Wakaf Produktif dan Strategi Pengembangannya
A. Wakaf dalam Perspektif Sejarah
Bila berbicara masalah wakaf dalam perspektif sejarah Islam (al-târih al-islâmi), tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi misi hukum Islam. Untuk mengetahui perkembangan sejarah perkembangan hukum Islam perlu mengkaji dan menelaah teks (wahyu) dan kondisi sosial budaya masyarakat di mana hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa keadilan social, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Si wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi.\
Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan.
Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Dan dari segi pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf, yaitu wakaf itu umumnya berujud benda tidak bergerak khususnya tanah yang di atasnya didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wâkif) dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dengan konsekuensi bank-bank tidak menerima tanah wakaf sebagai anggunan.
Padahal apabila kita menyesuaikan dengan kondisi saat ini, fungsi wakaf seharusnya juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Harta yang diwakafkan oleh wakif seharusnya bisa diberdayakan agar bisa produktif. Karena benda wakaf itu tidak hanyaberupa benda tidak bergerak saja tapi juga ada benda bergerak seperti uang.
B. Pengertian Wakaf Produktif
Wakaf adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.Wakaf produktif adalah harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya di salurkan sesuai dengan tujuan wakaf, seperti wakaf tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Atau ada juga yang mendefinisikan “wakaf produktif” sebagai sebuah skema pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan dimama hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya (mauquf alaih). Orang yang pertama melakukan perwakafan adalah Umar bin al Khaththab mewakafkan sebidang kebun yang subur di Khaybar. Kemudian kebun itu dikelola dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat. Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif dalam arti mendatangkan aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ironinya, di Indonesia banyak pemahaman masyarakat yang mengasumsikan wakaf adalah lahan yang tidak produktif bahkan mati yang perlu biaya dari masyarakat, seperti kuburan, masjid, dan lain sebagainya.
Munculnya Undang-undang Nomor 41tentang wakaf adalah titik terang perwakafan di Indonesia. Menurut undang-undang ini secara surat telah membagi harta benda wakaf kepada benda wakaf bergerak dan tidak bergerak. Benda tidak bergerak meliputi tanah, bangunan, tanaman, satuan rumah susun, dan lain-lain. Sedangkan benda wakaf bergerak meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa. Adapun Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Jadi menurut undang-undang ini secara tersirat arti produktif adalah pengelolalaan harta wakaf sehingga dapat memproduksi sesuai untuk mencapai tujuan wakaf, baik benda tidak bergerak maupun benda bergerak.
Wakaf produktif yang dipelopori Badan Wakaf Indonesia adalah menciptakan aset wakaf yang benilai ekonomi, termasuk dicanangkannya Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 8 Januari 2010. Wakaf uang sebagi fungsi komoditi selain fungsi nilai tukar, standar nilai, alat saving adalah untuk dikembangkan dan hasilnya disalurkan untuk memenuhi peruntukannya.
C. Macam-Macam Wakaf Produktif
1. Wakaf Uang
Wakaf uang dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.
Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata−mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat−sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mentasharufkan hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena wakif tidak perlu memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan-satuan yang lebih kecil misalnya, Rp. 5000.
Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan dengan mudah memberikan konstribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu pengumpulan kapital dalam jumlah yang sangat besar. Karena, meskipun sangat kecil jumlahnya, wakaf dalam bentuk uang ini masih saja dapat menerimanya, disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan wakif.
Wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti "wakaf tunai", yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash-wakf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor A. Mannan, pemikir ekonomi Islam asal Bangladesh dalam konsepnya merupakan bagian menjadikan wakaf sebagai sumber-sumber dana tunai.
Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Uthmaniyah. Salah satu kelebihan wakaf uang adalah pemberian peluang unik bagi penciptaan investasi di bidang ekonomi, termasuk bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial. Sehingga, wakaf dalam bentuk ini lebih meluas sifatnya, dari pada sekedar benda bergerak yang lainnya, sebagaimana yang telah diselenggarakan dalam wakaf konsumtif.
Wakaf Uang (cash wakaf/waqf al-Nuqut) adalah wakaf yang dilakukan oleh sekelompok atau seseorang maupun badan hukum yang berbentuk wakaf tunai. Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan asset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindah tangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun jumlah pokoknya.
