi, orang yang tidak
sungguh-sungguh belajar tidak berhak menerima zakat bila dia mampu untuk
bekerja, meskipun dia tinggal di madrasah. Ini adalah pendapat yang shahih dan
masyhur.”
Dibolehkan memberi zakat kepada pelajar agama, baik santri ataupun mahasiswa, selama mereka rajin belajar dan diharapkan ilmunya bermanfaat untuk orang banyak. Meskipun pelajar tersebut sudah dewasa dan mampu bekerja. Kebutuhan mereka dapat dibantu dengan uang zakat supaya mereka fokus belajar dan berhasil. Kebolehan membayar zakat ini berlaku dengan syarat mereka rajin dan memiliki potensi. Oleh sebab itu, tidak boleh berzakat kepada santri yang malas dan tidak serius dalam belajar.
Berdasarkan pendapat di atas, orang yang akan memberi zakat perlu memilih siapa kira-kira yang berhak diberi zakat. Berikanlah harta tersebut terhadap orang yang memang tepat menerimanya, agar harta yang dikeluarkan pun dirasakan betul manfaatnya. Kalau memang ada di daerah kita pelajar agama, mereka berasal dari keluarga kurang mampu, maka bantulah perekomian mereka dengan cara berzakat kepadanya. Wallahu a’lam.
Selain puasa dan shalat tarawih, Ramadhan juga
identik dengan zakat. Pada bulan yang penuh berkah ini Allah SWT mewajibkan
zakat kepada hamba-Nya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, Rasulullah SAW mewajibkan zakat
fitrah untuk menyucikan orang puasa dari kesia-siaan dan kekejian dan sebagai
rejeki bagi orang miskin. Siapa yang membayarkannya sebelum shalat (Idhul
Fitri) diterima zakatnya. Adapun yang membayarnya setelah shalat, maka status
pemberiannya dianggap seperti sedekah biasa, (HR Ibnu Majah).
Tujuan zakat fitrah adalah untuk membersihkan jiwa orang berpuasa dan sekaligus momen untuk berbagi kepada orang miskin. Jangan sampai pada hari kebahagiaan itu, masih ditemukan orang miskin yang kelaparan dan meminta-minta. Maka dari itu, zakat mesti dibayarkan sebelum shalat ‘idhul fitrah. Dalam surat At-Taubah ayat 60 disebutkan, terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka adalah orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf, orang yang memerdekan budak, orang berutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Banyak yang bertanya, bagaimana jika orang yang berhak menerima zakat tersebut malas dan suka meninggalkan shalat? Apakah orang tersebut masih berhak menerima zakat? Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada Imam An-Nawawi. Dalam kitabnya Fatawa An-Nawawi ia menjelaskan sebagai berikut.
إن
كان بالغا تاركا للصلاة، واستمر على ذلك إلى حين دفع الزكاة لم يجز دفعها
إليه، لأنه محجور عليه بالسفه
فلا يصح قبضه، ولكن يجوز دفعها إلى وليه فيقبضها لهذا السفيه، وإن كان بلغ مصليا
رشيدا، ثم طرأ ترك الصلاة ولم يحجر القاضي عليه جاز دفعها إليه، وصح قبضه لنفسه،
كما تصح جميع تصرفاته
“Bila seseorang sudah baligh dan tidak mengerjakan shalat, kemudian kondisi ini terus berlanjut sampai penyerahan zakat, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya. Ia termasuk kategori orang yang hartanya ditahan (dikontrol), karena masih bodoh (belum pandai memanfaatkan hartanya) dan tidak diperbolehkan memegang uang sendiri. Namun diperbolehkan memberikan zakat kepada walinya dan memegang pemberian zakat tersebut.
Lain halnya dengan orang baligh, berakal, dan sudah shalat, kemudian tiba-tiba tidak mengerjakan shalat dan qadhi tidak menahan hartanya, maka diperbolehkan membayar zakat kepada golongan ini. Ia juga berhak untuk memegang uangnya sendiri dan seluruh bentuk tasharruf-nya (tindakan ekonomi) sah.”
Menurut
An-Nawawi, terdapat dua kategori orang yang tidak shalat. Pertama, orang yang
tidak mengerjakan shalat karena akalnya belum terlalu matang (safih) dan
belum mampu membelajakan hartanya seperti manusia dewasa pada umumnya; kedua
orang yang meninggalkan shalat karena malas, namun akalnya sudah matang dan
mampu membelanjakan hartanya secara mandiri dan tidak mubadzir.
Untuk
tipikal pertama tidak dibolehkan memberikan zakat kepadanya, karena dia tidak
mampu menggunakan harta secara baik. Kalaupun tetap berkeinginan untuk berzakat
kepadanya, serahkan kepada walinya atau orang yang mengontrol hartanya.
Statusnya disamakan dengan anak kecil dan orang gila. Sementara tipikal kedua
diperbolehkan memberikan zakat kepadanya, sebab dia sudah mampu mandiri
menggunakan harta.
