Skip to main content

Zakat Yang Tepat untuk Anak Yatim


Zakat Yang Tepat untuk Anak Yatim


Tanya:
Assalamualaikum. Apabila jumlah pendapatan selama setahun telah mencapai nisab, tetapi sebagian besar digunakan untuk kebutuhan dan dipinjam oleh keluarga, apakah wajib dikeluarkan zakatnya? Semisal zakat diberikan ke anak yatim, untuk kebutuhan sekolahnya masuk SMU atau universitas, apakah ada batas umur seorang anak yatim yang berhak menerima zakat? Terima kasih. Wassalamualaikum. (Fendy - Yogyakarta)

Jawab:
Waalaikumsalam. Mas Fendy, terdapat dua kaidah penghitungan zakat penghasilan. Yang pertama zakat yang dihitung dari pendapatan kasar (bruto). Zakat ini nilainya 2,5 persen dari pendapatan total. Kaidah kedua adalah zakat yang dihitung dari pendapatan bersih (neto). Untuk menghitungnya, tentukan dulu jumlah pendapatan wajib zakat, yakni mengurangi pendapatan total dengan pengeluaran setahun. Nilai zakat dihitung berdasarkan hasil pengurangan tersebut, kemudian dikalikan 2,5 persen. Menurut  Yusuf Qardhawi, sangat dianjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (bruto). Ini untuk lebih menjaga kehati-hatian. Sebaiknya, sebelum penghasilan digunakan untuk kebutuhan keluarga, lebih baik dikeluarkan zakatnya terlebih dahulu. Allah SWT menjelaskan pemberian atau pendistribusian zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf (kelompok) yaitu: "Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Taubah:60)

Anak yatim dalam hal ini tidak disebutkan dalam delapan asnaf penerima zakat. Akan tetapi, apabila anak yatim ini tergolong ke dalam salah satu golongan yang disebutkan dalam At Taubah: 60, maka diperbolehkan memberikan zakat kepadanya. Contohnya anak yatim yang fakir, miskin, atau termasuk ke dalam kriteria lain dalam 8 asnaf. Batasan umur anak yatim laki-laki yang dapat menerima zakat adalah balig (mencapai usia nikah). Ini sesuai dengan ayat dalam Alquran, "Ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka--yang selama ini dititipkan kepada kalian." (An Nisa: 6) Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, "Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia balig pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadis dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, 'Aku menghadap Nabi SAW dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengizinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.'" (HR Bukhari-Muslim) Batas untuk anak yatim perempuan adalah hingga ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan. Apabila Mas Fendy ingin membantu anak yatim di luar batas umur yang disebutkan di atas, maka bantuannya tidak berupa zakat akan tetapi bisa berupa sedekah. Wallahu’alam. (Rumah Zakat)

2. Assalamualaikum, wr.wb. Admin Dompet Dhuafa Banten. Saya mau bertanya, apakah anak yatim boleh menerima zakat? Apakah boleh dimasukkan ke dalam golongan fakir/miskin? Dari: Yani Cahaya, via Facebook
Jawaban:
Waalaikumsalam, wr.wb. Semoga Allah Swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.
Allah ta’ala telah menjelaskan delapan golongan penerima zakat. Allah berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Karena itu, kriteria yatim, bukan termasuk kriteria orang yang berhak menerima zakat. Akan tetapi jika ada anak yatim yang memenuhi salah satu dari kriteria di atas, misalnya, dia yatim fakir atau miskin, maka dia berhak menerima zakat.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat? Jawab beliau, “Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika Anda menyerahkan zakat Anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat Anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346)
Kemudian beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim. Ada satu catatan penting, sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apa pun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353) 
Namun, anak yatim berhak menerima santunan dari selain zakat, seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus, sehingga tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk di antaranya adalah aturan penerima zakat.
Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu. Allahu a’lam.

3. Apakah anak yatim boleh menerima zakat?

Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Allah ta’ala telah menjelaskan delapan golongan penerima zakat. Allah berfirman,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Karena itu, kriteria yatim, bukan termasuk kriteria orang yang berhak menerima zakat. Akan tetapi jika ada anak yatim yang memenuhi salah satu dari kriteria di atas, misalnya, dia yatim fakir atau miskin, maka dia berhak menerima zakat.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat? Jawab beliau,
الأيتام الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين عليها ،
Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346).
Kemudian beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى زكاة
Ada satu catatan penting, sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353).
Catatan:
Anak yatim berhak menerima santunan dari selain zakat. Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus, sehingga tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya adalah aturan penerima zakat. Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu. Allahu a’lam
 Apakah Anak-anak Yatim di Panti Asuhan boleh Menerima Zakat?, Zakat yatim piatu itu gimana hukumnya? Bolehkah zakat penghasilan zakat mal atau zakat fitrah dibayarkan kepada anak yatim? Bagaimana kriteria anak yatim yang berhak menerima santunan (zakat) dan berapa persen?
Jawab:
Apabila kita mendengar anak yatim, kita pasti beranggapan bahwa anak yatim adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua. Namun ketika saya mencari tentang pengertian anak yatim dalam bahasa Indonesia, definisi tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena ada kata anak piatu dan juga anak yatim piatu yang memiliki makna yang sama, yaitu anak yang tidak memiliki orang tua. Untuk menjaga kesehatan anak, mereka bisa diberi suplemen seperti stimuno untuk anak.

