Yang dimaksud dengan zakat di sini bukanlah zakat fitrah yang
berhubungan dengan ibadah puasa Ramdhan. Tetapi zakat kekayaan (zakat mal)
yang wajib dibayarkan oleh setiap muslim yang memiliki jenis kekayaan tertentu
dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu pembahasan zakat
kekayaan ini tidak harus dibarengkan dengan pembahasan ibadah puasa, karena
kewajiban membayar dan menunaikannya tidak selalu pada bulan Ramadhan.
<>Namun demikian tidak ada salahnya bulan Ramadhan ini digunakan sebagai
ruang untuk mengingatkan kembali kewajiban zakat atas orang muslim berikut
fungsi dan hikmahnya.
Zakat adalah satu dari rukun Islam, selain syahadat, shalat,
puasa dan haji. Sebagaimana asal kata rukundari bahasa Arab ar-ruknu yang
bermakna sudut. Rukun atau sudut adalah ruang pertemuan antara satu sisi dengan
sisi lainnya, di dalam sudut ini terdapat rangka yang berfungsi sebagai perekat
sehingga satu bangunan bisa berdiri dengan kokoh. Demikian lah fungsi rukun
Islam yang empat, syahadat, puasa, haji dan zakat. Adapun shalat merupakan satu
tonggak kokoh di tengah yang menghubungkan keempat sudut tersebut, yang dalam
bahasa jawa disebut juga sebagai soko guru. Inilah yang dimaksud dengan kalimat As-sholatu
imaduddin. Bahwa shalat merupakan tiang utamanya agama Islam.
Ibarat sebuah bangunan yang memerlukan empat rangka yang
terletak di empat sudut dan satu soko guru, demikian pula
keberadaan agama Islam dengan kelima rukun Islamnya, yang mana zakat berlaku
sebagai salah satu sudutnya. Demikianlah pentingnya zakat dalam agama Islam
sehingga Allah swt mewajibkannya dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.
Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw.
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra.
Bahwasannya Rasulullah saw. mengutus Muadz ra. ke negeri Yaman
maka beliau berpesan “serulah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
wajib disembah selain Allah dan aku (Muhammad) adalah utusan Allah. Jika mereka
mentaatimu terhadap seruan itu, maka berilah pelajaran mereka, bahwa Allah
mewajibkan mereka untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam, jika
mereka mentaati seruanmu itu maka berilah pelajaran kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka untuk
orang-orng fakir.
Secara bahasa arti zakat adalah bertambah. Adapun secara syara’
adalah harta tertentu yang diambil untuk diberikan kepada golongan tertentu,
yaitu ashnaf tsamaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Kedelapan golongan tersebut telah diterangkan
dalam surat at-Taubah ayat 60:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Adapun keterangan tentang kedelapan golongan itu adalah sebagai
berikut.
- Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
- Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam keadaan kekurangan.
- Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk
mengumpulkan dan membagikan zakat.
- Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
- Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan
muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
- Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang
yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
- Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
- Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Demikianlah menjadi sangat mafhum jika zakat menjadi salah satu
hal tepenting yang menyokong keberadaan agama Islam. Karena zakat menjadi salah
satu sistem distribusi ekonomi yang berfungsi meratakan dan menumbuhkan
perekonomian umat. Pada sisi lain zakat merupakan proses penyucian diri dari
segala harta yang kotor yang merupakan hak orang lain. Apabila kotoran tersebut
tidak segera dikeluarkan, niscaya akan merusak harta kekayaan yang ada.
Sehingga kekayaan yang ada menjadi tidak berkah. Inilah salah satu hikmah
diwajibkannya zakat bagi orang muslim.
Oleh karena itu, tidak tepat jika seseorang yang membayar zakat
dianggap sebagai dermawan, karena zakat itu merupakan kewajiban. Bahkan dengan
posisi demikian zakat lebih pantas dikatakan sebagai batas kekikiran seseorang,
artinya seseorang itu telah terlepas dari status kikir bila telah menunaikan
zakat, tetapi belum sampai pada taraf dermawan. Karena dia baru membayar apa
yang diwajibkan saja.
