Skip to main content

Implementasi Konsep Zakat dalam Al- Qur’an Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan


Implementasi Konsep Zakat dalam Al- Qur’an Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan


Oleh: Junaidi Safitri
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF

Abstract
This study aims to explain the concrete steps in an effort to convey their zakat potential in Indonesia is predominantly Muslim, in this case, the charity is directed on how to create harmony between the rich and the poor through the analysis of the zakat institutions that exist, with the noble purpose, namely to reduce poverty, So the zakat teachings in the Qur'an can be realized as a path that creates the harmony of human life, both physically and mentally. This study uses qualitative descriptive method by researching library materials (library research). The results of these empirically show that the First, Zakat in the Qur’an has a positive correlation to economic growth, due to its nature as a distribution of income that can improve the function of consumption and production are balanced. Second, the potential of zakat in Indonesia macro can be optimized through the government’s role as regulator and supervisor in the management of zakat in Indonesia. And Third, the concept of zakat as described above have an opportunity as a source of state revenue that is allocated specifically for the alleviation of poverty, meaning that the source of state revenue derived from zakat should be given to the mustahiq both consumptive and productive.

Keyword : Al-Qur’an, Zakat, distribution

A.     Pendahuluan

Islam adalah agama yang indah dan sempurna. Syariatnya meliputi semua aspek kehidupan manusia. Mulai dari sisi sosial, ekonomi, budaya, hukum bahkan politik terangkum dalam ajaran Islam. Hal itu disebabakan akarena syariat itu sendiri di ambil dari 2 sumber murni yang tidak pernah berubah oleh zaman yaitu Al-Qur'an dan Hadist.

Al-Qur’an adalah kitab yang menjadi pedoman umat islam, ia adalah panduan bagi kaum muslimin dalam mensyukuri nikmat hidup yang Allah diberikan kepadanya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Ia juga memberi perhatian secara seimbang terhadap unsur materi dan unsur ruh. Artinya kedua unsur tersebut dalam daur kehidupan manusia, berhak memperoleh peran yang sama, tanpa ada salah satu unsur yang melebihi dan mengurangi peran unsur lain. Inilah salah satu bagian dari istimewanya ajaran Islam yang tertera dalam al-Quran yaitu; keselarasan dengan fitrah manusia.

Salah satunya masalah kehidupan sosial yang selalu terulang, dan sering kita temui dan alami yaitu masalah ekonomi. Diakhir tahun 2008 Indonesia kembali tertimpa krisis, akar masalahnya adalah kredit perumahan yang macet di Amerika yang dikenal dengan Subrime Mortgage. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh sifat serakah manusia yang didalam ekonomi kapitalis disebut sebagai mahluk rasional, dimana kuantitas modal menjadi faktor utama seseorang mencapai kesejahteraan. Logika tersebut menyebabkan munculnya, target pencapaian suatu bisnis tanpa memperhatikan standar prudential dalam penyaluran kredit, yang semakin dilengkapi dengan pemanfaatan instrumen derivatif pasar modal yang beresiko tinggi dan jelas-jelas akan membuat bubble economy yang mengancam stabilitas perekonomian. Semua hal diatas disebabkan keserakahan manusia dan sifat individualistik mereka dalam mengumpulkan harta, sehingga menyebabkan ketidak stabilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Bukan hanya pada kasus ini saja, sejak dulu ekonomi bisa dijadikan alasan seseorang untuk berbuat kejahatan, yang miskin karena butuh makan ia rela mencuri, sedangkan yang kaya karena ambisi ingin menambah kekayaannnya rela melakukan praktek bisnis apa saja. Semua dilakukan dengan alasan ekonomi. Padahal Allah SWT telah mengingatkan bahwa keinginan manusia itu tak ada batasnya, jika sifat ingin menyejahterakan secara individual ini terus dipelihara, maka gesekan sosial adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.

Islam melalui kitab sucinya menjelaskan perlunya keselarasan dalam kehidupan, termasuk dalam hal ekonomi. Al-Quran menganjurkan kepada umat manusia yang mampu untuk megeluarkan zakat, sebagai rukun islam keempat yang akan melengkapi jati diri seorang muslim. Perintah zakat, disini disamping mengandung dimensi materi, juga menyimpan dimensi ruhi. Bila zakat diterapkan secara benar dan menyeluruh, ia memiliki peran sangat esensial dalam tarbiyah ruhiyah, yang selanjutnya akan merealisasi keadilan sosial dan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan pesat. Dalam al-Qur’an dikatakan “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu`min, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. 

Hal itu dikarenakan, Zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana ekonomi yaitu kemiskinan dan kelangkaan suatu barang. Sedangkan Lembaga zakat merupakan sarana distribusi kekayaan yang punya kewajiban kolektif terhadap perekonomian umat Islam. Konsep zakat disini punya hitung-hitungan sendiri dalam penyucian harta, agar yang kaya tak merasa terbebani dan yang miskin bisa mendapatkan sumber modal secara berkesinambungan. Dalam ekonomi Islam ia disebut sebagai alat pengentas kemiskinan dalam bentuk distribusi pendapatan.