Apa itu Panti Asuhan

Panti asuhan adalah tempat untuk mengasuh. Hal tersebut didasarkan asal kata panti asuhan itu sendiri, yaitu panti yang berarti pondok atau tempat dan asuhan yang bermakna membimbing, mengasuh. Berbeda dengan panti jompo yang dihuni oleh lansia, panti asuhan umumnya dihuni oleh anak-anak. Anak-anak tersebut kebanyakan adalah anak-anak terlantar, anak yatim piatu, dan anak-anak yang terkadang dititipkan oleh pihak keluarganya. Saat ini panti asuhan tidak hanya ada di kota kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Berdasarkan  yang tercantum dalam Wikipedia, anak yatim adalah seorang anak yang tidak memiliki ayah, sedangkan anak piatu adalah anak yang tidak memiliki ibu. Serta yang disebut anak yatim piatu adalah seorang anak yang tidak memiliki ayah dan ibu. Setelah membaca pengertian tersebut, saya kemudian mencari definisinya menurut agama Islam.

Panti asuhan yatim piatu adalah sebuah panti yang dikhususkan untuk merawat dan membimbing anak yatim piatu. Anak yatim dalam Islam dipandang sebagai anak yang harus dipelihara dengan baik. Bahkan Nabi Muhammad terlahir sebagai anak yatim (tanpa ayah). Dalam salah satu hadisnya, hubungan antara orang yang merawat anak yatim dengan adil diibaratkan jari telunjuk dan jari tengah atau sangat dekat.

Meskipun kebanyakan anak yatim piatu adalah tidak mampu, namun ada juga anak yatim yang memiliki harta warisan orangtuanya. Dikarenakan ketidakmampuan anak dalam mengelola harta tersebut , Rosul Muhammad sangat menganjurkan untuk memelihara anak yatim piatu sampai anak yatim piatu tersebut mampu mengurus diri dan hartanya. Tidak dibenarkan orang yang memelihara anak yatim mengambil harta yang mengambil anak yatim piatu. Bahkan dalam Al Qur’an disebutkan bahwa orang yang memakan harta anak yatim akan disiksa dengan siksaan yang berat.

Anak Yatim Piatu dan Zakat

Setiap pribadi muslim diwajibkan untuk membayar zakat baik itu zakat fitrah maupun zakat mal. Besarnya zakat fitrah di Indonesia umumnya adalah 2,5 kg beras atau disesuaikan dengan makanan pokok setempat yang nilainya setara dengan 2,5 kg beras. Tidak boleh kurang. Jika pembayaran zakat fitrah kurang dari ketentuan maka hukumnya tidak sah dan dianggap sebagai sedekah biasa. Waktu dan ketentuan pembayaran zakat telah di atur dalam syariat Islam. Zakat mal adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas harta benda yang dimiliki yang besarnya pada umumnya adalah 2,5% dari nilai bersih. Tidak ada istilah zakat yatim piatu.

Asnaf Zakat

Asnaf zakat adalah golongan yang berhak menerima pembagian zakat, baik itu zakat fitrah maunpun zakat mal. Zakat biasanya dikumpulkan oleh lembaga amil zakat. (LAZ). Ada pendapat yang mengatakan bahwa dana zakat tidak diperuntukkan bagi anak yatim. Hal tersebut didasari oleh alasan Surat At Taubah ayat 60, tentang 8 golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak disebutkan anak yatim sebagai penerima Zakat.” Karena pentingnya zakat, asnaf zakat kerapkali dijadikan materi khutbah jumat.

Adakah zakat yatim piatu?

Pertanyaanya, benarkah anak yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana pandangan Islam tentang posisi anak yatim sebagai penerima Zakat? Bolehkah memanfaatkan dana Zakat untuk menyantuni, membina, dan memberdayakan anak yatim? Penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat.
  2. Bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga yatim. Tidak ada zakat yatim piatu
  3. Bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut, perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya.
  4. Secara umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.

Keutamaan memelihara anak yatim piatu

Menurut istilah dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ، وإنه لا ينقطع عنه اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد
(
رواه مسلم
)
Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa

Berdasarkan hadits tersebut kita telah mengetahui batasan mengenai anak yatim. Setelah kita mengetahui batasan tersebut, tentu saja kita harus mengetahui hak hak yang harus diterima oleh anak yatim. Karena anak yatim sebenarnya adalah bagian dari kita. Apabila kita tidak bisa memberikan hak untuk anak yatim, maka sesungguhnya hak hak Anda juga tidak akan diberikan oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Menurut Prof Dr KH Achmad Satori Ismail, ada beberapa hak anak yatim yang harus dipenuhi oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Karena menurut syariat Islam, ada beberapa kemuliaan apabila kita menyantuni anak yatim. Keutamaan memelihara anak yatim piatu tersebut adalah

Balasannya surga


Berbuat baik dan menyantuni anak yatim merupakan amalan yang paling utama dan paling suci (QS al-Baqarah [2]: 177). Menurut agama Islam, perbuatan menyantuni anak yatim akan mendapat surga (QS al-Insan: 8-22), sedangkan apabila kita tidak menyantuni anak yatim maka kita akan mendapat dosa besar dan masuk neraka (HR Bukhari dan Muslim).

