LEMBAGA ZAKAT
Abstrak:
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi zakat sebagai ibadah maaliyah ijtimai’iyah (ibadah
yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang mempunyai status dan
peran penting dalam syari’at Islam. Di samping berdimensi transendental, zakat juga
berdimensi horizontal. Karenanya, pengelolaan zakat melalui kelembagaan mutlak diperlukan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan peran zakat
sebagai salah satu sumber perekonomian Islam dan bangsa. Kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, meliputi
Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah.
Sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat, yang memiliki tugas membantu BAZNAS dalam
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Baik BAZNAS maupun
LAZ memiliki tugas yang sama, yaitu untuk mengumpulkan, dan mendayagunakan
zakat sesuai ketentuan agama. Oleh karena itu dibutuhkan sinergisasi peran di
antara keduanya agar dapat
terkelola secara optimal, produktif dan tepat sasaran.
Kata Kunci: Zakat, BAZNAS, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun
2011.
Pendahuluan
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang diajarkan sejak
zaman Rasulullah Saw. Menurut sejarah, zakat telah berkembang seiring dengan
laju perkembangan Islam itu sendiri. Gambaran tersebut meliputi perkembangan
pemikiran zakat pada tatanan hukum Islam masyarakat Indonesia dalam kerangka
modern. Salah satu yang berpengaruh besar terhadap zakat, adalah menyangkut
aspek pengelolaannya. Selama ini pendayagunaan zakat masih tetap saja berkutat
dalam bentuk konsumtif sehingga hasilnya kurang atau tidak menimbulkan dampak
yang signifikan, yakni hanya bersifat sementara.
Realitas ini tidak bisa disalahkan, karena untuk
memperoleh daya guna yang maksimal, agama tidak mengatur bagaimana seharusnya
cara mengelola zakat yang baik dan benar. Namun demikian tidak seharusnya hanya berdiam diri saja dan tidak
melakukan pemikiran kreatif, mengingat perkembangan zaman menjadi tuntutan untuk dapat menafsirkan dalil-dalil zakat agar bisa
dikelola secara profesional. Fungsi zakat bukan hanya bagian
dari ibadah, namun juga merupakan
bagian dari tatanan ekonomi, sosial dan politik umat Islam. Keterkaitan negara
dalam pengelolaan zakat tergantung kepada permasalah dasar yang menjadikan
zakat bagian dari hukum diyani yang bersifat qadha’i.[1] Hukum Islam yang bersifat diyani sangat
bergantung kepada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Sementara hukum
yang bersifat qadha’i melibatkan institusi-institusi tertentu yang mempunyai kekuatan secara hukum untuk
memaksakan dan menjamin berlakunya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Mengingat peran
organisasi pengelola zakat sangat penting, pada zaman Rasulullah Saw. dikenal sebuah lembaga yang disebut Baitul
Mal. Lembaga ini memiliki tugas mengelola keuangan negara mulai dari
mengidentifikasi, menghimpun, memungut, mengembangkan, memelihara, hingga
menyalurkannya. Sumber
pemasukannya berasal dari dana zakat, infaq, kharaj (pajak
bumi), jizyah (pajak yang dikenakan bagi non-muslim), ghanimah (harta
rampasan perang) dan lain-lain. Sedangkan penggunaannya untuk asnaf mustah}iq (yang
berhak menerima) yang telah ditentukan, untuk kepentingan dakwah, pendidikan,
pertahanan, kesejahteraan sosial dan lain sebagainya.[2]
Di Indonesia, saat ini ada organisasi atau lembaga pengelola
zakat. Keberadaan organisasi tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan yang
dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat. Adapun
lembaga pengelolaan zakat tersebut adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS),
Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ).[3] Semua pegiat zakat berharap, dengan adanya undang-undang
ini ada perbaikan dari semua sektor. Bukan hanya perbaikan segi kelembagaan,
tapi dari segi kesadaran masyarakat dalam menyalurkan zakat melalui lembaga
juga meningkat. Dengan demikian penghimpunan zakat oleh pengelola zakat juga
bertambah sehingga bermanfaat bagi masyarakat miskin
Dengan melihat Islam muncul sebagai sistem nilai yang
mewarnai perilaku ekonomi masyarakat, eksistensi zakat memiliki potensi strategis yang layak
dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan di Indonesia. Namun selama ini potensi
zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum dikelola secara
profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya lembaga zakat yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi,
pendistribusian, monitoring serta evaluasinya.
Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal,
bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi, sehingga kurang berdampak sosial yang berarti. Karenanya, peran pemerintah dalam mengatasi masalah zakat tersebut sangat penting keberadaanya, baik melalui Lembaga Amil Zakat baik di pusat maupun di daerah agar diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal.
erdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka tulisan ini
secara khusus akan mengkaji problematika
kelembagaan zakat. Masalah ini diangkat karena didasarkan pada kebutuhan
terhadap suatu pengelolaan zakat sebagai sumber dana yang dapat
dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama untuk mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Karenanya,
perlu adanya pengelolaan zakat melalui lembaga zakat secara profesional dan
bertanggung jawab oleh masyarakat bersama pemerintah.
Dalam membahas permasalahan tersebut di atas, tahapan
yang dilakukan, yaitu: pertama, menjelaskan terlebih dahulu apa
itu lembaga zakat berdasarkan konteks fiqh, dengan rincian
pengertian zakat, dasar hukum, kelembagaan dan pengelolaan zakat di masa
Rasulullah Saw. Kedua, memfokuskan kelembagaan
zakat berdasarkan undang-undang sebagai legislasi hukum Islam di
Indonesia. Ketiga, pengelolaan zakat melalui lembaga zakat. Keempat, manajemen lembaga zakat dalam mengelola zakat. Kelima,
sumber daya manusia dalam pengelolaan lembaga zakat.
Lembaga Zakat dalam Konteks Fiqih
Zakat menurut lughah (bahasa),
berarti nama’ artinya kesuburan, thaharah yang
artinya kesucian, barakah yang artinya keberkatan dan berarti
juga tazkiyah tathhier yang berarti mensucikan.[4] Dari segi bahasa, kata “zakat” bahasa Arab az-zakah, yang berarti:
suci, bersih, tumbuh, berkembang, bertambah, subur, berkah, baik dan terpuji.
merupakan masdar dari zaka yang berarti
berkembang, tumbuh, bersih dan baik.[5]
Menurut istilah fiqh Islam, zakat berarti harta yang
wajib dikeluarkan dari kekayaan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada
mereka yang berhak menerimanya, dengan aturan-aturan yang telah ditentukan di
dalam syara’.[6] Zakat merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim
untuk kesejahteraan muslim dan oleh orang muslim.[7] Zakat merupakan penyerahan sebagian harta benda yang
telah ditentukan oleh Allah kepada yang berhak menerimanya. Zakat diwajibkan
dalam Alquran, hadis, dan ijma’ ulama. [8]
Menurut Wahbah Zuhaily, zakat diwajibkan atas setiap
muslim yang merdeka, yang memiliki satu nisab dari salah satu jenis harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya. Nisha>b adalah “kadar yang ditentukan oleh
syariat sebagai ukuran mengenai kewajiban mengeluarkan zakat”.[9] Pengertian zakat menurut bahasa dan istilah mempunyai
hubungan yang erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang dikeluarkan zakatnya
akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik.[10] Disebut zakat dalam syari’at karena adanya
pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat membersihkan atau mensucikan
pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran imannya, karenanya zakat merupakan rukun Islam yang ketiga.[11]
Zakat menempati kedudukan yang sangat mendasar dan
fundamental dalam Islam. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat
dalam Alquran sering disertai
dengan ancaman yang tegas, sebagaimana dijelaskan dalam surat Taubah {[9] ayat 34.[12] Bahkan seringkali perintah membayar zakat diiringi dengan
perintah mengerjakan sholat.[13] Hal ini menegaskan adanya
kaitan komplementer antara ibadah sholat dan zakat. Sholat berdimensi
vertikal-ketuhanan, sementara zakat berdimensi horizontal-kemanusiaan. Zakat
tidak hanya saja sebagai wujud kebaikan hati orang-orang kaya terhadap
orang-orang miskin. Tetapi zakat merupakan hak Tuhan dan hak orang miskin yang
terdapat dalam harta.[14]
Dilihat dari segi kebahasaan, teks ayat-ayat tentang
perintah zakat, sebagian besar dalam bentuk ‘amr (perintah)
dengan menggunakan kata atu (tunaikan); yang bermakna:
berketetapan, segera, sempurna sampai akhir, kemudahan, mengantar, dan seorang
yang agung.[15] Kata tersebut bermakna al-itha, suatu perintah untuk menunaikan atau membayarkan. Selain perintah
untuk mengeluarkan zakat, Islam juga mengatur dengan tegas dan jelas tentang
pemungutan dan pengelolaan harta zakat.
Diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Ibnu Abbas bahwasanya
Rasulullah Saw. pernah berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau
mengutusnya ke Yaman.[16]
...فأعـلمهم إنَّ الله افـتـرض عليـهم صدقـة فى اموالهم تــؤخد من أغـنـياؤهم وتردّ على فـقراؤهـم
Artinya :
“Maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah
mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang
kaya mereka dan diberikan lagi kepada orang-orang kafir di antara mereka…[17]
Menurut al-Hafiz Ibnu hajar, hadis di atas dapat
dijadikan dalil bahwa imamlah yang berhak memungut dan membagikan zakat, baik
ia sendiri yang melakukannya atau melalui wakilnya. Bahkan diperkenankan
pemaksaan bagi yang tidak mau mengeluarkan zakat.[18] Begitu jelasnya kewajiban untuk
mengeluarkan zakat, sehingga khalifah Abu Bakar pernah memerangi orang yang
menolak mengeluarkan zakat di masa pemerintahannya. Pembahasan tentang zakat
telah banyak dilakukan, tetapi telaah dari perspektif pemberdayaan ekonomi
masyarakat nampaknya belum banyak menjadi sorotan.
Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, zakat
tidak hanya dimaknai secara teologis (ibadah) saja yaitu sebagai manifestasi
kepatuhan individu kepada Tuhan, tetapi dimaknai secara sosio ekonomi juga
yaitu sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Sehingga selain membersihkan jiwa,
dan harta benda, zakat juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan.[19]
Pada zaman Rasulullah Saw. dan para Khalifah al-Rasyidun, zakat merupakan suatu lembaga negara, sehingga
negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat para warga negara serta
mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah al-Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian
mengirim para petugasnya menarik zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai
wajib zakat. Zakat yang sudah terkumpul tersebut dimasukkan ke baitul
mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh pemerintah berdasarkan
ketentuan-ketentuan Alquran dan hadis.[20]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, untuk menghasilkan pengumpulan zakat maka para
pengusaha sebaiknya mengadakan “Badan Amalah” atau petugas yang mengurusi
zakat.[21] Badan pengumpul zakat seharusnya
terdiri atas orang-orang yang terampil, menguasai masalah-masalah yang
berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan amanah. Jika pengelola
zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan terjadi adalah zakat tidak
akan sampai kepada mustahiq.
Rasulullah Saw. pernah mengangkat dan menginstruksikan kepada
beberapa sahabat (‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, Ibnu Qais ‘Uba>dah ibn
S{a>mit dan Mu‘a>z\ ibn Jabal) sebagai ‘a>mil zakat
(pengumpul zakat) di tingkat daerah. Para sahabat bertanggung
jawab membina beberapa negeri guna
mengingatkan para penduduknya tentang kewajiban zakat. Zakat diperuntukkan
untuk mengurangi kemiskinan dengan menolong bagi yang
membutuhkan[22]. Pada masa Rasulullah Saw., ada
lima jenis kekayaan yang dikenakan wajib zakat, yaitu: uang, barang dagangan,
hasil pertanian (gandum dan padi) dan buah-buahan, dan rika>z (barang
temuan).[23] Selain lima jenis harta yang wajib
zakat di atas, harta profesi dan jasa sesungguhnya sejak periode kepemimpinan
Rasullah Saw. juga dikenakan wajib zakat.
Dalam bidang pengelolaan zakat Rasulullah Saw. memberikan
contoh dan petunjuk operasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis
tersebut dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang
terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang mencatat para wajib zakat,
(2) H}asabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat,
(3) Juba>h, petugas yang menarik, mengambil zakat dari
para muzakki, (4) Khaza>nah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan
(5) Qasa>mah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustah}iq (orang
yang berhak menerima zakat).[24]
Fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung antara wajib
zakat atau muzakki dan yang berhak menerima zakat. Amil zakat berkewajiban
menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara
yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyariatkannya zakat
itu. Di samping itu, amil zakat berfungsi dan bertugas dalam
menentukan dan mengidentifikasi orang-orang yang terkena
wajib zakat (muzakki), menetapkan kriteria harta benda yang wajib dizakati, menyeleksi jumlah
para mustah}iq zakat dan menetapkan jadwal
pembayaran zakat bagi masing-masing muzakki serta menentukan kriteria
penyaluran harta zakat bagi tiap-tiap mustah}iq sesuai
dengan kondisi masing-masing.[25]
Lembaga Zakat
dalam Konteks Undang-Undang
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang
mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang
bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
penanggulangan kemiskinan.
