Muamalah Maliyah Ribawi
Oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Muamalah
Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia
sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang
ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara
pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang
disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan
multidimensional. Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal
dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang
bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik
itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang berhutang dan
berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis,
hingga calo atau broker, kesemuanya adalah majemuk dari berbagai kalangan
dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikannya yang variatif. Selain
itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan
jaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian
hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga
semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif
dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.
Oleh
sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian islam ini akan
tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya yaitu dunia bisnis
perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia
perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan
keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai
epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan
perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga
dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika,
operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang
yang berwirausaha) secara umum.
Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk
menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang muslim
selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum– dengan
aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh
sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan
pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual beli misalnya.
Karena yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi syetan pada diri
manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.
Diantara
permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin dalam muamalah
maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi kewajiban orang yang
masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan
jelas.
Diharamkannya
riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan
bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini. Al-Qur’an
telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah Ayat
Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat Madaniyyah. Dalam surat
Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah
pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum:
39)
Ayat
tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena
kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan
jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur
membudaya kala itu.
Dalam
surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (QS.
An-Nisaa’: 160-161)
Ayat
di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini
merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan
terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum
orang-orang Yahudi menjelaskannya.
Dalam
surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS.
Ali Imraan: 130).
Baru
kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
(٢٧٦)إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ
وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah:
275-279)
Ayat-ayat
ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an
Al-Karim.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari As-Sunnah
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda:
{
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلَاتِ }
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya:
“Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah,
sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak
yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah
karena kelengahan mereka. “
Diriwayatkan
oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia
menceritakan:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan
riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Diriwayatkan
oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia
menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى
أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ
رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ
الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى
الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ
لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا
فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
}
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku
pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu
sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di
tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia
menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau
keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke
dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak
keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia
terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang
lelaki yang bersamaku menjawab: “Yang engkau lihat dalam sungai darah itu
adalah pemakan riba.”
Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Kaum
muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan,
terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus
dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh
madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang
sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi
praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan
dalam persoalan itu.
Ijma’
akan pengharamannya dinukilkan Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ hal 103, Ibnu
Rusyd dalam Al Muqaddimah wal Mumahadah 2/8, Al Mawardi dalam Al Haawi Al Kabir
5/74, An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Al fatawa 29/419.
Pengharaman
Riba tidak terbatas hanya pada syari’at islam bahkan juga ada dalam syari’at
agama sebelumnya.
Balasan Pemakan Riba
Imam
Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam
ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:
1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (QS.
Al Baqarah: 275)
2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
“Allah memusnahkan Riba…” (QS. Al Baqarah: 276)
3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam
firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.” (QS.
Al Baqarah: 276)
4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al Baqarah: 275)
5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam
firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا
تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279)
Bahaya dan Implikasi
Buruk Riba
Syari’at
islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa
kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari
sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian
juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi
manusia, diantaranya:
1. Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.
Didapatkan
orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi’at bakhil,
sempir, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari
sifat-sifat rendahan.
Bila
melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak
yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. System
ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap
saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan
mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat
mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya
rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi
(pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap
persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
Riba
tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan
infaq, shodaqah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini
karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan
harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan
Allah dan RasulNya.
Diantara
dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat
anjuran berinfaq dan shodaqah.
2. bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.
Riba
memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang
bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan
seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang
kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Kemudian
dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu
masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit
jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan
riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya
kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan
orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk
mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini
akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan
menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Seorang
dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul
Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba
adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua’malat
al-Mashrofiyah hal. 172)
3. Bahaya terhadap perekonomian.
Krisis
ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba
yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara
modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi.
Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah
dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah
izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam
proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar
dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah
umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal
Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk
kemanfaatan orang lain
Riba
juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi
dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang
membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara
timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka
tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah
berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut,
hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya,
maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama
menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan
riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Melihat
bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi
kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.
Kata
Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau
pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah
firman Allah Ta’ala:
فَعَصَوْا رَسُولَ
رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَابِيَةً
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu
Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah: 10),
yakni siksa yang bertambah terus.
Dan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا أَنْزَلْنَا
عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah…” (QS. Al-Hajj: 5)
Menurut
terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi,
diantaranya: tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa
ada imbalan tertentu. Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif
a. Tambahan
kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan
kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak,
gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang
disetarakan dengan keenam komoditi tersebut. Kalau emas dijual atau ditukar
dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus
diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada
salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu
adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda
pembayarannya, seperti bunga hutang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang
berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima
langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar
misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan
salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan
ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ
مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ
الْقَبْضُ
“Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan
pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya”
Ada
juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ
التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.”
Sedangkan
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ
شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
“Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua
tambahan adalah riba menurut syari’at.” (Syarhul Mumti’8/387)
Para
ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:
1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (hutang), yaitu pertambahan
dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika
jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah
39). Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (QS.
Al Baqarah: 275)
Riba
inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini
juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ
مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al
Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).
Demikianlah
Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta
orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang
dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al
Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)
Pada
masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni
yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: “Tangguhkanlah
hutangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya,
seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran,
orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata:
“Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni: perlambatlah dan
tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan
kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila
berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah
binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang
lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian
seterusnya.