Namun nyatanya angka kemiskinan di Indonesia mencapai 34.69 juta jiwa atau 15,42% dari total penduduk Indonesia, hal ini menunjukkan tujuan zakat belum terealisasi dengan baik sebagai sarana pengentasan kemiskinan umat yang sempurna. Ia masih dianggap sebatas simbol agama belaka karena pada nyatanya banyak ummat Islam yang mampu tetapi tidak tahu menahu tentang zakat. Bahkan sekedar mengetahui hukum zakat saja banyak orang yang tidak tahu bagaimana menyalurkan kewajiban zakatnya sehingga kesadaran untuk membayar zakat belum tumbuh dan berkembang.

Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang korelasi pesan al-Qur’an tentang zakat dengan fenomena ekonomi yang ada serta bagaimana potensi zakat tersebut dapat berperan aktif dalam pengentasan kemiskinan ummat yang selama ini menjadi penyakit utama negeri ini. Harapannya karya tulis ini mampu menarik kronologi konsep al-Qur’an tentang pengentasan kemiskinan yang tertuang dalam kewajiban zakat. Sehingga, implementasinya dapat memberi keselarasan dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia.

Zakat secara bahasa berarti bersih, tumbuh, barokah dan pujian. Sedangkan secara istilah adalah bagian tertentu dari harta yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada orangorang yang berhak, yaitu mustahiq yang terdiri dari 8 ashnaf.  Dalam Islam ia dikatakan sebagai alat penyeimbang kehidupan manusia, dengan harapan akan terjadi distribusi pendapatan yang adil yang dapat mengurangi kemiskinan. Dalam al-Qur’an dikatakan:“Sekali-kali kamu Tidak akan mendapatkan kemuliaan, sampai kamu menginfakkan apa-apa yang kamu cintai5 ”

Menurut Chapra (1985), zakat mempunyai dampak positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat tanpa mengurangi kekayaannya. Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Neal Robinson (2001), Guru Besar pada Universty of Leeds, yang mengatakan bahwa zakat mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya larangan riba, zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta namun malahan merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan.

Meski Indonesia bukan negara Islam yang secara formal memberlakukan syariah Islam, namun ada keterlibatan negara dalam batas tertentu untuk menfasilitasi atau mengakomodasi umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya. Dalam UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 29, dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Jaminan tersebut bukannya jaminan yang bersifat pasif, melainkan jaminan yang bersifat aktif, dimana negara berkewajiban menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk terlaksananya kewajiban beribadah menurut agama.

Untuk menfasilitasi kewajiban berzakat bagi umat Islam di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan undang-undang pengelolaan zakat (Undang-undang No 38 Tahun 1999) Undang undang menetapkan kewajiban pemerintah memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat. Pengelolaan yang dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Disamping itu, undang-undang juga memberi peluang kepada amil zakat swasta untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan zakat dengan syarat dan ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama. Undang-undang negara hanya mengatur lembaga pengelola zakat. Sedangkan hukum zakat tetapi mengikuti ketentuan syariah sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.

Dalam khasanah pemikiran hukum Islam, ada beragam pendapat seputar kewenangan pengelolaan zakat oleh negara. Ada yang berpendapat zakat baru boleh dikelola oleh negara yang berasaskan Islam, tapi ada juga yang berpendapat lain mengatakan pada prinsipnya zakat harus diserahkan kepada amil terlepas dari persoalan apakah amil itu ditunjuk oleh negara atau amil yang bekerja secara independen. Pendapat lainnya, pengumpulan zakat dapat dilakukan oleh badan-badan hukum swasta dibawah pengawasan pemerintah. Namun jika kita menggali sejarah zakat dan pajak. Pada zaman Rasullulah dan pemerintah Islam periode awal, pemerintah menangani secara langsung pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan mandat kekuasaan.

Menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara atau lembaga yang diberi mandat oleh negara dan atas nama pemerintah yang bertindak sebgai wakil fakir miskin. Untuk memperoleh haknya yang ada pada harta orang-orang kaya. Pengelolaan dibawah otoritas badan yang dibentuk oleh negara akan jauh lebih efektif pelaksanaan fungsi dan dampaknya dalam membangun kesejahteraan umat yang menjadi tujuan zakat itu sendiri, dibanding zakat dikumpulkan dan didistribusikan oleh lembaga yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi satu sama lain.

Diantara penelitian terkait dengan tema ini adalah penelitian yang berjudul Analisis potensi dan relaisasi zakat perdagangan di Pasar Klewer Surakarta yang ditulis Trian Rini Alisa. Penelitian ini berusaha mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat kesadaran berzakat muzakki serta berusaha untuk memperoleh informasi tentang kendala-kendala yang dihadapi dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh LAZ/BAZ dalam menggali potensi zakat perdagangan di Pasar Klewer.

