Tanya:
Assalamualaikum. Apabila
jumlah pendapatan selama setahun telah mencapai nisab, tetapi sebagian besar
digunakan untuk kebutuhan dan dipinjam oleh keluarga, apakah wajib dikeluarkan
zakatnya? Semisal zakat diberikan ke anak yatim, untuk kebutuhan sekolahnya
masuk SMU atau universitas, apakah ada batas umur seorang anak yatim yang
berhak menerima zakat? Terima kasih. Wassalamualaikum. (Fendy - Yogyakarta)
Jawab:
Waalaikumsalam. Mas Fendy,
terdapat dua kaidah penghitungan zakat penghasilan. Yang pertama zakat yang
dihitung dari pendapatan kasar (bruto). Zakat ini nilainya 2,5 persen dari
pendapatan total. Kaidah kedua adalah zakat yang dihitung dari pendapatan
bersih (neto). Untuk menghitungnya, tentukan dulu jumlah pendapatan wajib
zakat, yakni mengurangi pendapatan total dengan pengeluaran setahun. Nilai
zakat dihitung berdasarkan hasil pengurangan tersebut, kemudian dikalikan 2,5
persen. Menurut Yusuf Qardhawi, sangat dianjurkan untuk menghitung zakat
dari pendapatan kasar (bruto). Ini untuk lebih menjaga kehati-hatian.
Sebaiknya, sebelum penghasilan digunakan untuk kebutuhan keluarga, lebih baik
dikeluarkan zakatnya terlebih dahulu. Allah SWT menjelaskan pemberian atau
pendistribusian zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf (kelompok) yaitu: "Sesungguhnya
sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS.
al-Taubah:60)
Anak yatim dalam hal ini
tidak disebutkan dalam delapan asnaf penerima zakat. Akan tetapi, apabila anak
yatim ini tergolong ke dalam salah satu golongan yang disebutkan dalam At
Taubah: 60, maka diperbolehkan memberikan zakat kepadanya. Contohnya anak yatim
yang fakir, miskin, atau termasuk ke dalam kriteria lain dalam 8 asnaf. Batasan
umur anak yatim laki-laki yang dapat menerima zakat adalah balig (mencapai usia
nikah). Ini sesuai dengan ayat dalam Alquran, "Ujilah anak-anak yatim
itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika menurut perkiraan kalian mereka
sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka--yang selama ini dititipkan
kepada kalian." (An Nisa: 6) Ketika menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu
Katsir berkata, "Menurut Mujahid, telah sampai usia nikah, maksudnya telah
bermimpi (keluar sperma saat tidur). Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia
balig pada anak laki-laki ialah ketika dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga
keluar sperma. Atau telah mencapai usia 15 tahun, berdasarkan hadis dari
Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, 'Aku menghadap Nabi SAW dalam perang
Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi tidak mengizinkanku ikut perang.
Kemudian aku menghadap beliau dalam perang Khandaq, ketika usiaku 15 tahun,
lalu beliau membolehkan aku.'" (HR Bukhari-Muslim) Batas untuk anak yatim
perempuan adalah hingga ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari
sisi kematangan agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai
konteks Surat An Nisaa ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim
perempuan. Apabila Mas Fendy ingin membantu anak yatim di luar batas umur yang
disebutkan di atas, maka bantuannya tidak berupa zakat akan tetapi bisa berupa
sedekah. Wallahu’alam. (Rumah Zakat)
2. Assalamualaikum, wr.wb. Admin Dompet Dhuafa
Banten. Saya mau bertanya, apakah anak yatim boleh menerima zakat? Apakah boleh
dimasukkan ke dalam golongan fakir/miskin? Dari: Yani Cahaya, via Facebook
Jawaban:
Waalaikumsalam,
wr.wb. Semoga Allah Swt senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan
keluarga.
Allah
ta’ala telah menjelaskan delapan golongan penerima zakat. Allah berfirman,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil), sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S.
At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak
menyebut anak yatim sebagai salah satu penerima zakat. Karena itu,
kriteria yatim, bukan termasuk kriteria orang yang berhak menerima zakat. Akan
tetapi jika ada anak yatim yang memenuhi salah satu dari kriteria di atas,
misalnya, dia yatim fakir atau miskin, maka dia berhak menerima zakat.
Imam
Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim berhak menerima zakat? Jawab beliau,
“Anak yatim yang miskin, berhak menerima zakat. Jika Anda menyerahkan zakat
Anda kepada pengurus anak yatim miskin ini, zakat Anda sah, apabila pengurus
ini adalah orang yang amanah…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/346)
Kemudian
beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di tengah masyarakat dengan
memberikan zakat kepada anak yatim. Ada satu catatan penting, sebagian
orang beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apa pun keadaannya.
Padahal tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang
berhak mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat,
kecuali jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata
statusnya sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat. (Majmu’
Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353)
Namun,
anak yatim berhak menerima santunan dari selain zakat, seperti infak atau
sedekah. Karena
zakat memiliki aturan baku yang khusus, sehingga tidak boleh keluar dari aturan
tersebut.
Termasuk di antaranya adalah aturan penerima zakat.
Berbeda
sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada
anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia orang mampu. Allahu a’lam.
3. Apakah anak
yatim boleh menerima zakat?
Jawab: Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Allah ta’ala telah menjelaskan delapan golongan penerima
zakat. Allah berfirman,
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak yatim
sebagai salah satu penerima zakat. Karena itu, kriteria yatim, bukan
termasuk kriteria orang yang berhak menerima zakat. Akan tetapi jika ada anak
yatim yang memenuhi salah satu dari kriteria di atas, misalnya, dia yatim fakir
atau miskin, maka dia berhak menerima zakat.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim
berhak menerima zakat? Jawab beliau,
الأيتام
الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين
عليها ،
Anak yatim yang miskin, berhak menerima
zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini,
zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa
Ibnu Utsaimin, 18/346).
Kemudian beliau juga mengingatkan kebiasaan
keliru di tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن
هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس
كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن
يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى
زكاة
Ada satu catatan penting, sebagian orang
beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal
tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak
mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali
jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya
sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 18/353).
Catatan:
Anak yatim berhak menerima santunan dari selain zakat.
Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan baku yang khusus,
sehingga tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya adalah
aturan penerima zakat. Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki aturan baku,
sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar, sekalipun dia
orang mampu. Allahu a’lam
Apakah
Anak-anak Yatim di Panti Asuhan boleh Menerima Zakat?, Zakat yatim piatu itu gimana hukumnya? Bolehkah zakat
penghasilan zakat mal atau zakat fitrah dibayarkan kepada anak yatim? Bagaimana
kriteria anak yatim yang berhak menerima santunan (zakat) dan berapa persen?
Jawab:
Apabila kita
mendengar anak yatim, kita pasti beranggapan bahwa anak yatim adalah seorang
anak yang tidak memiliki orang tua. Namun ketika saya mencari tentang
pengertian anak yatim dalam bahasa Indonesia, definisi tersebut tidak
sepenuhnya benar. Karena ada kata anak piatu dan juga anak yatim piatu yang
memiliki makna yang sama, yaitu anak yang tidak memiliki orang tua. Untuk
menjaga kesehatan anak, mereka bisa diberi suplemen seperti stimuno untuk anak.
Apa
itu Panti Asuhan
Panti asuhan adalah tempat untuk mengasuh. Hal tersebut
didasarkan asal kata panti asuhan itu sendiri, yaitu panti yang berarti pondok
atau tempat dan asuhan yang bermakna membimbing, mengasuh. Berbeda dengan panti
jompo yang dihuni oleh lansia, panti asuhan umumnya dihuni oleh anak-anak.
Anak-anak tersebut kebanyakan adalah anak-anak terlantar, anak yatim piatu, dan
anak-anak yang terkadang dititipkan oleh pihak keluarganya. Saat ini panti
asuhan tidak hanya ada di kota kota besar seperti Bandung, Jakarta, dan
Surabaya.
Berdasarkan yang tercantum dalam Wikipedia, anak yatim adalah seorang anak yang tidak
memiliki ayah, sedangkan anak piatu adalah anak yang tidak memiliki ibu. Serta
yang disebut anak yatim piatu adalah seorang anak yang tidak memiliki ayah dan
ibu. Setelah membaca pengertian tersebut, saya kemudian mencari definisinya
menurut agama Islam.
Panti asuhan yatim piatu adalah sebuah panti yang dikhususkan untuk
merawat dan membimbing anak yatim piatu. Anak yatim dalam Islam dipandang
sebagai anak yang harus dipelihara dengan baik. Bahkan Nabi Muhammad terlahir
sebagai anak yatim (tanpa ayah). Dalam salah satu hadisnya, hubungan antara
orang yang merawat anak yatim dengan adil diibaratkan jari telunjuk dan jari
tengah atau sangat dekat.
Meskipun kebanyakan anak yatim piatu adalah tidak mampu, namun ada juga anak yatim yang memiliki harta warisan orangtuanya. Dikarenakan ketidakmampuan anak dalam mengelola harta tersebut , Rosul Muhammad sangat menganjurkan untuk memelihara anak yatim piatu sampai anak yatim piatu tersebut mampu mengurus diri dan hartanya. Tidak dibenarkan orang yang memelihara anak yatim mengambil harta yang mengambil anak yatim piatu. Bahkan dalam Al Qur’an disebutkan bahwa orang yang memakan harta anak yatim akan disiksa dengan siksaan yang berat.
Meskipun kebanyakan anak yatim piatu adalah tidak mampu, namun ada juga anak yatim yang memiliki harta warisan orangtuanya. Dikarenakan ketidakmampuan anak dalam mengelola harta tersebut , Rosul Muhammad sangat menganjurkan untuk memelihara anak yatim piatu sampai anak yatim piatu tersebut mampu mengurus diri dan hartanya. Tidak dibenarkan orang yang memelihara anak yatim mengambil harta yang mengambil anak yatim piatu. Bahkan dalam Al Qur’an disebutkan bahwa orang yang memakan harta anak yatim akan disiksa dengan siksaan yang berat.
Anak Yatim Piatu dan Zakat
Setiap pribadi muslim diwajibkan untuk membayar zakat baik itu
zakat fitrah maupun zakat mal. Besarnya zakat fitrah di Indonesia umumnya
adalah 2,5 kg beras atau disesuaikan dengan makanan pokok setempat yang
nilainya setara dengan 2,5 kg beras. Tidak boleh kurang. Jika pembayaran zakat
fitrah kurang dari ketentuan maka hukumnya tidak sah dan dianggap sebagai
sedekah biasa. Waktu dan ketentuan pembayaran zakat telah di atur dalam syariat
Islam. Zakat mal adalah zakat yang wajib dikeluarkan atas harta benda yang
dimiliki yang besarnya pada umumnya adalah 2,5% dari nilai bersih. Tidak ada
istilah zakat yatim piatu.
Asnaf Zakat
Asnaf zakat
adalah golongan yang berhak menerima pembagian zakat, baik itu zakat fitrah
maunpun zakat mal. Zakat biasanya dikumpulkan oleh lembaga amil zakat. (LAZ).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dana zakat tidak diperuntukkan bagi anak
yatim. Hal tersebut didasari oleh alasan Surat At Taubah ayat 60, tentang 8
golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak disebutkan anak yatim sebagai
penerima Zakat.” Karena pentingnya zakat, asnaf zakat kerapkali dijadikan materi khutbah jumat.
Adakah zakat yatim piatu?
Pertanyaanya, benarkah anak yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana
pandangan Islam tentang posisi anak yatim sebagai penerima Zakat? Bolehkah
memanfaatkan dana Zakat untuk menyantuni, membina, dan memberdayakan anak
yatim? Penjelasan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
- Anak yatim itu ada yang kaya, mewarisi
harta banyak dari orangtuanya, atau mereka berada di bawah pemberian
nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi demikian, anak yatim
tidak perlu diberi bagian dari Zakat.
- Bagi anak yatim yang miskin, fakir,
muallaf, dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat,
mereka lebih AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan,
mereka juga yatim. Tidak ada zakat yatim piatu
- Bagi semua anak yatim, baik miskin atau
kaya, mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa
sikap lembut, perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai
perintah Nabi Saw untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya.
- Secara umum, ajaran sangat peduli dengan
nasib kaum yang menderita, khususnya dalam hal ini adalah nasib anak
yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai agama Rahmatan Lil
‘Alamiin.