Adapun syarat wajibnya zakat yang harus dipenuhi oleh mereka
yang terkena hukum wajib membayar zakat adalah, 1) orang Islam, 2) orang
merdeka, 3) milik sempurna, 4) sampai satu nisab, 5) sampai haul (satu tahun). Demikian
sedikit keterangan untuk mengingatkan kembali kewajiban zakat kepada umat
mslim.
Uang Simpanan, Apakah juga kena Zakat
Banyak yang menanyakan seputar zakat uang. Beberapa dari penanya
ingin diberitahu tentang apakah uang simpanan mereka termasuk yang wajib
dikenai zakat apa tidak.
Pertama yang harus kita perhatikan adalah bahwa kewajiban zakāt
māl adalah berlaku pada harta yang tersimpan (kanzun) yang terdiri atas
emas dan perak. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah QS at-Taubah ayat 34:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian ia tidak menafkahkannya di
jalan Allah (mengeluarkan zakatnya), maka berilah kabar gembira terhadap mereka
akan azab yang teramat pedih.” Kita bicara tentang emas dan perak. Ada dua
jenis emas dan perak yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu pertama berupa
emas murni yang biasanya berwujud emas batangan, dan kedua berupa emas yang
dicetak. Untuk emas yang dicetak umumnya disebut sebagai huliyyin mubāh,
yaitu perhiasan mubah. Ada kalanya emas yang ada dalam bentuk cetak ini berupa
kalung, cincin, atau berupa mata uang seperti dinar dan dirham.
Nishab dari huliyyin mubah ini adalah 20
mitsqāl, setara dengan 20 dinar, atau kurang lebih 425 gram. Sementara nishab
emas murni adalah setara 85 gram. Masing-masing dari emas murni dan emas yang
dicetak ini wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (rub’u al-‘ushr). Untuk
nishab perak dalam bentuk huliyyin mubah, adalah sama dengan 200
dirham atau setara dengan kadar 2.975 gram. Adapun bila dalam bentuk perak
murni (batangan), maka nishabnya setara dengan ukuran timbangan 595 gram. Zakat
yang wajib dikeluarkan dari perak ini juga sama yaitu 2,5%-nya. Catatan yang
perlu diperhatikan dari keberadaan zakat emas dan perak tadi adalah bahwa
keduanya telah disimpan (kanzun) selama kurang lebih 1 tahun, baik dalam
bentuk batangan murni atau dalam bentuk cetak (Lihat KH. Afifuddin Muhadjir, Fathu
al-Mudjīb al-Qarīb fi hilli Alfādhi al-Taqrīb, Situbondo: Ibrahimy Press,
2014, hal. 48).
Lantas apa hubungannya keberadaan emas dan perak ini dengan
uang? Jawabnya adalah hubungannya sangat erat. Mengapa? Karena sejarah mata
uang di dunia ini erat hubungannya dengan emas dan perak. Bahkan dalam
kitab-kitab fiqih klasik pun juga disebutkan adanya relasi antara mata uang
dengan emas dan perak. Bahkan dalam Keputusan Muktamar ke-8 Nahdlatul Ulama di
Jakarta, tanggal 12 Muharram 1352 H./ 7 Mei 1933 M juga MENYAMAKAN KEDUDUKAN
UANG SAMA DENGAN EMAS DAN PERAK. Namun menilik dari tahun dihasilkannya
keputusan, keputusan ini tidak bisa disalahkan karena memang pada tahun itu
kedudukan uang masih memiliki simpanan berupa cadangan emas yang terletak di
Bank Indonesia.
Pasca dihasilkannya keputusan Muktamar NU yang ke-8 ini berlaku
hukum bahwa setiap uang yang disimpan oleh masyarakat, adalah bernilai cadangan
emas dan perak. Karena ia bernilai cadangan emas, maka bila uang tersebut
disimpan selama satu tahun, baik disimpan sendiri atau disimpan di bank, dengan
catatan yaitu asal tidak dipergunakan sama sekali, maka dari uang ini berlaku
nishab zakat.