Di Indonesia wakaf uang tunai relatif baru dikenal.Wakaf uang tunai adalah objek wakaf selain tanah maupun bangunan yang merupakan harta tak bergerak. Wakaf dalam bentuk uang tunai dibolehkan, dan dalam prakteknya sudah dilaksanakan oleh umat islam.Salah satu tindakan riil operasional wakaf tunai adalah sertifikat wakaf tunai yang dipelopori oleh M.A Manan dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)−nya. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai sebagaimana yang diterapkan oleh SIBL adalah sebagai berikut:
a. Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan.
b. Wakaf tersebut atas nama Wakif.
c. Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh Wakif.
d. Wakif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan yang diinginkan asal tidak bertentangan dengan syari'ah.
e. Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan oleh bank dari waktu kewaktu.
f. Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan−tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profil yang diperoleh akan bertambah terus.
g. Wakif dapat meminta bank mempergunakan keseluruan profil untuk tujuan-tujuan yang telah ia tentukan.
h. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya dengan jumlah tertentu. Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan jumlah setoran pertama atau kelipatannya.
i. Wakif dapat juga meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening wakif pada SIBL.
j. Atas setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat.
k. Prinsip dan dasar-dasar peraturan shari'ah wakaf tunai dapat ditinjau kaembali dan dapat berubah.
2. Wakaf Saham
Saham adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan atau surat berharga yang menunjukkan bagian kepemilikan atas suatu perusahaan. Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang mampu menstimulus hasil-hasil yang dapat didedikasikan untuk umat. Bahkan dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi kontribusi yang cukup besar dibandingkan jenis perdagangan yang lain.
Dalam sebuah perusahaan, seorang penguasa dapat mengkhususkan peruntukan sebagian sahamnya sebagai harta wakaf yang hasilnya (deviden) untuk senyata-nyatanya digunakan untuk kemaslahatan umat. Wakaf saham boleh juga diambil dari keuntungan seluruh saham yang dimiliki pemiliknya. Semua itu tergantung pada keinginan dan kehendak pemilik saham. Sebab, yang penting bukanlah nominal besar kecilnya hasil saham, melainkan lebih pada komitmen keberpihakan para wakif terhadap kesejahteraan umat Islam.
Wakaf saham hanya mewakafkan sebagian hasil saham yang dimiliki wakif kepada umat. Pangsa pasar yang dibidik oleh wakaf saham dengan begitu hanya terbatas para pemegang saham yang kebanyakan kelas menengah ke atas. Demikian ini sangat tepat, mengingat kebanyakan umat Islam, terutama mereka yang secara ekonomi telah mapan, terpaksa dibuat bingung untuk mendayagunakan hartanya di jalan Allah Swt.. Dengan adanya wakaf saham, maka sedikit banyak harta mereka dapat digunakan untuk kesejahteraan ekonomi umat yang ada di bawah garis kemiskinan.
D. Problematika Perwakafan di Indonesia
1. Kuatnya paham lama umat Islam dalam pengelolaan wakaf, seperti adanya anggapan bahwa wakaf itu milik Allah semata yang tidak boleh diubah/ganggu gugat. Atas pemahaman itu, banyak tokoh masyarakat atau umat Islam tidak merekomendasikan wakaf dikelola secara produktif. Selain itu, belum utuhnya pemahaman bahwa wakaf memiliki fungsi sosial yang lebih luas dan tidak terbatas pada ibadah mahdhah.
2. Kurangnya sosialisasi secara lebih luas terhadap paradigma baru untuk pengembangan wakaf secara produktif. Sosialisasi massif dengan memasukkan wakaf sebagai bagian dari instrumen pengembangan ekonomi umat menjadi aspek penting bagi pengembangan gagasan wakaf produktif. Dengan kurangnya pengetahuan masyarakat atas pentingnya pemberdayaan wakaf untuk kesejahteraan umum menjadi problem yang harus dipecahkan bersama.