Keutamaan memelihara anak yatim piatu
Menurut istilah dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan anak
yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Batas
seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa,
berdasarkan sebuah hadits yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah
menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah
satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ، وإنه لا ينقطع عنه
اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد
( رواه مسلم )
( رواه مسلم )
Dan kamu
bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu,
sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa
Berdasarkan hadits tersebut kita telah mengetahui batasan mengenai
anak yatim. Setelah kita mengetahui batasan tersebut, tentu saja kita harus
mengetahui hak hak yang harus diterima oleh anak yatim. Karena anak yatim
sebenarnya adalah bagian dari kita. Apabila kita tidak bisa memberikan hak
untuk anak yatim, maka sesungguhnya hak hak Anda juga tidak akan diberikan oleh
Dzat Yang Maha Kuasa.
Menurut Prof Dr KH Achmad Satori Ismail, ada beberapa hak anak
yatim yang harus dipenuhi oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Karena
menurut syariat Islam, ada beberapa kemuliaan apabila kita menyantuni anak
yatim. Keutamaan memelihara anak yatim piatu tersebut adalah
Balasannya surga
Berbuat baik dan menyantuni anak yatim merupakan amalan yang paling
utama dan paling suci (QS al-Baqarah [2]: 177). Menurut agama Islam, perbuatan
menyantuni anak yatim akan mendapat surga (QS al-Insan: 8-22), sedangkan
apabila kita tidak menyantuni anak yatim maka kita akan mendapat dosa besar dan
masuk neraka (HR Bukhari dan Muslim).
Rumahnya dimuliakan
Rumah yang paling baik adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim
yang dimuliakan, dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang ada anak yatim,
namun dihinakan. Jadi apabila kita memiliki saudara dan kondisinya sudah
menjadi anak yatim, sebagai keluarga kita wajib menyantuninya dengan benar
dengan memperhatikan kebutuhannya, baik kebutuhan material tapi juga aspek
pendidikan, ekonomi, sosial, dan spiritual.
Keajaiban memelihara anak yatim [Kisah Nyata]
Berdasarkan keterangan tersebut, saya kemudian membandingkan dengan
apa yang terjadi di keluarga saya. Kebetulan saya memiliki keluarga yang
sekarang sudah menjadi anak yatim dan masih kelas 4 SD. Ketika saudara saya
masih berumur 8 bulan, dia ditinggal oleh bapaknya karena kecelakaan di daerah
Mojoagung Jombang. zakat yatim piatu
Seketika itu pak dhe saya meninggal dunia dan akhirnya anak
tersebut dirawat oleh orang tua saya karena sehari sebelum kecelakaan pak
dhe saya mengatakan kepada bapak saya kalo ingin menitipkan anaknya yang paling
kecil kepada bapak. Dan akhirnya bapak pun merawatnya sampai sekarang.
Yang terjadi sudah pasti sesuai dengan yang dijanjikan oleh Allah.
Ketika saudara saya yang bernama Mas Anang tersebut dirawat oleh bapak saya.
Kebutuhan hidup keluarga saya tentu saja menjadi meningkat. Dan Allah Yang Maha
Adil pun kemudian memberikan rejeki yang lebih untuk keluarga saya.
Dari fakta tersebut, saya meyakini bahka ketika kita ikhlas dalam
menyantuni anak yatim. Saya yakin berbagai kemudahan terutama kemudahan mencari
rejeki pasti akan datang. Karena senyuman anak yatim akan mendatangkan banyak
rejeki untuk rumah yang ditempatinya.
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah ke Panti
Asuhan Anak Yatim
Bolehkah
menyerahkan zakat ke panti asuhan anak yatim?
Biasanya utk
biaya operasional panti..
Jawab:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri untuk membersihkan orang
yang yang puasa dari dosa tindakan sia-sia dan omong jorok dan sebagai makanan
bagi orang miskin ….” (HR. Abu
Daud 1609, Ibn Majah 1827; dihasankan al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi
zakat fitri adalah sebagai makanan bagi orang miskin. Ini merupakan penegasan
bahwa orang yang berhak menerima zakat fitri adalah golongan fakir dan miskin.
Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini,
terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin,
bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2/7)
Allah telah menjelaskan siapa saja yang
berhak zakat dalam firman-Nya,
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60)
Pada ayat di atas, Allah tidak menyebut anak
yatim sebagai salah satu penerima zakat. Artinya semata status yatim, bukan
termasuk kriteria yang menyebabkan seseorang berhak menerima zakat.
Sebelumnya kita perlu tahu, siapakah anak
yatim itu?
Dalam ensiklopedi Fiqh dinyatakan definisi
anak yatim,
الْيَتِيمَ
بِأَنَّهُ مَنْ مَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ دُونُ الْبُلُوغِ. لِحَدِيثِ: ” لاَ يُتْمَ
بَعْدَ احْتِلاَمٍ”
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati
bapaknya, ketika dia belum baligh. Berdasarkan hadis: “Tidak ada status yatim
setelah baligh.” (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyah, 45/254)
Berdasarkan pengertian di atas, ada dua
kemungkinan anak yatim
Pertama, anak yatim yang kaya. Misalnya, dia
memiliki banyak warisan dari orang tuanya. Anak yatim semacam ini, tidak berhak
mendapat zakat.
Kemungkinan kedua, dia anak tidak mampu.
Anak yatim yang miskin. Sehingga dia berhak menerima zakat. Bukan karena
statusnya yatim, tapi karena dia orang miskin.
Imam Ibn Utsaimin ditanya, apakah anak yatim
berhak menerima zakat?
Jawaban beliau,
الأيتام
الفقراء من أهل الزكاة فإذا دفعت الزكاة إلى أوليائهم فهي مجزئة إذا كانوا مأمونين
عليها
Anak yatim yang miskin, berhak menerima
zakat. Jika anda menyerahkan zakat anda kepada pengurus anak yatim miskin ini,
zakat anda sah, apabila pengurus ini adalah orang yang amanah… (Majmu’ Fatawa
Ibnu Utsaimin, 18/346).
Beliau juga mengingatkan kebiasaan keliru di
tengah masyarakat dengan memberikan zakat kepada anak yatim,
ولكن
هنا تنبيه : وهو أن بعض الناس يظن أن اليتيم له حق من الزكاة على كل حال ، وليس
كذلك فإن اليتيم ليس من جهات استحقاق أخذ الزكاة ، ولا حق لليتيم في الزكاة إلا أن
يكون من أصناف الزكاة الثمانية. أما مجرد أنه يتيم فقد يكون غنيًّا لا يحتاج إلى
زكاة
”Ada satu catatan penting, sebagian orang
beranggapan bahwa anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal
tidak demikian. Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak
mengambil zakat. Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali
jika dia salah satu diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya
sebagai anak yatim, bisa jadi dia kaya, dan tidak butuh zakat.” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Utsaimin, 18/353).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah juga disebutkan,
لا
يجوز صرف الزكاة إلى اليتيم إلا إذا كان من الأصناف الثمانية الذين يجوز صرف
الزكاة إليهم، وهم المذكورون في قول الله تعالى – التوبة: 60 – ، ولأن
اليتيم قد يكون غنيا بإرث أو هبة ونحو ذلك
Tidak boleh memberikan zakat kepada anak
yatim. Kecuali jika dia termasuk salah satu dari 8 golongan yang boleh menerima
zakat, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah di surat Taubah: 60.
