Zakat
adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat
Islam. Salah satu hikmah di balik kewajiban zakat yang dibebankan pada umat
Islam adalah karena dalam pelaksanaan zakat terkandung wujud penyucian terhadap
pribadi seseorang dan pada harta yang dimiliki olehnya. Hal ini seperti yang
terdapat dalam Al-Qur’an:
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sungguh doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui,” (QS Surat At-Taubah ayat
103). Kewajiban zakat meliputi beberapa jenis harta benda tertentu yaitu emas
perak, hewan ternak, makanan pokok, harta dagangan, buah-buahan yang kesemuanya
terdiri atas komponen-komponen yang termasuk dari kategori jenis harta benda
tersebut. Penjelasan dan perincian tentang kategori benda zakat dan kapan zakat
menjadi wajib pada benda-benda diatas, dijelaskan secara panjang lebar dalam
kitab-kitab fiqih klasik.
Namun
ironisnya tidak jarang orang-orang yang masih tidak mengetahui tentang
kewajiban zakat yang harus dibayar oleh mereka, ada yang baru mengerti bahwa
benda yang dimilikinya wajib untuk dizakati setelah mendapatkan pengertian
langsung dari tokoh masyarakat atau orang lain tentang kewajiban zakat harta
yang dimilikinya. Seperti seseorang yang memiliki lahan sawah yang luas, sawah
tersebut ditanami olehnya berbagai makanan pokok seperti padi dan jagung. Ia
tidak mengerti bahwa padi dan jagung adalah salah satu harta benda yang wajib
dizakati. Karena tidak mengerti setiap kali panen tiba, ia tidak mengeluarkan
apapun dari hasil panennya. Hal demikian dijalaninya selama bertahun-tahun. Namun
seiring berjalannya waktu, ia baru mengetahui bahwa padi dan jagung adalah
harta benda yang wajib dizakati setelah diberi tahu oleh orang lain yang
dianggapnya alim dalam bidang agama.
Sejak
saat itu, ia pun tidak lupa untuk selalu membayar zakat pada setiap panenan
sawahnya. Namun, wajibkah baginya untuk mengqadha membayar zakat atas hasil
panen yang sejak dulu belum ia bayar? Dalam hal ini, IA TETAP WAJIB UNTUK
MENGQADHA MEMBAYAR ZAKAT yaitu hasil panen yang telah lampau. Sehingga ia
dianggap memiliki tanggungan kewajiban membayar zakat atas hasil panennya,
meski ia tidak dikenai dosa karena ketidak tahuannya atas kewajiban zakat atas
hasil panen padi dan jagungnya. Sebab ketidaktahuan (jahl) pada suatu hal yang
diperintahkan oleh syara’ (seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain) menuntut
untuk wajibnya melaksanakan perintah-perintah yang tidak dilakukannya di masa
lalu seperti penjelasan Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:
اعلم ان قاعدة
الفقه أن النسيان والجهل مسقط للإثم مطلقا وأما الحكم فإن وقعا في ترك مأمور لم
يسقط بل يجب تداركه ولا يحصل الثواب لمترتب عليه لعدم الائتمار –إلى أن قال- فهذه
أقسام فمن فروع القسم الأول من نسي صلاة أو صوما أو حجا أو زكاة أو كفارة أو نذرا
وجب تداركه بالقضاء بلا خلاف.
“Ketahuilah
bahwa terdapat kaedah fiqih yang menjelaskan sungguh sifat lupa dan tidak tahu
(terhadap suatu hukum) dapat menggugurkan dosa secara mutlak. Sedangkan
perincian hukumnya, jika keduanya (lupa dan tidak tahu) terjadi pada perihal
meninggalkan perkara yang diperintahkan maka perintah tersebut tidak menjadi
gugur, bahkan wajib untuk melaksanakannya dan tidak mendapatkan pahala (atas
pelaksanaan perintah tersebut) bagi orang yang sengaja untuk menyebabkan
dirinya lupa atau tidak tahu sebab ia dianggap tidak memperhatikan perintah
tersebut. Permasalahan ini terdapat beberapa pembagian, di antara permasalahan
yang termasuk dalam kategori pertama yaitu seseorang yang lupa tidak melakukan
shalat, puasa, haji, zakat, denda kafarah atau nadzar maka wajib untuk
melaksanakan hal tersebut dengan mengqadla’inya dengan tanpa adanya perbedaan
para ulama,’”
(Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman
188).