Rumahnya dimuliakan

Rumah yang paling baik adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan, dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang ada anak yatim, namun dihinakan. Jadi apabila kita memiliki saudara dan kondisinya sudah menjadi anak yatim, sebagai keluarga kita wajib menyantuninya dengan benar dengan memperhatikan kebutuhannya, baik kebutuhan material tapi juga aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan spiritual.

Keajaiban memelihara anak yatim [Kisah Nyata]

Berdasarkan keterangan tersebut, saya kemudian membandingkan dengan apa yang terjadi di keluarga saya. Kebetulan saya memiliki keluarga yang sekarang sudah menjadi anak yatim dan masih kelas 4 SD. Ketika saudara saya masih berumur 8 bulan, dia ditinggal oleh bapaknya karena kecelakaan di daerah Mojoagung Jombang. zakat yatim piatu
Seketika itu pak dhe saya meninggal dunia dan akhirnya anak tersebut dirawat oleh orang tua saya karena sehari sebelum kecelakaan pak dhe saya mengatakan kepada bapak saya kalo ingin menitipkan anaknya yang paling kecil kepada bapak. Dan akhirnya bapak pun merawatnya sampai sekarang.
Yang terjadi sudah pasti sesuai dengan yang dijanjikan oleh Allah. Ketika saudara saya yang bernama Mas Anang tersebut dirawat oleh bapak saya. Kebutuhan hidup keluarga saya tentu saja menjadi meningkat. Dan Allah Yang Maha Adil pun kemudian memberikan rejeki yang lebih untuk keluarga saya.
Dari fakta tersebut, saya meyakini bahka ketika kita ikhlas dalam menyantuni anak yatim. Saya yakin berbagai kemudahan terutama kemudahan mencari rejeki pasti akan datang. Karena senyuman anak yatim akan mendatangkan banyak rejeki untuk rumah yang ditempatinya.
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti Asuhan Anak Yatim
Bolehkah menyerahkan zakat ke panti asuhan anak yatim?
Biasanya utk biaya operasional panti..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk membersihkan orang yang yang puasa dari dosa tindakan sia-sia dan omong jorok dan sebagai makanan bagi orang miskin ….” (HR. Abu Daud 1609, Ibn Majah 1827; dihasankan al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.
Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2/7)
Allah telah menjelaskan siapa saja yang berhak zakat dalam firman-Nya,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Artinya semata status yatim, bukan termasuk kriteria yang menyebabkan seseorang berhak menerima zakat.
Sebelumnya kita perlu tahu, siapakah anak yatim itu?
Dalam ensiklopedi Fiqh dinyatakan definisi anak yatim,
الْيَتِيمَ بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadis: “Tidak ada status yatim setelah baligh.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 45/254)
Berdasarkan pengertian di atas, ada dua kemungkinan anak yatim
Pertama, anak yatim yang kaya. Misalnya, dia memiliki banyak warisan dari orang tuanya. Anak yatim semacam ini, tidak berhak mendapat zakat.
Kemungkinan kedua, dia anak tidak mampu. Anak yatim yang miskin. Sehingga dia berhak menerima zakat. Bukan karena statusnya yatim, tapi karena dia orang miskin.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat?
Jawaban beliau,
الأيتام الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين عليها
Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346).
Beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى زكاة
”Ada satu catatan penting, sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah juga disebutkan,
لا يجوز صرف الزكاة إلى اليتيم إلا إذا كان من الأصناف الثمانية الذين يجوز صرف الزكاة إليهم، وهم المذكورون في قول الله تعالى   – التوبة: 60 – ، ولأن اليتيم قد يكون غنيا بإرث أو هبة ونحو ذلك
Tidak boleh memberikan zakat kepada anak yatim. Kecuali jika dia termasuk salah satu dari 8 golongan yang boleh menerima zakat, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah di surat Taubah: 60. Karena anak yatim terkadang kaya dari warisan, hibah, atau yang lainnya. (Fatwa Syabakah islamiyah, no. 59155).
Karena itu, zakat tidak bisa secara penuh diserahkan ke panti asuhan anak yatim, tanpa disertai keterangan bahwa itu khusus bagi yang miskin. Kecuali jika seisi panti itu semuanya anak yatim yang miskin.
Catatan:
Anak yatim yang kaya berhak menerima santunan dari selain zakat. Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus, tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya adalah aturan penerima zakat.
Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu.Allahu a’lam

Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Anak Yatim dari Kerabat Sendiri?