Sejak tahun 1999, zakat secara resmi masuk kedalam ranah
hukum positif di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang RI No. 38 tahun1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian
direvisi dengan terbitnya Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam
Lembaran Negera Republik Indonesia bernomor 115 setelah ditandatangani oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2011. Lahirnya UU
Nomor 23 tahun 2011 menggantikan UU No. 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung
hukum pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini
terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal. Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan
ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.[26]
ecara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan
Zakat adalah untuk mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah di Indonesia. Karena itu pengelolaan
zakat harus dilembagakan (formalisasi) sesuai dengan syariat Islam. Dan, harus memenuhi
asas-asas amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntabilias sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Di samping itu,
pengelolaan zakat juga bertujuan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkn
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.[27]
Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat
(BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi
tertentu cenderung pada posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis).
Sehingga memuncul dikotomi antara dua lembaga tersebut. BAZ seolah-olah milik
pemerintah, sedang LAZ punya masyarakat. Keadaan semacam itu dinilai kurang
kondusif sehingga potensi yang begitu besar terabaikan sehingga pengelolaan
maupun pendistribusian tidak memiliki arah, dimana saja wilayah mustah}iq yang
lebih krusial.[28]
Dalam UU Nomor 23 tahun 2011 pasal 6 dan 7 ayat 1 dijelaskan, 5
peran BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
secara nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan sebagai perencanaan, pelaksana,
pengendalian baik dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Selain itu, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
zakat. Jika kemampuan BAZNAS pada Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 memiliki kewenangan yang terbatas
sehingga dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian kalah jauh dengan LAZ.
Akan tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat
leluasa dengan memiliki hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang
paling bawah bawah.[29]
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No 38
tahun 1999 dirasakan kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab
permasalahan zakat di tanah air. Selain itu pasal-pasal yang termaktub di
dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat
sehingga butuh pembaruan. Karena itu di
dalam UU Nomor 23 tahun 2011, pengelolaan lebih terintegrasi dan terarah dengan
mengedepankan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Problem mendasar yang dihadapi pada rezim zakat terdahulu adalah adanya
kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector. Karenanya, menurut UU No. 23 Tahun 2011 tersebut, posisi
negara merupakan regulator dan fasilitator, tetapi pelaksanaannya dilakukan
oleh lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri sebagai lembaga
nonstruktural. Dalam hal ini, BAZNAS tidak dapat diintervensi oleh pemerintah
atau lembaga lain yang bersifat mandiri (independen).[30]
Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan
penguatan kelembagaan. Dalam undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah, secara teknis BAZNAS di bawah koordinasi kementerian agama. Jika pada Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 yang
duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutannya tidak lagi
sebagai pengurus, tapi anggota komisioner.[31]
Karenanya, kehadiran Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut merupakan kebutuhan akan pengaturan pengelolaan zakat yang komprehensip demi
tercapainya tujuan tata kelola zakat
yang baik di Indonesia.
Sekaligus merupakan jawaban dari keinginan masyarakat yang belum memperoleh manfaat secara signifikan atas
pengelolaan zakat, baik bagi muzakki maupun mustah}iq. [32]
Di samping itu, kehadiran Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tersebut juga
berfungsi untuk menekan penyaluran dana zakat yang kurang tertata dan cenderung sporadis. Mengingat, kecenderungan masing-masing organisasi pengelola zakat seperti berjalan
sendiri-sendiri. Melihat kenyataan yang demikian itu, undang-undang pengelolaan
zakat yang baru, kini lebih memberikan kepastian dan tanggungjawab baru kepada
sebuah lembaga yang (dipandang) mampu mengkoordinasikan kepentingan.
Pengelolaan Zakat Melalui Lembaga Zakat
Untuk mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu
pengelolaan yang berkualitas, untuk itu perlu adanya badan atau lembaga yang
mengelola zakat. Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, organisasi pengelola
zakat telah ada sejak dahulu. Baik
dalam bentuk pesantren, yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-bentuk lainnya.