Berdasarkan penjelasan ini, yang menjadi perhatian utama pada saat membayar zakat ialah sejauh mana mustahiq mampu dan mandiri menggunakan harta yang diberikan. Kalau bisa, pastikan bahwa zakat yang diberikan digunakan sebaik-baiknya dan tidak diboroskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Berdasarkan penjelasan ini, yang menjadi perhatian utama pada saat membayar zakat ialah sejauh mana mustahiq mampu dan mandiri menggunakan harta yang diberikan. Kalau bisa, pastikan bahwa zakat yang diberikan digunakan sebaik-baiknya dan tidak diboroskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Di
dalam agama Islam, seorang muslim yang memiliki kemampuan berupa materi harta,
diwajibkan untuk membantu sesama muslim yang masih dalam kategori tidak mampu
"fakir miskin" melalui perantara zakat. Baik itu zakat dalam rangka
membersihkan harta (zakat mal) atau zakat yang bertujuan untuk membersihkan
jiwa setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan (zakat fitrah).
Selain dalam rangka memenuhi
perintah Allah ta’ala dan
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, zakat memiliki fungsi tersendiri dalam mengurangi
angka kemiskinan manusia, khususnya di kalangan muslimin. Mungkin telah banyak
kajian berupa tulisan ataupun pengajian mengenai bab zakat, baik itu zakat mal
atau zakat fitrah.
Adapun beberapa Hikmah dari
Zakat Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, terbukanya pintu kasih sayang
Tuhan lantaran doanya orang fakir miskin. Sebab seorang fakir miskin ketika ia
berdoa meminta belas kasih kepada Allah ta’ala dengan lisan maqãl
atau lisan hãl dengan tadlarru', maka terketuklah pintu kasih sayang Tuhan
kepadanya dan mengabulkan doanya. Doa seorang fakir miskin tersebut akan
terwujud pada kemaslahatan para aghniya' (orang-orang kaya)
yang telah me-tasharruf-kan hartanya untuk zakat. Sehingga pertolongan dan
ridlo Allah ta’ala terlimpahkan
kepadanya, yang pada akhirnya memberikan tambahan keberkahan kepada harta dan
kehidupannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;
"Tidaklah tertolak suatu qadla' (keputusan jalan
hidup manusia) kecuali dengan doa, dan tidaklah bertambah umur manusia kecuali
dengan menebar kebaikan".
Kedua, zakat adalah salah satu amal
mulia, karena didalamnya mengandung solusi empat perkara mu'min. Hal tersebut
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
"Amal yang paling mulia adalah Idkholus surur (menebar kebahagiaan) kepada
mu'min dengan menutupi aurot mereka (memberi sandang pakaian), atau
menghilangkan rasa lapar mereka, atau menunaikan kebutuhan mereka". Dengan
zakat, seorang muslim secara tidak langsung membahagiakan fakir miskin, dengan
zakat seorang fakir miskin dapat membeli sandang pangan, dan dengan zakat pula
seorang fakir miskin menutupi kebutuhan mereka. Karena diantara fungsi
pensyari'atan zakat adalah memerangi kesulitan dan kemiskinan hidup muslimin.
Ketiga, zakat merupakan salah satu
wasilah untuk menghilangkan sifat kikir seorang muslim. Sebagaimana diketahui
bersama, cinta harta yang berlebihan, pelit terhadap sesama dapat menimbulkan
madlorot (kerusakan) pada seseorang. Tidak lain solusinya adalah dengan
berzakat atas harta yang dimilikinya. Kalaulah seseorang tidak menzakatkan hartanya,
maka kecintaannya kepada harta yang berlebihan tidak akan hilang, sifat kikir
akan tetap tersemat pada dirinya.
Keempat, zakat merupakan salah satu
upaya pencegahan atas kejahatan. Di antara sebab munculnya kejahatan adalah
kemiskinan yang menjerat kehidupan seseorang. Seseorang yang terhimpit
kebutuhan ekonomi dalam rangka bertahan hidup, ia akan rela melakukan apapun
termasuk melakukan perkara yang terlarang sekalipun. Baik itu mencuri atau
merampok harta orang lain. Dengan adanya zakat, setidaknya kriminal kejahatan
dapat diminimalisir.
Kelima, zakat dapat menambah berkah
dan meredakan amarah Allah. Seorang muslim ketika menunaikan zakat, maka secara
tidak langsung telah menunaikan faidah zakat serta meraih keempat hikmah di
atas. Setelah ke empat perkara tersebut terpenuhi, maka bagian puncak seorang
muslim yang menunaikan zakat adalah bertambahnya keberkahan dalam hidupnya.
Begitupula leramnya amarah Allah karena potensi kejahatan serta kerusakan dapat
tercegah lantaran zakatnya orang kaya kepada fakir miskin.