Karena anak yatim terkadang kaya dari warisan, hibah, atau yang lainnya. (Fatwa
Syabakah islamiyah, no. 59155).
Karena itu, zakat tidak bisa secara penuh
diserahkan ke panti asuhan anak yatim, tanpa disertai keterangan bahwa itu
khusus bagi yang miskin. Kecuali jika seisi panti itu semuanya anak yatim yang
miskin.
Catatan:
Anak yatim yang kaya berhak menerima santunan
dari selain zakat. Seperti infak atau sedekah. Karena zakat memiliki aturan
baku yang khusus, tidak boleh keluar dari aturan tersebut. Termasuk diantaranya
adalah aturan penerima zakat.
Berbeda sedekah atau infak, tidak memilikki
aturan baku, sehingga bisa diberikan kepada anak yatim atau anak terlantar,
sekalipun dia orang mampu.Allahu a’lam
Bolehkah
Menyerahkan Zakat kepada Anak Yatim dari Kerabat Sendiri?
“Assalamu’alaikum, Wr. Wb, Ustadz pengasuh
yang saya hormati, salah seorang kerabat saya memiliki anak yatim. Bolehkah
jika saya menyerahkan zakat penghasilan saya kepada anak yatim tersebut?
Terimakasih.-Dari Ismail, Banda Aceh-
Jawaban:
Saudara penanya yang dirahmati Allah, dalam surah Al-Baqarah, ayat 215, Allah Swt berfirman: “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja
harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja
kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”
Ayat di atas
menegaskan bahwa kerabat kita merupakan orang-orang yang memiliki hak atas
bantuan kita. Apabila diantara kerabat atau famili kita ada yang membutuhkan
bantuan, maka kita adalah orang pertama yang berkewajiban membantunya. Tetapi
apakah ini bermakna mereka berhak menerima zakat dari kita? Dalam surah
At-Taubah ayat 60 Allah menegaskan: “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. At-Taubah: 60)
Jelaslah bahwa
kerabat tidak termasuk golongan yang berhak menerima zakat. Sehingga, para
ulama tafsir berpendapat bahwa surah Al-Baqarah ayat 215 di atas membahas
masalah sedekah, infaq dan nafkah, bukan zakat. Artinya, kita boleh memberikan
sedekah atau infaq kepada siapa pun. Syarat penerimanya lebih longgar. Sedekah
atau infaq lebih afdhal diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Sedekah
juga lebih afdhal diberikan kepada orang terdekat. Begitupun perihal nafkah.
Seseorang berkewajiban menafkahi orang-orang yang ada di bawah tanggung
jawabnya. Seorang kerabat memiliki kewajiban menafkahi kerabatnya ketika
kerabat tersebut tidak mampu dan tidak ada orang terdekat yang menafkahinya.
Sehingga, tanggung jawab menunaikan zakat tidak dianggap selesai setelah
seseorang memberikan sedekah, infaq atau nafkah kepada kerabatnya. Artinya,
orang tersebut masih harus membayarkan zakatnya meski pun dia telah memberikan
sedekah untuk kerabatnya.
Kemudian perihal
anak yatim, apakah anak yatim berhak menerima zakat? Sebagaimana tertera dalam
surah At-Taubah ayat 60, anak yatim tidak termasuk kategori mustahik. Seorang
anak yatim yang kebutuhan hidupnya telah tercukupi, tidak berhak menerima
zakat. Adapun bila kebutuhan dasar anak yatim itu belum terpenuhi atau tidak
ada orang yang menanggung hidupnya secara penuh serta tidak memiliki harta,
maka anak yatim itu berhak menerima zakat. Jadi, yang menjadikan seorang anak
yatim bisa menerima zakat bukan karena statusnya sebagai yatim, tapi sebagai
orang miskin atau fakir. Saudara bisa memberikan zakat kepada anak yatim bila
ia berstatus fakir atau miskin.
Terkait dana zakat
untuk anak yatim ini, Ibnu Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa menuliskan, anak yatim
yang miskin berhak menerima zakat. Jika Anda menyerahkan zakat Anda kepada
pengurus anak yatim miskin ini, zakat Anda sah apabila pengurus ini adalah
orang yang amanah. Ada satu catatan penting. Sebagian orang beranggapan bahwa
anak yatim memiliki hak zakat, apapun keadaannya. Padahal tidak demikian.
Karena kriteria yatim bukanlah termasuk salah satu yang berhak mengambil zakat.
Tidak ada hak bagi anak yatim untuk menerima zakat, kecuali jika dia salah satu
diantara 8 golongan penerima zakat. Adapun semata statusnya sebagai anak yatim,
bisa jadi dia kaya dan tidak membutuhkan zakat. Wallahua’lam bisshawab.
Anak Yatim dan Hak
Menerima Zakat
Berikut ini adalah makalah ilmiah yang disusun terkait hak anak yatim kaum Muslimin untuk menerima Zakat. Makalah ini
disusun atas permintaan sebuah lembaga sosial Muslim di Lumajang, Jawa Timur.
Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya dalam memberdayakan kehidupan
anak-anak yatim (piatu) kaum Muslimin. Amin.
Makalah ini sekaligus DEDIKASI DALAM
MENYAMBUT BULAN RAMADHAN . Semoga di bulan suci yang mulia ini
kita bisa berlaku sebaik-baiknya kepada anak-anak yatim (piatu) kaum Muslimin.
Allahumma amin. Mereka adalah titipan Rasulullah Saw yang ada di sisi kehidupan
kita.
Di masa dewasa ini kesadaran Ummat Islam
untuk membayar Zakat semakin baik. Hal itu ditunjukkan dengan bukti semakin
banyaknya jumlah Muzakki yang ingin menyalurkan Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS).
