Skip to main content

Tidak Bayar Zakat Bertahun-tahun, Bagaimana Solusinya?


Tidak Bayar Zakat Bertahun-tahun, Bagaimana Solusinya?


Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Salah satu hikmah di balik kewajiban zakat yang dibebankan pada umat Islam adalah karena dalam pelaksanaan zakat terkandung wujud penyucian terhadap pribadi seseorang dan pada harta yang dimiliki olehnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sungguh doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui,” (QS Surat At-Taubah ayat 103). Kewajiban zakat meliputi beberapa jenis harta benda tertentu yaitu emas perak, hewan ternak, makanan pokok, harta dagangan, buah-buahan yang kesemuanya terdiri atas komponen-komponen yang termasuk dari kategori jenis harta benda tersebut. Penjelasan dan perincian tentang kategori benda zakat dan kapan zakat menjadi wajib pada benda-benda diatas, dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih klasik.

Namun ironisnya tidak jarang orang-orang yang masih tidak mengetahui tentang kewajiban zakat yang harus dibayar oleh mereka, ada yang baru mengerti bahwa benda yang dimilikinya wajib untuk dizakati setelah mendapatkan pengertian langsung dari tokoh masyarakat atau orang lain tentang kewajiban zakat harta yang dimilikinya. Seperti seseorang yang memiliki lahan sawah yang luas, sawah tersebut ditanami olehnya berbagai makanan pokok seperti padi dan jagung. Ia tidak mengerti bahwa padi dan jagung adalah salah satu harta benda yang wajib dizakati. Karena tidak mengerti setiap kali panen tiba, ia tidak mengeluarkan apapun dari hasil panennya. Hal demikian dijalaninya selama bertahun-tahun. Namun seiring berjalannya waktu, ia baru mengetahui bahwa padi dan jagung adalah harta benda yang wajib dizakati setelah diberi tahu oleh orang lain yang dianggapnya alim dalam bidang agama.

Sejak saat itu, ia pun tidak lupa untuk selalu membayar zakat pada setiap panenan sawahnya. Namun, wajibkah baginya untuk mengqadha membayar zakat atas hasil panen yang sejak dulu belum ia bayar? Dalam hal ini, IA TETAP WAJIB UNTUK MENGQADHA MEMBAYAR ZAKAT yaitu hasil panen yang telah lampau. Sehingga ia dianggap memiliki tanggungan kewajiban membayar zakat atas hasil panennya, meski ia tidak dikenai dosa karena ketidak tahuannya atas kewajiban zakat atas hasil panen padi dan jagungnya. Sebab ketidaktahuan (jahl) pada suatu hal yang diperintahkan oleh syara’ (seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain) menuntut untuk wajibnya melaksanakan perintah-perintah yang tidak dilakukannya di masa lalu seperti penjelasan Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:

اعلم ان قاعدة الفقه أن النسيان والجهل مسقط للإثم مطلقا وأما الحكم فإن وقعا في ترك مأمور لم يسقط بل يجب تداركه ولا يحصل الثواب لمترتب عليه لعدم الائتمار –إلى أن قال- فهذه أقسام فمن فروع القسم الأول من نسي صلاة أو صوما أو حجا أو زكاة أو كفارة أو نذرا وجب تداركه بالقضاء بلا خلاف

“Ketahuilah bahwa terdapat kaedah fiqih yang menjelaskan sungguh sifat lupa dan tidak tahu (terhadap suatu hukum) dapat menggugurkan dosa secara mutlak. Sedangkan perincian hukumnya, jika keduanya (lupa dan tidak tahu) terjadi pada perihal meninggalkan perkara yang diperintahkan maka perintah tersebut tidak menjadi gugur, bahkan wajib untuk melaksanakannya dan tidak mendapatkan pahala (atas pelaksanaan perintah tersebut) bagi orang yang sengaja untuk menyebabkan dirinya lupa atau tidak tahu sebab ia dianggap tidak memperhatikan perintah tersebut. Permasalahan ini terdapat beberapa pembagian, di antara permasalahan yang termasuk dalam kategori pertama yaitu seseorang yang lupa tidak melakukan shalat, puasa, haji, zakat, denda kafarah atau nadzar maka wajib untuk melaksanakan hal tersebut dengan mengqadla’inya dengan tanpa adanya perbedaan para ulama,’” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 188).