Qadha
zakat ini tetap wajib bagi seseorang yang tidak melaksanakan zakat di masa
lalu, meskipun harta bendanya telah habis atau tidak mencukupi untuk mengqadha
zakatnya. Sebab kewajiban zakat yang telah dibebankan pada seseorang
tidak lantas menjadi hilang dan gugur hanya karena harta yang dimilikinya habis
atau tidak mencukupi. Namun ia wajib untuk segera membayar zakatnya di masa
lalu, ketika hartanya sudah mencukupi untuk membayar zakat-zakatnya di masa
lalu tersebut.
Kewajiban
di atas juga berlaku bagi orang yang tidak membayar zakat, meski sebenarnya ia
telah mengetahui tentang kewajiban zakat pada harta bendanya, namun ia masih
enggan untuk membayar zakat atas hartanya karena belum mendapat hidayah untuk
melaksanakan zakat seperti karena rasa pelit yang dimilikinya sehingga ia
enggan membayar zakat. Ketika umurnya mulai beranjak tua dan hartanya semakin
melimpah, ia mulai menyesali kekhilafan yang dilakukan olehnya di masa lalu. Ia
bertekad mulai saat itu juga akan membayar zakat.
Maka
dalam hal ini, ia WAJIB UNTUK MEGQADHA MEMBAYAR ZAKAT MEMBACA PAHALAwajib untuk
mengqadha’ membayar zakatnya di masa lalu dan ia mendapatkan dosa karena
kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban membayar zakat yang wajib baginya,
padahal ia telah mengetahui kewajiban tersebut. Lalu berapa nominal zakat yang
harus dibayar olehnya? Terlebih ketika ia sudah tidak mengetahui hitungan yang
wajib untuk dikeluarkan karena masa yang terpaut begitu lama?
Zakat
di masa lalu karena faktor ketidaktahuan (jahl) adalah sebuah kewajiban.
Pada kesempatan ini hal yang dibahas adalah tentang nominal yang harus dibayar
sebagai zakat atas kewajiban zakat di masa lampau. Dalam membahas tentang hal
ini terdapat dua perincian. Pertama, ketika seseorang mengetahui secara
pasti atau mencatat seluruh penghasilan harta benda yang wajib di zakati di
masa lalu. Dalam keadaan demikian hal yang wajib dizakatinya adalah persentase
yang wajib dikeluarkan atas nama zakat dibandingkan dengan jumlah penghasilan
harta benda yang dimilikinya. Kedua, ketika seseorang tidak mengetahui
secara pasti harta benda yang telah dimilikinya di masa lalu yang wajib untuk
dizakati. Dalam keadaan demikian yang wajib dibayar adalah hitungan yang
diyakini telah memenuhi atau bahkan melampaui kewajiban zakat yang harus
dikeluarkannya, sesuai dengan kaedah al-akhdzu bil mutayaqqan (berpijak pada
sesuatu yang diyakininya).
Dengan
demikian jika seseorang memperhitungkan bahwa ketika ia membayar seluruh zakat
dari harta bendanya di masa lalu senilai 20 juta (dengan berpijak pada ulama
yang memperbolehkan membayar zakat dengan uang, seperti dalam mazhab hanafi)
dan nominal tersebut sudah diperhitungkan secara matematis sesuai ketentuan
zakat dan diyakini secara mantap dalam hatinya bahwa nominal tersebut telah
sesuai atau bahkan melampaui kewajiban zakatnya di masa lalu, maka pengeluaran
nominal tersebut dianggap mencukupi sebagai wujud qadha zakatnya di masa lalu.
Berbeda
halnya ketika hitungan tersebut masih menyisakan keraguan dalam hatinya, maka
ia harus menambahkan kembali nominal uang yang harus dikeluarkan sebagai
zakatnya di masa lalu, sampai ia meyakini bahwa nominal uang yang dikeluarkan
telah mencukupi kewajiban zakatnya di masa lalu.