Selain itu ada juga penelitian yang dilakukan oleh Eko Suprayitno, SE, M.Si yang berjudul “Pengaruh Zakat Terhadap Variabel Makro Ekonomi Indonesia”. Penelitian ini berusaha menggambarkan pengaruh zakat terhadap variabel makro ekonomi Indonesia yaitu Kemiskinan, pertumbuhan, dan investasi, dari sini dapat ditelaah kebijakan apa saja yang harus ditempuh untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dhuafa (miskin), ia juga sudah mengilustrasikan perbedaan fungsi antara pajak dan zakat walaupun sama-sama merupakan potongan dari pendapatan.

Dan yang penelitian yang masih hangat adalah yang ditulis oleh M. Syahrial Yusuf dengan judul ”Zakat Efektif Mengurangi Kemiskinan”, penelitian ini berusaha melihat potensi zakat yang ada khususnya di daerah Jakarta, apa kendalanya dan faktor apa saja yang dapat menumbuhkannya.10 Penelitian ini juga dapat dikatakan cukup berhasil dalam melihat peran zakat dalam pertumbuhan ekonomi serta langkah konkrit yang dapat diterapkan instansi yang berwenang, namun hal itu masih dalam skala mikro dan belum menyentuh pada sisi makro, terutama masalah hutang dan prinsip kemandirian bangsa.

Dari tinjauan diatas belum terlihat dengan jelas bagaimana penerapan fungsi zakat secara makro ekonomi melalui instrumen lembaga zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan, selain itu idealitas zakat seperti yang tercantum secara zhahir dalam al-Qur’an, belum sepenuhnya dipaparkan secara gamblang, sehingga tahapan implementasi potensi zakat dari yang ideal menjadi real (nyata) perlu dikaji lebih lanjut.

B. Pembahasan

1. Tinjauan Zakat dalam Al-Qur’an

Secara etimologis zakat berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata dasar (masdar) yang berarti tumbuh, berkah, bersih, suci dan baik11. Sedangkan secara terminologis, banyak ulama maupun para ahli menafsirkannya dengan redaksi yang berbedabeda. Namun penafsiran itu berujung pada satu kesimpulan bahwa zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah kepada pemiliknya untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula12.

Pada dasarnya al-Qur’an pada periode Makkah sudah menanamkan mental kewajiban berzakat dalam jiwa para sahabat Rasul. Ayat 38 surat Ar-Ruum memerintahkan untuk ”memberikan hak kepada kerabat yang terdekat, fakir miskin dan orang-orang yang ada dalam perjalanan.” begitu pula dengan ayat zakat yang lain yang masih memakai bentuk khabariyah (berita), menilai bahwa penunaian zakat merupakan sikap dasar bagi orang-orang mu’min dan menegaskan bahwa yang tidak menunaikan zakat adalah ciriciri orang yang musyrik dan kufur terhadap hari akhir. Oleh karena itulah para sahabat terpanggil untuk menunaikan zakat meskipun ayat-ayat yang turun di Makkah tidak bersifat amr (perintah). Sehingga zakat pada periode ini tidak ditentukan batasnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain yang juga beriman.

Kewajiban zakat baru terjadi pada periode Madinah. Hal itu tercantum pada ayat-ayat al-Qur’an yang turun dalam bentuk perintah dan instruksi yang jelas dan tegas. Seperti ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 43 ”Dirikanlah shalat dan bayarlah zakat”14, juga ayat-ayat lain yang menjelaskan jenis-jenis harta yang wajib dizakati, kadar, nisab dan haulnya. Dengan demikian dapat dikatakan zakat diwajibkan untuk ditunaikan pada tahun kedua Hijriah

Selain itu awal disyariatkannya zakat memang dengan tujuan mulia, bahwasanya Allah SWT tidak menginginkan adanya akumulasi harta ditangan seseorang, dalam firmannya, ”...agar harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”. Cara al-Qur’an dan hadist menyampaikan zakat juga dalam pemindahan sebagian harta dikalangan ummat Islam sendiri. Dengan kata lain zakat adalah suatu cara untuk mendistribusikan kekayaan agar tidak terjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dan sebaliknya makin mendekatkan keduanya pada kemaslahatan yang dibangun bersama

Sejalan dengan pandangan Islam diatas, jelas bahwa tujuan disyari’atkannya zakat bukan sekedar menunjukkan kepatuhan seorang hamba kepada Rabbnya tapi juga ada maksud dan tujuan lain secara lahiriah, yaitu tujuan kesejahteraan ekonomi bersama. Dari tujuan dan hikmah diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa zakat adalah konsep ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan hadist mengajarkan bahwa harta yang dimiliki seseorang adalah amanah Allah dan berfungsi sosial. Dengan demikian jelaslah bahwa secara langsung al-Qur’an dan hadist berperan serta terhadap pemecahan problem ekonomi ummat dengan mensyariatkan kewajiban zakat.


2. Tinjauan Ekonomi Terhadap Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan ekonomi klasik yang menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di penghujung tahun 2007, Bank Dunia melansir sebuah pernyataan mengejutkan; kemiskinan di Indonesia mencapai angka 49,5 %. Angka tersebut jauh di atas data yang diberitakan oleh Biro Pusat Statistik yang melaporkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 16,5 %, turun drastis dibanding awal 1998 ketika terjadi krisis ekonomi, dengan tingkat kemiskinan mencapai 24,2 %. Namun terlepas dari tarik ulur kebenaran data itu, yang jelas masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi.