Juga semakin banyaknya pertanyaan-pertanyaan seputar Zakat, semakin tumbuh
lembaga-lembaga pengumpul dana ZIS, serta semakin beragamnya bentuk-bentuk
pembiayaan melalui dana ZIS. Semua ini merupakan realitas yang patut disyukuri,
alhamdulillah.
Di sebagian tempat, ada lembaga sosial yang
memanfaatkan dana ZIS untuk menyantuni anak-anak yatim. Dana ini disalurkan
dalam bentuk beasiswa sekolah, santunan sosial, dll. yang berkaitan dengan
pemberdayaan anak-anak yatim kaum Muslimin. Namun kemudian muncul pemikiran
kritis, “Dana Zakat tidak bisa diberikan untuk anak yatim, karena dalam Surat
At Taubah ayat 60, tentang 8 golongan yang berhak menerima Zakat; disana tidak
disebutkan anak yatim sebagai penerima Zakat.”. Pertanyaanya, benarkah anak
yatim tidak boleh menerima Zakat? Bagaimana pandangan Islam tentang posisi anak
yatim sebagai penerima Zakat? Bolehkah memanfaatkan dana Zakat untuk
menyantuni, membina, dan memberdayakan anak yatim?
Disini kita akan coba membahas masalah ini
secara runut, dengan merujuk pandangan Al Qur’an, As Sunnah, dan pandangan para
ulama. Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk, penerangan, serta barakah dari
ilmu dan harta kita. Allahumma amin.
Dalam Surat At-Taubah disebutkan
ayat, yang artinya: “Bahwasanya Zakat itu
diperuntukkan bagi kaum fakir, miskin, ‘amil Zakat (petugas pengurus Zakat),
orang-orang yang dibujuk hatinya (atau muallaf), hamba sahaya, orang yang
menanggung hutang, untuk keperluan Fi Sabilillah, dan para musafir yang berada
dalam perjalanan. Hal demikian ini merupakan ketetapan yang wajib dari sisi
Allah.” (At-Taubah: 60). Inilah ayat yang dijadikan dalil, bahwa
para penerima Zakat itu adalah 8 golongan. Haji Sulaiman Rasyid membahas
golongan-golongan ini dalam bukunya, Fiqh Islam hal.
200-205. Terbitan Sinar Baru, Bandung, 1987).
Zakat merupakan bagian dari Rukun Islam
dan merupakan amanah Syariat Islam yang agung. Zakat sering disebutkan dalam Al
Qur’an. Kita serung membaca ayat yang berbunyi kurang-lebih, “Aqimus shalah wa atuz zakah”
(dirikan Shalat dan bayarlah Zakat); “Wa yuqimus
shalata wa yu’tuz zakata” (dan dia mengerjakan Shalat dan
membayar Zakat). Dengan demikian, kita harus bersungguh-sungguh dalam
menunaikan amal Zakat ini. Salah satu bentuk kesungguhan ialah, harta dari
Zakat harus diberikan kepada para Mustahik (penerima Zakat) secara tepat, tidak
boleh dibelanjakan untuk hal-hal di luar hak Mustahik. Profesor Ali
Tanthawi rahimahullah, seorang
ulama ahli fiqih dan da’i terkenal dari Syiria. Beliau pernah ditanya tentang
dana Zakat yang dikumpulkan oleh suatu lembaga Islam, lalu digunakan untuk
mndirikan tempat pelatihan menjahit bagi anak-anak perempuan Muslim. Dalam
jawabannya, beliau tidak membenarkan ide itu. Beliau berkata, “Jadi, harta
Zakat tidak boleh dipergunakan untuk membangun masjid, rumah sakit, atau tempat
pelatihan, meski semua itu membawa manfaat bagi masyarakat dan masyarakat
jelas-jelas membutuhkannya.” Kecuali, kata beliau, kalau Zakat itu sudah
dibagikan ke fakir-miskin, lalu mereka sepakat mengumpulkan kembali harta itu
untuk membangun pelatihan; maka yang seperti itu dibenarkan. (Fatwa-fatwa Populer Ali Thantawi,
hal. 291-292. Solo, Penerbit Era Intermedia, November 1998). Pandangan seperti
ini sangat berharga, karena menunjukkan sikap kehati-hatian (al ikhtiyat) dalam menjaga
batas-batas hukum Islam.
Zakat dalam Islam terbagi dalam dua
jenis, Zakat Maal (Zakat
harta) dan Zakat Fithrah (Zakat
jiwa). Zakat Maal diwajibkan bagi setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta
sehingga mencapai nishab, baik berupa harta pertanian, peternakan, perdagangan,
emas-perak (dana/uang), usaha bisnis, dan lainnya yang wajib dizakati. Singkat
kata, Zakat maal diwajibkan atas kaum Muslimin yang kaya. Sedangkan Zakat
Fithrah diwajibkan atas seluruh kaum Muslimin, baik kaya atau miskin, baik
orang dewasa atau anak-anak, baik laki-laki maupun wanita. Harta Zakat Maal
disalurkan kepada 8 kelompok penerima
Zakat, seperti disebut dalam Surat At-Taubah ayat 60 di atas. Adapun Zakat
Fithrah disalurkan hanya kepada fakir-miskin,
dalam rangka menyambut Hari Raya ‘Ied. Jadi Zakat Fithrah tidak boleh diberikan
ke kelompok di luar fakir-miskin. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan,
“Di antara tuntunan Rasulullah adalah mengkhususkan kepada kaum miskin dalam
peruntukan Zakat ini (maksudnya, Zakat Fithrah). Beliau tidak membagikannya
kepada 8 golongan (ashnaf) secara rata dan tidak pula memerintahkan hal itu.
Juga tak seorang pun di antara Shahabat-shahabatnya (maksudnya, Shahabat Nabi)
yang melakukannya, serta tidak pula orang-orang sesudah mereka (maksudnya
kalangan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in).” (Zaadul Ma’ad,
jilid I, hal. 504. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, Februari 2008). Dengan
demikian, kita harus bisa membedakan antara Zakat Fithrah dan Zakat Maal. Zakat
Fithrah diwajibkan bagi setiap Muslim, termasuk fakir-miskin; kecuali jika
seseorang benar-benar tidak memiliki harta untuk membayar Zakat Fithrah, maka
hal itu dimaafkan. Dan Zakat Fithrah disalurkan hanya untuk fakir-miskin, di
saat menjelang perayaan Hari Raya ‘Ied. Sedangkan Zakat Maal diwajibkan bagi
kaum Muslim yang kaya, dan hasilnya dibagikan untuk 8 kelompok sosial.
