Jeratan Riba
Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam pernah berkata “Akan datang suatu masa ketika semua orang
memakan riba. Mereka yang tidak mau makan riba pun pasti terkena debunya” (HR Abu Dawud). Hari ini riba telah terintergasi
ke dalam sistem. Kita semua yang berada di dalamnya
hidup dan menghidupi riba. Kebanyakan orang sekarang
ini bahkan telah menyamakan riba dengan perdagangan. Tetapi dalam al Qur’an
Allah telah ditegaskan “Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan
riba”.
Kita harus menerima kenyataan ini, dan memahaminya. Kita
juga harus mengerti konsekuensinya, karena Rasulullah sallallahu’alaihi wassalam telah menegaskan bahwa kedudukan mereka yang terlibat riba –
langsung atau tidak langsung – yaitu “yang membayarkan, yang menerima, yang
mencatat, dan yang menyaksikannya” adalah sama (H.R. Muslim). Allah
Ta’ala mendeskripsikan orang-orang yang terlibat dengan riba ini ”tidak akan
berdiri dengan tenang, melainkan seperti orang yang kerasukan setan.” Riba
adalah psikosis sosial.
Dosa terlibat dengan riba yang juga sudah disampaikan
oleh Nabiullah sallallahu’alaihi
wassalam, adalah sangat besar, ’’yang paling ringan dosanya ialah setara
dengan seorang lelaki yang bersetubuh dengan ibunya” (HR Abu Hurairah). Dalam riwayat lain oleh Ahmad
dari Abdullah bin Hanzhalah dikatakan Rasulullah salallahu alaihi wassalam menyatakan: “Satu dirham riba, yang diterima oleh seseorang dengan
sepengetahuannya, lebih buruk dibanding berzina tiga puluh enam kali.” Allah SWT telah pula menegaskan mereka yang terus
ingkar dan terus terlibat dengan riba “tidak akan dicintai dan berada dalam api neraka selama-lamanya.”
Jejaring Riba
Selain memahami dosa dan hukuman akibat terlibat dengan riba,
setiap muslim harus mengerti dampak dari riba itu sendiri. Riba
adalah sebentuk psikosis sosial, suatu penyakit jiwa yang menjangkiti
kehidupan, yang muncul dalam berbagai fenomena sehari-hari. Hari
ini angota masyakarat umumnya hidup gelisah, khawatir dengan masa depan, tidak
berani menghadapi hidup, menjadi kikir dan bakhil serta enggan bersedekah,
egois dan tidak peduli dengan orang lain, bahkan saling membunuh atau membunuh
dirinya sendiri. Namun, justru karena itu pulalah, industri riba –
asuransi, aneka bentuk kredit perbankan maupun nonperbankan, jaminan tunjangan
hari tua dan pensiun, dsb – semakin merajalela.
Psikosis massal lebih lanjut diperlukan bagi suburnya industri
riba ini. Seluruh anggota masyarakat, dengan begitu, dapat dijebak,
dijerat, dan terus diperbudak dalam debtorship – hidup dalam
hutang. Setiap muslim harus memahami bahwa riba telah menjadi jejaring
kehidupan yang berkaitan satu dengan yang lain. Karena itu harus dipahami
elemen penyusun riba yang paling mendasar, yaitu tiga serangkai: mata uang
kertas, bunga, dan perbankan. Seluruh industri riba dimulai dan dijalin oleh
tiga elemen dasar ini. Dengan memahami hal mendasar ini setiap muslim akan
bisa keluar dari jeratan riba.
Bagi kebanyakan orang sekilas akan menjadi hal yang mustahil
untuk tidak terlibat dengan riba dan keluar dari jeratannya.
Bukankah setiap orang, muslim dan nonmuslim, saat ini tidak ada yang tidak
terkait dengan uang kertas, bunga, dan perbankan? Kalau kita melihatnya dari
kacamata “teknis”, dan mengajukan agenda “bagaimana cara saya memerangi riba”,
maka kita tidak akan menemukan pintu keluar.
