WAKAF TUNAI SEBAGAI ALTERNATIF MEKANISME REDISTRIBUSI KEUANGAN ISLAM
Oleh
Syafrudin Arif
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Abstract
Waqf itself is a principle that entails
generous applications in developing the non-profit, non-governmental sector and
increasing the number of welfare services to improve the socio-economic welfare
of society. This provides justification for theoretical studies of the
application of Awqaf and the development of their properties in Muslim
countries and communities. The cash waqf is expected to be alternative instruments for the poverty alleviation programs. In the Islamic socioeconomic
concept, there is a source of social fund that is economically and politically
free of charge, namely cash waqf. The objective of the paper is to investigate
how this institution can be used in contemporary times to solve economically
problems in Muslim society, especially in Indonesia. It is believed that if the potency of waqf is empowered by a productive method, it will give more
contribution to redistribute assets and opportunities, capacity building and
wealth creation, and to extend income support.
Kata kunci: wakaf tunai, potensi,
redistributif, kemiskinan (cash waqf, potentiallity, redistributive, poverty)
1. Pendahuluan
Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
merupakan persoalan rumit yang dihadapi oleh negara. Sifatnya massif dan
struktural serta meluas yang terjadi pada setiap lapisan masyarakat. Oleh
karena itu, karena negara mempunyai dan memegang kekuasaan sekaligus kekuatan
ekonomi paling besar. Sehingga negaralah yang sewajarnya mengemban tugas mulia
untuk mengentaskan kemiskinan. Sekalipun begitu, tidak menutup kemungkinan
setiap lapisan masyarakat mempunyai peranan yang signifikan dalam mengentaskan
kemiskinan. Bahkan peran agama juga sangat dimungkinkan dalam hal ini.
Sebagaimana ditunjukkan dalam ajaran Islam tentang zakat dan juga wakaf,
penerapan keduanya berpotensi besar mengurangi secara signifikan angka
kemiskinan yang bersifat “struktural” tersebut.2
Ada banyak cara yang berpotensi mengentaskan
kemiskinan tersebut. Cara menanggulangi kemiskinan bisa berupa:3 (a)
pengembangan kelembagaan (institutional building) (b) akses (c) kesejahteraan
(welfare). (d) penyadaran (conscientization). (e) partisipasi politik
(political participation). Dalam makalah ini, tema wakaf tunai akan dipaparkan
dalam kerangka pengembangan kelembagaan (institutional building) atau bisa disebut
“mekanisme keuangan.” Karena potensi wakaf tunai yang luar biasa untuk
redistribusi ekonomi.
Potensi wakaf tunai di Indonesia luar biasa.
Hal itu kita ketahui dari data yang ada. Berdasarkan data yang ada di
Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 430,766 lokasi
dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 meter persegi4 yang tersebar lebih dari
366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dilihat dari sumber daya alam atau
tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah
harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan bagi umat Islam
Indonesia untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga
tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai
dengan fungsi dan tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya. Sayangnya, potensi itu
masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena berbagai faktor. Maka, langkah
yang tak bisa ditawar lagi yaitu memberdayakan potensinya dengan
memproduktifkan aset-aset wakaf tersebut. Jika bangsa ini mampu mengoptimalkan
potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat lebih terjamin.
Perwakafan di Indonesia jauh tertinggal
dibanding negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam lain, seperti Mesir,5
Aljazair, Arab Saudi,6 Kuwait, dan Turki.7 Mereka jauh-jauh hari sudah
mengelola wakaf ke arah produktif. Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya
minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Singapura misalnya, aset
wakafnya, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis
Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate
Singapura (WAREES).
Kalau mereka bisa, mengapa Indonesia yang
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Penulis yakin,
masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika
benar-benar serius menangani hal ini. Apalagi, pemberdayaan wakaf di Indonesia
kini sudah diakomodir secara formal oleh peraturan perundangan yang sangat
progresif dalam mengakomodir hukum fiqh yaitu UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaannya. Kalau begitu,
sekarang tinggal action saja, tak perlu banyak berwacana. Kalau dulu, banyak
orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani perwakafan
di Indonesia, kini BWI sudah berdiri (sejak 2007). Tinggal bagaimana
memaksimalkan lembaga independen amanat undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU
No. 41 tahun 2004).
Pemberdayaan
wakaf kita pahami dalam arti “redistribusi ekonomi.” Redistribusi ekonomi
berarti penyebaran kekayaan dari sebagian kelompok kepada kelompok yang lain
baik secara tunai ataupun tidak. Redistribusi juga mencakup pemberian layanan
umum (public services), seperti kesehatan dan pendidikan dari satu kelompok ke
kelompok lainnya. Sehingga masyarakat merasakan manfaat material dan kemudian
redistribusi itu juga menimbulkan biaya. Oleh karena itu, penggerak atau agen
redistributif berfungsi sebagai perantara antara proses pemanfaatan
redistribusi dan biaya redistribusi itu. Dalam hal ini, ada tiga jenis
redistributive agent: pemerintah, individu dan institusi swasta.8 Kebijakan
yang dilakukan agen-agen tersebut yang berupa seperti pajak, kedermawanan,
beasiswa, termasuk wakaf diistilahkan sebagai mekanisme redistributif
(redistributive mechanism). Jadi wakaf tunai dapat menjadi mekanisme
redistributif yang luar biasa bagi masyarakat luas.
Namun persoalannya, masih populernya
pemahaman bahwa harta wakaf adalah tanah dan bangunan, sehingga diperlukan
penjelasan yang mudah kepada masyarakat bahwa harta wakaf dapat berupa harta
bergerak. Bahwa wakaf harta bergerak ini sesuai dengan tujuan syariat wakaf,
yaitu memberikan sesuatu supaya bermanfaat kepada masyarakat luas, dalam arti
supaya harta wakaf itu dikelola secara produktif. Oleh karena itu, tulisan ini
akan memaparkan dasar syariat wakaf, kemudian gambaran bahwa adanya wakaf harta
bergerak tidak bertentangan dengan tujuan syariat wakaf dalam Islam. Juga di
sini akan dipaparkan bagaimana meraih potensi wakaf dalam arti redistribusi
ekonomi di Indonesia.
II. Asal Mula Pengertian Wakaf
Wakaf secara etimologi adalah al-habs
(menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari
ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu.
Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk
orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian karena barang milik itu
dipegang dan ditahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala
sesuatu.
Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa”
yang digabungkan dengan katakata segala jenis barang termasuk ungkapan yang
tidak lazim (jelek). Yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu”
tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu”
adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.
