Skip to main content

Memberi Sedekah, Namun Minta Dido'akan


Memberi Sedakah, Namun Minta Dido'akan


Nasehat Ulama: Hukumnya Lebih Baik Tak Minta Didoakan
Terkadang ada sebagian kaum muslimin yang ketika memberikan sedekah kepada orang miskin, ia meminta agar didoakan. Bagaimana hukum hal ini? Secara umum, boleh bagi seorang meminta doa kepada saudara muslim lainnya. Sebagaimana dalam hadits,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan mustajab. Pada kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.” (HR. Muslim). An-Nawawi menjelaskan dianjurkan meminta didoakan oleh orang yang shalih, beliau berkata,

باب استحباب طلب الدعاء من أهل الفضل وإن كان الطالب أفضل من المطلوب منه
“Bab dianjurkannya meminta didoakan oleh orang yang memiliki keutamaan (shalih) walaupun yang meminta doa lebih memiliki keutamaan (lebih shalih) daripada yang orang yang diminta.” (Al-Azkar hal. 40). Adapun meminta didoakan kepada orang yang kita beri sedekah, maka nasehat para ulama adalah lebih baik tidak dilakukan. Dalam ayat Al-Quran dijelaskan bahwa orang yang ikhlas adalah yang memberi makan hanya berharap wajah Allah tanpa meminta balasan apapun. Allah berfirman,

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS Al-Insan:9). Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa apabila meminta didoakan, maka keluar dari ayat ini. Beliau berkata,

ومن طلب من الفقراء الدعاء أو الثناء خرج من هذه الآية
“Barangsiapa yang meminta didoakan oleh orang miskin atau meminta dipuji, maka keluar dari maksud ayat ini.” (Majmu’ Fatawa 11/111). Ulama menganjurkan kita untuk tidak meminta doa setelah memberikan sedekah, akan tetapi syariat menganjurkan orang yang menerima sedekah untuk mendoakan orang yang memberikan sedekah. Allah berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (At-Taubah:103). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendoakan kepada mereka yang memberikan sedekah. dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أُتِيَ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ. وَإِنَّ أَبِي أَتَاهُ بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
“Jika sedekah (zakat) dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun berdoa (yang artinya), ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada mereka.’ Ayahku pernah membawa sedekah (zakat)nya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada keluarga Abu Aufa.’”(HR. Bukhari)

