Kasus-Kasus Riba
1. Status Harta Orang Yang Bertaubat Dari Riba
(Fatwa As-Syaikh DR Abdul Karim Al-Khudair
hafidhahullah Ta’ala – anggata al-Lajnah ad-Daimah/Komite Fatwa Kerajaan Arab
Saudi)
Pertanyaan : Allah berfirman :
وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS Al-Baqoroh :
279)
Apakah
yang dimaksud dengan pokok harta dalam ayat di atas, apakah maksudnya harta
sebelum riba ataukah sebelum bertaubat dari riba?
Jawaban :
الحمد لله :الآية محتملة
لرأس المال قبل الدخول في تجارة الربا ولما قُبض من أموال قبل التوبة. والاحتمال
الأول هو قول الأكثر، والذي يترجح عندي الثاني؛ لأن الآية تحتمله ولأن فيه إعانة
على التوبة، والله سبحانه يفرح بتوبة عبده، ومن المحال في العقل والدين أن يحث
الله الناس على التوبة بل يوجبها عليهم ثم يصدهم عنها ويظهر هذا جلياً فيمن أطال
التعامل وكثرت أمواله كثرة، فرجل بدأ التجارة بعشرات أو مئات أو آلاف ثم استمر
يتعامل بها عشرات السنين حتى صارت ملايين ثم منَّ الله عليه بتوبة نصوح فيقال له
ليس لك إلا هذه العشرات فيلزمك أن تخرج من أموالك وبيوتك وترجع إلى رأس مالك الأقل
فمثل هذا لا يطيقه كثير من الناس بل يرضى أن يموت على الربا ولا يرجع إلى حالته
الأولى من فقر وحاجة، فبدلاً أن يكون محسناً، يتكفف المحسنين فمثل هذا الاختيار
يعين التائبين لكن لا يجوز له أن يأخذ شيئاً زائداً على رأس ماله مما لم يقبضه قبل
التوبة. والله المستعان.
Segala
puji bagi Allah, ayat ini mencakup (1) kemungkinan yang dimaksud adalah pokok
harta sebelum masuk di dalam perdagangan riba dan juga (2) kemungkinan yang
dimaksud adalah harta yang diperoleh sebelum bertaubat dari riba. Kemungkinan
pertama adalah pendapat mayoritas ulama. Dan yang rajih (lebih kuat) menurutku
adalah kemungkinan yang kedua. Karena ayat juga mencakupnya, dan lebih membantu
untuk bertaubat. Allah subhaanahu gembira dengan taubat hambaNya. Dan merupakan
perkara yang mustahil secara akal dan agama jika Allah memotivasi manusia untuk
bertaubat, bahkan mewajibkan mereka untuk bertaubat, lalu Allah menghalangi
mereka dari taubat tersebut. Dan hal ini sangat jelas pada kondisi orang yang
telah lama mempraktekkan riba dan telah banyak hartanya. Orang ini telah
memulai perdagangannya dengan modal puluhan (real) atau ratusan real, atau
ribuan real, kemudian ia terus bermuamalah ribawi hingga puluhan tahun,
sehingga uangnya menjadi jutaan real. Lalu Allah memberi anugerah kepadanya
untuk bertaubat nasuha, maka dikatakan kepadanya : “Kau tidak berhak dari
hartamu kecuali hanya puluan real (modal pokok awal), dan wajib bagi engkau
untuk keluar dari seluruh hartamu, keluar dari rumahmu, dan engkau kembali
kepada modal pokok awal yang sangat sedikit”.
Kondisi
seperti ini tidak dimampui oleh kebanyakan orang, bahkan seseorang memilih
untuk mati di atas riba daripada kembali ke kondisi awal mereka yang miskin dan
penuh kebutuhan. Maka yang tadinya dia menjadi donator malah berubah
minta-minta kepada para donator.
Maka
memilih pendapat yang kedua ini membantu orang-orang yang bertaubat. Akan
tetapi tidak boleh baginya untuk mengambil harta tambahan dari harta riba
setelah ia bertaubat. Wallahul Musta’aan.
Pertanyaan
juga pernah ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah tentang seseorang yang
meminjam uang di bank dengan transaksi riba untuk membangun rumah, apakah wajib
baginya untuk menghancurkan rumahnya yang telah ia bangun dari transaksi riba?
Jawaban
Al-Lajnah Ad-Daimah :
إذا كان الواقع كما
ذكرت، فما حصل منك من القرض بهذه الكيفية حرام؛ لأنه ربا، وعليك التوبة والاستغفار
من ذلك، والندم على ما وقع منك، والعزم على عدم العودة إلى مثله، أما المنزل الذي
بنيته فلا تهدمه، بل انتفع به بالسكنى أو غيرها، ونرجوا أن يغفر الله لك ما فرط
منك.
