Skip to main content

Kewajiban Zakat


Kewajiban Zakat


Mengeluarkan zakat termasuk salah satu dari rukun Islam yang lima. Ia diwajibkan pertama kali pada Bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah dan diberlakukan secara umum kepada seluruh kaum Muslimin yang mampu dan memenuhi syarat-syaratnya.
Ibadah ini disebut-sebut sebagai saudara kandung dari ibadah shalat karena seringkali dalam banyak ayat dan hadits, perintahnya disandingkan secara langsung dengan perintah shalat. Sebagai contoh dalam Surat Al-Baqarah ayat ke-110 berikut.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah shalat serta bayarkanlah zakat!”

Begitu juga dalam beberapa haditsnya, Nabi SAW menyebutkan kewajiban untuk mengeluarkan zakat yang berbarengan dengan empat kewajiban lainnya. Salah satu di antaranya disebutkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut.

عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان. (رواه البخاري)

“Dari Abi Abdurrahman, Abdullah ibn Umar ibnul Khattab ra, ia berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam didirikan dengan lima perkara, kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah, dan berpuasa di Bulan Ramadan,’’” (HR Bukhari).

Selain kedua dalil tersebut, Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab dan begitu juga Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menyebutkan adanya kesepakatan ulama (ijmak) terkait kewajiban zakat. An-Nawawi menulis.

أما حكم المسألة، فالزكاة فرض وركن باجماع المسلمين وتظاهرت دلائل الكتاب والسنة وإجماع اللأمة على ذلك

“Adapun hukum persoalan ini, maka zakat merupakan salah satu rukun dan fardhu Islam berdasarkan ijmak kaum muslimin. Banyak dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan ijmak terkait masalah tersebut.”
Berdasarkan keterangan ini wajar kiranya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat pada masa pemerintahannya. Karena baginya kewajiban mengeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan kewajiban shalat. Ia pernah berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat.”
Dengan kerasnya ancaman terhadap mereka yang enggan mengeluarkan zakat, kiranya dapat menjadi perhatian bagi seluruh umat Islam yang telah mampu dan melengkapi syarat-syaratnya agar dapat mengeluarkannya pada waktu yang telah ditentukan. Allahu a’lam.
Bolehkah Menyalurkan Zakat ke Pasantren
Indonesia adalah negara sejuta pesantren. Sebutan ini tidak berlebihan karena faktanya hampir di setiap daerah, mulai dari perkotaan sampai pedesaan, terdapat banyak pesantren. Malahan dalam satu daerah terkadang tidak hanya ditemukan satu atau dua pesantren, tetapi puluhan pesantren. Para santri yang belajar di pesantren pun tidak hanya berasal dari daerah terdekat, tetapi ada juga yang datang dari daerah yang jauh dari lokasi pesantren.

Latar belakang ekonomi santri beragam: ada dari keluarga ekonomi paling bawah dan tidak sedikit pula dari kelas menengah ke atas. Akan tetapi, siapa pun itu, dari keluarga mana mereka berasal, mereka tetap bisa sekolah di pesantren, sebab sebagian besar pesantren saat ini biaya sekolah dan buku-bukunya relatif murah dibanding sekolah umum. Terlebih lagi, sebagian besar pesantren tidak memungut biaya dari santrinya. Masih banyak ditemukan kiai dan ustadz yang mengajar di pesantren atas dasar keikhlasan, alih-alih mencari uang.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila pesantren sampai saat ini masih bisa eksis di bumi Nusantara ini, berkat keikhlasan dari pengajarnya. Kendati di beberapa pesantren tidak dipungut biaya sekolah dan kalaupun berbayar biayanya masih relatif murah, tapi kehidupan sehari-hari santri tetap harus dipikirkan dan dibantu. Apalagi, sebagian santri sebenarnya sudah dewasa dan tidak lagi ditanggung biaya mereka oleh  kedua orang tuanya. Mereka juga tidak bekerja lantaran memilih hidup untuk belajar agama. Kalau mereka bekerja dikhawatirkan akan tidak fokus belajar di pesantren.

Menurut sebagian ulama, dibolehkan membantu santri ataupun pelajar agama dengan cara berzakat kepadanya, supaya mereka tetap fokus belajar dan ilmunya dapat bermanfaat bagi orang banyaknya. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab mengatakan:

قالوا ولو قدر على كسب يليق بحاله إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض العلوم الشرعية بحيث لو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل حلت له الزكاة لأن تحصيل العلم فرض كفاية (وأما) من لا يتأنى منه التحصيل فلا تحل له الزكاة إذا قدر على الكسب وإن كان مقيما بالمدرسة هذا الذي ذكرناه هو الصحيح المشهور

“Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat bekerja karena sibuk belajar agama; sebab kalau bekerja, dia tidak bisa fokus belajar dan tidak mendapatkan ilmu, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi, orang yang tidak sungguh-sungguh belajar tidak berhak menerima zakat bila dia mampu untuk bekerja, meskipun dia tinggal di madrasah. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur.”