Hadis Dhaif tentang Keutamaan Sedekah untuk Menyembuhkan Penyakit
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
داووا مرضاكم بالصدقة، وحصنوا أموالكم بالزكاة، فإنها تدفع عنكم الأعراض والأمراض
Sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kamu dengan bersedekah, dan bentengilah hartamu dengan (mengeluarkan) zakat, karena sesungguhnya hal itu akan mencegah berbagai keburukan dan penyakit”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami dalam “Musnadul Firdaus”1 dengan sanad beliau dari jalur Muhammad bin Yunus al-Kudaimi dari Badal bin al-Muhabbar, dari Hilal bin Malik al Huwai , dari Yunus bin 'Ubaid  dari Hurr bin ash-Shayyah, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Hadits ini adalah hadits palsu atau minimal sangat lemah, dalam sanadnya ada rawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dia tertuduh memalsukan hadits.
  • Imam Abu Bakr bin Wahb at-Tammar berkata: “Abu Dawud tidak menampakkan (tuduhan) dusta terhadap seseorang kecuali terhadap al-Kudaimi dan Ghulam khalil”2.
  • Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Dia tertuduh memalsukan dan mencuri hadits, mengaku bertemu orang-orang (para rawi hadits) padahal dia tidak pernah bertemu mereka, serta mengaku meriwayatkan (hadits) dari mereka padahal mereka tidak mengenalnya. Mayoritas guru-guru kami meninggalkan riwayat (hadits) darinya”3.
  • Imam Ibnu Hibban berkata: “Dia memalsukan hadits atas (nama) rawi-rawi hadits yang terpercaya secara jelas, dan barangkali dia telah memalsukan lebih dari seribu hadits”4.
  • Imam ad-Daraquthni berkata: “Dia tertuduh memalsukan hadits”5.
Rawi ini juga telah melakukan kesalahan dalam hadits ini, karena dia meriwayatkannya dari jalur lain dengan lafazh hadits yang agak berbeda dengan tambahan di akhir hadits. Jalur ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (3/282, no. 3556) dari Muhammad bin Yunus al-Kudaimi, dari al-Muhabbar al-Yarbu’i, dari Hilal bin Malik al-Huwa-i, dari Yunus bin ‘Ubaid, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu. mam al-Baihaqi berkata, setelah membawakan hadits ini: “Hadits ini mungkar (sangat lemah) dengan sanad ini”. Hadits ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (8/87, no. 3591).
Hadits ini juga dihukumi tidak shahih oleh al-Lajnah ad-Daimah (komite para ulama besar di Arab Saudi) yang dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dalam fatwa no. 18369.
Hadits yang semakna dengan hadits di atas juga diriwayatkan oleh beberapa shahabat radhiallahu’anhum dan al-Hasan al-Bashri secara mursal, tapi semua riwayat tersebut sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. (HR. Riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu
Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (10/128), Ibnu ‘Adi dalam “al-Kaamil” (6/341), al-Khathib al-Bagdadi dalam “Tarikh Bagdad” (6/334), Ibnul Jauzi dalam “al-‘Ilalul mutanaahiyah” (3/493), dan imam-imam lainnya, semuanya dari jalur Musa bin ‘ Umair, dari al-Hakam, dari Ibrahim, dari al-Aswad, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits ini derajatnya minimal sangat lemah, karena Musa bin ‘Umair Abu Harun al-Kuufi dinyatakan sebagai pendusta oleh Imam Abu Hatim ar-Raazi6. Imam al-Haitsami berkata: “Dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang fatal”7.

Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Imam Ibnu ‘Adi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi8, al-Haitsami9 dan Syaikh al-Albani10 

2.     Riwayat ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarani dalam dalam “al-Mu’jamul kabiir” (10/128) dan Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasq” (40/164) dari jalur ‘Arak bin Khalid bin Yazid, dari bapaknya, dari Ibrahim bin Abi ‘Ulbah, dari ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah. Imam Abu Hatim ar-Razi berkata: “Ini adalah hadits yang mungkar (sangat lemah), Ibrahim belum pernah bertenu dengan ‘Ubadah dan ‘Arak haditsnya mungkar”11.
Syaikh al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits mungkar (sangat lemah)12.
3.     Riwayat Abu Umamah radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iimaan” (3/282) dari jalur Thalut bin ‘Abbad, dari Fadhdhal bin Jubair, dari Abu Umamah, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Al-Muttaqi al-Hindi13 menisbatkan hadits ini kepada imam Abu asy-Syaikh dalam kitab “ats-Tsawaab”. Hadits ini juga sangat lemah, karena Fadhdhal bin Jubair riwayat haditsnya sangat lemah. Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Hadits-hadits (yang diriwayatkan)nya tidak terjaga (banyak kesalahan)”. Ibnu Hibban berkata: “Tidak halal sama sekali untuk berargumentasi dengan (riwayat hadits)nya, dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya”14.
Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang sangat lemah oleh Imam al-Baihaqi, beliau berkata: “Fadhdhal bin Jubair pemilik (suka meriwayatkan) hadits-hadits yang mungkar”15. Ucapan beliau ini disetujui oleh Imam as-Sakhawi16.