Terbentuknya masyarakat miskin pada suatu negara tidak terjadi dengan sendirinya, tapi seringkali akibat dari kekeliruan dalam strategi pembangunan. Sementara perampasan daya kemampuan (capability deprivation) merupakan suatu kondisi yang cukup untuk menggambarkan kemiskinan di Indonesia. Dan strategi pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan hanya memberikan kesempatan pada sekelompok elite pengusaha atau orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan untuk dapat mengakses SDA (Sumber Daya Alam). Akibatnya masyarakat kehilangan daya kemampuan hampir di setiap aspek, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Salah satu indikasi kemakmuran suatu negara dicerminkan oleh kesejahteraan penduduknya. Jaminan kesejahteraan dan terbebas dari jerat kemiskinan secara adil bagi masyarakat merupakan tugas penting pemerintah. Adil disini bukan berarti semua masyarakat harus kaya, melainkan distribusi pendapatan harus benar-benar merata sampai kepada golongan paling bawah. Kekayaan tidak hanya dinikmati oleh pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan, yang pada akhirnya berimplikasi pada semakin banyaknya masyarakat miskin. Namun kekayaan itu harus didistribusikan secara merata melalui sebuah system. Dengan meratanya distribusi pendapatan maka jumlah kemiskinan akan semakin berkurang.

3. Kritik al-Qur’an Terhadap Kebijakan Ekonomi Pemerintah
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Attaubah: 34)21

Merujuk kepada ayat Al-Quran tersebut diatas, Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang (hoarding money) adalah seorang penjahat. Karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu.

Teori ini sedikit paradok bila dibandingkan dengan teori investasi dalam ekonomi konvensional. Dengan asumsi pertumbuhan yang diharapkan (bunga) sebesar 2.5% (sama dengan nilai kadar zakat), semakin lama idle money, jumlah uang yang kita miliki akan semakin meningkat bila dihitung melalui metode compound interest. Namun bila dihitung dengan menggunakan metode idle money dalam perspektif Islam, jumlah uang yang kita miliki akan semakin berkurang.  

Idle money dalam ajaran Islam memiliki hubungan negatif dengan angka tahun/haul. Semakin tinggi angka tahun, maka jumlah idle money akan berkurang dengan besaran pengurang 2.5%, sampai jumlah harta tersebut berada di bawah nishab. Sedangkan dalam teori compound interest, hubungan antara jumlah uang dengan angka tahun berbanding positif. Artinya semakin lama idle money berada di instrument yang menyediakan suku bunga, maka jumlah uang tersebut akan semakin bertambah.

Interpretasi dari konsep idle money dalam perspektif Islam adalah bentuk karohiyah al syar’u pada public goods (uang) yang tidak disalurkan berupa kebijakan syara’ terhadap pembebanan zakat setelah mencapai haul. Karena penimbunan uang ini berarti menarik uang dari peredaran untuk jangka waktu tertentu dan dapat menghambat cashflow (al Ghazali). Padahal menurut teori Fisher, semakin banyak velositas uang maka nilai dari uang tersebut akan semakin besar/kuat. Karena inti dari kekuatan suatu Negara bukan pada kepemilikan uang tapi produktivitas Negara tersebut dalam melakukan pertukaran barang dan jasa (Ibnu Khaldun).

Konsep ini dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi adalah instrument institusi keuangan, seperti industry perbankan dan pasar modal hendaknya memainkan perannya sebagai lembagai intermediasi antara para pemilik modal dan pelaku usaha di sektor riil. Karena esensi dari pertumbuhan ekonomi ini bukan pada pertumbuhan yang mencengangkan di sektor pasar derivatif, namun lebih kepada pertumbuhan pada sektor rill.

Berbeda dengan Indonesia, kebijakan pemerintah berkaitan dengan masalah ekonomi lebih banyak difokuskan dengan perencanaan-perencanaan seputar pengendalian inflasi dan pengendalian stabilitas sektor financial. Dan teori yang dipakai adalah teori makro konvensional yang banyak didengungdengunkan di kampus-kampus; jika terjadi inflasi, maka SBI harus dinaikkan agar uang banyak terserap ke lembaga keuangan sehingga harga akan mencapai equilibrium kembali, begitu juga sebaliknya. Kebijakan tersebut berbanding terbalik dengan teori mengurangi pengangguran. Artinya ketika pemerintah memfokuskan untuk mengendalikan inflasi, konsekwensinya pengangguran dijadikan sebagai masalah yang di trade off, begitu juga sebaliknya. Sehingga kedua masalah tersebut datang silih berganti, namun anehnya teori penggunaan instrument bunga tersebut masih terus dipakai.