Ajaran Islam memberikan perhatian yang tinggi
kepada anak YATIM. Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang membahas posisi anak yatim
ini. Dalam Al Qur’an disebutkan bentuk amal kebajikan, yaitu: “Wa atal maala ‘ala hubbihi dzawil qurba, wal
yatama, wal masakini, wabnas sabili, was sa’ilina, wa fir riqaab”
(dan memberikan harta itu kepada orang-orang yang dicintai dari karib-kerabat,
kepada anak yatim, kepada kaum miskin, kepada musafir di perjalanan, kepada
orang yang meminta-minta, dan kepada hamba sahaya. Surat Al-Baqarah, ayat 177).
Dalam ayat lain, “Wa
yas-alunaka ‘anil yatama, qul ish-lahul lahum khairun” (dan
mereka bertanya kepada tentang anak yatim, katakanlah: memperbaiki urusan
mereka adalah lebih baik. Surat Al Baqarah, ayat 220). Dalam ayat lain, “Wa an taqumu lil yatama bil qis-thi”
(dan –Allah memerintahkan- agar kalian memperlakukan anak yatim secara adil.
Surat An Nisaa’, ayat 127). Bahkan dalam Surat Al Hasyr ayat 7 disebutkan,
bahwa harta fa’i (rampasan dari musuh tanpa peperangan) diberikan kepada:
Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, kaum miskin, dan ibnu sabil
(musafir dalam perjalanan); dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa pembagian ini dimaksudkan
agar harta tidak hanya beredar pada orang-orang kaya di kalangan Ummat Islam
saja. Dalam Surat An Nisaa’ ayat 10 disebutkan, orang-orang yang makan harta
anak yatim secara zhalim, maka dia telah memenuhi perutnya dengan api neraka,
dan kelak mereka akan masuk neraka sa’iir. Dalam Surat Al-Fajr disebutkan, “Kalla bal laa tukrimunal yatim, wa laa
tahad-dhuna ‘ala tha-amil miskin” (sungguh tidak demikian, akan
tetapi kalian tidak memuliakan anak yatim dan tidak menganjurkan manusia
memberi makan orang miskin. Surat Al Fajr, ayat 17-18). Dan sudah sangat
dikenal, dalam Surat Al Ma’uun ayat 1-3, bahwa ciri pendusta agama adalah:
menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Imam Nawawi rahimahullah, dalam kitabnya yang
terkenal, Riyadhus Shalihin menyebutkan
sebuah bab tentang keutamaan bersikap lembut kepada anak yatim, kepada
anak-anak perempuan, kaum fakir-miskin, dan sebagainya. Beliau menyebut hadits
Nabi Saw, yang artinya: “Dari Sahal bin Sa’id Ra, dia berkata bahwa Rasulullah
Saw telah bersabda, ‘Aku dan orang yang menanggung kehidupan anak yatim, kelak
di syurga akan seperti ini,’ beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan
jari tengah beliau yang saling ditempelkan.” (HR. Bukhari). Kata Imam Nawawi,
yang menanggung anak yatim maksudnya, mengurus keperluan-keperluan mereka
secara baik. (Riyadhus Shalihin,
hal. 66. Beirut, Daarul Fikri, 1994). Dapat disimpulkan, bahwa Islam sangat
peduli dan pengasih kepada anak yatim, baik laki-laki maupun wanita, baik yang
kaya maupun fakir-miskin. Rasulullah Saw adalah seorang yatim.
Lalu pertanyaannya, siapakah anak yatim itu?
Secara umum, anak yatim adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya.
Kalau ditinggal wafat oleh ibunya, tidak disebut anak yatim. Anak yatim
termasuk golongan manusia yang lemah karena telah kehilangan pilar keluarga (qa’imul bait). Ketika menjelaskan
istilah anak yatim, Syaikh Abdurrahman As Sa’diy rahimahullah, dalam tafsirnya
mengatakan, “Anak yatim adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan, dan
mereka tidak memiliki kekuatan yang bisa menanggung kebutuhannya. Hal ini
merupakan bukti rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya, menjadi dalil bahwa Allah
Ta’ala lebih pengasih kepada mereka daripada orangtua kepada anak-anaknya.
Allah telah berwasiat kepada hamba-Nya dan mewajibkan sikap ihsan dalam urusan
harta anak yatim, agar siapa yang telah kehilangan ayah-ayahnya, mereka diurus
sedemikian rupa sehingga seperti tidak kehilangan mereka. Dan balasan atas amal
seperti ini, maka siapa yang pengasih kepada anak yatim, maka anaknya akan
dikasihi.” (Tafsir Karimir Rahman,
hal. 76. Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Ketika menafsirkan ayat yang sama, Imam
Ibnu Katsir rahimahullah memberi penjelasan, “Anak yatim adalah mereka yang
tidak memiliki penghasilan, telah wafat ayah mereka, sedangkan mereka dalam
keadaan lemah, masih kecil, belum mencapai baligh, dan belum punya kemantapan
dalam pekerjaan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim li
Imam Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 270. Takhrij hadits oleh Syaikh
Hani Al Hajj. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah, tanpa tahun). Jadi, anak yatim
adalah anak yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya, lalu dia kehilangan pilar
keluarga yang menanggung dan mengurus kehidupannya.
Kemudian, sejauhmana batasan seorang anak
disebut yatim? Sebab semua orang lambat atau cepat pasti akan ditinggal wafat
oleh ayahnya. Apakah orang dewasa yang sudah berusia 40 tahun, lalu ditinggal
wafat ayahnya, dia juga disebut yatim? Dalam Al Qur’an disebutkan ayat yang
berbunyi, “Wab-talul yatama hatta idza
balaghuu an nikah, fa in anastum minhum rusy-dan fad-fa’uu ilaihim amwalahum”
(dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka mencapai usia nikah, dan jika
menurut perkiraan kalian mereka sudah cerdas, maka kembalikanlah harta mereka
–yang selama ini dititipkan kepada kalian -. Surat An Nisaa’, ayat 6). Imam
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini beliau berkata, “Menurut Mujahid, telah
sampai usia nikah, maksudnya telah bermimpi (keluar sperma saat tidur).
Mayoritas ulama mengatakan, mencapai usia baligh pada anak laki-laki ialah ketika
dia bermimpi dalam tidurnya, sehingga keluar sperma. Atau telah mencapai usia
15 tahun, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa dia berkata, ‘Aku
menghadap Nabi Saw dalam perang Uhud, ketika itu usiaku 14 tahun, lalu Nabi
tidak mengijinkanku ikut perang. Kemudian aku menghadap beliau dalam perang
Khandaq, ketika usiaku 15 tahun, lalu beliau membolehkan aku.’ (HR.