Para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf, sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut
membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut
ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai
menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan
manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.12 Definisi
wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan
atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah
menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.13 Definisi wakaf tersebut
hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan
menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.14 Menurut Syaikh
Syihabuddin al-Qalyubi, wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u bihi ma’a
baqa’I ainihi ‘ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil
manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan yang
dibolehkan).15 Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang
kekal materi bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau
musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf
dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan
menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.16 Demikianlah pengertian wakaf menurut
para ulama ahli fiqih.
Sedangkan dalam konteks perundangan di
Indonesia, nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu
dari berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan
pengertian wakaf dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.17 Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas
sekali merangkum berbagai pendapat para ulama fiqh tersebut di atas tentang
makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam konteks Indonesia lebih luas dan lebih
komplit.
Dari
beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak
dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan
fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf
berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
III. Dasar Hukum Wakaf dalam Al-Quran dan Hadis
III. Dasar Hukum Wakaf dalam Al-Quran dan Hadis
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit
tekstual. Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain:
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah (2): 261-262).
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali
Imran (3): 92)
Ayat-ayat
tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang
diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat
al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Di
antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan
tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah
ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk
menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini adalah:
“Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab
mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja memperoleh 100 kavling
tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata, ‘Saya telah memiliki
harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya benar-benar ingin
mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW
bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’. (H.R.
al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa'i). Hadis lain yang menjelaskan
wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai
berikut:
“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah
jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh
yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa' i, dan Abu Daud).
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas,
para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan
dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf
dalam Islam karena wakaf telah menjadi
amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum
Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.18
IV. Sejarah Wakaf Tunai
IV. Sejarah Wakaf Tunai
Perilaku sejenis wakaf telah dikenal umat
manusia sebelum Islam datang. Umat manusia –terlepas dari agama dan kepercayaan
yang mereka anut—sesungguhnya telah mengenal beberapa bentuk praktik
pendayagunaan harta benda, yang substansinya tidak jauh berbeda dengan wakaf
dalam Islam. Hal ini disebabkan pada dasarnya, umat manusia sudah menyembah
Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai kepercayaan mereka. Hal inilah yang
kemudian menjadi faktor pendorong bagi setiap umat beragama untuk mendirikan
bangunan peribadatannya masing-masing.19
Mereka yang memiliki kepedulian serta
perhatian terhadap kelangsungan agamanya rela melepaskan sebagian tanahnya atau
menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk kepentingan rumah peribadatan.
Contoh yang paling nyata dari adanya praktik wakaf sebelum Islam adalah
dibangunnya al-Ka’bah al-Musyarrafah oleh Nabi Ibrahim as. Hanya saja, dalam
perjalanan waktu, Ka’bah pernah digunakan sebagai tempat penyembahan berhala,
padahal sebelumnya adalah tempat beribadah kepada Allah Swt.20
Jika praktik wakaf telah dikenal sebelum
Islam, maka yang membedakannya dengan wakaf dalam Islam adalah bahwa praktik
wakaf yang diamalkan masyarakat jahiliyah dilakukan semata-mata hanya untuk
mencari prestise (kebanggan). Sedangkan dalam Islam bertujuan untuk mencari
ridla Allah dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.21
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa
Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang
siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat
ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah
SAW yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.22 Sebagian ulama
menyatakan bahwa yang pertamakali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin
Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra,
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Praktek wakaf juga berkembang luas pada masa
dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah dan dinasti sesudahnya, banyak orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun
lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji
para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Wakaf tunai (cash waqf) pertama kali
dipakai pada masa Utsman di Mesir, di akhir abad ke-16 (1555-1823 M).23 Pada
era Utsmani di Mesir, berkembang pemakaian fikih Hanafi dalam menjalankan
aktivitas binis dan sosialnya. Imam Muhammad asy-Syaibani menjelaskan bahwa
sekalipun tidak ada dukungan hadis yang kuat, penggunaan harta bergerak sebagai
wakaf dibolehkan, jika memang hal itu sudah menjadi kebiasaan umum pada daerah
tertentu. Bahkan bagi Imam Muhammad al-Sarakhsi, kebiasaan umum tidak selalu
menjadi persyaratan dalam penggunaan harta bergerak sebagai harta wakaf. Bahkan
menurut Crecelius, Dia menyatakan:24
“No Islamic State was more energetic in its
production of statistical records, more systematic in its record keeping, and more
assiduous in preserving these records than the Ottoman Empire.”
Artinya: “ Tidak ada negara Islam yang lebih
energik dalam menghasilkan wakaf dan catatan statistiknya, lebih sistematis
dalam menjaga catatan tersebut, serta lebih ketat dalam mengawasi catatan
tersebut ketimbang Dinasti Ustman.”
Terdapat tiga alasan mendasar kenapa ahli
fiqh era Utsmani menyusun bangunan wakaf tunai: Pertama, pandangan bahwa
aset bergerak dapat menjadi harta wakaf. Kedua, penilaian dan penerimaan
atas uang sebagai aset bergerak. Ketiga, persetujuan atas pemberian uang
tunai. Berikut bentuk uang wakaf tunai pada era Ustman di Mesir:
Kepopuleran wakaf tunai terjadi setelah
Professor Mannan mensosialisasikannya di Bangladesh melalui Social Investment
Bank Limited (SIBL). SIBL membuat Sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf
Certificate) untuk mengumpulkan dana dari orang kaya dan membagi perolehan
wakaf tunai yang telah dikumpulkannya kepada orang-orang miskin. Popularitas
“wakaf tunai”, ditimbulkan karena fleksibilitas penyebaran manfaat wakaf tunai
kepada kalangan mustadh’afin (orang fakir dan orang yang tertindas ekonominya)
dan dhu’afa’ (orang miskin) di segala tempat.
V. Wakaf dalam Hukum Positif
Indonesia
Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf
sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka.
Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur
tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan
yang mengatur tentang wakaf.26 Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14
(1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan
Menteri No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977,
Intruksi Bersama Menag RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat
Tanah Wakaf, Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan
Penyertifikatan Tanah Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, SK Direktorat
BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 29
ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim
dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau
pinjaman kebajikan [qard al-hasan]), SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS
dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman
kebajikan [qard al-hasan]).27
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu
dipaparkan di sini mengenai konsepsi fiqh wakaf Indonesia, yang memiliki
persamaan dan perbedaan dengan fikih tradisional. Di Indonesia, rukun wakaf
dalam hukum fiqh ada empat yaitu:
(1) orang yang berwakaf (al-waqif).
(2) benda yang diwakafkan (al-mauquf).
(3) orang yang menerima manfaat wakaf
(al-mauquf ‘alaihi/nadzir).
(4) lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Sedangkan dalam UU Wakaf Pasal 6 yang
merupakan fiqh Indonesia yang telah diundangkan, selain 4 rukun tersebut, wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi 6 unsur, yaitu 4 unsur tersebut ditambah dengan dua
unsur lain yaitu: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf.