Contoh yang paling nyata dan terbaru adalah kebijakan stimulus pemerintah dalam menghadapai krisis global diawal tahun 2009. Total stimulus fiskal pada APBN 2009 dalam rangka antisipasi dan penanganan dampak krisis global mencapai angka Rp71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari PDB (Product Domestic Bruto). Secara rinci stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sebagai solsuis krisis global adalh sebagi berikut:
1. Penghematan pembayaran pajak (tax saving) sebesar Rp43 triliun (0,8 % dari PDB).
2) Stimulus untuk subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPNDTP dan BMDTP) yaitu untuk eksplorasi migas dan migor sebesar Rp3,5 triliun (0,07 % PDB), BMDTP bahan baku dan barang modal Rp2,5 triliun (0,05 % dari PDB), PPh karyawan Rp6,5 triliun (0,12 % dari PDB), dan PPh panas bumi Rp0,8 triliun (0,02 % dari PDB).
3) Sedangkan subsidi dan belanja untuk dunia usaha dan pencipataan lapangan kerja, yang terdiri dari penurunan harga solar (subsidi solar) Rp2,8 triliun (0,05 %), diskon beban puncak listrik industri Rp1,4 triliun (0,03 %), tambahan belanja infrastruktur Rp10 triliun (0,2 %), dan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) sebesar Rp0,6 triliun (0,01 % dari PDB)

Dari data diatas dapat secara eksplisit terlihat optimalisasi stimulus lebih condong kearah penghematan pajak yang notabenenya adalah sumber pendapatan utama negara. Subsidi pajak berarti menyebabkan setoran pajak berkurang, artinya sumber dana APBN berkurang karena subsidi yang dilakukan oleh dana APBN sendiri, sedangkan yang kedua subsidi pada pajak perusahaan-perusahaan BUMN potensial memang akan menyebabkan volume perdagangan kembali stabil, namun ironisnya, tujuan subsidi ini adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan investor dipasar modal. Artinya tujuan utamanya disini adalah bagaimana menstabilkan sektor keuangan baik dipasar modal maupun pasar uang, tanpa melihat perbaikan yang lebih intern terhadap BUMN tersebut. Bandingkan dengan sektor riil yang hanya mendapat jatah Rp. 14,8 Trilliun dari total Rp.71,3 Trilliun stimulus yang diluncurkan, padahal dalam pembahasan diatas, kesejahteraan akan terjadi bila sektor riil dapat tumbuh dengan adil dan seimbang.

4. Analisis Potensi Zakat dalam Mengentaskan Kemiskinan
a. Potensi Zakat Dalam Ekonomi
Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit keadaan dan pro terhadap keadilan sosial, maka konsep zakat, terlebih dahulu memang harus dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice) seperti yang diungkapkan alQuran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Jadi perputaran cashflow lebih luas dan setiap pihak mempunyai kesempatan untuk ikut andil dalam aktifitas ekonomi. 

Dalam praktek ekonomi, salah satu faktor penggerak produksi dan konsumsi kini adalah modal. Modal dapat berasal dari pendapatan akan suatu aktifitas ekonomi, yang tentunya memiliki tingkat kuantitas dan return yang berbeda. Perbedaan proporsi pendapatan inilah yang menjadi masalah dalam penentuan tingkat harga dan indikator inflasi, penghitungan asumsi biasanya didapat berdasarkan perhitungan umum seperti JUB ( Jumlah Uang Beredar) yang menjadi faktor pengaruh inflasi, padahal hal tersebut lebih disebabkan oleh distribusi pendapatan yang tidak merata.

Disinilah peran zakat dalam hal distribusi pendapatan agar perhitungan harga tepat sasaran dan adil bagi semua pihak. Lawannya disini adalah riba. Hubungan zakat dan riba adalah: negatif, yaitu: Zakat↑ = RIba↓. Zakat menciptakan distribusi kekayaan sedangkan riba menciptakan konsentrasi kekayaan. Dalam kurva zakat justru dikatakan sebagai faktor pendukung pendapatan. Dengan demikian dana zakat, juga infaq & sadaqah, dapat menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang-orang yang benar-benar tidak dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia seorang yang menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang lain, dana tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer disamping sumber-sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan, dan materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi.

Dalam konteks makro dilihat dari sisi mustahiq hubungan zakat terhadap konsumsi berbanding positif. Orang miskin yang menerima zakat, konsumsinya akan semakin meningkat. Karena setelah ia menerima zakat, pendapatannya bertambah sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Peningkatan konsumsi ini secara agregat akan mendorong peningkatan kinerja perekonomian. Peningkatan kurva agregat demand melalui bertambahnya daya beli masyarakat (mustahiq) yang mendapatkan zakat, tentu saja akan berpengaruh pada kenaikan harga barang. Kenaikan harga ini berimplikasi pada terbukanya market yang lebih luas agar penjual baru dapat masuk ke dalam pasar sehingga penawaran akan meningkat. Siklus tersebut secara natural akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Islam sangat menjunjung tinggi hak individu atas kepemilikan terhadap sesuatu. Namun karena kepemilikan tersebut tidak dapat dilakukan oleh semua individu, maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi atau redistribusi dalam perekonomian. Pendekatan makro ekonomi dalam implikasi zakat dalam mendorong pemerataan distribusi pendapatan ini dapat dicerminkan dalam fungsi distribusi pendapatan dan konsumsi dari pendapatan rumah tangga seorang muslim.