“Assalamu’alaikum, Wr. Wb, Ustadz pengasuh yang saya hormati, salah seorang kerabat saya memiliki anak yatim. Bolehkah jika saya menyerahkan zakat penghasilan saya kepada anak yatim tersebut? Terimakasih.-Dari Ismail, Banda Aceh-
Jawaban:
Saudara penanya yang dirahmati Allah, dalam surah Al-Baqarah, ayat 215, Allah Swt berfirman: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapakkaum kerabatanak-anak yatimorang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kerabat kita merupakan orang-orang yang memiliki hak atas bantuan kita. Apabila diantara kerabat atau famili kita ada yang membutuhkan bantuan, maka kita adalah orang pertama yang berkewajiban membantunya. Tetapi apakah ini bermakna mereka berhak menerima zakat dari kita? Dalam surah At-Taubah ayat 60 Allah menegaskan: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Jelaslah bahwa kerabat tidak termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Sehingga, para ulama tafsir berpendapat bahwa surah Al-Baqarah ayat 215 di atas membahas masalah sedekah, infaq dan nafkah, bukan zakat. Artinya, kita boleh memberikan sedekah atau infaq kepada siapa pun. Syarat penerimanya lebih longgar. Sedekah atau infaq lebih afdhal diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Sedekah juga lebih afdhal diberikan kepada orang terdekat. Begitupun perihal nafkah. Seseorang berkewajiban menafkahi orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya. Seorang kerabat memiliki kewajiban menafkahi kerabatnya ketika kerabat tersebut tidak mampu dan tidak ada orang terdekat yang menafkahinya. Sehingga, tanggung jawab menunaikan zakat tidak dianggap selesai setelah seseorang memberikan sedekah, infaq atau nafkah kepada kerabatnya. Artinya, orang tersebut masih harus membayarkan zakatnya meski pun dia telah memberikan sedekah untuk kerabatnya.
Kemudian perihal anak yatim, apakah anak yatim berhak menerima zakat? Sebagaimana tertera dalam surah At-Taubah ayat 60, anak yatim tidak termasuk kategori mustahik. Seorang anak yatim yang kebutuhan hidupnya telah tercukupi, tidak berhak menerima zakat. Adapun bila kebutuhan dasar anak yatim itu belum terpenuhi atau tidak ada orang yang menanggung hidupnya secara penuh serta tidak memiliki harta, maka anak yatim itu berhak menerima zakat. Jadi, yang menjadikan seorang anak yatim bisa menerima zakat bukan karena statusnya sebagai yatim, tapi sebagai orang miskin atau fakir. Saudara bisa memberikan zakat kepada anak yatim bila ia berstatus fakir atau miskin.
Terkait dana zakat untuk anak yatim ini, Ibnu Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa menuliskan, anak yatim yang miskin berhak menerima zakat. Jika Anda menyerahkan zakat Anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat Anda sah apabila pengurus ini adalah orang yang amanah. Ada satu catatan penting. Sebagian orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya dan tidak membutuhkan zakat. Wallahua’lam bisshawab.
Anak Yatim dan Hak Menerima Zakat
Berikut ini adalah makalah ilmiah yang disusun terkait hak anak yatim kaum Muslimin untuk menerima Zakat. Makalah ini disusun atas permintaan sebuah lembaga sosial Muslim di Lumajang, Jawa Timur. Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya dalam memberdayakan kehidupan anak-anak yatim (piatu) kaum Muslimin. Amin.
Makalah ini sekaligus DEDIKASI DALAM MENYAMBUT BULAN RAMADHAN . Semoga di bulan suci yang mulia ini kita bisa berlaku sebaik-baiknya kepada anak-anak yatim (piatu) kaum Muslimin. Allahumma amin. Mereka adalah titipan Rasulullah Saw yang ada di sisi kehidupan kita.

Di masa dewasa ini kesadaran Ummat Islam untuk membayar Zakat semakin baik. Hal itu ditunjukkan dengan bukti semakin banyaknya jumlah Muzakki yang ingin menyalurkan Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS). Juga semakin banyaknya pertanyaan-pertanyaan seputar Zakat, semakin tumbuh lembaga-lembaga pengumpul dana ZIS, serta semakin beragamnya bentuk-bentuk pembiayaan melalui dana ZIS. Semua ini merupakan realitas yang patut disyukuri, alhamdulillah.

Di sebagian tempat, ada lembaga sosial yang memanfaatkan dana ZIS untuk menyantuni anak-anak yatim. Dana ini disalurkan dalam bentuk beasiswa sekolah, santunan sosial, dll. yang berkaitan dengan pemberdayaan anak-anak yatim kaum Muslimin. Namun kemudian muncul pemikiran kritis, “Dana Zakat tidak bisa diberikan untuk anak yatim, karena dalam Surat At Taubah ayat 60, tentang 8 golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak disebutkan anak yatim sebagai penerima Zakat.”. Pertanyaanya, benarkah anak yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana pandangan Islam tentang posisi anak yatim sebagai penerima Zakat? Bolehkah memanfaatkan dana Zakat untuk menyantuni, membina, dan memberdayakan anak yatim?

Disini kita akan coba membahas masalah ini secara runut, dengan merujuk pandangan Al Qur’an, As Sunnah, dan pandangan para ulama. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk, penerangan, serta barakah dari ilmu dan harta kita. Allahumma amin.

Dalam Surat At-Taubah disebutkan ayat, yang artinya: “Bahwasanya Zakat itu diperuntukkan bagi kaum fakir, miskin, ‘amil Zakat (petugas pengurus Zakat), orang-orang yang dibujuk hatinya (atau muallaf), hamba sahaya, orang yang menanggung hutang, untuk keperluan Fi Sabilillah, dan para musafir yang berada dalam perjalanan. Hal demikian ini merupakan ketetapan yang wajib dari sisi Allah.” (At-Taubah: 60). Inilah ayat yang dijadikan dalil, bahwa para penerima Zakat itu adalah 8 golongan. Haji Sulaiman Rasyid membahas golongan-golongan ini dalam bukunya, Fiqh Islam hal. 200-205. Terbitan Sinar Baru, Bandung, 1987).

Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam dan merupakan amanah Syariat Islam yang agung. Zakat sering disebutkan dalam Al Qur’an. Kita serung membaca ayat yang berbunyi kurang-lebih, “Aqimus shalah wa atuz zakah” (dirikan Shalat dan bayarlah Zakat); “Wa yuqimus shalata wa yu’tuz zakata” (dan dia mengerjakan Shalat dan membayar Zakat). Dengan demikian, kita harus bersungguh-sungguh dalam menunaikan amal Zakat ini. Salah satu bentuk kesungguhan ialah, harta dari Zakat harus diberikan kepada para Mustahik (penerima Zakat) secara tepat, tidak boleh dibelanjakan untuk hal-hal di luar hak Mustahik. Profesor Ali Tanthawi rahimahullah, seorang ulama ahli fiqih dan da’i terkenal dari Syiria. Beliau pernah ditanya tentang dana Zakat yang dikumpulkan oleh suatu lembaga Islam, lalu digunakan untuk mndirikan tempat pelatihan menjahit bagi anak-anak perempuan Muslim. Dalam jawabannya, beliau tidak membenarkan ide itu. Beliau berkata, “Jadi, harta Zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun masjid, rumah sakit, atau tempat pelatihan, meski semua itu membawa manfaat bagi masyarakat dan masyarakat jelas-jelas membutuhkannya.” Kecuali, kata beliau, kalau Zakat itu sudah dibagikan ke fakir-miskin, lalu mereka sepakat mengumpulkan kembali harta itu untuk membangun pelatihan; maka yang seperti itu dibenarkan. (Fatwa-fatwa Populer Ali Thantawi, hal. 291-292. Solo, Penerbit Era Intermedia, November 1998). Pandangan seperti ini sangat berharga, karena menunjukkan sikap kehati-hatian (al ikhtiyat) dalam menjaga batas-batas hukum Islam.

Zakat dalam Islam terbagi dalam dua jenis, Zakat Maal (Zakat harta) dan Zakat Fithrah (Zakat jiwa). Zakat Maal diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta sehingga mencapai nishab, baik berupa harta pertanian, peternakan, perdagangan, emas-perak (dana/uang), usaha bisnis, dan lainnya yang wajib dizakati. Singkat kata, Zakat maal diwajibkan atas kaum Muslimin yang kaya. Sedangkan Zakat Fithrah diwajibkan atas seluruh kaum Muslimin, baik kaya atau miskin, baik orang dewasa atau anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Harta Zakat Maal disalurkan kepada 8 kelompok penerima Zakat, seperti disebut dalam Surat At-Taubah ayat 60 di atas. Adapun Zakat Fithrah disalurkan hanya kepada fakir-miskin, dalam rangka menyambut Hari Raya ‘Ied. Jadi Zakat Fithrah tidak boleh diberikan ke kelompok di luar fakir-miskin. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Di antara tuntunan Rasulullah adalah mengkhususkan kepada kaum miskin dalam peruntukan Zakat ini (maksudnya, Zakat Fithrah). Beliau tidak membagikannya kepada 8 golongan (ashnaf) secara rata dan tidak pula memerintahkan hal itu. Juga tak seorang pun di antara Shahabat-shahabatnya (maksudnya, Shahabat Nabi) yang melakukannya, serta tidak pula orang-orang sesudah mereka (maksudnya kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in).” (Zaadul Ma’ad, jilid I, hal. 504. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, Februari 2008). Dengan demikian, kita harus bisa membedakan antara Zakat Fithrah dan Zakat Maal. Zakat Fithrah diwajibkan bagi setiap Muslim, termasuk fakir-miskin; kecuali jika seseorang benar-benar tidak memiliki harta untuk membayar Zakat Fithrah, maka hal itu dimaafkan. Dan Zakat Fithrah disalurkan hanya untuk fakir-miskin, di saat menjelang perayaan Hari Raya ‘Ied. Sedangkan Zakat Maal diwajibkan bagi kaum Muslim yang kaya, dan hasilnya dibagikan untuk 8 kelompok sosial.

Ajaran Islam memberikan perhatian yang tinggi kepada anak YATIM. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang membahas posisi anak yatim ini. Dalam Al Qur’an disebutkan bentuk amal kebajikan, yaitu: “Wa atal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba, wal yatama, wal masakini, wabnas sabili, was sa’ilina, wa fir riqaab” (dan memberikan harta itu kepada orang-orang yang dicintai dari karib-kerabat, kepada anak yatim, kepada kaum miskin, kepada musafir di perjalanan, kepada orang yang meminta-minta, dan kepada hamba sahaya. Surat Al-Baqarah, ayat 177). Dalam ayat lain, “Wa yas-alunaka ‘anil yatama, qul ish-lahul lahum khairun” (dan mereka bertanya kepada tentang anak yatim, katakanlah: memperbaiki urusan mereka adalah lebih baik. Surat Al Baqarah, ayat 220). Dalam ayat lain, “Wa an taqumu lil yatama bil qis-thi” (dan –Allah memerintahkan- agar kalian memperlakukan anak yatim secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 127). Bahkan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 disebutkan, bahwa harta fa’i (rampasan dari musuh tanpa peperangan) diberikan kepada: Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil (musafir dalam perjalanan); dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa pembagian ini dimaksudkan agar harta tidak hanya beredar pada orang-orang kaya di kalangan Ummat Islam saja. Dalam Surat An Nisaa’ ayat 10 disebutkan, orang-orang yang makan harta anak yatim secara zhalim, maka dia telah memenuhi perutnya dengan api neraka, dan kelak mereka akan masuk neraka sa’iir. Dalam Surat Al-Fajr disebutkan, “Kalla bal laa tukrimunal yatim, wa laa tahad-dhuna ‘ala tha-amil miskin” (sungguh tidak demikian, akan tetapi kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan manusia memberi makan orang miskin. Surat Al Fajr, ayat 17-18). Dan sudah sangat dikenal, dalam Surat Al Ma’uun ayat 1-3, bahwa ciri pendusta agama adalah: menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Imam Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhus Shalihin menyebutkan sebuah bab tentang keutamaan bersikap lembut kepada anak yatim, kepada anak-anak perempuan, kaum fakir-miskin, dan sebagainya. Beliau menyebut hadits Nabi Saw, yang artinya: “Dari Sahal bin Sa’id Ra, dia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, ‘Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau yang saling ditempelkan.” (HR. Bukhari). Kata Imam Nawawi, yang menanggung anak yatim maksudnya, mengurus keperluan-keperluan mereka secara baik. (Riyadhus Shalihin, hal. 66. Beirut, Daarul Fikri, 1994). Dapat disimpulkan, bahwa Islam sangat peduli dan pengasih kepada anak yatim, baik laki-laki maupun wanita, baik yang kaya maupun fakir-miskin. Rasulullah Saw adalah seorang yatim.