Qadha zakat ini tetap wajib bagi seseorang yang tidak melaksanakan zakat di masa lalu, meskipun harta bendanya telah habis atau tidak mencukupi untuk mengqadha zakatnya. Sebab kewajiban zakat yang telah dibebankan pada seseorang  tidak lantas menjadi hilang dan gugur hanya karena harta yang dimilikinya habis atau tidak mencukupi. Namun ia wajib untuk segera membayar zakatnya di masa lalu, ketika hartanya sudah mencukupi untuk membayar zakat-zakatnya di masa lalu tersebut.

Kewajiban di atas juga berlaku bagi orang yang tidak membayar zakat, meski sebenarnya ia telah mengetahui tentang kewajiban zakat pada harta bendanya, namun ia masih enggan untuk membayar zakat atas hartanya karena belum mendapat hidayah untuk melaksanakan zakat seperti karena rasa pelit yang dimilikinya sehingga ia enggan membayar zakat. Ketika umurnya mulai beranjak tua dan hartanya semakin melimpah, ia mulai menyesali kekhilafan yang dilakukan olehnya di masa lalu. Ia bertekad mulai saat itu juga akan membayar zakat.

Maka dalam hal ini, ia WAJIB UNTUK MEGQADHA MEMBAYAR ZAKAT MEMBACA PAHALAwajib untuk mengqadha’ membayar zakatnya di masa lalu dan ia mendapatkan dosa karena kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban membayar zakat yang wajib baginya, padahal ia telah mengetahui kewajiban tersebut. Lalu berapa nominal zakat yang harus dibayar olehnya? Terlebih ketika ia sudah tidak mengetahui hitungan yang wajib untuk dikeluarkan karena masa yang terpaut begitu lama?

Zakat di masa lalu karena faktor ketidaktahuan (jahl) adalah sebuah kewajiban. Pada kesempatan ini hal yang dibahas adalah tentang nominal yang harus dibayar sebagai zakat atas kewajiban zakat di masa lampau. Dalam membahas tentang hal ini terdapat dua perincian. Pertama, ketika seseorang mengetahui secara pasti atau mencatat seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di masa lalu. Dalam keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase yang wajib dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan harta benda yang dimilikinya. Kedua, ketika seseorang tidak mengetahui secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk dizakati. Dalam keadaan demikian yang wajib dibayar adalah hitungan yang diyakini telah memenuhi atau bahkan melampaui kewajiban zakat yang harus dikeluarkannya, sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada sesuatu yang diyakininya).

Dengan demikian jika seseorang memperhitungkan bahwa ketika ia membayar seluruh zakat dari harta bendanya di masa lalu senilai 20 juta (dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan membayar zakat dengan uang, seperti dalam mazhab hanafi) dan nominal tersebut sudah diperhitungkan secara matematis sesuai ketentuan zakat dan diyakini secara mantap dalam hatinya bahwa nominal tersebut telah sesuai atau bahkan melampaui kewajiban zakatnya di masa lalu, maka pengeluaran nominal tersebut dianggap mencukupi sebagai wujud  qadha zakatnya di masa lalu.

Berbeda halnya ketika hitungan tersebut masih menyisakan keraguan dalam hatinya, maka ia harus menambahkan kembali nominal uang yang harus dikeluarkan sebagai zakatnya di masa lalu, sampai ia meyakini bahwa nominal uang yang dikeluarkan telah mencukupi kewajiban zakatnya di masa lalu.