Dari kurva di atas, dapat kita ketahui bahwa pola pengeluaran ideal seorang muslim adalah kombinasi antara kebutuhan konsumsi, zakat dan infak/shadaqah. Kombinasi pengeluaran seorang muslim ini setidaknya dapat mendorong distribusi pendapatan kepada mereka yang fungsi pengeluarannya hanya merupakan variable konsumsi saja. Dengan distribusi zakat, infak dan shadaqah yang baik, akan berpengaruh positif terhadap fungsi pengeluaran fuqoro’ masakin tanpa melalui pertukaran barang/jasa. Secara teoritis, standar kemaslahatan seorang muslim dari kepemilikan pendapatan (mencapai nisab) difungsikan sebagai berikut; Y = C + ZAKAT

b. Pengelolaan Zakat di Indonesia
Dari sisi regulasi sebenarnya Indonesia sudah cukup baik, dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 yang mengatur tentang pengelolaan zakat di Indonesia, walaupun minus tentang penjelasan detail terkait mustahiq yang menjadi objek zakat, namun yang lebih penting dari itu adalah belum adanya sumbangsih zakat pada keuangan negara dan alur prosesnya sebgai modal dalam mengentaskan kemiskinan, regulasi ini hanya berhenti bagaimana menyalurkan zakat dengan baik kepada para mustahiq, tanpa melihat apakah fungsi ini konsumtif atau produktif,31 adakah potensi zakat sebagai sumber pendanaan negara, sehingga dampak ekonomi yang diharapkan belum bisa sepenuhnya terealisasi dengan baik.

Selain itu, Indonesia sejak dulu sudah memiliki banyak lembaga swasta yang lebih dulu mengelola zakat, yang tergabung dalam Forum Zakat yang merupakan Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat seluruh Indonesia yang beranggotakan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat, ia sudah banyak menyerap tenaga kerja amil. Pemerintah tentunya tetap harus menghargai apa yang telah mereka lakukan.

Dalam rekomendasi amandemen UU zakat, Forum Zakat menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan aspek standarisasi pengelolan zakat khususnya dari sisi akuntansi dan pengawasan, ketimbang merombak ulang sistem mapan yang sudah diterapkan. Hal itu tentu senada dengan konsep pengaturan lembaga keuangan syari’ah seperti perbankan syari’ah, perbedaannnya disini adalah bila perbankan syari’ah berorientasi profit maka lembaga zakat memang terkhusus sebagai lembaga pengelolaan keuangan yang berorientasi sosial.

c. Fungsi Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan
Dalam wacana konvensional, akar masalah ekonomi adalah kelangkaan. Kelangkaan yang terjadi ketika ada sebuah kebutuhan, baik itu kebutuhan produksi maupun kebutuhan konsumsi. Berdasarkan teori mikro ekonomi 2 faktor diatas memiliki 2 sifat dan prinsip yang saling bertolak belakang, makanya hingga kini mayoritas ekonom di dunia percaya bahwa sistem ekonomi pasar adalah jawaban yang tepat dalam menjawab permasalahan diatas, karena ia akan mempertemukan kedua perbedaan tersebut dalam suatu titik yang disebut keseimbangan (equilibrium).

Namun perkembangan ilmu ekonomi membuat teori itu sedikit mengalami modifikasi, yaitu adanya intervensi pemerintah. Hal ini terjadi karena konsep pasar bebas menyisakan penyakit kronis yang datang secara bergantian yaitu inflasi disektor keuangan dan pengangguran disektor riil. Dan disinilah peran pemerintah sebagai ”dokter yang setia” menemani sistem ekonomi yang peyakitan seperti ini agar terus hidup dan berkembang,walaupun akan terus memilki efek samping yang hingga sekarang nyatanya belum akan berakhir yaitu kemiskinan.

Dalam ajaran islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadist, mempunyai tujuan yang rahmatan lil-’alamin artinya kemaslahatan untuk semua orang. Makanya disini islam memperhatikan satu faktor ekonomi yang hampir dilupakan ekonom-ekonom dunia yaitu faktor distribusi.32 Inilah yang ingin disampaikan al-Quran lewat perintah kewajiban dalam menunaikan zakat, zakat sebagai alat distribusi kesejahteraan, karena yang sejahteralah yang berkewajiban menunaikan zakat. Itupun dengan adanya persyaratan haul dan hitung-hitungan tertentu yang tidak memberatkan bagi muzakki dan sesuai dengan proporsi kebutuhan mustahiq.

Contoh pada Penerimaan zakat penghasilan dihitung secara proporsional, yaitu dalam persentase dan bukan ditentukan nilai nominalnya. Secara ekonomi makro, hal ini akan menciptakan built in stability. 33 Ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar dari penawaran agregat. Dalam keadaan stagnasi, misalnya permintaan agregat turun menjadi lebih kecil dari penawaran agregat, ia akan mendorong kearah stabilitas pendapatan dan total produksi. Sistem zakat perniagaan tidak akan mempengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Ini berbeda dengan sistem pajak pertambahan nilai (PPN) yang populer sekarang, PPN dihitung atas harga barang sehingga harga bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit.