Lalu pertanyaannya, siapakah anak yatim itu? Secara umum, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Kalau ditinggal wafat oleh ibunya, tidak disebut anak yatim. Anak yatim termasuk golongan manusia yang lemah karena telah kehilangan pilar keluarga (qa’imul bait). Ketika menjelaskan istilah anak yatim, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, dan mereka tidak memiliki kekuatan yang bisa menanggung kebutuhannya. Hal ini merupakan bukti rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya, menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala lebih pengasih kepada mereka daripada orangtua kepada anak-anaknya. Allah telah berwasiat kepada hamba-Nya dan mewajibkan sikap ihsan dalam urusan harta anak yatim, agar siapa yang telah kehilangan ayah-ayahnya, mereka diurus sedemikian rupa sehingga seperti tidak kehilangan mereka. Dan balasan atas amal seperti ini, maka siapa yang pengasih kepada anak yatim, maka anaknya akan dikasihi.” (Tafsir Karimir Rahman, hal. 76. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Ketika menafsirkan ayat yang sama, Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberi penjelasan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, telah wafat ayah mereka, sedangkan mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, belum mencapai baligh, dan belum punya kemantapan dalam pekerjaan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim li Imam Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 270. Takhrij hadits oleh Syaikh Hani Al Hajj. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, tanpa tahun). Jadi, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya, lalu dia kehilangan pilar keluarga yang menanggung dan mengurus kehidupannya.

Kemudian, sejauhmana batasan seorang anak disebut yatim? Sebab semua orang lambat atau cepat pasti akan ditinggal wafat oleh ayahnya. Apakah orang dewasa yang sudah berusia 40 tahun, lalu ditinggal wafat ayahnya, dia juga disebut yatim? Dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang berbunyi, “Wab-talul yatama hatta idza balaghuu an nikah, fa in anastum minhum rusy-dan fad-fa’uu ilaihim amwalahum” (dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka –yang selama ini dititipkan kepada kalian -. Surat An Nisaa’, ayat 6). Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau berkata, “Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia baligh pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, ‘Aku menghadap Nabi Saw dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengijinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.’ (HR. Bukhari-Muslim). Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika disampaikan kepadanya hadits ini, “Perkara ini (usia 15 tahun) merupakan pembeda antara anak kecil dan orang dewasa.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, hal. 153. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah). Ketika menjelaskan Surat An Nisaa’ ayat 6 di atas, tentang batasan telah mencapai usia nikah, berkata Sa’id bin Jubair Ra, “Telah menjadi shalih dalam urusan agama mereka, dan pandai menjaga hartanya.” Singkat kata, batasan anak yatim laki-laki ialah ketika sudah mencapai baligh, yaitu telah keluar sperma dari kemaluannya. Atau sudah mencapai usia 15 tahun. Adapun batasan anak yatim perempuan, ialah ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An Nisaa’ ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan.

Pertanyaan intinya, apakah anak yatim berhak mendapatkan bagian dari Zakat? Maka sebelum dijawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dilihat keadaan anak yatim tersebut. Apakah dia termasuk anak yatim yang ditinggali banyak harta warisan oleh ayahnya, sehingga dengan harta itu bisa tercukupi kebutuhan materinya? Atau dia termasuk anak yatim yang fakir, miskin, muallaf, dalam perjalanan, menanggung hutang, dll. sesuai kriteria 8 kelompok penerima Zakat? Kalau dia termasuk anak yatim yang berkecukupan materi, tidak perlu diberi Zakat. Tetapi kalau dia termasuk anak yatim yang masuk 8 golongan penerima Zakat, SANGAT AFDHAL kalau mereka diberi bagian Zakat. Karena selain dia masuk 8 golongan, dia juga yatim. Perlakuan seperti ini ditujukan ialah untuk menyalurkan Zakat sesuai dengan sasaran yang dituju. Kita jangan menyalurkan Zakat kepada yang tidak berhak menerima; atau sebaliknya, menolak memberikan Zakat kepada sasaran yang justru sangat berhak menerima. Dalam Al Qur’an, “Innallaha ya’murukum an tu-addul amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi antahkumu bil ‘adl” (sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian menghukumi, hendaklah menghukumi secara adil. Surat An Nisaa’, ayat 58). Terkait pembagian Zakat ini, seorang ulama besar di Timur Tengah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Tidak boleh menetapkan Zakat kepada seorang wanita fakir, jika dia berada di bawah pembiayaan nafkah suaminya yang kaya; begitu juga tidak boleh diberikan Zakat kepada seorang fakir, kalau dia memiliki kerabat kaya yang memberi nafkah kepadanya; dimana mereka diberi kekayaan lewat nafkah itu daripada harus mengambil harta Zakat.” (Mulakhas Fiqhiy, jilid I, hal. 254. Riyadh, Daaru Ibnil Jauzi, tahun 2000). Menyimpulkan dari pendapat ini, maka anak yatim yang mewarisi banyak harta dari orangtuanya, atau dia berada dalam sebaik-baik pemeliharaan nafkah oleh kerabatnya, anak seperti itu tidak perlu menerima bagian dari Zakat.