Dalam konteks ini, wakif meliputi
perseorangan, organisasi, maupun badan hukum. Wakif perseorangan dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, dan merupakan pemilik sah harta benda wakaf. Wakif
organisasi dan badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi
atau badan hukum sesuai dengan anggaran dasar organisasi atau badan hukum yang
bersangkutan.28
Adapun pihak nazhir bisa dilakukan oleh
perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat nazhir perseorangan adalah
warga negara Indonesia, beragama Islam dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan
rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi atau badan
hokum yang bisa menjadi nazhir harus memenuhi persyaratan yaitu pengurus
organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana tersebut di atas, organisasi atau badan hukum itu bergerak di
bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam, badan
hukum itu dibentuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia.
Tugas nazhir adalah melakukan
pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi
harta benda wakaf, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil
bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak
melebihi 10% (sepuluh persen).29
Syarat-syarat harta yang diwakafkan
(al-mauquf) harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: al-mauquf harus barang
yang berharga, al-mauquf harus diketahui kadarnya, al-mauquf dimiliki oleh
wakif secara sah, al-mauquf harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta
lain (mufarrazan). Harta benda wakaf bisa berbentuk benda tidak bergerak
ataupun benda bergerak. Yang termasuk benda tidak bergerak antara lain:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri
di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan
dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan
ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang dimaksud benda bergerak adalah
harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, antara lain:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan
ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku.30
Berdasarkan paparan tersebut, dapat
ditegaskan bahwa pemahaman tentang benda wakaf hanya sebatas benda tak
bergerak, seperti tanah adalah kurang tepat. Karena wakaf juga bisa berupa
benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak
kekayaan intelektual, dan hak sewa, sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal
16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya
wakaf uang.
Syarat-syarat shigah berkaitan dengan ikrar
wakaf, yaitu harus memuat nama dan identitas Wakif, nama dan identitas Nazhir,
keterangan harta benda wakaf, dan peruntukan harta benda wakaf, serta jangka
waktu wakaf.
Pada prinsipnya, dalam rangka mencapai tujuan
dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta
kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak
terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang
tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring
dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah
Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti
dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran
wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra
kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga
wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi
hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa pemerintahan kolonial merupakan
momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi
keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan
swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan wakaf kemudian
hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas
untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar,
madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat
secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh
pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf
pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode
awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan
sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Karena minimnya regulasi yang mengatur
tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia
mengalami stagnasi. Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami
dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai
mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan
wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut
menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan
wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep
tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).
Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh
hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya
benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang.
Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari
pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat
menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang yang akan menjadi
juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang
akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Setelah melalui proses panjang,
pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU
Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia
nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode
2007-2010.31
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan
sejarahnya, wakaf terus berkembang dan insyaAllah akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan dengan tetap mengedepankan dan berpandukan prinsip Syariah. Lahirnya UU
wakaf berikut peraturan turunannya merupakan titik tolak peningkatan
pemberdayaan potensi wakaf di Indonesia ke arah yang lebih produktif dalam
bingkai fiqh Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat
ditegaskan bahwa pemahaman tentang pemanfaatan harta benda wakaf yang selama
ini masih terbatas digunakan untuk tujuan ibadah saja (yang berwujud misalnya:
pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan) adalah
kurang tepat. Nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa
saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti
dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan
gratis, atau riset ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ini juga bagian dari ibadah.
VI. Permasalahan Wakaf di Indonesia
Menurut Uswatun,32 terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi
umat:
1. Masalah
Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak
yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah
saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan
pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti
itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang
keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu,
layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari
ibadah.
Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta
yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah.
Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia,
surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini
sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga
sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.33
2. Pengelolaan
dan Manajemen Wakaf.
Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih
memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam
pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya
adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah,
dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya
kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan
wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat
di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi
masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan
perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang
dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu,
untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang
menkoordinasi dan melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah
dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
3. Benda yang
Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada
umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun
masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang ada beberapa
tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di Indonesia
masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak),
padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat
berharga dan uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah
nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir.
Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk
memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di
Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir
yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya.
Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat,
tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada
zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus
ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan
dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan
lain, sehingga memungkinkan wakaf tersebut berpindah tangan. Untuk mengatasi
masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu
apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya
mempertimbangkan kompetensinya.34
VII.
Pemberdayaan Wakaf Tunai di
Indonesia
Wakaf pada dasarnya adalah “economic
corporation”, sehingga wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi
masa depan dan mengembangkan harta produktif35 untuk generasi yang akan datang
sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya
secara langsung.36 Bentuk-bentuk wakaf yang sudah dikemukakan tersebut
merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi adalah landasan utama bagi
pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki arti mengarahkan sebagian dari
harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk modal produksi, yang mampu menghasilkan
manfaat/barang dan dapat digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang
dimaksud berupa investasi yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan
keuntungan yang direncanakan secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk
mereka yang ditentukan oleh wakif dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf (Islam) adalah membangun harta produktif
melalui kegiatan investasi untuk kepentingan mereka yang memerlukan yang telah
ditetapkan dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf
dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf
yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang
yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan
pemukiman. Kedua, wakaf produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan
investasi dan produksi barang dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut
hukum Islam. Dalam bentuk ini, modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian
hasil investasi tersebut didistribusikan kepada mereka yang berhak.37
Wakaf
merupakan salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum
sepenuhnya digali dan dikembangkan. Akan tetapi akhir-akhir ini upaya untuk
mengembangkan potensi wakaf ini terus menerus dilakukan melalui berbagai
pengkajian, baik dari segi peranannya dalam sejarah, maupun kemungkinan
peranannya di masa yang akan datang. Cukup banyak pemikir-pemikir Islam
khususnya pakar hukum Islam dan ekonomi Islam, seperti Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri,
dan Abdulkader Thomas, M.A. Mannan, melakukan pengkajian tentang wakaf.
Pengkajian tentang wakaf ini tidak hanya terjadi di universitas-universitas
Islam, tetapi juga di Harvard University
Jika para nazhir (pengelola wakaf) di
Indonesia mau dan mampu bercermin pada pengelolaan wakaf yang sudah dilakukan
oleh berbagai negara seperti Mesir, Bangladesh dan lain-lain, insyaAllah hasil
pengelolaan wakaf di Indonesia dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai
permasalahan sosial dan ekonomi yang ada saat ini dan masih dihadapi oleh
sebagian bangsa Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, dan masalah sosial
lainnya. Apalagi jika wakaf yang diterapkan di Indonesia tidak dibatasi pada
benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang.38
Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah
sebagai berikut.