3. Belum mempunyai persepsi yang sama, peran dan sinergi para pejabat teknis wakaf di daerah dengan para pihak terkait terhadap upaya pemerintah pusat dalam upaya pengembangan wakaf. Para pejabat teknis lebih banyak berkutat pada penanganan yang bersifat linier dibandingkan memasarkan gagasan strategis dalam pengembangan wakaf yang lebih berwawasan sosial.
4. Nazhir belum profesional sehingga wakaf belum dikelola secara optimal. Posisi Nazhir menempati peran sentral dalam mewujudkan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat wakaf. Profesionalisme nazhir di Indonesia masih tergolong lemah. Mayoritas dari mereka lebih karena faktor kepercayaan dari masyarakat, sementara kompetensi minimal sebagai pengelola wakaf secara produktif belum banyak dimiliki.
5. Lemahnya kemitraan dan kerjasama antara stake holders wakaf untuk menjalin kekuatan internal umat Islam dalam mengelola dan mengembangkan wakaf secara produktif, sepeti organisasi massa Islam, kalangan intelektual, LSM, tokoh agama, termasuk aparat pemerintah. Kemitraan mereka lebih pada upaya-upaya yang masih bersifat artifisial yang belum menyentuh pada aspek kerja sama konkrit, terencana dan massif.
6. Ekonomi global yang fluktuatif akibat hancurnya ekonomi Negara adi kuasa (Amerika Serikat) sangat berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi dunia. Secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi mikro dan makro sebuah negara. Bahkan berdampak pada aspek-aspek non ekonomi, khususnya politik.
7. Sedikit para inisiator (promotor) dari umat Islam yang membuka akses kepada para investor dari Timur Tengah yang memiliki dana yang melimpah. Banyaknya kekayaan wakaf yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia seharusnya menjadi daya tarik untuk pengembangan secara lebih produktif dengan melibatkan para investor asing yang memiliki perhatian terhadap pengembangan wakaf.
E. Strategi Pengembangan Wakaf
Hampir semua wakif yang menyerahkan tanahnya kepada Nazhir tanpa menyertakan dana untuk membiayai operasional usaha produktif, tentu saja menjadi persoalan yang cukup serius. Karena itu, diperlukan strategi riil agar harta wakaf yang begitu banyak di seluruh provinsi di Indonesia dapat segera diberdayakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak. Strategi riil dalam mengembangkan tanah-tanah wakaf produktif adalah :
a. Kemitraan
Nazhir harus menjalin kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain yang mempunyai modal dan ketertarikan usaha sesuai dengan posisi tanah strategis yang ada dengan nilai komersialnya cukup tinggi. Jalinan kerja sama ini dalam rangka menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki oleh tanah-tanah wakaf tersebut. Sekali lagi harus ditekankan bahwa sistem kerja sama dengan pihak ketiga tetap harus mengikuti sistem Syariah, baik dengan cara musyarakah maupun mudharabah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Pihak-pihak ketiga itu adalah sebagai berikut:
1) Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan. Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang tertarik terhadap pengembangan atas tanah wakaf yang dianggap strategis.
2) Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa dilakukan lebih dari satu pihak dengan komposisi saham sesuai dengan kadar yang ditanamkan.
3) Lembaga perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya sebagai pihak yang memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak nazhir wakaf berbetuk kredit dengan sistem bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak bank.
4) Lembaga perbankan Internasional yang cukup peduli dengan pengembangan tanah wakaf di Indonesia, seperti Islamic Development Bank (IDB).
5) Lembaga keuangan dengan sistem pembangunan BOT (Build of Transfer).
6) Lembaga penjamin syariah sebagai pihak yang akan menjadi sandaran Nazhir apabila upaya pemberdayaan tanah wakaf mengalami kerugian.
7) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi umat, baik dalam atau luar negeri.