Qatadah
menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut:
Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah
datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu
membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’
menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada
masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: “Kami akan
tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan
pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnul
Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang
jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di
masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan
jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga
hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.” (Lihat I’laamul Muwaqqi’ien
oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)
Imam
Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur
ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia
berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan
lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa
pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan
syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada
saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash
menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah
berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan
bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau
menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk
pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah
kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan
mengharamkannya.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat
Dibayar Perbulan (kredit bulanan)
Fakhruddin
Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan
populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar
mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya
tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang
berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya,
waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar.
Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.” (Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)
Ibnu
Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa
jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain
untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang
tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya
tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia
hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia
harus menambah jumlah yang harus dibayar.” (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir
1/222)
2. Riba jual beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhl.
Komoditi riba fadhl yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum,
kurma, garam dan jewawut.
Riba
jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasii-ah.
1. Riba Fadhl
Kata
Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam terminologi ulama
adalah:
الزيادة في أحد الربويين
المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis
secara kontan).
Atau
ada yang mendefinisikan dengan:
Kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam
penjualan komoditi riba fadhl atau tambahan pada salah satu alat pertukaran
(komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas dengan 23
gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus
sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan
segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhl.
Riba
Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar:
a. Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum
merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung.
Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara
kontan juga.”. (Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan
perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya
3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253,
2254)
b. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا
تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا
مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا
غَائِبًا بِنَاجِزٍ }
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya,
dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t
dan jangan menjual yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (HR Al Bukhari)
Sedangkan
dalam Shahih Muslim berbunyi:
{
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
}
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum
merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung.
Barang siapa yang menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang
mengambil dan memberi hukumnya sama.”
c. Hadits Al Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu
‘anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak
dengan emas secara tempo (hutang)”. (HR Al Bukhari).
Diriwayatkan
dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini.
Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni
sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhl.
Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang
hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
Hikmah Diharamkannya Riba Fadhl
Hikmah
diharamkannya riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara
zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis
dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak
sama dengan yang buruk.
Kalau
satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak
ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?
Sebelum
kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui berbagai tulisan para ulama dalam
persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat
permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini,
yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah
mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui
bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha
Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala
firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa : 65)
Setelah
pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling
jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan
menuju perbuatan haram. Karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba
nasiiah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di
tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang
sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan
mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama
bunganya.
Itulah
yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:
{
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا
مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا
غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ }
“Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali
hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah
satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah
ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama’. (Diriwayatkan oleh
Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih)
Rama’
yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual
beli komoditi riba fadhl secara langsung, padahal kelebihan itu karena
kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk
akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya
semata-mata penangguhan waktu.
Komoditi Ribawi
Para
ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits
Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah)
dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan
sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Namun
mereka berselisih apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang
menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Dalam dua pendapat:
Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan
tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan
selainnya. Inilah
pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.
Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi
sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli
fikih.
Pendapat
yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum
tidak mungkin membedakan antara yang serupa.
Mayoritas
Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama
fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan
ilaah ribawi pada komoditi tersebut.
Ilaat Ribawi pada emas dan perak
Yang
rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah
bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan
pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud di sini adalah
pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya
adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama
–sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah
adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk
dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran
harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya.
Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak
Sedangkan
pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat
disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan
dalam waktu yang lama.(Al Fiqih Al Muyassar –Qismul Muamalat -78) Sehingga yang
menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa
disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk
komoditi riba fadhl, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.
Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan
kedua kriteria ini padanya.
Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara
harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal
itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan
pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan
tulang punggung kehidupan.
Inilah
pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika
menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi
tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari
selainnya.” (Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al Jaami‘ Lil
Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi,
2/1022-1025)
Dengan
demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1. Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu
jenis, seperti
kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan
jagung. Maka disyaratkan dua syarat:
1. sama dalam kuantitas, inilah yang ditunjukkan dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam :
{
مِثلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
}
2. Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh
sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:
{
يَداً بِيَدٍ }
Ini
berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana
ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
{
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum
merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam
dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung.
Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara
kontan juga.” (Diriwayatkan
oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan
perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya
3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253,
2254)
Inilah
yang dimaksud dengan kaidah:
إذا بيع ربوي بجِنْسِهِ
وَجَبَ التَّمَاثُلُ وَالتَّقَابُضُ
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka
tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama:
Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum,
garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan
pokok dan ditakar atau emas dengan perak -keduanya berbeda jenis, namun satu
ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya
pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan
kuantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:
{
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ
إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun
harus secara kontan juga..” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab
Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i
4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)
Dengan
demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya
diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah
riba Fadhl:
وَبِغَيْرِ جِنْسِهِ
وَجَبَ التَّقَابُضُ فَقَطْ
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan
ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda
jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai
(cash). Inilah
yang dimaksud kaidah:
وَإِذَا اخْتَلَفَتْ
العِلَلُ لَمْ يَجِبْ شَيْءٌ
2. Riba Nasii-ah ( ربا
النسيئة )
Definisi
Riba Nasii-ah
Nasii-ah
dalam etimologi bahasa Arab bermakna Pengakhiran. Sedangkan dalam pengertian
etimologi ahli fikih adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi
ribawi yang satu illaat-nya pada riba fadhl (تأخير
القبض في أحد الربويين المتحدين في علة ربا الفضل
) atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara
tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba
fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak
atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan
adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun
harus secara kontan juga.”
Perhatian !
Nash-nash
pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalah menjadi sebab
pengharamannya dan larangannya secara syar’i. Namun menghukumi banyak keadaan
sebagai muamalah ribawi atau bukan butuh penelitian dan kehati-hatian. Ibnu
katsir rahimahullah memberikan peringatan dalam hal ini:
“Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi
banyak ulama.” (Tafsir
Ibnu Katsir 1/327)