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah
surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan
digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin
kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan demikian, intinya wakaf uang atau
kadang disebut dengan wakaf tunai adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah
yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf
‘alaih. Ini berarti bahwa uang yang diwakafkan tidak boleh diberikan langsung
kepada mauquf ‘alaih, tetapi nazhir harus menginvestasikan lebih dulu, kemudian
hasil investasi itulah yang diberikan kepada mauquf ‘alaih.
Paling tidak, teridentifikasi ada empat
manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini, yaitu:
1. Wakaf uang
jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah
bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah
terlebih dahulu.
2. Melalui
wakaf tunai, asset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan gedung atau diolah lahan pertanian.
3. Dana wakaf
tunai juga bisa membantu sebagai lembaga pendidikan Islam yang cash flownya
terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
4. Pada
gilirannya InsyaAllah umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunai
pendidikan tanpa harus selalu tergantung pada anggaran pendidikan Negara yang
terbatas.39
Wakaf uang diharapkan dapat menjadi sarana
bagi rekonstruksi sosial dan pembangunan, di mana mayoritas penduduk dapat ikut
berpartisipasi. Untuk mewujudkan partisipasi tersebut, maka berbagai upaya
pengenalan tentang arti penting wakaf uang sebagai sarana mentransfer tabungan
si kaya kepada para usahawan (entrepreneurs) dan anggota masyarakat dalam
mendanai berbagai kegiatan di negaranegara Islam perlu dilakukan secara intensif.
Mengapa harus wakaf uang?40
1. Siapapun Bisa. Kini, orang yang ingin
wakaf tidak harus menunggu menjadi kaya. Minimal Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah), anda sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat
Sertifikat Wakaf Uang.
2. Jaringan Luas. Kapan pun dan di manapun
anda bisa setor wakaf uang. Mudah bukan? Sebab, BWI telah bekerjasama dengan
Lembaga Keuangan Syariah untuk memudahkan penyetoran.
3. Uang Tak Berkurang. Dana yang diwakafkan,
sepeser pun, tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan
berkembang melalui investasi yan dijamin aman, dengan pengelolaan secara
amanah, bertangung jawab, professional, dan transparan.
4. Manfaat Berlipat. Hasil investasi dana itu
akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, serta
kesejahteraan masyarakat (social benefit). 5. Investasi Akhirat. Manfaat yang
berlipat itu menjadi pahala wakif yang terus mengalir, meski sudah meninggal,
sebagai bekal di akhirat.
Wakaf uang membuka peluang yang unik untuk
menciptakan investasi guna memberikan pelayanan keagamaan, layanan pendidikan,
dan layanan sosial. Tabungan orang-orang kaya dapat dimanfaatkan dengan
menukarkannya dengan Cash-Waqf Certificate. Hasil pengembangan wakaf yang
diperoleh dari sertifikat tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang
bermacam-macam seperti tujuan-tujuan wakaf itu sendiri. Kegunaan lain dari
Cash-Waqf Certificate adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana
kesempatan wakaf seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja.
Mustafa Edwin Nasution pernah melakukan
asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10
juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan antara Rp 500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) - Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka dapat dibuat
perhitungan sebagai berikut.
Tabel Potensi Wakaf Uang di Indonesia
Tihkat
Penghasilan Per Bulan
|
Jumlah
Muslim
|
Tarif
Wakaf per Bulan
|
Poten
Wakaf Tunai per bulan
|
Potensi
Wakaf Ynai Per tahun
|
Rp 500,000
|
4 Jt
|
Rp 5000
|
Rp 20
Milyar
|
Rp 240
Milyar
|
Rp 1 Jt-
Rp 2 Jt
|
3 Jt
|
Rp 10,000
|
Rp 30
Milyar
|
Rp 360
milyar
|
Rp 2 jt-
Rp 5 Jt
|
2 Jt
|
Rp 50,000
|
Rp 100
milyar
|
Rp 1,2
Triyun
|
Rp 5 Jt-10
Jt
|
1 Jt
|
Rp 100,000
|
Rp 100
milyar
|
Rp 1,2
Triyun
|
Rp 3
Trilyun
|
1. Apabila umat Islam yang berpenghasilan
Rp 500.000,00 sejumlah 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf
sebanyak Rp 60.000,00 maka setiap tahun terkumpul Rp240.000.000.000,00.
2. Apabila umat yang berpenghasilan
Rp1.000.000,00 - Rp2.000.000,00 sejumlah 3 juta orang dan setiap tahun
masing-masing berwakaf Rp120.000,00 maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak
Rp360.000.000.000,00.
3. Apabila umat yang berpenghasilan
Rp2.000.000,00 - Rp5.000.000,00 sejumlah 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing
berwakaf Rp600.000,00 maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak
Rp1.200.000.000.000,00.
4.Apabila umaat yang berpenghasilan
Rp5.000.000,00 - Rp10.000.000,00 sejumlah 1 juta orang dan setiap tahun
masing-masing berwakaf Rp1.200.000,00 maka setiap tahun terkumpul dana sebanyak
Rp1,200.000.000.000,00.
Dengan demikian wakaf yang terkumpul selama satu
tahun sejumlah Rp3.000.000.000.000,00. Berdasarkan contoh perhitungan di atas
maka terlihat bahwa keberhasilan lembaga untuk memobilisasi dana wakaf akan
sangat menentukan manfaat keberadaan lembaga wakaf. Yang menjadi masalah, uang
tersebut tidak dapat langsung diberikan kepada mauquf ‘alaih, tetapi nazhir
harus mengelola dan mengembangkannya terlebih dahulu. Yang harus disampaikan
kepada mauquf ‘alaih adalah hasil investasi dana Rp.3 triliun tersebut,
sedangkan uang wakafnya sendiri tidak boleh berkurang sedikit pun.
Dalam konteks pemanfaatan cash waqf untuk
dunia pendidikan, ada tiga filosofi dasar yang perlu ditekankan yaitu:
1. Alokasi cash waqf harus dilihat dalam
bingkai “proyek yang terintegrasi”, bukan bagian-bagian dari biaya-biaya yang
terpisah-pisah. Contoh adalah anggapan dana wakaf akan habis bila dipakai untuk
membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus abadi. Dengan
bingkai proyek sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program
pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya.