“Jika
kenyataannya sebagaimana yang kau sebutkan, maka pinjaman yang kau peroleh
dengan cara tersebut adalah haram, karena ia merupakan riba, dan wajib bagimu
untuk bertaubat dan beristighfar dari hal tersebut, menyesali apa yang telah
kau lakukan, serta bertekad untuk tidak kembali lagi kepada perbuatan seperti
itu. Adapun rumah yang telah kau bangun, maka jangan kau hancurkan, akan tetapi
manfaatkan sebagai tempat tinggal atau yang lainnya. Dan kami memohon agar
Allah mengampuni engkau atau kelalaianmu” (Ketua : Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baaz, wakil : As-Syaikh Abdurrozzaq Afifi, anggota : Asy-Syaikh Abdullah bin
Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdullah bin Gudayyan)
2. Sholat di Masjid Yang Dibangun dari Hasil Riba
(1) Harta yang haram karena mengambil harta
orang lain (seperti hasil mencuri, menipu, dan menzolimi orang lain) maka harta
seperti ini tidak boleh digunakan sama sekali meskipun untuk kebaikan. Akan
tetapi wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Atau dikembalikan kepada
ahli warisnya jika sang pemilik harta telah meninggal dunia.
Jika
–setelah dicari- ternyata pemilik harta tidak diketahui dan juga tidak
diketahui ahli warisnya maka tatkala itu ia boleh menggunakan harta tersebut
untuk jalan-jalan kebaikan. Bukan dalam rangka mencari pahala (bersedekah) akan
tetapi dalam rangka membersihkan diri dari menyimpan harta haram, dan pahalanya
diniatkan untuk pemilik asli harta tersebut.
(2)
Adapun jika harta haram tersebut diperoleh bukan dengan mengambil hak orang
lain, tapi karena hasil yang haram seperti harta yang diperoleh karena bermain
musik, atau karena berzina, karena praktek perdukunan dan yang lainnya maka
bisa langsung disalurkan sebagaimana di atas.
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
إذَا كَانَتْ
الْأَمْوَالُ قَدْ أُخِذَتْ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَدْ تَعَذَّرَ رَدُّهَا إلَى
أَصْحَابِهَا كَكَثِيرِ مِنْ الْأَمْوَالِ السُّلْطَانِيَّةِ؛ فَالْإِعَانَةُ
عَلَى صَرْفِ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ كَسَدَادِ
الثُّغُورِ وَنَفَقَةِ الْمُقَاتِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ: مِنْ الْإِعَانَةِ عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى؛ إذْ الْوَاجِبُ عَلَى السُّلْطَانِ فِي هَذِهِ
الْأَمْوَالِ – إذَا لَمْ يُمْكِنْ مَعْرِفَةُ أَصْحَابِهَا وَرَدُّهَا عَلَيْهِمْ
وَلَا عَلَى وَرَثَتِهِمْ – أَنْ يَصْرِفَهَا – مَعَ التَّوْبَةِ إنْ كَانَ هُوَ
الظَّالِمُ – إلَى مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ. هَذَا هُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ
الْعُلَمَاءِ كَمَالِكِ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَد وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ غَيْرِ
وَاحِدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَعَلَى ذَلِكَ دَلَّتْ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ
“Jika
harta telah diperoleh dengan cara yang tidak benar dan tidak mungkin
dikembalikan kepada pemiliknya yang sesungguhnya –sebagaimana kebanyakan harta
para sulthon- maka membantu untuk menyalurkan harta-harta ini kepada
perkara-perkara yang merupakan kemaslahatan kaum muslimin, seperti pembayaran
untuk penjagaan di daerah-daerah perbatasan, untuk nafkah para mujahidin dan
yang semisalnya, maka termasuk dalam menolong untuk perbuatan kebajikan dan
ketakwaan. Karena yang wajib bagi sulthon terhadap harta-harta tersebut –jika
tidak mampu mengetahui para pemilik harta tersebut dan tidak mampu untuk
mengembalikan kepada mereka dan kepada para ahli warisnya- maka hendaknya harta
tersebut disalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, tentunya disertai taubat
jika sang shulton memang dzolim. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama seperti
Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad, dan pendapat ini dinukil lebih dari seorang
sahabat dan telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i” (Majmu’ Al-Fataawa
28/283-284)
Al-Imam
An-Nawawi berkata :
قَالَ الْغَزَالِيُّ
إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ
فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا
يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ
الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ
وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ
فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ … وَإِذَا
دَفَعَهُ إلَى الْفَقِيرِ لَا يَكُونُ حَرَامًا عَلَى الْفَقِيرِ بَلْ يَكُونُ
حَلَالًا طَيِّبًا…ونقله الْغَزَالِيُّ أَيْضًا عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي
سُفْيَانَ وَغَيْرِهِ مِنْ السَّلَفِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَالْحَارِثِ
الْمُحَاسِبِيِّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ
إتْلَافُ هَذَا الْمَالِ وَرَمْيُهُ فِي الْبَحْرِ فَلَمْ يَبْقَ إلَّا صَرْفُهُ
فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ
“Al-Ghozali
berkata : Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat dan berlepas dari
harta tersebut maka jika harta tersebut ada pemiliknya maka wajib untuk
dikembalikan kepadanya atau kepada wakilnya, jika pemiliknya telah meninggal
maka harta tersebut wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Dan jika pemiliknya
tidak diketahui dan ia sudah putus asa untuk mengetahui pemiliknya maka
hendaknya ia salurkan harta tersebut kepada kemaslahatan-kemaslahatan umum kaum
muslimin, seperti pembuatan jembatan-jembatan, pondok-pondok, mesjid-mesjid,
kepentingan jalan Mekah dan yang semisalnya yang mana kaum muslimin
sama-sama menggunakannya. Jika tidak maka hendaknya ia sedekahkan kepada
seorang faqir atau sekelompok faqir…
Dan
jika ia menyalurkannya kepada orang faqir maka harta tersebut tidaklah haram
bagi si faqir akan tetapi halal dan baik baginya…
Dan
Al-Ghozali juga menukilkan pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para
salaf yang lain, dari Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Harits Al-Muhasibi dan selain
keduanya dari kalangan ahli wara’. Karena tidak boleh merusak harta haram ini
dan melemparkannya di lautan, maka yang tersisa adalah disalurkan kepada
kemaslahatan kaum muslimin” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 9/351)
(3)
Dari penjelasan Al-Imam An-Nawawi maka kelazimannya boleh sholat di
masjid-masjid yang dibangun dari harta haram. Dan ini juga yang telah
difatwakan oleh Syaikh Bin Baaz rahimahullah, beliau berkata :
فالمساجد التي تبنى
بمالٍ حرام، أو بمالٍ فيه حرام لا بأس بالصلاة فيها، ولا يكون حكمها حكم الأرض
المغصوبة؛ لأن الأموال التي فيها حرام أو كلها من حرام تصرف في المصارف الشرعية
ولا تترك ولا تحرق، بل يجب أن تصرف في المصارف الشرعية، كالصدقة على الفقراء وبناء
المساجد وبناء دورات المياه، ومساعدة المجاهدين، وبناء القناطر، وغيرها من مصالح
المسلمين
“Dan
masjid-masjid yang dibangun dengan harta haram atau dengan harta yang
sebagiannya haram maka tidak mengapa sholat di situ, dan hukumnya tidak sama
dengan hukum tanah rampasan, karena harta-harta yang sebagiannya haram atau
seluruhnya haram disalurkan kepada perkara-perkara yang syar’i tidak dibuang
dan tidak dibakar, akan tetapi disalurkan kepada penyaluran yang syar’i,
seperti sedekah kepada para fuqoro’, pembangunan masjid,
pembangunan toilet, membantu para mujahidin, pembangunan jembatan, dan
kemaslahatan kaum muslimin yang lainnya”
(4)
Jika diketahui bahwa masjid tersebut dibangun dengan uang haram sementara
pemilik harta membangunnya bukan dalam rangka bertaubat akan tetapi seperti
hendak bersedekah maka sedekahnya tidak akan diterima dan sholat di situ tetap
sah dan dosanya kembali kepada pemilik harta.
Al-Lajnah
Ad-Daaimah ditanya :
ما حكم من صلى بمسجد
بناؤه كسب غنائه -أي المطربة أو المغني الذي يغني في الأفراح والإعلام- ويكسب من
غنائه أموالاً كثيرة، وبنى من هذه الأموال مسجداً، فهل تصح صلاته فيه أم لا؟
Apa
hukum sholat di masjid yang dibangun dari hasil nyanyian –yaitu dengan alat muslik,
atau penyanyi yang bernyani di acara-acara pesta atau di TV- dan sang penyanyi
memperoleh harta yang yang banyak dari hasil nyanyiannya lalu ia membangun
mesjid dengan harta tersebut, apakah sah sholat di masjid tersebut?
ج: الصلاة في هذا
المسجد صحيحة وأما الكسب بالغناء وآلات اللهو فمحرم وإثمه على صاحبه
Jawab
: Sholat di masjid tersebut shah, adapun penghasilan dari nyanyian dan
alat-alat muslik adalah haram dan dosanya kembali kepada pelakunya (Fatwa no
9564 yang ditanda tangani oleh ketua Al-Lajnah yaitu Syaikh Bin Baaz
rahimahullah.
(5)
Dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas jelas bahwa
membantu untuk menyalurkan harta yang seperti ini kepada penyaluran yang syar’i
termasuk bentuk ta’aawun ‘alal birri wat taqwa (kerja sama dalam
kebaikan). Maka merupakan hal yang baik adalah penyediaan sunduq untuk penyaluran
riba yang sangat membantu orang-orang yang terjebak dengan uang riba atau uang
haram untuk berlepas diri dari uang haram mereka dan membantu penyalurannya
yang lebih tepat, wallahu A’lam
**********************
**********************
Penterjemah:
Abu Abdil Muhsin F. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umae, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com