Dibolehkan memberi zakat kepada pelajar agama, baik santri ataupun mahasiswa, selama mereka rajin belajar dan diharapkan ilmunya bermanfaat untuk orang banyak. Meskipun pelajar tersebut sudah dewasa dan mampu bekerja. Kebutuhan mereka dapat dibantu dengan uang zakat supaya mereka fokus belajar dan berhasil. Kebolehan membayar zakat ini berlaku dengan syarat mereka rajin dan memiliki potensi. Oleh sebab itu, tidak boleh berzakat kepada santri yang malas dan tidak serius dalam belajar.

Berdasarkan pendapat di atas, orang yang akan memberi zakat perlu memilih siapa kira-kira yang berhak diberi zakat. Berikanlah harta tersebut terhadap orang yang memang tepat menerimanya, agar harta yang dikeluarkan pun dirasakan betul manfaatnya. Kalau memang ada di daerah kita pelajar agama, mereka berasal dari keluarga kurang mampu, maka bantulah perekomian mereka dengan cara berzakat kepadanya. Wallahu a’lam. 

Selain puasa dan shalat tarawih, Ramadhan juga identik dengan zakat. Pada bulan yang penuh berkah ini Allah SWT mewajibkan zakat kepada hamba-Nya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang puasa dari kesia-siaan dan kekejian dan sebagai rejeki bagi orang miskin. Siapa yang membayarkannya sebelum shalat (Idhul Fitri) diterima zakatnya. Adapun yang membayarnya setelah shalat, maka status pemberiannya dianggap seperti sedekah biasa, (HR Ibnu Majah).

Tujuan zakat fitrah adalah untuk membersihkan jiwa orang berpuasa dan sekaligus momen untuk berbagi kepada orang miskin. Jangan sampai pada hari kebahagiaan itu, masih ditemukan orang miskin yang kelaparan dan meminta-minta. Maka dari itu, zakat mesti dibayarkan sebelum shalat ‘idhul fitrah. Dalam surat At-Taubah ayat 60 disebutkan, terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka adalah orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf, orang yang memerdekan budak, orang berutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.

Banyak yang bertanya, bagaimana jika orang yang berhak menerima zakat tersebut malas dan suka meninggalkan shalat? Apakah orang tersebut masih berhak menerima zakat? Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada Imam An-Nawawi. Dalam kitabnya Fatawa An-Nawawi ia menjelaskan sebagai berikut.


إن كان بالغا تاركا للصلاة، واستمر على ذلك إلى حين دفع الزكاة  لم يجز دفعها إليه، لأنه محجور عليه بالسفه فلا يصح قبضه، ولكن يجوز دفعها إلى وليه فيقبضها لهذا السفيه، وإن كان بلغ مصليا رشيدا، ثم طرأ ترك الصلاة ولم يحجر القاضي عليه جاز دفعها إليه، وصح قبضه لنفسه، كما تصح جميع تصرفاته

“Bila seseorang sudah baligh dan tidak mengerjakan shalat, kemudian kondisi ini terus berlanjut sampai penyerahan zakat, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya. Ia termasuk kategori orang yang hartanya ditahan (dikontrol), karena masih bodoh (belum pandai memanfaatkan hartanya) dan tidak diperbolehkan memegang uang sendiri. Namun diperbolehkan memberikan zakat kepada walinya dan memegang pemberian zakat tersebut.

Lain halnya dengan orang baligh, berakal, dan sudah shalat, kemudian tiba-tiba tidak mengerjakan shalat dan qadhi tidak menahan hartanya, maka diperbolehkan membayar zakat kepada golongan ini. Ia juga berhak untuk memegang uangnya sendiri dan seluruh bentuk tasharruf-nya (tindakan ekonomi) sah.”
Menurut An-Nawawi, terdapat dua kategori orang yang tidak shalat. Pertama, orang yang tidak mengerjakan shalat karena akalnya belum terlalu matang (safih) dan belum mampu membelajakan hartanya seperti manusia dewasa pada umumnya; kedua orang yang meninggalkan shalat karena malas, namun akalnya sudah matang dan mampu membelanjakan hartanya secara mandiri dan tidak mubadzir.
Untuk tipikal pertama tidak dibolehkan memberikan zakat kepadanya, karena dia tidak mampu menggunakan harta secara baik. Kalaupun tetap berkeinginan untuk berzakat kepadanya, serahkan kepada walinya atau orang yang mengontrol hartanya. Statusnya disamakan dengan anak kecil dan orang gila. Sementara tipikal kedua diperbolehkan memberikan zakat kepadanya, sebab dia sudah mampu mandiri menggunakan harta.