2. Asas kesejahteraan nadzir. Sudah terlalu
lama, nadzir sering kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta’ala
(dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib
“berpuasa”. Sebagai akibatnya seringkali kinerja nadzir asal-asalan juga. Sudah
saatnya, menjadikan nazdir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada
lulusan terbaik umat dan profesi memberikan kesejahteraan bukan saja di akhirat
tetapi juga di dunia. Di Turki, Badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5%
dari net income wakaf. Di Bangladesh, kantor administrasi wakaf juga 5 %.
Sementara The central waqf Council India mendapatkan sekitar 6 % dari net
income pengelolaan dana wakaf. Di Indonesia, maksimal 10%.
3. Asas transparansi dan accountability di
amna badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus malaporkan setip tahun akan
proses pengelolaan dana kepada umat Islam dalam audited financial report
termasuk kewajaran daripos biayanya.42
Tentu saja cara-cara pengembangan secara
produktif di atas mengandung risiko kerugian, bahkan kegagalan. Investasi dana
wakaf di instrumen-instrumen investasi Islami seperti obligasi syariah ataupun
pada saham-saham perusahaan Islami yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index,
misalnya mengandung market risk, yakni turunnya market value dari investasi
tersebut. Penanaman modal langsung di sektor produksi, seperti agribisnis, real
estate, perindustrian, perdagangan dan pertambangan, masing-masing memiliki
karakteristik risiko yang berbeda, baik dari segi risiko usahanya maupun risiko
yang terkait dengan proses bisnis dan produksinya. Pertambangan, misalnya,
termasuk sektor yang berisiko tinggi, memerlukan investasi yang besar, namun
menjanjikan return yang seimbang dengan risikonya. Di sisi lain, real estate
sangat terkait dengan keadaan ekonomi makro nasional dan daya beli masyarakat.
Namun risiko bukan harus dihindari, justru harus dikelola agar potensi
pengembangan dapat direalisasikan dengan memeperhitungkan dan mengendalikan
risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Dalam pasal 11, dinyatakan bahwa tugas nazhir
juga mencakup pengawasan dan perlindungan terhadap harta benda wakaf.
Pengawasan dan perlindungan terhadap harta benda wakaf dimaksudkan untuk
menjaga berkurangnya nilai harta benda wakaf, baik karena peristiwa-peristiwa
force majeur maupun karena kerugian/kegagalan investasi. Oleh karena itu,
nazhir selain memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Tentang Wakaf, yaitu a. warga negara Indonesia; b. beragama
Islam; c. dewasa; d. amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; dan f. tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi dalam pelaksanaannya nanti,
supaya nazhir dapat bekerja secara profesional dalam mengelola wakaf maka
nazhir khususnya nazhir wakaf uang juga harus memiliki berbagai kemampuan yang
yang menunjang tugasnya 43 sebagai nazhir wakaf produktif, yakni:
1. memahami hukum wakaf dan peraturan
perUndang-Undangan yang terkait dengan masalah perwakafan. Seorang nadzir sudah
seharusnya memahami dengan baik hukum wakaf dan peraturan perUndang-Undangan
yang terkait dengan masalah perwakafan. Tanpa memahami hal-hal tersebut,
penulis yakin nazhir tersebut tidak akan mampu mengelola wakaf dengan baik dan
benar;
2. memahami pengetahuan mengenai ekonomi
syari’ah dan instrumen keuangan syariah. Wakaf adalah salah satu lembaga
ekonomi Islam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu sudah
selayaknya seorang nadzir khususnya nadzir wakaf uang dituntut memiliki dan
memahami ekonomi syariah dan instrumen keuangan syariah;
3. memahami praktik perwakafan khususnya
praktif wakaf uang di berbagai Negara. Dengan demikian yang bersangkutan mampu
melakukan inovasi dalam mengembangkan wakaf uang, sebagai contoh misalnya praktik
wakaf uang yang dilakukan di Bangladesh, Turki, dan lain-lain;
4. mengelola keuangan secara professional dan
sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, seperti melakukan investasi dana wakaf.
Investasi ini dapat dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang;
5. melakukan administrasi rekening
beneficiary. Persyaratan ini memerlukan teknologi tinggi dan sumber daya
manusia yang andal;44
6. mengakses ke calon wakif. Idealnya
pengelola wakaf uang adalah lembaga yang ada kemampuan melakukan akses terhadap
calon wakif, sehingga nadzir mampu mengumpulkan dana wakaf cukup banyak.
Kondisi demikian jelas akan sangat membantu terkumpulnya dana wakaf yang cukup
besar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat;
7. melakukan distribusi hasil investasi dana
wakaf. Disamping mampu melakukan investasi, diharapkan nazhir juga mampu
mendistribusikan hasil investasi dana wakaf kepada mauquf ‘alaih. Diharapkan
pendistribusiannya tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi dapat memberdayakan
mauquf ‘alaih;
8. mengelola dana wakaf secara transparan dan
akuntabel.45
Untuk meningkatkan kualitas nazhir tersebut,
maka pembinaan terhadap mereka perlu segera dilakukan. Untuk di dalam
Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan
Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Tentang Wakaf disebutkan
bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk
Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau
kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal 48). Dalam Pasal 51 ayat (1)
disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa
untuk pertama kali pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan
kepada Presiden oleh Menteri (Menteri Agama). Alhamdulillah, setelah melalui
proses yang cukup panjang, pada akhirnya Menteri Agama Republik Indonesia telah
berhasil memilih calon anggota Badan Wakaf Indonesia untuk diusulkan kepada
Presiden. Pada tanggal 13 Juli 2007, Keputusan Presiden Republik Indonesia
tentang pengangkatan anggota Badan Wakaf Indonesia tersebut ditandatangani
Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Dengan demikian, pengelolaan risiko
pengelolaan dan pengembangan dana wakaf harus melibatkan proses manajemen
risiko yang ketat dan profesional di dalam tubuh BWI sendiri, sebelum
mendisimenasikan risk awareness dan risk consciousness serta mengaplikasikan
teknik manajemen risiko kepada perwakilan BWI di daerah maupun nazhir-nazhir di
seluruh Indonesia. Menjadi kewajiban BWI untuk memastikan bahwa pengelolaan dan
pengembangan dana wakaf telah melalui proses manajemen risiko yang baik.
Karena itu, yang perlu menjadi perhatian
utama bagi anggota BWI adalah merintis kerjasama dengan berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta, organisasi masyarakat, para ahli, perguruan tinggi,
badan internasional dan lain-lain.
Nah, dalam konteks Indonesia, Lembaga
Keuangan Syariah idealnya harus mampu bermitra dengan para nazhir untuk
mengembangkan wakaf uang di Indonesia ke arah yang lebih produktif. Pada 9
September, Menag Maftuh Basyuni memutuskan lima nama LKS Penerima Wakaf Uang
(PWU), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank
DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Ini momentum pengembangan wakaf produktif
melalui instrumen wakaf uang. Potensi wakaf uang terbilang besar.