4.     Riwayat Samurah bin Jundub radhiallahu’anhu
Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iimaan” (3/282) dari jalur al-Hasan bin al-Fadhl bin as-Samh, dari Giyats bin Kalub al-Kufi, dari Mutharrif bin Samurah bin Jundub, dari bapaknya, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits ini juga sangat lemah, karena al-Hasan bin al-Fadhl riwayat haditsnya sangat lemah. Imam Abul Husein Ibnul Munadi berkata: “(Awalnya) orang-orang banyak (meriwayatkan hadits) darinya, kemudian tersingkaplah (keburukannya), lalu orang-orang meninggalkannya dan membakar hadits-hadits (yang diriwayatkannya). Imam Ibnu Hazm berkata: “Dia majhul (tidak dikenal)”17.
Demikian pula rawi setelahnya, Giyats bin Kalub al-Kufi, Imam al-Baihaqi berkata: “Giyats bin Kalub majhul (tidak dikenal)”. Imam ad-Darquthni berkata: “Dia lemah (riwayat haditsnya)”18. Hadits ini diisyaratkan kelemahannya oleh Imam al-Baihaqi19 dan as-Sakhawi20.

5.     Riwayat Anas bin Malik radhiallahu’anhu

Dikeluarkan oleh Imam ad-Dailami21 dari Jalur Muhammad bin Ahmad bin Shaleh, dari bapaknya, dari Muhammad bin Abi as-Sari, dari ar-Rabi’ bin Shabih, dari Atha’ bin Abi Rabah, dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dengan lafazh “Tidaklah orang yang sakit disembuhkan dengan (pengobatan) yang lebih utama dari bersedekah”. Hadits ini juga sangat lemah, Muhammad bin Abi as-Sari, dia adalah Muhammad bin al-Mutawakkil al-‘Asqalani, Imam Abu Hatim ar-Razi berkata: “(Riwayat) haditsnya lemah”. Ibnu ‘Adi berkata: “Banyak kesalahannya (dalam meriwayatkan hadits)”22. Imam adz-Dzahabi berkata: “Dia mempunyai riwayat-riwayat (hadits) yang mungkar”23. Rawi setelahnya, ar-Rabi’ bin Shabih, dinyatakan lemah riwayat haditsnya oleh Imam Yahya bin Ma’in, Ibnu Sa’ad, an-Nasa-i, Ya’qub bin Syaibah, dan lain-lain24.

6. Riwayat al-Hasan al-Bashri secara mursal
Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam “al-Mara-siil” (no. 105) dan Ibnul Jauzi dalam “al-‘Ilalul mutanaahiyah” (no. 816) dari jalur Muhammad bin Sulaiman al-Anbari, dari Katsir bin Hisyam, dari ‘Umar bin Sulaim al-Bahili, dari al-Hasan al-Bashri, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara mursal.

Riwayat ini sanadnya hasan sampai ke al-Hasan al-Bashri dan riwayat inilah yang dibenarkan oleh para ulama ahli hadits, seperti al-Baihaqi25, Ibnul Jauzi26, al-Mundziri27 dan Syaikh al-Albani28.
Maka riwayat ini hukumnya lemah karena mursal (tidak bersambung), Hasan al-Bashri tidak pernah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Khususnya mursal al-Hasan al-Bashri termasuk riwayat yang sangat lemah. Imam Muhammad bin Sa’ad berkata: “Semua hadits (riwayat) al-Hasan al-Bashri yang bersambung sanadnya atau riwayatnya dari orang yang pernah didengarnya maka itu adalah baik lagi bisa dijadikan sebagai argumentasi, adapun riwayatnya secara mursal maka tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi”. Imam al-‘Iraqi berkata: “Riwayat-riwayat mursal (dari) al-Hasan al-bashri menurut para ulama ahli hadits (adalah) seperti angin (sangat lemah)”29.
Kesimpulannya, Hadits ini sangat lemah bahkan sebagian dari jalur periwayatannya palsu. Yang paling ringan kelemahannya adalah riwayat mursal al-Hasan al-Bashri, akan tetapi tidak ada riwayat lain yang bisa mendukung atau menguatkannya, karena semua sangat lemah. Maka hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau argumentasi, meskipun sebagian dari para ulama ada yang mengamalkan kandungannya.