Penjelasan
tentang hal ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Al-Asybah
wan Nazha’ir:
قاعدة
من شك هل فعل شيئا أو لا فالأصل أنه لم يفعله ويدخل فيها قاعدة أخرى
من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه المتيقن اللهم إلا أن
تشتغل الذمة بالأصل فلا تبرأ إلا بيقين وهذا الاستثناء راجع إلى قاعدة ثالثة ذكرها
الشافعي رضي الله عنه وهي أن ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين –إلى أن قال-
“Terdapat kaedah bahwa barang siapa yang ragu
apakah telah melakukan seseuatu atau belum maka hukum asalnya dia belum
melakukan sesuatu tersebut. Termasuk dalam kategori kaidah ini, kaidah yang
lain yaitu barang siapa telah yakin melakukan sesuatu dan ia ragu dalam banyak
sedikitnya, maka diarahkan pada sesuatu yang sedikit karena hitungan sedikitlah
yang diyakini. Kecuali dalam permasalahan ini, sebuah tanggungan bersinggungan
dengan konsep hukum asal, maka tanggungan tersebut tidak menjadi terbebas
kecuali dengan keyakinan. Pengecualian ini merujuk pada kaidah yang ketiga yang
disebutkan oleh Imam As-Syafi’i yaitu sesuatu yang tetap atas dasar keyakinan,
maka tidak akan menjadi hilang kecuali dengan keyakinan pula.”
ومنها عليه دين
وشك في قدره لزمه إخراج القدر المتيقن كما قطع به الإمام إلا أن تشتغل ذمته بالأصل
فلا يبرأ إلا مما تيقن أداءه كما لو نسي صلاة من الخمس تلزمه الخمس ولو كان عليه
زكاة بقرة وشاة وأخرج أحدهما وشك فيه وجبا قاله ابن عبدالسلام قياسا على الصلاة
وصرح به القفال في فتاويه فقال لو كانت له أموال من الإبل والبقر والغنم وشك في أن
عليه كلها أو بعضها لزمه زكاة الكل لأن الأصل بقاء زكاته.
“Sebagian
dari cabang permasalahan kaidah ini adalah ketika seseorang memiliki tanggungan
dan ia ragu dalam kadar tanggungan itu maka wajib baginya untuk membayar kadar
tanggungan yang diyakininya, seperti halnya ketentuan hukum yang telah dipastikan
oleh Imam Haramain. Kecuali ketika tanggugan tersebut bersinggungan dengan
hukum asal maka tidak akan terbebas kecuali dengan melakukan sesuatu yang
diyakini akan membebaskan tanggungannya, seperti halnya ketika seseorang lupa
melakukan salah satu shalat dari kelima shalat fardhu, maka wajib baginya untuk
melaksanakan kelima shalat tersebut.
Permasalahan
lain ketika seseorang memiliki tanggungan zakat sapi dan kambing, lalu ia
membayar zakat salah satu dari keduanya dan ia ragu hewan mana yang belum dizakati,
maka wajib baginya membayar zakat untuk keduanya. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh imam Ibnu Abdis Salam dengan menganalogikan permasalahan
tersebut pada permasalahan shalat. Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Qaffal
dalam himpunan fatwanya. Lalu ia berkata, ‘Jika seseorang memiliki harta
benda berupa onta, sapi, dan kambing dan ia ragu apakah zakat yang wajib
baginya adalah seluruh jenis hewan tersebut atau hanya sebagian saja, maka
wajib baginya untuk menzakati keseluruhan jenis hewan, sebab hukum asal dalam
permasalahan ini adalah tetapnya zakat keseluruhannya,” (Lihat Syekh
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 55).
Sedangkan
yang dimaksud dengan yakin dalam permasalahan ini adalah ketika terdapat dugaan
kuat bahwa harta benda yang dikeluarkan atas nama zakat tidak kurang dari
kewajiban yang harus dikeluarkannya seperti penjelasan dalam Kitab Hasyiyatul
Jamal:
والظاهر أن
المراد باليقين ما يغلب على الظن أن الواجب لا ينقص عنه وإن تصرف المالك فيما زاد
على ما يغلب على ظنه أنه الواجب صحيح لأن الأصل عدم الوجوب ا ه
“Hal yang jelas bahwa
sunguh yang dimaksud dengan yakin adalah sesuatu yang di duga kuat bahwa
perkara yang wajib tidak kurang dari hitungan tersebut. penasarufan (pembayaran
zakat) lebih dari hitungan yang diduga kuat oleh pemilik harta sebagai hal yang
wajib tetap dianggap benar karena hukum asalnya adalah tidak wajib,” (Lihat Syekh Sulaiman
Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal alal Manhaj, juz IV, halaman 155).
Demikian
penjelasan tentang materi ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa qadha zakat
yang tidak dibayar di masa lalu adalah perkara wajib. Sedangkan harta
benda yang dikeluarkan adalah harta benda yang diyakini tidak kurang dari
kewajiban zakat yang harus dikeluarkan. Wallahu a’lam. (Artikel:
nu.or.id)
================================
Penulis:
Ustadz Ali Zainal Abidin; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA,
CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com