Untuk mengoptimalkan potensi besar itu, LKS
berperan sebagai mitra kerja BWI dan para nazhir. 46 Dalam menggalang wakaf
uang, LKS dipilih sebagai mitra karena punya beberapa kelebihan. Pertama,
jaringan kantor yang membantu nazhir menghimpun wakaf uang. Luas jaringan ini
mampu menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tingkat pertumbuhan jumlah
kantor LKS 2,1 persen per bulan. Ini faktor penting dalam memaksimalkan
sosialisasi dan penggalangan wakaf uang.
Kedua, jaringan delivery channel. Jaringan
ini meliputi ATM, EDC, phone banking, mobile banking, dan internet banking.
Efektivitas dan efisiensi jaringan ini patut dibanggakan. Banyak orang
berbondong-bondong mengunduh manfaat dan kemudahan dari kemajuan teknologi. Ini
pun ceruk strategis yang mesti dimanfaatkan untuk menjaring wakaf uang.
Ketiga, jaringan mitra atau aliansi. LKS
telah berjejaring dengan berbagai mitra terkait. Melalui jaringan itu, LKS bisa
memasuki kawasan Nusantara. Pengalaman LKS dalam bermitra menjadi faktor yang
akan selalu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penghimpunan wakaf uang.
Faktor itu juga memungkinkan membentuk database informasi mengenai sektor usaha
ataupun debitur yang akan dikembangkan.47
Selain menjaring wakaf uang, LKS juga dapat
berperan sebagai mitra dalam pengembangan aset wakaf ke arah yang lebih
produktif. Ada beberapa alternatif model kerja sama. Pertama, hukr atau sewa
berjangka panjang. Model ini memosisikan LKS sebagai pengendali atau manajer
yang menyewa tanah wakaf untuk periode jangka panjang. LKS mengambil tanggung
jawab konstruksi dan manajemen serta membayar ongkos sewa secara periodik
kepada nazhir.
Kedua, murabahah. Nazhir memosisikan dirinya
sebagai pengusaha pengendali proses investasi yang membeli berbagai keperluan
proyek wakaf, seperti material dan peralatan kepada LKS. Pembayarannya dibayar
kemudian, diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan wakaf.
Ketiga, mudharabah. Model ini dapat digunakan
nazhir sebagai mudharib dan menerima dana likuid dari LKS untuk mendirikan
bangunan di atas tanah wakaf. Manajemen akan tetap berada di tangan nazhir dan
tingkat bagi hasil diterapkan untuk menutup biaya usaha dalam manajemen
sebagaimana juga penggunaan tanahnya.
Tiga model di atas sebatas contoh yang dapat
dikembangkan lebih jauh. Pada intinya, nazhir mempunyai kapabilitas dan
jaringan yang luas untuk mengembangkan aset wakaf. Pengembangan aset atau
investasi ini untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana
menciptakan kesejahteraan sosial dan membangun peradaban umat, seperti
memajukan pendidikan, pengembangan rumah sakit, pemberdayaan ekonomi
masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Fungsi ini diakui kurang maksimal sebab
pemanfaatan aset wakaf kebanyakan masih dikelola secara tidak profesional atau
konsumtif. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama tentang nama-nama LKS PWU,
akan menggairahkan semangat nazhir mengembangkan harta wakaf ke arah yang lebih
produktif melalui wakaf uang yang bekerja sama dengan LKS.
Sudah saatnya nazhir mengubah paradigma dalam
pengelolaan aset wakaf dari menunggu bola menjadi menjemput bola, dari
meminta-minta menjadi menjalin mitra. Itulah yang disebut sebagai financial
engineering dalam makna pengembangan aset wakaf. Dengan begitu, diharapkan tak
ada lagi aset wakaf yang tidak produktif, apalagi telantar dan tak jelas
statusnya.48
Apalagi, pada 2008 lalu DPR telah mensahkan
RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan perbankan Syariah. Artinya,
instrument untuk mengembangkan produktifitas perwakafan di Indonesia kian
terbuka lebar. Tinggal kita selaku umat Islam di Indonesia, bisa memanfaatkan
peluang atau tidak.49
Di samping itu semua, wakaf juga harus
dipromosikan dan service-nya ditingkatkan. Tujuan dari Promosi ini adalah
memberitahukan, menyadarkan, mengingatkan, mendorong dan memotivasi, menanamkan
citra yang kuat dalam benak, dan memudahkan dan Malayan
Adapun bentuk atau cara promosi yang dapat
dilakukan meliputi beberapa hal, seperti sebagai berikut:
1. Surat, contohnya surat penawaran atau
ajakan/dakwah untuk berwakaf.
2. Presentasi, baik pesentasi perorangan atau
kelompok/ lembaga.
3. Barang cetakan, seperti: brosur, leaflet,
poster dan flier.
4.
Perhatian, contohnya adalah: tampilan dan informasi.
5. Branding informasi ke masyarakat dengan
mengintegrasikan berbagai potensi media pada waktu bersamaan.
6. Penerbitan, seperti jenis media, sasaran
konsumen, pesan, buku, buletin, majalah, Koran, dll.
7. Perhatian penulisan, seperti: informasi,
bentuk, lokasi, waktu dan gaya, mandiri dan kerja sama.
8. Iklan, contohnya seperti: iklan dimedia
cetak, televisi, radio, internet, media pertemanan (facebook, twiter dan
lain-lain), dan media luar ruangan.
9. Asesoris dan gift, seperti: Boolpoint,
sticker, gantungan kunci, pembatas buku, kaos, topi, kalender, buku agenda dan
lain-lain.
10. Event, contohnya adalah seperti seminar,
pelatihan, lomba, festival, malam amal atau kegiatan sosial lainnya.
11. Pengabdian kepada masyarakat, dan
lain-lain.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
promosi antara lain: sasaran komunitas donatur yang dituju; daya jangkau alat
promosi (coverage area); ketepatan waktu penggunaan; kata-kata, gaya bahasa dan
gambar yang digunakan; biaya yang harus digunakan; dan daya pengaruh atau
bentuk respon yang diharapkan. Sedangkan peningkatan pelayanan transaksi wakaf
baik benda tidak bergerak maupun benda bergerak termasuk wakaf uang dapat
dicatat yang kemudian dibimbing prosesinya melalui saluran yang ada (PPAIW/ Kantor
KUA, Notaris, dan LKS-PWU untuk wakaf uang). Pelayanan transaksi untuk
sumbangan operasional pengelolaan wakaf dapat dilakukan dengan berbagai pilihan
yang cocok secara parsial atau kombinasi dari daftar di bawah ini: 1. Bayar
langsung
2. Transfer via rekening bank
3. Debet langsung setiap bulan dari rekening
donatur
4. Pembayaran via phone banking
5. Pembayaran via ATM
6. Pembayaran via kartu debet
7. Pembayaran via SMS
8. Pembayaran via internet
9. Pemotongan laba perusahaan
10. Pemotongan gaji pegawai
11. Penjualan merchandise
12. Sponsorship, dan lain-lain.50
VIII.