Melihat masalah riba dari kacamata personal-individual hanya
akan menimbulkan perasaan tak berdaya: bagaimana mungkin sistem yang telah
begitu kokoh dan lazim dapat diatasi? Bagaimana mungkin kita bisa tidak
terlibat dengan uang kertas dan perbankan, “satu-satunya” cara hidup yang
berlaku hari ini? Maka, menghadapi soal riba, yang dibutuhkan
pertama-atama adalah keimanan dan ketaqwaan. Allah Ta’ala menyatakan
“meninggalkan riba adalah bukti keimanan dan ketaqwaan” (Al Baqarah: 278).
Artinya kita harus mengubah posisi kita dengan menyatakan “karena
Allah Ta’ala telah mengharamkan riba dan mengumandangkan perang terhadapnya”,
maka saya harus menyangkalnya. Sistem uang kertas, bunga dan perbankan, harus
kita sangkal. KIta tidak perlu melawan sistem riba. Yang perlu kita lakukan
adalah menegakkan yang halal, menghadirkan yang haq, dengan menghidupkan
kembali perdagangan dan meninggalkan riba. Dan itu berarti kembali menjalankan
muamalat.
Muamalat Sebagai Jalan
Keluar
Muamalat yang dimaksud di sini dalam arti yang khusus, yaitu
interaksi sosial dan politik, yang seharusnya dijalankan umat Islam, dan bukan
sekadar urusan personal dan keluarga, seperti urusan pernikahan dan
warisan. Interaksi sosial yang paling pokok dalam hal ini adalah
transaksi komersial dan bisnis. Pengertian perdagangan harus dirujuk kepada
fiqih, hingga pemisahannya dari riba menjadi jelas.
Perdagangan berkaitan dengan kegiatan tukar-menukar satu benda
berharga, misalnya seekor kambing, dengan benda berharga lainnya misalnya koin
emas sebagai alat tukar, dengan surplus pada satu sisinya yakni pihak penjual,
dan kemanfaatan pada sisi lainnya, yakni pembeli. Dalam bahasa fiqih
Islam perdagangan adalah “tamliku
‘ayn malliyatin,” mendaptakan harta (‘ayn,
komoditas riil) dari harta (mal) yang lain. Dengan demikian,
perdagangan adalah aktifitas produktif, menghasilkan surplus, sekaligus
menggerakkan harta yang merupakan aset nyata dari satu tangan ke tangan
lainnya. Perdagangan adalah instrumen fitrah pemerataan kekayaan.
Menukarkan kambing dengan emas atau perak, adalah perdagangan. Menukarkan
seekor kambing dengan (uang) kertas, adalah riba, bukan perdagangan.
Dengan mengembalikan pengertian dan praktek perdagangan ini saja
kita akan merombak tatanan sosial kita secara mendasar. Penyangkalan kita akan
uang kertas dan riba akan membawa kita kepada tatanan sosial, ekonomi, dan
politik yang baru sama sekali. Sebab, hal ini mensyaratkan bahwa kita harus
mengembalikan mata uang yang ditetapkan oleh Rasululllah salallahualaihi
wassalam, yaitu Dinar emas, Dirham perak, dan fulus. Dan untuk dapat
mengembalkannya kaum muslimin harus mengembalikan sunnah yang lain, yaitu
berjamaah, hidup terpimpin di bawah para amir dan sultan, dalam amirat-amirat
dan kesultanan.
Dalam kehidupan berjamaah, di bawah kepemimpinan para Amir, Dinar
dan Dirham dapat dikembalikan, zakat direstorasi, pasar-pasar diadakan,
perdagangan dijaga, hudud dan diyat dapat diterapkan, ringkasnya seluruh
kepentingan umum, public
interest, dapat dilindungi dan dijaga di bawah
syariat Islam. Tanpa amirat dan sultaniyya syariat Islam hanya menjadi
slogan dan idealisme. Islam bukan idealisme, bukan ideologi. Islam
adalah perilaku, eksistensialisme tradisi yang telah berlangsung dari
seorang Rasul salallahualaihi wasallam, ditularkan kepada para Sahabatnya,
Tabiin, Tabiit Tabiin, terus ditransmisikan kepada generasi berikutnya, sampai
kemudian dihentikan oleh modernisme, oleh rasionalisme dan humanisme.