Selamat menunaikan Ibadah zakat
fitrah, semoga dengan lunasnya tanggung jawab tersebut dapat membersihkan jiwa
kita setelah sebulan penuh kita menyucikannya melalui ibadah hablum minallah.
Banyak orang menanyakan seputar zakat uang. Beberapa dari
penanya ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka termasuk yang
wajib dikenai zakat apa tidak. Kali ini pengkaji akan mencoba mengupas masalah
ini dengan menimbang segi teori uang yang pernah kita kupas sebelumnya dalam
forum ini.
Pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt
māl adalah berlaku pada harta yang tersimpan (kanzun) yang terdiri atas
emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah QS at-Taubah ayat 34:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian ia tidak menafkahkannya di
jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka berilah kabar gembira terhadap mereka
akan azab yang teramat pedih.”
Kita bicara tentang emas dan perak. Ada dua jenis emas dan perak
yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu pertama berupa emas murni yang
biasanya berwujud emas batangan, dan kedua berupa emas yang dicetak. Untuk emas
yang dicetak umumnya disebut sebagai huliyyin mubāh, yaitu
perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang ada dalam bentuk cetak ini berupa
kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti dinar dan dirham.
Nishab dari huliyyin mubah ini adalah 20
mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425 gram. Sementara nishab
emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari emas murni dan emas yang
dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (rub’u al-‘ushr). Untuk
nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama dengan 200
dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk perak
murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram. Zakat
yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan yang
perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa
keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam
bentuk batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu
al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press,
2014, hal. 48).
Lantas apa hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan
uang? Jawabnya adalah hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata
uang di dunia ini erat hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam kitab-kitab
fiqih klasik pun juga disebutkan adanya relasi antara mata uang dengan emas dan
perak. Bahkan dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal
12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M juga menyamakan kedudukan uang ini sama
dengan emas dan perak. Namun menilik dari tahun dihasilkannya keputusan,
keputusan ini tidak bisa disalahkan karena memang pada tahun itu kedudukan uang
masih memiliki simpanan berupa cadangan emas yang terletak di Bank Indonesia.
Pasca dihasilkannya keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku
hukum bahwa setiap uang yang disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan
emas dan perak. Karena ia bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut
disimpan selama satu tahun, baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan
catatan yaitu asal tidak dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku
nishab zakat.
Nishab ini ditentukan kadarnya berdasar nishab emas dan perak
murni. Bila dalam 1 gram emas murni bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85
gram emas adalah setara dengan Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib
dikeluarkan adalah menjadi sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti
lain dari hal ini adalah, setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar
Rp. 42.500.000 adalah sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib
dikeluarkan zakatnya.
Keberadaan uang ini adalah baik yang disimpan sendiri maupun
yang disimpan dalam unit niaga seperti perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan
lainnya. Akan tetapi, keputusan ini adalah berlaku ketika mata uang masih
memiliki simpanan cadangan emas di bank, yaitu tepatnya era sebelum tahun
1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa ini?
Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah
berubah. Negara sekarang memakai jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak
ditentukan berdasarkan cadangan emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan
berdasarkan hasil neraca perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna
niaga karena setiap satuan mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan.
Syarat dari niaga (tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga
dan adanya ‘urudlu al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu,
untuk mata uang yang tidak berada dalam satuan unit niaga ini, maka uang
tersebut tidak bisa disebut mengalami perputaran. Lantas, dimanakah letak unit
niaganya?
Suatu misal, ada orang yang menyimpan uang secara konvensional
yaitu menyimpan uang secara klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut
tidak dipakai untuk suatu jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang
masyarakat seperti ini disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak
mengalami perputaran, maka tidak ada yang disebut 'urudlu
al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan 'urudlu al-tijarah inilah
yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat, yakni zakat tijarah (zakat
niaga).
Berbeda halnya bila uang masyarakat disimpan di bank.
Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa pada dasarnya uang yang disimpan
di bank dalam bentuk deposito dan reksadana adalah diawali dengan akad serah
terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai wakil nasabah untuk
menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh karena itu, uang
yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai urudlu
al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya
unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5%
bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun).
Sebagai ilustrasi misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya
sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal 1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk
5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah.
Berapakah zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan
mendasarkan pada hitungan urudlu al-tijarah sebesar 10 juta
maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah sebesar 250 ribu rupiah.
Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad menyimpan uang tersebut di rumah
sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak mengalami perputaran dalam unit
niaga.
Semoga uraian singkat ini bisa menghapus silang sengkarut soal
apakah uang simpanan dan tabungan wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai
garis besar jawabnya adalah apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga
atau tidak. Bila dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak
digunakan dan hanya disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu
a’lam bi al-shawab. (Artikel:nu.or.id)
Kontributor: Muhammad
Syamsudin. Taufiq Zubaidi, Yunal Isra. Hengki
Ferdiansyah. Editor: Ust Sofyan
Kaoy, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com