Teori
Redistribusi Ekonomi dan Wakaf Tunai
Dalam ekonomi konvensional, telah berkembang
mengenai perlunya redistribusi ekonomi dalam masyarakat. Ada dua teori besar
dalam hal itu. Namun sebelumnya, di sini perlu dijelaskan bahwa arti
“redistribusi ekonomi” adalah penyebaran kekayaan dari suatu masyarakat kepada
masyarakat tertentu secara tunai atau dengan cara lain. Hal itu juga mencakup
pembiayaan layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan yang dilakukan oleh
sekelompok orang kepada yang lainnya. Satu pihak menerima manfaat dan pihak
lainnya memberikan manfaat. Agen (pelaku) redistributif berfungsi sebagai
perantara (intermediari) antara kedua pihak tersebut.
Ada 3 macam pelaku redistribusi: pemerintah,
perorangan, dan lembaga swasta sebagai wadah yang mewakili himpunan perorangan.
Program yang dilakukan tiga agen tersebut seperti pajak, infaq (derma),
beasiswa, termasuk wakaf dan semua itu disebut mekanisme redistributif.
Dalam literatur ekonomi, ada dua bentuk
pembahasan mengenai redistribusi.51 Bentuk pertama adalah bentuk diskusi yang
mempertanyakan aspek normatif. Dalam hal ini, mereka membahas tentang: apakah
redistribusi perlu? Siapakah yang melakukannya redistribusi? Apakah efisiensi
ekonomis (economic efficiency) itu lebih utama ketimbang persamaan ekonomi
(economic equality)? Ada dua kelompok yang berseberangan pandangan sehubungan
dengan diskusi masalah normatif ini, yaitu Pareto Criterion dan Liberalisme.
Bentuk kedua adalah diskusi yang membahas tentang: mengapa kita mesti
memperhatikan redistribusi ekonomi dalam masyarakat? Terkait dengan dua diskusi
itu, tulisan ini mengambil posisi pada diskusi kedua. Sehingga tidak perlu
dipersoalkan lagi mengenai arti pentingnya redistribusi.
Tujuan teori redistribusi adalah menjelaskan
keberadaan redistribusi dalam masyarakat. Sedangkan dari sudut pandang
pelaku/penggerak redistribusi (redistributive agent), maka redistribusi dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengambil peran perorangan yang
menjelaskan mengapa seseorang menyebarkan pendapatannya kepada orang lain.
Kelompok kedua, kebalikannya, menjadikan pemerintah sebagai penggerak
redistribusi (the redistributive agent), yang menjelaskan mengapa pemerintah
berperanserta dalam tindakan redistribusi (redistributive actionsi). Mayoritas
teori ekonomi termasuk dalam kelompok kedua. Sementara itu, teori yang
menegaskan bahwa lembaga swasta dapat berfungsi sebagai penggerak redistribusi
(redistributive agent) hampir tidak ada.
Kelompok pertama diwakili oleh Becker
(1974).53 Teori Becker bertitik tolak dari fungsi utilitas rumah tangga. Fungsi
utilitas tumah tangga bergantung pada komoditas (barang dagangan) dan
kebutuhan-kebutuhan keluarga. Rumusnya adalah sebagai berikut:
(1) Ui = Ui (X,
R)
X menunjukkan komoditas yang tersedia untuk
kebutuhan konsumsinya; R menunjukkan kebutuhan-kebutuhan bersamanya. Dalam
teori klasik tentang perilaku rumah tangga, ahli ekonomi mengganggap R sebagai
baku (pasti), sehingga mengeluarkan fungsi utilitasnya karena hal itu bukan
merupakan persoalan pilihan. Kemudian Becker membedakan fungsi utilitasnya dari
teori klasik. Bedanya Teori Becker memasukkan kebutuhan-kebutuhan bersama,
sementara utilitas menurut teori klasik terkait dengan barang-barang umumnya
dan layanan-layanan. Tidak seperti teori klasik, Becker berpandangan bahwa
rumah tangga dapat mengubah Rji dengan usahanya sendiri. Selain daripada itu,
Becker tidak sependapat dengan pengertian konvensional tentang pendapatan
(income). Sehingga dia memperkenalkan istilah “pendapatan bersama (Social
Income).” pendapatan bersama (Social Income) adalah sejumlah pendapatan rumah
tangga dan nilai keuangan, menurutnya, terkait dengan karakteristik dari
sesuatu selainnya atau dari lingkungan sosialnya. Dalam pengertian matrik, dia
menulis pendapatan bersama dari persorangan sebagai i pada rumus berikut:
(2) Ii = px x+ph
R
px adalah harga pada barang konsumsi x dan ph
h adalah besaran keuangan rumah tangga yang telah habiskan untuk mengubah R.
yang menghasilkan sejumlah (a) hambatan (b) menciptakan keadaan optimal yang
diperlukan: rumus pengeluaran yang optimal (optimal expenditure pattern) adalah
pada pengertian di mana rasio utilkitas marginal dari konsumsi dan lingkungan
sosial adalah sama dengan rasio harga. Jadi rumah tangga i menghabiskan
pendapatannya I untuk komsumsi terhadap barang dagangan X dan untuk upaya-upaya
mengubah lingkungan sosialnya. Pemberian derma (infaq) hanya merupakan tindakan
khusus dalam kerangka umum pemikiran ini. Dengan demikian, rumah tangga i
memperhatikan konsumsi rumah tangga j berupa barang dagangan (komoditas) X.