Rasionalisme dan humanismelah yang mengubah cara hidup kaum
muslimin dalam sistem sekuler, dengan seluruh tatanan sosial politiknya, yang
menjadikan riba sebagai basisnya. Struktur politik negara nasional, dengan bank
sentral dan uang kertasnya, serta seluruh paradigma dan instrumen
teknisnya, membawa seluruh umat manusia dalam psikosis sosial riba,
dan jeratan debtorship. Untuk keluar darinya, sebagaimana ditunjukkan oleh Shaykh
Abdalqadir as Sufi, kita harus memulainya dengan mengafirmasikan dua hal:
“perdagangan tanpa riba dan pemerintahan tanpa negara.”
Selebihnya, adalah soal teknis, yang tidak lagi menjadi urusan
yang sulit.
.Allah swt berfirman :
“Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka {yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (ar Ruum : 39). Maksudnya , apa yang engkau keluarkan
dari harta kalian, wahai orang-orang kaya, dengan jalan riba demi menambah
banyak harta kalian, maka tidak akan bertambah, tidak akan dianggap zakat dan
akan dilipat gandakan disisi Allah, karena ia adalah usaha yang jelek dan tidak
diberkahi oleh Allah.
Imam Az –Zamkhsyari
berkata,” Ayat ini senada dengan firman Allah yang mengatakan , “ Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah . Dan Allah tidak menyukai setiap
orang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (al Baqarah: 276).
Maksudnya bahwa Allah akan
memusnahkan tunas kebaikannya dan menghapus semua amalnya, meskipun dilihat
dari zahir ia bertambah. Allah akan memperbanyak kualitas sedekah seseorang dan
mengembangkannya, meskipun secara zahir terlihat berkurang dan sedikit.
Allah berfirman :
“
Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri mItulah cirri
mereka, dapat diketahui pada hari mashyar yang akan menghancurkan mereka dan
sebagai penyingkap keburukan merekaelainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” (al Baqarah: 275) Maksudnya,
orang-orang yang bermuamalah dengan riba dengan keuntungan yang telah
ditentukan dan memeras darah manusia, ia tidak akan bisa berdiri dari kuburnya
di hari kiamat kecuali seperti orang yang mati karena terkena gila. Ia merasa
kesusahan berdiri, jatuh bangun dan tidak dapat berjalan dengan lurus. Mereka
akan berdiri dalam keadaan gila, seperti orang yang telah mati. Itulah ciri
mereka , dapat diketahui pada hari mahsyar yang akan menghancurkan mereka dan
sebagai penyingkap keburukan mereka.
“ Bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman (al baqarah : 278)
Maksudnya takutlah kalian
kepada Allah . Selalulah merasa diawasi oleh-Nya atas apa yang kalian lakukan.
Bersihkanlah harta kalian dari riba yang ada pada tangan manusia, jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah.
Riba secara etimologis
adalah ‘penambahan’. Jika dikatakan rabaa as-syaiu artinya sesuatu itu
bertambah. Dari asal kata ini muncul ar-rabwah wa ar-raabiah. Secara syar’i
yang dimaksud dengan riba adalah penambahan pada modal semula yang di ambil
oleh orang yang mengutangi kepada orang yang diutangi dengan tempo waktu yang
ditentukan.
Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat beberuntungan.” (Ali-Imran:130)
“Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan cara yang bathil. (Ali-Imran:130)
Maksudnya, mereka memakan
harta riba padahal Allah telah mengharamkannya di dalam Taurat. Dan mereka
memakan harta manusia dengan jalan suap dan semua cara yang haram, yang
jelasnya tidak dibenarkan dalam ajaran agamanya.
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah:276)
Maksudnya, Allah telah menghalalkan jual beli karena di dalamnya mengandung
banyak manfaat dan Dia mengharamkan riba karena didalamnya mengandung banyak
mudharat yang besar, baik itu bagi diri pribadi maupun masyarakat. Karena di
dalam muamalah tersebut terdapat penambahan nilai yang sifatnya sangat mencekik
dan menguras pihak yang mengutang. Saudaraku. Hindarilah bermu'amalah dengan
riba sebagaimana engkau lari dan menghindar dari penyakit lepra. Karena ia
dapat menjerat Anda ke dalam jurang kefakiran dan penyakit-penyakit lain yang
berbahaya, serta kehidupan yang serba sulit. Apapun sebabnya anda harus
menghindar darinya, jangan tergiur oleh bujukan-bujukan yang mengajakmu
bermuamalah dengan riba.
*************************
*************************
Kontributor: Zaim Saidi. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com