Selain bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang memiliki hubungan permodalan usaha, nazhir wakaf harus mensinergikan program-program usahanya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perguruan Tinggi, Lembaga Konsultan Keuangan, Lembaga Arsitektur, Lembaga Manajemen Nasional, Lembaga Konsultan Hukum dan lembaga lainnya.
b. Terbentuknya Undang-Undang Wakaf dan Badan Wakaf Indonesia
Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka untuk mendukung pengelolaan wakaf secara produktif Pemerintah telah berhasil melahirkan Undang-undang Wakaf dan Peraturan Pemerintah sebagai Pelaksanaannya. Undang-undang Wakaf dapat dikatakan merupakan rumusan konsepsi Fiqih Wakaf baru di Indonesia yang antara lain : meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih): peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); jenis harta yang boleh diwakafkan tidak terbatas benda tidak bergerak (tanah dan bangunan) maupun benda bergerak, seperti saham, uang, logam mulia, HAKI, kendaraan dan lain-lain serta diatur kewajiban dan hak Nazhir wakaf, ini semua guna diatur untuk menunjang pengelolaan wakaf secara produktif.
Undang-undang Wakaf selain sebagai hukum formal yang menjadi landasan dalam pengembangan wakaf, juga mengamarkan dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai kewajiban membina lembaga kenazhiran yang ada di tanah air, agar Nazhir yang ada dapat berkembang. Pembinaan oleh BWI kepada para Nazhir diharapkan terfokus terhadap usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, tujuannya agar harta wakaf dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan umat.
Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga yang independen dan mempunyai peran strategis, diharapkan dapat membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan maupun pengawasan dan peningkatkan kualitas Nazhir agar para nazhir dapat melakukan pengelolaan wakaf secara produktif. Selain itu diharapkan BWI dapat memfasiltasi upaya penggalangan dana khususnya dana dari luar negeri.
Kesadaran Berwakaf
Kesadaran berwakaf perlu ditingkatkan, sebabnya ketika meninggal nanti, hanyalah wakaf sebagai amalan jariyah yang bisa dibawa pulang ke haribaan Allah. Ketika di Alam Barzah nanti, sudah bisa merasakan nikmatnya wakaf. Di Barzah itu, shalat tidak bisa, dzikir tidak bisa, dakwah tidak bisa, tapi masih ada investasi abadi yang bisa dirasakan, yakni wakaf. Ada orang yang merasa bahagia karena sekian persen dari hartanya menempel menjadi wakaf, dan adapula yang menyesal karena harta yang ditinggalkannya tidak ada yang menjadi harta wakaf bahkan menjadi sengketa ahli waris. Berwakaftak harus memiliki tanah atas nama pribadi melainkan bisa melalui wakaf dana abadi. “Wakaf ini bisa dilakukan secara berjamaah dengan mengumpulkan dana sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan bersama.
Tak harus nominal besar bisa dengan mengumpulkan uang sebesar Rp 10 ribu per bulan. “Nantinya setelah terkumpul, bisa untuk membeli lahan atas nama wakaf kemudian diproduktifkan, yang hasilnya bisa digunakan untuk kemaslahatan masyarakat.” Mustahil? Tidak. Segalanya bisa terjadi, jika ada ta’awun (tolong menolong), bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak. “Karenanya tidak boleh sendiri-sendiri, hal ini seperti yang dinyatakan Allah dalam surah At Thaf itu, inna allaaha yuhibbu alladziina yuqaatiluuna fii sabiilihi shaffan ka-annahum bunyaanun marshuushun, Allah itu mencintai orang-orang yang berjuang itu dengan organisasi yang rapi, tidak sendiri-sendiri.” “Sebab dengan bersinergi dapat memperkuat ukhuwah Islamiyah, menjaga kesatuan umat Islam.
Segala ikhtiar yang dilakukan semata karena biiznillah (dengan izin Allah), dan binashrillah (dengan pertolongan Allah). Menyelesaikan masalah umat itu sulit, namun Sang Maha dengan segala Kuasa-Nya selalu memberikan jalan terbaik.
Potensi zakat dan wakaf sangat besar. Bahkan wakaf dan zakat dapat dikelola dengan lebih professional dan negara berkomitmen untuk mendukung gerakan wakaf dan zakat ini. “Studi Kemenkeu, wakaf tunai bisa sampai triliunan rupiah, jika muslim mendonasikan wakaf tiap bulan karena jumlah umat muslim kita banyak. Ini tantangan bagaimana mensosialisasikan wakaf ini. Wakaf bahkan menjadi penguat perekonomian nasional, termasuk dapat menangkal resesi.