Berdasarkan penjelasan ini, yang menjadi perhatian utama pada saat membayar zakat ialah sejauh mana mustahiq mampu dan mandiri menggunakan harta yang diberikan. Kalau bisa, pastikan bahwa zakat yang diberikan digunakan sebaik-baiknya dan tidak diboroskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. 
Di dalam agama Islam, seorang muslim yang memiliki kemampuan berupa materi harta, diwajibkan untuk membantu sesama muslim yang masih dalam kategori tidak mampu "fakir miskin" melalui perantara zakat. Baik itu zakat dalam rangka membersihkan harta (zakat mal) atau zakat yang bertujuan untuk membersihkan jiwa setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan (zakat fitrah).
Selain dalam rangka memenuhi perintah Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, zakat memiliki fungsi tersendiri dalam mengurangi angka kemiskinan manusia, khususnya di kalangan muslimin. Mungkin telah banyak kajian berupa tulisan ataupun pengajian mengenai bab zakat, baik itu zakat mal atau zakat fitrah.
Adapun beberapa Hikmah dari Zakat Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, terbukanya pintu kasih sayang Tuhan lantaran doanya orang fakir miskin. Sebab seorang fakir miskin ketika ia berdoa meminta belas kasih kepada Allah ta’ala dengan lisan maqãl atau lisan hãl dengan tadlarru', maka terketuklah pintu kasih sayang Tuhan kepadanya dan mengabulkan doanya. Doa seorang fakir miskin tersebut akan terwujud pada kemaslahatan para aghniya' (orang-orang kaya) yang telah me-tasharruf-kan hartanya untuk zakat. Sehingga pertolongan dan ridlo Allah ta’ala terlimpahkan kepadanya, yang pada akhirnya memberikan tambahan keberkahan kepada harta dan kehidupannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; "Tidaklah tertolak suatu qadla' (keputusan jalan hidup manusia) kecuali dengan doa, dan tidaklah bertambah umur manusia kecuali dengan menebar kebaikan".
Kedua, zakat adalah salah satu amal mulia, karena didalamnya mengandung solusi empat perkara mu'min. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Amal yang paling mulia adalah Idkholus surur (menebar kebahagiaan) kepada mu'min dengan menutupi aurot mereka (memberi sandang pakaian), atau menghilangkan rasa lapar mereka, atau menunaikan kebutuhan mereka". Dengan zakat, seorang muslim secara tidak langsung membahagiakan fakir miskin, dengan zakat seorang fakir miskin dapat membeli sandang pangan, dan dengan zakat pula seorang fakir miskin menutupi kebutuhan mereka. Karena diantara fungsi pensyari'atan zakat adalah memerangi kesulitan dan kemiskinan hidup muslimin.
Ketiga, zakat merupakan salah satu wasilah untuk menghilangkan sifat kikir seorang muslim. Sebagaimana diketahui bersama, cinta harta yang berlebihan, pelit terhadap sesama dapat menimbulkan madlorot (kerusakan) pada seseorang. Tidak lain solusinya adalah dengan berzakat atas harta yang dimilikinya. Kalaulah seseorang tidak menzakatkan hartanya, maka kecintaannya kepada harta yang berlebihan tidak akan hilang, sifat kikir akan tetap tersemat pada dirinya.
Keempat, zakat merupakan salah satu upaya pencegahan atas kejahatan. Di antara sebab munculnya kejahatan adalah kemiskinan yang menjerat kehidupan seseorang. Seseorang yang terhimpit kebutuhan ekonomi dalam rangka bertahan hidup, ia akan rela melakukan apapun termasuk melakukan perkara yang terlarang sekalipun. Baik itu mencuri atau merampok harta orang lain. Dengan adanya zakat, setidaknya kriminal kejahatan dapat diminimalisir.
Kelima, zakat dapat menambah berkah dan meredakan amarah Allah. Seorang muslim ketika menunaikan zakat, maka secara tidak langsung telah menunaikan faidah zakat serta meraih keempat hikmah di atas. Setelah ke empat perkara tersebut terpenuhi, maka bagian puncak seorang muslim yang menunaikan zakat adalah bertambahnya keberkahan dalam hidupnya. Begitupula leramnya amarah Allah karena potensi kejahatan serta kerusakan dapat tercegah lantaran zakatnya orang kaya kepada fakir miskin.
Selamat menunaikan Ibadah zakat fitrah, semoga dengan lunasnya tanggung jawab tersebut dapat membersihkan jiwa kita setelah sebulan penuh kita menyucikannya melalui ibadah hablum minallah.  