Nishab ini ditentukan kadarnya berdasar nishab emas dan perak
murni. Bila dalam 1 gram emas murni bernilai 500 ribu (misalnya), maka harga 85
gram emas adalah setara dengan Rp42.500.000. Dengan demikian, zakat yang wajib
dikeluarkan adalah menjadi sebesar 2,5%-nya sehingga bernilai Rp1.062.000. Arti
lain dari hal ini adalah, setiap masyarakat yang memiliki uang simpanan sebesar
Rp. 42.500.000 adalah sudah setara dengan memiliki 85 gram emas sehingga wajib
dikeluarkan zakatnya.
Keberadaan uang ini adalah baik yang disimpan sendiri maupun
yang disimpan dalam unit niaga seperti perbankan dan lembaga/tempat penyimpanan
lainnya. Akan tetapi, keputusan ini adalah berlaku ketika mata uang masih
memiliki simpanan cadangan emas di bank, yaitu tepatnya era sebelum tahun
1970-an. Lantas bagaimana dengan uang dewasa ini?
Seiring dengan perkembangan zaman, kedudukan mata uang telah
berubah. Negara sekarang memakai jenis mata uang fiat yang mana nilainya tidak
ditentukan berdasarkan cadangan emas yang tersimpan, melainkan ia ditentukan
berdasarkan hasil neraca perdagangan. Makna uang sudah bergeser menjadi makna
niaga karena setiap satuan mata uang ditentukan nilainya dari hasil perniagaan.
Syarat dari niaga (tijarah) adalah perputaran mata uang di unit niaga
dan adanya ‘urudlu al-tijarah (modal niaga). Oleh karena itu,
untuk mata uang yang tidak berada dalam satuan unit niaga ini, maka uang
tersebut tidak bisa disebut mengalami perputaran. Lantas, dimanakah letak unit
niaganya?
Suatu misal, ada orang yang menyimpan uang secara konvensional
yaitu menyimpan uang secara klasik di rumah. Selama satu tahun uang tersebut
tidak dipakai untuk suatu jenis usaha tertentu, maka secara tidak langsung uang
masyarakat seperti ini disebut tidak mengalami perputaran. Karena tidak
mengalami perputaran, maka tidak ada yang disebut 'urudlu
al-tijarah (modal niaga). Padahal, keberadaan 'urudlu
al-tijarah inilah yang menjadi dasar utama ditetapkannya zakat,
yakni zakat tijarah (zakat niaga).
Berbeda halnya bila uang masyarakat disimpan di bank.
Sebagaimana yang dahulu juga kita bahas bahwa pada dasarnya uang yang disimpan
di bank dalam bentuk deposito dan reksadana adalah diawali dengan akad serah
terima modal antara nasabah dengan perbankan sebagai wakil nasabah untuk
menyalurkan ke unit niaga yang aman bagi dana nasabah. Oleh karena itu, uang
yang dititipkan ke bank oleh nasabah bisa disebut sebagai urudlu
al-tijarah, karena ada unsur serah terima modal tersebut. Karena adanya
unsur serah terima modal, maka berlaku pula hukum zakat niaga sebesar 2,5%
bilamana uang tersebut telah mencapai haul (satu tahun).
Sebagai ilustrasi misalnya Pak Ahmad mendepositokan uangnya
sebesar 10 juta rupiah pada 5 Syawal 1438 H. Pada saat kalender sudah menunjuk
5 Syawal 1439 H, ternyata uang Pak Ahmad telah mencapai 12 juta rupiah.
Berapakah zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Ahmad? Jawabnya adalah dengan
mendasarkan pada hitungan urudlu al-tijarah sebesar 10 juta
maka dihitung bahwa besarnya zakat Pak Ahmad adalah sebesar 250 ribu rupiah.
Hal ini tentu tidak berlaku bilamana Pak Ahmad menyimpan uang tersebut di rumah
sendiri, karena uang sebesar 10 juta tidak mengalami perputaran dalam unit
niaga.
Semoga uraian singkat ini bisa menghapus silang sengkarut soal
apakah uang simpanan dan tabungan wajib dikeluarkan zakatnya apa tidak. Sebagai
garis besar jawabnya adalah apakah uang tersebut dipergunakan dalam unit niaga
atau tidak. Bila dipergunakan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, dan bila tidak
digunakan dan hanya disimpan sendiri, maka tidak wajib dikeluarkan. Wallahu
a’lam bi al-shawab. (Artikel nu.or.id)
Penulis: Muhammad Syamsuddin. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com