Penjelasan tentang hal ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:

قاعدة   من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم يفعله  ويدخل فيها قاعدة أخرى من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن اللهم إلا أن تشتغل الذمة بالأصل فلا تبرأ إلا بيقين وهذا الاستثناء راجع إلى قاعدة ثالثة ذكرها الشافعي رضي الله عنه وهي أن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين –إلى أن قال

 “Terdapat kaedah bahwa barang siapa yang ragu apakah telah melakukan seseuatu atau belum maka hukum asalnya dia belum melakukan sesuatu tersebut. Termasuk dalam kategori kaidah ini, kaidah yang lain yaitu barang siapa telah yakin melakukan sesuatu dan ia ragu dalam banyak sedikitnya, maka diarahkan pada sesuatu yang sedikit karena hitungan sedikitlah yang diyakini. Kecuali dalam permasalahan ini, sebuah tanggungan bersinggungan dengan konsep hukum asal, maka tanggungan tersebut tidak menjadi terbebas kecuali dengan keyakinan. Pengecualian ini merujuk pada kaidah yang ketiga yang disebutkan oleh Imam As-Syafi’i yaitu sesuatu yang tetap atas dasar keyakinan, maka tidak akan menjadi hilang kecuali dengan keyakinan pula.”

ومنها عليه دين وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإمام إلا أن تشتغل ذمته بالأصل فلا يبرأ إلا مما تيقن أداءه كما لو نسي صلاة من الخمس تلزمه الخمس ولو كان عليه زكاة بقرة وشاة وأخرج أحدهما وشك فيه وجبا قاله ابن عبدالسلام قياسا على الصلاة وصرح به القفال في فتاويه فقال لو كانت له أموال من الإبل والبقر والغنم وشك في أن عليه كلها أو بعضها لزمه زكاة الكل لأن الأصل بقاء زكاته.

“Sebagian dari cabang permasalahan kaidah ini adalah ketika seseorang memiliki tanggungan dan ia ragu dalam kadar tanggungan itu maka wajib baginya untuk membayar kadar tanggungan yang diyakininya, seperti halnya ketentuan hukum yang telah dipastikan oleh Imam Haramain. Kecuali ketika tanggugan tersebut bersinggungan dengan hukum asal maka tidak akan terbebas kecuali dengan melakukan sesuatu yang diyakini akan membebaskan tanggungannya, seperti halnya ketika seseorang lupa melakukan salah satu shalat dari kelima shalat fardhu, maka wajib baginya untuk melaksanakan kelima shalat tersebut.

Permasalahan lain ketika seseorang memiliki tanggungan zakat sapi dan kambing, lalu ia membayar zakat salah satu dari keduanya dan ia ragu hewan mana yang belum dizakati, maka wajib baginya membayar zakat untuk keduanya. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh imam Ibnu Abdis Salam dengan menganalogikan permasalahan tersebut pada permasalahan shalat. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Qaffal dalam himpunan fatwanya. Lalu ia berkata, ‘Jika seseorang memiliki harta benda berupa onta, sapi, dan kambing dan ia ragu apakah zakat yang wajib baginya adalah seluruh jenis hewan tersebut atau hanya sebagian saja, maka wajib baginya untuk menzakati keseluruhan jenis hewan, sebab hukum asal dalam permasalahan ini adalah tetapnya zakat keseluruhannya,” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 55).

Sedangkan yang dimaksud dengan yakin dalam permasalahan ini adalah ketika terdapat dugaan kuat bahwa harta benda yang dikeluarkan atas nama zakat tidak kurang dari kewajiban yang harus dikeluarkannya seperti penjelasan dalam Kitab Hasyiyatul Jamal:

والظاهر أن المراد باليقين ما يغلب على الظن أن الواجب لا ينقص عنه وإن تصرف المالك فيما زاد على ما يغلب على ظنه أنه الواجب صحيح لأن الأصل عدم الوجوب ا ه

“Hal yang jelas bahwa sunguh yang dimaksud dengan yakin adalah sesuatu yang di duga kuat bahwa perkara yang wajib tidak kurang dari hitungan tersebut. penasarufan (pembayaran zakat) lebih dari hitungan yang diduga kuat oleh pemilik harta sebagai hal yang wajib tetap dianggap benar karena hukum asalnya adalah tidak wajib,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz IV, halaman 155).

Demikian penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa qadha zakat yang tidak dibayar di masa lalu adalah perkara wajib. Sedangkan  harta benda yang dikeluarkan adalah harta benda yang diyakini tidak kurang dari kewajiban zakat yang harus dikeluarkan. Wallahu a’lam. (Artikel: nu.or.id)

================================
Penulis: Ustadz Ali Zainal Abidin; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com



Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th