Oleh karena itu, Becker menulis fungsi utilitasnya sebagai berikut:
(3) Ui =Ui (xi
,xj )
xj adalah konsumsi rumah tangga j yang sama
dengan (Ij +h)/pj . yang menghasilkan (c) persoalan anggaran (budget), sehingga
hasilnya adalah I i =pi xi +pj xj . Jadi rumah tangga i menghabiskan pendapatannya
untuk konsumsi barang dagangan (komoditas) X untuk dirinya sendiri dan untuk
rumah tangga j. Becker berpandangan lebih jauh bahwa rumah tangga i dan
penerima infaqnya menghasilkan keluarga sintetik (a synthetic family). Dampak
dari pandangan inilah yang menarik, yaitu bahwa infaq/derma adalah suatu
“bentuk asuransi/perlindungan diri sendiri yang merupakan pengganti asuransi
pasar dan pelimpahan pemerintah (Charity is a form of self-insurance that is a
substitute for market insurance and government transfers).”54
Dengan demikian, dalam menjalankan peranan
wakaf tunai sebagai alternatif mekanisme redistribusi ekonomi, setidaknya ada
dua peranan yang menentukan dalam reaslisasinya. Peranan pertama, negara
mempunyai peranan yang krusial. Negara dapat menyerahkan “lahan nganggur”
secara terang-terangan dan legal sebagai “wakaf” ataupun menyerahkan sejumlah
uang sebagai “wakaf tunai” kepada pihak-pihak yang lemah secara ekonomi atau
pihak yang kuat secara ekonomi yang berpotensi menjalankan usaha yang menguntungkan
sehingga dapat menyerap tanaga kerja. Peranan kedua, negara/pemerintah
menciptakan ataupun menguatkan sistem wakaf dengan cara membina, mengawasi, dan
mencatat pemasukan dan pengeluaran dari sistem wakaf tersebut.
IX. Penutup
Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
merupakan persoalan rumit yang dihadapi oleh negara. Sifatnya massif dan
struktural serta meluas yang terjadi pada setiap lapisan masyarakat. Oleh
karena itu, karena negara mempunyai dan memegang kekuasaan sekaligus kekuatan
ekonomi paling besar. Sehingga negaralah yang sewajarnya mengemban tugas mulia
untuk mengentaskan kemiskinan. Sekalipun begitu, tidak menutup kemungkinan
setiap lapisan masyarakat mempunyai peranan yang signifikan dalam mengentaskan
kemiskinan. Bahkan peran agama juga sangat dimungkinkan dalam hal ini.
Sebagaimana ditunjukkan dalam ajaran Islam tentang zakat dan juga wakaf,
penerapan keduanya berpotensi besar mengurangi secara signifikan angka
kemiskinan yang bersifat “struktural” tersebut.55.
Bersama ajaran-ajaran Islam lainnya terkait
dengan ekonomi, ajaran wakaf juga sangat berpotensi mengurangi kemiskinan dan
kehidupan ekonomi yang serba kekurangan pada masyarakat. Tentu saja, di
Indonesia bahkan di dunia, program pengentasan kemiskinan tidak lagi menjadi
tugas negara. Sekalipun begitu, negara memang memegang perang paling besar.
Karena dengan kapasitas dan kualitas negara, maka negara-lah pengemban amanah
dari setiap warga negaranya. Peran penting negara tampak sangat vital apalagi
sehubungan dengan kemiskinan “struktural” yang ditimbulkan akibat ketimpangan
dari aplikasi kebijakan negara. Dengan demikian, potensi wakaf dalam mengurangi
kemiskinan tidak dapat dilihat dari persoalan mikro ekonomi Islam saja.
Oleh karena itu, potensi wakaf tunai
khususnya di Indonesia yang luar biasa sebagaimana dijelaskan di atas harus
mendapatkan penanganan manajemen yang profesional. Hal itu dapat terwujud, jika
masyarakat telah memahami dasar hukum dan potensi wakaf tunai. Akhirnya,
perubahan paradigma perwakafan tradisional menjadi wakaf produktif dalam bentuk
wakaf tunai merupakan kesadaran yang semestinya diingatkan demi terjadinya
peningkatan kualitas hidup dan kebagiaan umat Islam dunia-akhirat. Upaya
penyadaran perlu dilakukan terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas
Badan Wakaf Indonesia), Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009, accessed 3
Juli 2009.
Abu Su'ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf
al-Nuqud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997). Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid
al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath alQadir, jilid 6. (Beirut: Dar al- Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1970)
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz IX, tahqiq
Mahmud Mathraji, (Beirut: Dar alFikr, 1994) Birol Baskan, Waqf System As A
Redistribution Mechanism In Ottoman Empire, Chicago: Northwestern University
Department of Political Science, 2002,
April. Crecelius, Daniel, “Introduction,”
Journal of the Economic and Social History of the Orient, Leiden: E.J.Brill,
v.38, part 3 (august), 1995.
DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf. (Jakarta: Dir
Dian Masyita, Muhammad Tasrif, dan Abdi
Suryadinata Telaga, “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The
Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia,” hal. 1
diakses dari http://www.islamicworld.net. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data
Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22
April 2008.
Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan
Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006)
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan
Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007)
Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in
Poverty Alleviation. (Jeddah: IRTI, 2004)
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11.
(Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa alTarjamah, 1954)
Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir,
jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972)
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul
al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.) Ismail bin Umar bin Kasir, Tafsir
Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001)
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam
al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih
bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf, (Jakarta: DD
Republika dan IIMan, 2004)
Muhammad Ahmad Alisy, Syarh Minah al-Jalil
ala Mukhtashar Khalil, (Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H)
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Awladih, 1958) Muhammad Syafii Antonio, “Cash Waqf dan Anggaran
Pendidikan”, dalam Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan. (Jakarta: Depag RI, 2004)
_______________, Kata pengantar Buku Kabisi,
hal. xiv-xv Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh
Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Khlmifa, 2005)
Murat Cizakca, Ottoman Cash Waqfs Revisited:
The Case of Bursa 1555-1823, UK: FSTC, 2004. Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun
Hasanah (Editor), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan
dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat (Jakarta: PKTTI-UI, 2005) Padang Ekspres,
Rabu, 28 Mei 2008 accessed 3 Juli 2009 PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Republika, 31 Oktober 2008 accessed 3 Juli
2009 Riza Prima Henda, dkk. Kemiskinan dan Kemandirian: Catatan Perjalanan dan
Refleksi Bina Swadaya. Jakarta: Yayasan Bina Swadaya, 2003.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar
al-Fikr, 1983) Suparman IA, “Manajemen Fundraising dalam Penghimpunan Harta
Wakaf”, (dengan beberapa modifikasi oleh penulis) dalam www.bw-indonesia.net/
diakses 3 Juli 2009.
Syafi’i Antonio “Bank Syariah Sebagai
Pengelola Dana Waqaf”, disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, diselenggarakan oleh
DEPAG-IIIT, 7-8 Januari 2002.
Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi,
Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh alKabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Thalhah Hasan (Ketua Badan Pelaksana Badan
Wakaf Indonesia (BWI)) (2009), Peran LKS di Era Wakaf Produktif,
http://bw-indonesia.net/, Senin, 09 Maret 2009, accessed 10 Agustus 2009.
Tholhah Hasan (2009), “Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia”, dalam
Republika, Rabu, 22 April 2009, accessed 3 Juli 2009.
Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan
dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan
Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009)
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, juz VIII (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985)
==================
Penulis adalah dosen tetap Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung Jawa Timur dalm bidang Manajemen
Keuangan Syariah.