Khusus untuk zakat ternak, Islam menerapkan sistem yang progressif untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang diproduksi makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Ia akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya progressif. Sistem progressif ini hanya berlaku untuk zakat ternak karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur dan buahbuahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan.

Inilah keindahan konsep kesejahteraan ala islam yang diajarkan lewat, al-Qur’an, disatu sisi ia memperhatikan kesejahteraan muzakki namun disisi lain ia juga memperhatikan kebutuhan mustahiq, inilah equilibrium kesejahteraan dalam islam, yaitu disaat kebutuhan mustahiq bertemu dengan kemampuan muzakki dalam titik yang disebut zakat. Seperti yang dipaparkan dalam pembahasan diatas kemiskinan itu diciptakan karena adanya kekeliuran dalam strategi pembangunan, maka tidak salah bila ada wacana positif yang menyatakan bahwa kesejahteraan itu juga dapat dicitkan melalui strategi yang tepat untuk diterapkan.

Ada banyak factor yang menyebabkan kemiskinan, mayoritas diantaranya karena factor ketidakberuntungan dan kurangnya pendidikan. Maka fungsi zakat disini dapat dilakukan dengan 2 tujuan, tujuan konsumtif untuk mereka yang sudah tidak mampu bekerja dan tujuan produktif untuk mereka yang masih mampu bekerja, karena sesungguhnya Allah SWT sangat menghargai hambaNya yang bekerja, dan melaknat hambaNya yang suka meminta-minta.

Selain itu dengan adanya lembaga zakat pemerintah dan swasta, maka hendaknya system pengelolaan zakat di Indonesia memiliki standar operasional yang jelas baik dari sisi penarikan dana dari muzakki hingga penyaluran kepada mustahiq, selain itu kemudahan akses informasi yang mudah dari pemerintah sangat diharapakan agar dana zakat benar-benar tersalurkan kepada yang membutuhkannya. Seperti halnya dalam system perbankan syariah, pengawasan terhadap aspek kesyariahannya harus terus diperhatikan namun dnegan orintasi yang bersifat social. Dengan harapan kedepannya indoensia bias keluar dari jurang kemiskinan.

B.      Simpulan
Berdasarkan analisis permasalahan diatas dihasilkanlah hasil penelitian yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pesan Zakat dalam al-Qur’an memiliki korelasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, karena sifatnya sebagai alat distribusi pendapatan yang mampu meningkatkan fungsi konsumsi dan produksi secara berimbang, tanpa membebani pihak muzakki sebab proporsi yang ditetapkan, disesuaikan dengan kebutuhan mustahiq.

Potensi zakat di Indonesia secara makro dapat dioptimalkan melalui peran pemerintah sebagai regulator dan supervisor dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Namun secara mikro tetapa harus membangun kesadaran berzakat dari diri sendiri, keluarga hingga melalaui tokoh masyarakat, karena potensi zakat yang dimilki Indonesia sangatlah besar mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka idealnya zakat dapat benar-benar menjadi instrument dalam mengentaskan kemiskinan.

Konsep zakat seperti yang dipaparkan diatas memiliki peluang sebagai sumber pendapatan negara yang dialokasikan secara khusus untuk pengentasan kemiskinan, artinya sumber pendapatan negara yang bersumber dari zakat harus di berikan kepada para mustahiq baik bersifat konsumtif maupun produktif tergantung kemampuan mustahiqnya.

Dalam pengelolaan zakat di Indonesia hendaknya diberikan standar operasional lembaga, terutama dalam hal akuntansi laporan keuangan dan pengawasan. Sebagaimana yang ada dalam perbankan syari’ah hanya orientasinya disesuaikan, yaitu orientasinya disini adalah kegiatan sosial. Hal ini berlaku baik untuk lembaga zakat bentukan pemerintah maupun bentukan masyarakat.

Adanya bantuan dari pemerintah dalam mensinergikan peran lembaga-lembaga zakat yang ada, baik dalam hal penyerapan dan dari muzakki hingga distribusi kepada para mustahiq, kemudahan informasi nasional juga diperlukan agar dana zakat yang terserap dapat teralokasikan dengan baik.

Adanya kerja sama 4 arah yakni antara lembaga zakat, ekonom, ulama’ dan pemerintah sendiri dalam hal mengkaji dan mensosialisasikan potensi zakat di indonesia ini, agar potensi tersebut dapat mencapai fungsi ekonomi yang sesuai dengan harapan yaitu mengentaskan kemiskinan. Perlunya pembelajaran dan pengkajian zakat bagi para pelajar dank aula muda, baik melalui lembaga formal disekolah ataupun even-even pemerintah yang informal diluar, dalam rangka menumbuhkan kesadaran zakat sedari dini.