Ada beberapa hadits Nabi Saw yang menjelaskan, bahwa anak-anak yatim berhak menerima bagian dari Zakat. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, dia berkata, “Zainab Ra, isteri Ibnu Mas’ud Ra, datang kepada Nabi Saw, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, engkau telah memerintahkan pada hari ini untuk bersedekah. Di sisiku ada beberapa perhiasan, milikku. Aku berniat bersedekah dengannya. Namun Ibnu Mas’ud (suami Zainab) menyatakan, bahwa dia dan putranya lebih berhak menerima sedekah itu dariku.’ Lalu Nabi Saw berkata, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak engkau bersedekah kepada mereka.’” (HR. Bukhari). Hadits ini disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Bulughul Maram, bagian Kitab Zakat, no. 515. Hadits ini memberi hikmah, seorang isteri boleh bersedekah kepada keluarganya sendiri, jika mereka membutuhkan harta. Adapun seorang suami tidak boleh bersedekah kepada isterinya, sebab sudah MENJADI KEWAJIBAN bagi suami itu untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Dalam hadits lain yang cukup panjang, Zainab Ra isteri Ibnu Mas’ud Ra, bermaksud memberikan sedekah. Lalu dia pergi ke rumah Rasulullah Saw. Kebetulan di rumah beliau sedang ada wanita yang ingin bertanya hal yang sama. Melalui Bilal Ra, Zainab dan wanita itu bertanya, “Atuj-ziu as shadaqah ‘anhuma ila azwajihima wa ‘ala aitamin fi hujurihima?” (bolehkah sedekah dari kedua wanita itu diberikan kepada suaminya atau anak yatim yang ada di rumahnya?). Maka kemudian Nabi Saw memberi jawaban, “Lahuma ajran, ajrul qarabah, wa ajrus shadaqah” (bagi kedua wanita itu dua pahala, pahala berbuat baik kepada keluarga terdekat, dan pahala sedekah). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, disebutkan oleh Imam Al Munzhiri dalam Mukhtashar Shahih Muslim. Untuk memperjelas lagi, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata, “Dan di kitab As Shahih, disebutkan bahwa isteri Abdullah (maksudnya, Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud Ra –pen.) bertanya kepada Nabi Saw, tentang anak saudaranya yang menjadi yatim dan hidup di rumahnya, apakah boleh memberikan zakat dia ke mereka? Lalu Nabi Saw menjawab, “Ya!” Kalau diperhatikan, hadits-hadits di atas saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi. Bisa jadi, kejadiannya satu, tetapi yang menceritakan berbeda-beda. Singkat kata, memberikan Zakat kepada anak-anak yatim yang membutuhkan, hal itu diperbolehkan oleh Nabi Saw. Termasuk anak yatim yang berada dalam pemeliharaan sebuah keluarga, boleh diberi Zakat oleh karib-kerabatnya.

Secara umum, ajaran Islam sangat peduli dengan nasib anak yatim, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Jika anak yatim itu miskin, fakir, muallaf, dan sebagainya sehingga masuk kategori 8 kelompok yang berhak menerima Zakat; mereka sangat diutamakan untuk menerima Zakat. Namun jika mereka tergolong anak yatim yang kaya, berkecukupan, mendapat nafkah yang memadai dari kerabatnya, tetap berhak mendapat kemurahan dari kaum Muslimin. Tetapi bentuknya bukan materi, melainkan perhatian, kasih-sayang, kelembutan, serta perlindungan. Hal ini untuk merealisasikan sabda Nabi Saw, “Ana wa kafilul yatama fil jannah” (aku dan pemelihara anak yatim kelak berada –sangat dekat- di syurga. HR. Bukhari).

Lalu bagaimana dengan lembaga sosial Islam yang memanfaatkan dana Zakat untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, atau fasilitas pelatihan, yang semua itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim? Jawabannya mudah, seperti yang dikatakan Syaikh Prof. Ali Tanthawi rahimahullah, dana Zakat tidak boleh dibuat untuk semua keperluan itu. Dana Zakat harus disalurkan kepada yang berhak, tidak boleh dibuat macam-macam. Kecuali, kalau dana sudah diserahkan, lalu orang-orang yang menerima Zakat itu sepakat untuk menggunakannya demi membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. Itu diperbolehkan. Syaratnya, dana Zakat harus sampai di tangan yang berhak dulu. Namun untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. itu boleh menggunakan dana non Zakat, misalnya infak, sedekah, waqaf, hibah, hadiah, dll.