Adapun penukilan dari dua kitab Syaikh al-Albani30 bahwa hadits ini adalah hadits hasan, maka ini tidak bisa diterima karena beberapa hal:
  • Di dalam kitab “Shahiihul jaami’ish shagiir” sendiri terdapat tiga nukilan dari beliau bahwa hadits ini lemah, sangat lemah dan palsu31, ditambah lagi tiga nukilan yang telah lalu dari kitab kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (no. 3591, 3492 dan 575) bahwa hadits ini palsu, sangat lemah dan mungkar
  • Nukilan dari dua kitab di atas hanya bersifat kesimpulan tanpa perincian, sedangkan nukilan dari kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” disertai keterangan rinci dan detail, maka tentu didahulukan
  • Nukilan dari dua kitab tersebut telah kami jelaskan secara rinci beserta sebab-sebab kelemahannya dalam riwayat-riwayat yang kami telah jelaskan di atas.
  • Ada kemungkinan hadits ini termasuk hadits-hadits yang diteliti ulang oleh Syaikh al-Albani kemudian beliau rujuk, jadi awalnya beliau menghukuminya sebagai hadits hasan, kemudian setelah beliau teliti kembali dan jelas kelemahannya yang sangat, maka beliau menghukuminya sebagai hadits yang sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran, wallahu a’lam.
Kelemahan hadits ini yang sangat fatal menjadikannya tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk membolehkan bersedekah dengan niat untuk kesembuhan penyakit. Karena ini termasuk keinginan duniawi yang asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala32. Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allah Ta’ala.
Ibadah dan amal shaleh yang dilakukan dengan niat untuk mendapatkan balasan duniawi adalah termasuk bentuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala yang bisa menjadikan gugur pahala amal shaleh tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَأُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan33.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya34.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin ketika menyebutkan contoh-contoh perbuatan ini, beliau menyebutkan di antaranya adalah orang yang beribadah dengan tujuan untuk menolak gangguan, penyakit dan keburukan (dalam urusan dunia) dari dirinya35.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari segala bentuk keburukan yang merusak agama kita dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
1 Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam “al-Gara-ibul multaqathah min musnadil firdaus” (no. 244 – Disertasi S2).
2 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam “Tahdziibut tahdziib” (9/476).
3 Kitab “al-Kaamil fi dhu’afaa-ir rijaal” (6/292-293).
4 KItab “al-Majruuhiin” (2/313).
5 Kitab “Suaalaatu Hamzah as-Sahmi” (hal. 111, no. 74).
6 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Lisaanul miizaan” (7/407).
7 Kitab “Majma’uz zawaa-id” (3/64).
8 Kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/51).
9 Kitab “Majma’uz zawaa-id” (3/64).
10 Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (7/487, no. 3492).
11 Kitab “’Ilalul hadiits” (1/220).
12 Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (2/45, no. 575).
13 Dalam kitab “Kanzul ‘ummaal” (no. 28181).
14 Keduanya dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul i’tidaal” (3/347).
15 Kitab “Syu’abul iimaan” (3/282).
16 Kitab “al-Maqaashidul hasanah” (hal. 309).
17 Keduanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Lisaanul miizaan” (2/244).
18 Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul i’tidaal” (4/423).
19 Kitab “Syu’abul iimaan” (3/282).
20 Kitab “al-Maqaashidul hasanah” (hal. 309).
21 Kitab “Musnadul Firdaus” (4/118).
22 Keduanya dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul i’tidaal” (4/24).
23 Kitab “Miizaanul i’tidaal” (3/560).
24 Semuanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Tahdziibut tahdziib” (3/214-215).
25 Kitab “as-Sunanul kubra” (3/382).
26 Kitab “’Ilalul mutanaahiyah” (2/494).
27 Kitab “at-Targiibu wat tarhiib” (1/301).
28 Kitab “Silsilatul ahaadiitsidh dha’iifah wal maudhuu’ah” (7/488).
29 Keduanya dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (1/204).
30 Kitab “Shahiihut targiibi wat tarhiib” (1/182, no. 744) dan “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 5669).
31 Lihat kitab “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 6469, 6470 dan 6702).
32 Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).
33 Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).
34 Ibid.
35 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/243).
====================

Kontributor: Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni, MA dan Ustaz dr Raehanul Bahraen. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com




Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th