Bukhari-Muslim). Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika disampaikan
kepadanya hadits ini, “Perkara ini (usia 15 tahun) merupakan pembeda antara
anak kecil dan orang dewasa.” (Tafsir Ibnu
Katsir, jilid I, hal. 153. Kairo, Maktabah Taufiqiyyah). Ketika
menjelaskan Surat An Nisaa’ ayat 6 di atas, tentang batasan telah mencapai usia
nikah, berkata Sa’id bin Jubair Ra, “Telah menjadi shalih dalam urusan agama
mereka, dan pandai menjaga hartanya.” Singkat kata, batasan anak yatim
laki-laki ialah ketika sudah mencapai baligh, yaitu telah keluar sperma dari
kemaluannya. Atau sudah mencapai usia 15 tahun. Adapun batasan anak yatim perempuan,
ialah ketika dia sudah siap menikah, yaitu telah siap dari sisi kematangan
agama dan siap mengatur hartanya sendiri. Hal ini sesuai konteks Surat An
Nisaa’ ayat 1-10 yang memang membahas posisi anak yatim perempuan.
Pertanyaan intinya, apakah anak yatim berhak
mendapatkan bagian dari Zakat? Maka sebelum dijawab pertanyaan ini, terlebih
dulu harus dilihat keadaan anak yatim tersebut. Apakah dia termasuk anak yatim
yang ditinggali banyak harta warisan oleh ayahnya, sehingga dengan harta itu bisa
tercukupi kebutuhan materinya? Atau dia termasuk anak yatim yang fakir, miskin,
muallaf, dalam perjalanan, menanggung hutang, dll. sesuai kriteria 8 kelompok penerima
Zakat? Kalau dia termasuk anak yatim yang berkecukupan materi, tidak perlu
diberi Zakat. Tetapi kalau dia termasuk anak yatim yang masuk 8 golongan
penerima Zakat, SANGAT AFDHAL kalau mereka diberi bagian Zakat. Karena selain
dia masuk 8 golongan, dia juga yatim. Perlakuan seperti ini ditujukan ialah
untuk menyalurkan Zakat sesuai dengan sasaran yang dituju. Kita jangan
menyalurkan Zakat kepada yang tidak berhak menerima; atau sebaliknya, menolak
memberikan Zakat kepada sasaran yang justru sangat berhak menerima. Dalam Al
Qur’an, “Innallaha ya’murukum an tu-addul
amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi antahkumu bil ‘adl”
(sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang
berhak, dan jika kalian menghukumi, hendaklah menghukumi secara adil. Surat An
Nisaa’, ayat 58). Terkait pembagian Zakat ini, seorang ulama besar di Timur
Tengah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata, “Tidak boleh menetapkan
Zakat kepada seorang wanita fakir, jika dia berada di bawah pembiayaan nafkah
suaminya yang kaya; begitu juga tidak boleh diberikan Zakat kepada seorang
fakir, kalau dia memiliki kerabat kaya yang memberi nafkah kepadanya; dimana
mereka diberi kekayaan lewat nafkah itu daripada harus mengambil harta Zakat.”
(Mulakhas Fiqhiy, jilid I, hal.
254. Riyadh, Daaru Ibnil Jauzi, tahun 2000). Menyimpulkan dari pendapat ini,
maka anak yatim yang mewarisi banyak harta dari orangtuanya, atau dia berada
dalam sebaik-baik pemeliharaan nafkah oleh kerabatnya, anak seperti itu tidak
perlu menerima bagian dari Zakat.
Ada beberapa hadits Nabi Saw yang
menjelaskan, bahwa anak-anak yatim berhak menerima bagian dari Zakat.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Ra, dia berkata, “Zainab Ra, isteri Ibnu
Mas’ud Ra, datang kepada Nabi Saw, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah, engkau telah
memerintahkan pada hari ini untuk bersedekah. Di sisiku ada beberapa perhiasan,
milikku. Aku berniat bersedekah dengannya. Namun Ibnu Mas’ud (suami Zainab)
menyatakan, bahwa dia dan putranya lebih berhak menerima sedekah itu dariku.’
Lalu Nabi Saw berkata, ‘Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak
engkau bersedekah kepada mereka.’” (HR. Bukhari). Hadits ini disebutkan oleh
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Bulughul Maram, bagian Kitab
Zakat, no. 515. Hadits ini memberi hikmah, seorang isteri boleh bersedekah
kepada keluarganya sendiri, jika mereka membutuhkan harta. Adapun seorang suami
tidak boleh bersedekah kepada isterinya, sebab sudah MENJADI KEWAJIBAN bagi
suami itu untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Dalam hadits lain yang cukup
panjang, Zainab Ra isteri Ibnu Mas’ud Ra, bermaksud memberikan sedekah. Lalu
dia pergi ke rumah Rasulullah Saw. Kebetulan di rumah beliau sedang ada wanita
yang ingin bertanya hal yang sama. Melalui Bilal Ra, Zainab dan wanita itu
bertanya, “Atuj-ziu as shadaqah ‘anhuma ila
azwajihima wa ‘ala aitamin fi hujurihima?” (bolehkah sedekah
dari kedua wanita itu diberikan kepada suaminya atau anak yatim yang ada di
rumahnya?). Maka kemudian Nabi Saw memberi jawaban, “Lahuma ajran, ajrul qarabah, wa ajrus
shadaqah” (bagi kedua wanita itu dua pahala, pahala berbuat
baik kepada keluarga terdekat, dan pahala sedekah). Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari-Muslim, disebutkan oleh Imam Al Munzhiri dalam Mukhtashar Shahih Muslim. Untuk
memperjelas lagi, Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata, “Dan di kitab As
Shahih, disebutkan bahwa isteri Abdullah (maksudnya, Abdullah bin Mas’ud atau
Ibnu Mas’ud Ra –pen.) bertanya kepada Nabi Saw, tentang anak saudaranya yang
menjadi yatim dan hidup di rumahnya, apakah boleh memberikan zakat dia ke
mereka? Lalu Nabi Saw menjawab, “Ya!” Kalau diperhatikan, hadits-hadits di atas
saling berkaitan satu sama lain, saling melengkapi. Bisa jadi, kejadiannya
satu, tetapi yang menceritakan berbeda-beda. Singkat kata, memberikan Zakat
kepada anak-anak yatim yang membutuhkan, hal itu diperbolehkan oleh Nabi Saw.