Rujukan:
A. Karim, Ir. H. Adiwarman, 2007, Ekonomi mikro Islami, edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Jakarta.
A.Karim, Ir. H. Adiwarman, 2001, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. Penerbit Gema Insani, Jakarta.
Abu Daud, Anas Ismail, 2005, Ensiklopedia Dakwah (Daliilu Saailiin). Penerjemah Munirul Abidin dan Drs Fuad Efendi, Penerbit Al-Qayyim Malang.
Ali, Nuruddin Mhd, 2006, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal. PT Raja Grafindo, Jakarta.
Asnaini, 2008, Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Basyar, Ahmad Azhar ,2001, Falsafah Ibadah dalam Islam. UII Press, Yogyakarta
Gusfahmi, SE, MA, 2007, Pajak Menurut Syari’ah. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Hafidhuddin, Dr. Kh. Didin, 2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Penerbit Gema Insani, Jakarta.
M. Syahrial Yusuf, Zakat Efektif Mengurangi Kemiskinan. Kantor Berita ekonomi Syariah, Di publikasikan Rabu, 06 Mei  2009.
Mahmud, Dr. Abdul Hamid, 2006, Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syari’ah. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Majma’ Lughoh al-‘Arobiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, 1972, Daar el-Ma’arif, Mesir.
Muhammad, 2005, Zakat dan Kemiskinan, Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Ummat. UII Press Yogyakarta
Qaradhawi, Yusuf , 1999, Hukum Zakat. Mizan, Bandung

Suprayitno, SE., M.Si, Eko, 2004, “Pengaruh Zakat Terhadap Variabel Makro Ekonomi Indonesia”. Penelitian ini merupakan Thesis pada Program Pascasarjana Universitas Gadjahmada Yogyakarta.
Surakhmat, Winarno, 1994, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik. Bandung.

========================

* Junaidi Safitri, Univesitas Islam Indonesia (UII)
* Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF, Director of Baitul Mal Mina, NGOIndoCares, MTEC and Darul Quran Mina


Popular posts from this blog

Zakat di Masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in

ZAKAT DI MASA RASULULLAH, SAHABAT DAN TABI’IN Oleh: Saprida, MHI;  Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF Islam merupakan agama yang diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur berbagai persoalan dan urusan kehidupan dunia dan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Agama Islam dikenal sebagai agama yang kaffah (menyeluruh) karena setiap detail urusan manusia itu telah dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketika seseorang sudah beragama Islam (Muslim), maka kewajiban baginya adalah melengkapi syarat menjadi muslim atau yang dikenal dengan Rukun Islam. Rukun Islam terbagi menjadi lima bagian yaitu membaca syahadat, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, menjalankan puasa dan menunaikan haji bagi orang yang mampu. Zakat adalah salah satu ibadah pokok yang menjadi kewajiban bagi setiap individu (Mukallaf) yang memiliki harta untuk mengeluarkan harta tersebut sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam zakat itu sendiri. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah s

Akibat Menunda Membayar Zakat

Akibat Menunda Membayar Zakat Mal  Pertanyaan: - Jika ada orang yang tidak membayar zakat selama beberapa tahun, apa yang harus dilakukan? Jika sekarang dia ingin bertaubat, apakah zakatnya menjadi gugur? - Jika saya memiliki piutang di tempat orang lain, sudah ditagih beberapa kali tapi tidak bisa bayar, dan bulan ini saya ingin membayar zakat senilai 2jt. Bolehkah saya sampaikan ke orang yang utang itu bahwa utangmu sudah lunas, krn ditutupi dg zakat saya.. shg sy tdk perlu mengeluarkan uang 2 jt. Mohon pencerahannya Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Orang yang menunda pembayaran zakat, dia BERDOSA. Sehingga wajib bertaubat. Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang orang yang tidak bayar zakat selama 4 tahun. Jawaban Beliau, هذا الشخص آثم في تأخير الزكاة ؛ لأن الواجب على المرء أن يؤدي  الزكاة فور وجوبها ولا يؤخرها ؛ لأن الواجبات الأصل وجوب القيام بها فوراً ، وعلى هذا الشخص أن يتوب إلى الله عز وجل من هذه المعصية “Orang ini berdos

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1

Importance of Sadaqa (Voluntary Charity) #1 1.   The Parable of Spending in Allah’s Cause: Tafseer Ibn Kathir Sadaqa (Voluntary Charity in the Way of Allah) Tafseer Ibn Kathir – QS Al-Baqarah: 261 “The parable of those who spend their wealth in the way of Allah is that of a grain (of corn); it grows seven ears, and each ear has a hundred grains. Allah gives manifold increase to whom He wills. And Allah is All-Sufficient for His creatures’ needs, All-Knower .” This is a parable that Allah made of the multiplication of rewards for those who spend in His cause, seeking His pleasure. Allah multiplies the good deed ten to seven hundred times . Allah said,  The parable of those who spend their wealth in the way of Allah. Sa`id bin Jubayr commented, “Meaning spending in Allah’s obedience” . Makhul said that the Ayah means, “Spending on Jihad, on horse stalls, weapons and so forth” . The parable in the Ayah is more impressive on the heart than merely mentioning th