Banyak orang menanyakan seputar zakat uang. Beberapa dari penanya ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka termasuk yang wajib dikenai zakat apa tidak. Kali ini pengkaji akan mencoba mengupas masalah ini dengan menimbang segi teori uang yang pernah kita kupas sebelumnya dalam forum ini. 

Pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt māl adalah berlaku pada harta yang tersimpan (kanzun) yang terdiri atas emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah QS at-Taubah ayat 34: “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian ia tidak menafkahkannya di jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka berilah kabar gembira terhadap mereka akan azab yang teramat pedih.” 

Kita bicara tentang emas dan perak. Ada dua jenis emas dan perak yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu pertama berupa emas murni yang biasanya berwujud emas batangan, dan kedua berupa emas yang dicetak. Untuk emas yang dicetak umumnya disebut sebagai huliyyin mubāh, yaitu perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang ada dalam bentuk cetak ini berupa kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti dinar dan dirham.

Nishab dari huliyyin mubah ini adalah 20 mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425 gram. Sementara nishab emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari emas murni dan emas yang dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (rub’u al-‘ushr). Untuk nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama dengan 200 dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk perak murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram. Zakat yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan yang perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam bentuk batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press, 2014, hal. 48). 

Lantas apa hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan uang? Jawabnya adalah hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata uang di dunia ini erat hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih klasik pun juga disebutkan adanya relasi antara mata uang dengan emas dan perak. Bahkan dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M juga menyamakan kedudukan uang ini sama dengan emas dan perak. Namun menilik dari tahun dihasilkannya keputusan, keputusan ini tidak bisa disalahkan karena memang pada tahun itu kedudukan uang masih memiliki simpanan berupa cadangan emas yang terletak di Bank Indonesia.

Pasca dihasilkannya keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku hukum bahwa setiap uang yang disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan emas dan perak. Karena ia bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut disimpan selama satu tahun, baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan catatan yaitu asal tidak dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku nishab zakat.

Nishab ini ditentukan kadarnya berdasar nishab emas dan perak murni. Bila dalam 1 gram emas murni bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85 gram emas adalah setara dengan Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib dikeluarkan adalah menjadi sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti lain dari hal ini adalah, setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar Rp. 42.500.000 adalah sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.

Keberadaan uang ini adalah baik yang disimpan sendiri maupun yang disimpan dalam unit niaga seperti perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan lainnya. Akan tetapi, keputusan ini adalah berlaku ketika mata uang masih memiliki simpanan cadangan emas di bank, yaitu tepatnya era sebelum tahun 1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa ini?

Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah berubah. Negara sekarang memakai jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak ditentukan berdasarkan cadangan emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan berdasarkan hasil neraca perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna niaga karena setiap satuan mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan. Syarat dari niaga (tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga dan adanya ‘urudlu al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu, untuk mata uang yang tidak berada dalam satuan unit niaga ini, maka uang tersebut tidak bisa disebut mengalami perputaran. Lantas, dimanakah letak unit niaganya?

Suatu misal, ada orang yang menyimpan uang secara konvensional yaitu menyimpan uang secara klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut tidak dipakai untuk suatu jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang masyarakat seperti ini disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak mengalami perputaran, maka tidak ada yang disebut 'urudlu al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan 'urudlu al-tijarah inilah yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat, yakni zakat tijarah (zakat niaga).

Berbeda halnya bila uang masyarakat disimpan di bank. Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa pada dasarnya uang yang disimpan di bank dalam bentuk deposito dan reksadana adalah diawali dengan akad serah terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai wakil nasabah untuk menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh karena itu, uang yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai urudlu al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5% bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun). 

Sebagai ilustrasi misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal 1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk 5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan mendasarkan pada hitungan urudlu al-tijarah sebesar 10 juta maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah sebesar 250 ribu rupiah. Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad menyimpan uang tersebut di rumah sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak mengalami perputaran dalam unit niaga.

Semoga uraian singkat ini bisa menghapus silang sengkarut soal apakah uang simpanan dan tabungan wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai garis besar jawabnya adalah apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga atau tidak. Bila dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak digunakan dan hanya disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Artikel:nu.or.id)


Kontributor: Muhammad Syamsudin. Taufiq Zubaidi, Yunal Isra. Hengki Ferdiansyah. Editor: Ust Sofyan Kaoy, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th