Termasuk anak yatim yang berada dalam pemeliharaan sebuah keluarga, boleh
diberi Zakat oleh karib-kerabatnya.
Secara umum, ajaran Islam sangat peduli
dengan nasib anak yatim, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin. Jika anak
yatim itu miskin, fakir, muallaf, dan sebagainya sehingga masuk kategori 8
kelompok yang berhak menerima Zakat; mereka sangat diutamakan untuk menerima
Zakat. Namun jika mereka tergolong anak yatim yang kaya, berkecukupan, mendapat
nafkah yang memadai dari kerabatnya, tetap berhak mendapat kemurahan dari kaum
Muslimin. Tetapi bentuknya bukan materi, melainkan perhatian, kasih-sayang,
kelembutan, serta perlindungan. Hal ini untuk merealisasikan sabda Nabi Saw, “Ana wa kafilul yatama fil jannah”
(aku dan pemelihara anak yatim kelak berada –sangat dekat- di syurga. HR.
Bukhari).
Lalu bagaimana dengan lembaga sosial Islam
yang memanfaatkan dana Zakat untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan,
atau fasilitas pelatihan, yang semua itu diperuntukkan bagi anak-anak yatim?
Jawabannya mudah, seperti yang dikatakan Syaikh Prof. Ali Tanthawi
rahimahullah, dana Zakat tidak boleh dibuat untuk semua keperluan itu. Dana
Zakat harus disalurkan kepada yang berhak, tidak boleh dibuat macam-macam.
Kecuali, kalau dana sudah diserahkan, lalu orang-orang yang menerima Zakat itu
sepakat untuk menggunakannya demi membangun sekolah, pesantren, panti asuhan,
dll. Itu diperbolehkan. Syaratnya, dana Zakat harus sampai di tangan yang
berhak dulu. Namun untuk membangun sekolah, pesantren, panti asuhan, dll. itu
boleh menggunakan dana non Zakat, misalnya infak, sedekah, waqaf, hibah,
hadiah, dll.
Di kalangan masyarakat ada sebuah pemikiran
tentang anak yatim. Menurut mereka, “Anak-anak yatim itu cenderung nakal.
Mereka selalu membuat masalah. Hal itu membuat hati kami jadi tidak tertarik
untuk membantu anak yatim.” Bagaimana dengan pemikiran seperti ini? Harus
dipahami dengan baik, bahwa kenakalan anak yatim itu merupakan AKIBAT dari
sebuah keadaan. Ia tidak muncul begitu saja. Mereka nakal, karena kurang
mendapat perhatian, kasih-sayang, perlindungan, serta pemenuhan nafkah dari
ayahnya, karena sang ayah sudah meninggal. Hal ini malah semakin memperkuat
pandangan, bahwa anak yatim sangat membutuhkan PERHATIAN lahir-batin. Tidak hanya
pemberian materi saja. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’diy ketika
menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 177, “Maka Allah telah berwasiat kepada
hamba-hamba-Nya, dan mewajibkan mereka bersikap ihsan dalam perkara harta anak
yatim, agar siapa yang kehilangan ayah-ayah mereka diperlakukan sedemikian
sehingga seperti siapa yang tidak kehilangan orangtuanya.” (Tafsir Karimis Rahman, hal. 72.
Riyadh, Daarul Mughni, 1999). Seharusnya, perlakuan kita kepada anak yatim
ialah memberikan kepedulian yang sepadan dengan kepedulian ayahnya kepada
mereka, jika kita sanggup melakukannya. Bila perhatian itu kecil atau tidak
memadai, sangat mungkin akibatnya akan muncul perilaku anak-anak yatim yang
nakal. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing anak-anak yatim kaum
Muslimin sebaik-baiknya. Semoga pula Allah menolong kita untuk bersikap arif,
bijak, dan pemurah kepada anak-anak yatim. Allahumma amin ya Arhama Rahimin.
Demikian pembahasan tematik dan runut tentang
hak anak yatim untuk menerima Zakat. Disini kita bisa memetik beberapa hikmah
di balik ketentuan Allah yang tidak
mencantumkan secara tegas anak yatim ke dalam 8 golongan
penerima Zakat, yaitu sebagai berikut:
- Anak
yatim itu ada yang kaya, mewarisi harta banyak dari orangtuanya, atau mereka
berada di bawah pemberian nafkah yang mencukupi dari kerabatnya. Dalam posisi
demikian, anak yatim tidak perlu diberi bagian dari Zakat.
- Bagi anak yatim yang miskin, fakir, muallaf,
dalam perjalanan, dll. sesuai criteria 8 kelompok penerima Zakat, mereka lebih
AFDHAL untuk menerima Zakat, karena selain membutuhkan, mereka juga
yatim.
- Bagi semua anak yatim, baik miskin atau kaya,
mereka berhak mendapat santunan BATIN dari kaum Muslimin, berupa sikap lembut,
perhatian, kasih-sayang, perlindungan, dll. Hal itu sesuai perintah Nabi Saw
untuk memperlakukan anak yatim dengan sebaik-baiknya.
- Secara
umum, ajaran sangat peduli dengan nasib kaum yang menderita, khususnya dalam
hal ini adalah nasib anak yatim. Maka tidak salah jika Islam disebut sebagai
agama Rahmatan Lil ‘Alamiin.
Semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya
untuk mendukung program pemberdayaan kehidupan anak-anak yatim Muslim-Muslimah
di Nusantara ini. Semoga Allah Ar-Rahiim mengampuni diriku, memaafkan
kesalahanku, serta meridhai sisa umurku. Semoga Allah senantiasa mengampuni dan
merahmati kedua orangtuaku, anak-anak yatim kaum Muslimin, para penolong dan
pemelihara anak yatim, isteri dan anak keturunanku, kakak-adikku,
karib-kerabatku, para sahabatku, para guruku, para penolongku, kaum
Mukminin-Mukminat, Muslimin-Muslimat, serta para Mujahidin yang ikhlas berjuang
di jalan Allah Ta’ala sampai akhir zaman. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala
Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamiin.
=================
Kontributor: Tim Rumah Zakat; Tim Dompet
Dhuafa, Ustadh Ammi Nur Baits, Lc: Baitul Mal Aceh; Ust. Abu Muhammad al-Nusantari.
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com