Sistem ekonomi syariah, yang pilarnya adalah wakaf dapat menjadi solusi ekonomi Indonesia yang berkesuaian dengan tujuan pembangunan. “Sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai syariah yang menjunjung tinggi keadilan, kebersamaan, dan keseimbangan dalam pengelolaan sumberdaya titipan Allah, akan menjadi salah satu jawaban yang tepat.
Wakaf menjadi ‘panglima’ ekonomi negara sepanjang sejarah dan peradaban Islam, mulai zaman Rasulullah hingga runtuhnya Daulah Turki Utsmani, bahkan peninggalannya masih banyak menyebar hingga sekarang. “Wakaf menjadi panglimanya, bukan lagi zakat. Karena wakaf menopang perekonomian Negara. Hal ini, karena wakaf sangat fleksibel dan terbuka, tak seperti halnya zakat yang aturannya sudah baku, baik jumlah yang dizakatkan hingga penggunaan dana zakat. Sebagai contoh Umar bin Khattab mewakafkan tanah dengan nazir keluarganya, dan jika dia wakaf maka keturunan puterinya, Hafsah yang akan menjadi nazir, dan pengambil manfaat wakaf (mauquf ‘alaih) adalah keluarga dan keturunannya. “Jadi, penerima wakaf keluarga dan keturunan sendiri itu bisa. Itulah enaknya wakaf, ia tidak bisa diwariskan, dihibahkan, sehingga sengketa bisa hilang. Masih banyak contoh seperti bagaimana setiap khalifah membuka sebuah kota baru dan hasil transaksi keuangan dari kota tersebut digunakan untuk membiayai kepentingan sosial.
Hasil dari transaksi keuangan, jual beli, itu diwakafkan. Jadi wakaf kota, hasilnya digunakan untuk operasional rumah sakit, sekolah, perpustakaan. Karenanya, para khalifah ini terus menggiatkan wakaf, bahkan hingga masa-masa sulit seperti Perang Salib. “Jadi, saat perang salib, Gubernur wilayah Syam mencabut pajak dari rakyat, dan menggelorakan wakaf, yang hasilnya digunakan untuk berjihad. Sebab menurut Ibnu Khaldun, pemungutan pajak yang besar menandakan negara tersebut hendak urutk bangkrut. “Ibnu Khaldun menilai, berdasarkan pengalaman dan pendalamannya tentang peradaban, bahwa pemungutan pajak yang besar dari berbagai sisi menandakan bahwa peradaban tersebut akan runtuh. Karenanya wakaf menjadi solusi.
Kesehatan yang baik, awal dari masyarakat yang kuat. Tanpa kesehatan, kita akan sulit membangun masyarakat yang tangguh. Namun, bagaimana jika akses kesehatan justru menyulitkan masyarakat karena harganya yang mencekik?
Dahulu, di era kepemimpinan Harun Al Rasyid dari Abbasiyah, ada sebuah rumah sakit berbasis wakaf yang ramah untuk semua kalangan. Pada zaman keemasan ini, hampir semua rumah sakit digratiskan bagi semua lapisan masyarakat, kaya ataupun miskin, orang jauh ataupun dekat, berpendidikan maupun tidak. Semua unsur mendapat perhatian penuh dari segi pelayanan, makanan, pakaian, sanitasi lingkungan, sampai pembekalan pasca-kesembuhan. Semua pembiayaannya didanai dari wakaf. Rumah sakit ini disebut juga Bimaristan. Keberadaan Bimaristan menjadi bukti rekaman sejarah tentang betapa tingginya peradaban Islam pada abad ke-13 M. Hampir di tiap ibu kota negara Islam terdapat rumah sakit yang telah dilengkapi dengan sekolah kedokteran, perpustakaan, dan pusat pengembangan medis ini.
Kita belajar banyak betapa harta wakaf berpotensi membangun peradaban masyarakat yang kuat. Bukan tak mungkin, jika kelak konsep ini diterapkan pula di masa kini oleh kita.
************************
Kontributor: Ai Rika, Ridwan Fauzi, Pipit Puji N Fazri. Editor: Ustaz
Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com