Di kalangan masyarakat ada sebuah pemikiran tentang anak yatim. Menurut mereka, “Anak-anak yatim itu cenderung nakal. Mereka selalu membuat masalah. Hal itu membuat hati kami jadi tidak tertarik untuk membantu anak yatim.” Bagaimana dengan pemikiran seperti ini? Harus dipahami dengan baik, bahwa kenakalan anak yatim itu merupakan AKIBAT dari sebuah keadaan. Ia tidak muncul begitu saja. Mereka nakal, karena kurang mendapat perhatian, kasih-sayang, perlindungan, serta pemenuhan nafkah dari ayahnya, karena sang ayah sudah meninggal. Hal ini malah semakin memperkuat pandangan, bahwa anak yatim sangat membutuhkan PERHATIAN lahir-batin. Tidak hanya pemberian materi saja. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’diy ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 177, “Maka Allah telah berwasiat kepada hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka bersikap ihsan dalam perkara harta anak yatim, agar siapa yang kehilangan ayah-ayah mereka diperlakukan sedemikian sehingga seperti siapa yang tidak kehilangan orangtuanya.” (Tafsir Karimis Rahman, hal. 72. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Seharusnya, perlakuan kita kepada anak yatim ialah memberikan kepedulian yang sepadan dengan kepedulian ayahnya kepada mereka, jika kita sanggup melakukannya. Bila perhatian itu kecil atau tidak memadai, sangat mungkin akibatnya akan muncul perilaku anak-anak yatim yang nakal. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing anak-anak yatim kaum Muslimin sebaik-baiknya. Semoga pula Allah menolong kita untuk bersikap arif, bijak, dan pemurah kepada anak-anak yatim. Allahumma amin ya Arhama Rahimin.

Demikian pembahasan tematik dan runut tentang hak anak yatim untuk menerima Zakat. Disini kita bisa memetik beberapa hikmah di balik ketentuan Allah yang tidak mencantumkan secara tegas anak yatim ke dalam 8 golongan penerima Zakat, yaitu sebagai berikut:
-  Anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat. 
-  Bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga yatim. 
- Bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut, perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya. 
-  Secara umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.

Semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya untuk mendukung program pemberdayaan kehidupan anak-anak yatim Muslim-Muslimah di Nusantara ini. Semoga Allah Ar-Rahiim mengampuni diriku, memaafkan kesalahanku, serta meridhai sisa umurku. Semoga Allah senantiasa mengampuni dan merahmati kedua orangtuaku, anak-anak yatim kaum Muslimin, para penolong dan pemelihara anak yatim, isteri dan anak keturunanku, kakak-adikku, karib-kerabatku, para sahabatku, para guruku, para penolongku, kaum Mukminin-Mukminat, Muslimin-Muslimat, serta para Mujahidin yang ikhlas berjuang di jalan Allah Ta’ala sampai akhir zaman. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.  Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

=================



Kontributor: Tim Rumah Zakat; Tim Dompet Dhuafa, Ustadh Ammi Nur Baits, Lc: Baitul Mal Aceh; Ust. Abu Muhammad al-Nusantari. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Popular posts from this blog

Zakat Uang

Zakat Uang Ceramah Agama Islam: Zakat Uang (Ustadz Erwandi Tarmizi,M.A)     *********************** zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang ke Lima. merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah terpenuhi segala syarat-syaratnya. Allah Ta’ala berfirman, وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43) Juga dalam ayat, خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik d...

Baitul Mal Mina (BMM)

Baitul Mal Mina (BMM) Profil, Misi dan Visi BMM   Program Kegiatan BMM    Update Laporan Keuangan Baitul Mal Mina   Youtube Baitul Mal Mina (BMM) Channel   Youtube (MP4) Video:  Ekonomi Islam - Fiqh Muamalat   Pengharaman Dosa Besar Riba (Usury) Zakat Infaq & Shadaqah   Artikel-Artikel ZISWAF: Artikel Ekonomi Islam -Fiqh Muamalah Artikel Zakat Artikel Infaq-Shadaqah   Artikel Wakaf   Artikel Dosa Besar Riba (Usury)   Alamat  HQ Baitul Mal Mina:   Jl.Moh Taher Lr Tgk Abd.Hamid No.6 , Lamcot,  Darul Imarah,  Aceh Besar,  Indonesia Telp/WA: +628116800552. e-mail: ustazsofyan@gmail.com Website: https://baitulmalmina.blogspot.com/2020/02/bmm.html

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba

Definition, Effect and Ruling of Work That Helps With Riba Question: 1.  Definition of riba and ruling on work that helps with riba .  What is the definition of riba? If we take into account the fact that in most countries the economy is based on the principle of the circulation of capital, which includes lending, is accepting payment in that particular currency for any work regarded as an action that supports the riba-based system? Is using the currency of a state that is based on riba regarded as contributing to the usurious economy? Undoubtedly the employee in a riba-based bank plays a part in riba-based transactions one way or another, even if he is a security guard for the bank. Could you offer him a better job if you have anything to offer? 2.  Harmful Effect of Riba.   Why is Riba (Usury) forbidden? I need a convincing answer to give it to some of my brothers in town. Jazakum Allah alf Khair 3.  H...