Lembaga-lembaga ini biasanya menerima dana-dana zakat, infaq, shadaqah, maupun
wakaf dari masyarakat yang kemudian disalurkan melalui program-program sosial,
seperti pembangunan masjid dan pesantren, program da’wah, bantuan kepada anak
yatim, serta berbagai program sosial lainnya.[33]
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat
harus dikelola secara melembaga dan profesional sesuai dengan syariat Islam
yang dilandasi dengan prinsip amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi, dan akuntabilitas, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Zakat wajib didistribusikan
kepada mustah}iq sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Dalam tinjauan ekonomi, zakat adalah instrumen utama kebijakan
fiskal negara guna mendistribusikan kekayaan dan kesejahteraan yang
berkeadilan.[34] Oleh karena itu, mekanisme
manajemen pengelolaan harus mendapat perhatian serius. Organisasi atau lembaga pengelola zakat harus mampu mengemban amanah mewujudkan potensi zakat
yang luar biasa, terutama di Indonesia yang mencapai triliunan rupiah.
Data dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
RI, menyebutkan bahwa pengumpulan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 2011 BAZNAS berhasil mengumpulkan
Rp 1,73 triliun, tahun 2012 berjumlah Rp 2,2 triliun, dan pada tahun 2013
BAZNAS dapat mengumpulkan Rp 2,73 triliun. [35]
Dalam upaya
melaksanakan pengelolaan zakat yang melembaga dan profesional diperlukan suatu
lembaga yang secara organisatoris, kuat dan kredibel. Untuk itu
dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang secara kelembagaan
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat secara nasional. BAZNAS yang merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri.
Selain itu,
dalam pelaksanaan pengelolaan zakat masyarakat juga dapat membantu BAZNAS untuk
melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dengan
membentuk LAZ. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 tanggal
31 Oktober 2013 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, pembentukan LAZ oleh masyarakat dapat dilakukan oleh
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial, atau lembaga berbadan hukum setelah memenuhi persyaratan yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapat izin menteri atau
pejabat yang ditunjuk oleh menteri.[36]
Sedangkan untuk perkumpulan orang, perseorangan, tokoh
umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu
komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dapat melakukan
kegiatan pengelolaan zakat dengan memberitahukan secara tertulis kepada pejabat
yang berwenang.[37]
Penguatan kelembagaan BAZNAS dengan kewenangan tersebut
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan
kepada muzakki, mustah}iq, dan pengelola zakat
serta untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengelolaan zakat. Dengan
pertimbangan luasnya jangkauan dan tersebarnya umat muslim di seluruh wilayah
Indonesia serta besarnya tugas dan tanggung jawab BAZNAS dalam mengelola zakat,
maka dalam pelaksanaannya dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.[38]
BAZNAS provinsi
dan BAZNAS kabupaten/kota ini bertugas dan bertanggung jawab dalam pengelolaan
zakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing. Untuk membantu
pengumpulan zakat, BAZNAS sesuai dengan tingkat dan kedudukannya dapat
membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) pada lembaga negara, kementerian/lembaga
pemerintah non kementerian, badan usaha milik negara, perusahaan swasta
nasional dan asing, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, kantor-kantor
perwakilan negara asing/lembaga asing, dan masjid-masjid.[39]
Berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 2011,
dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS sebagai lembaga yang
berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional harus
menyelenggarakan fungsinya dalam perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Begitu pun
dalam hal pengendalian, pelaporan maupun pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat, BAZNAS dituntut
mengoptimalkan pengelolaan zakat. Sedangkan
LAZ berfungsi membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat.
Peran kedua
organisasi tersebut sebagai penghimpun ZIS sangat membantu pemerintah dalam
menghimpun ZIS dari masyarakat, baik yang terhimpun melalui individu maupun
lembaga. Sinergisitas BAZNAS dan LAZ, selain untuk mewujudkan misi
bersama, manfaatnya agar dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan tidak saling
tumpang tindih fungsi, apalagi saling menghambat disebabkan adanya persaingan
memperebutkan eksistensi lembaga dan kepercayaan di mata masyarakat. Untuk itu,
sebaiknya pengelolaan zakat melalui lembaga akan tertata kelola dengan baik,
sementara lewat individu riskan terjadi penyimpangan, sehingga
keberadaan organisasi pengelola zakat dapat mencegah dana zakat, infaq,
shadaqah, dan wakaf dapat tersalurkan dengan merata dan tepat sasaran.[40]
Dengan semakin
banyaknya organisasi pengelola zakat, maka akan semakin mudah dalam
mensosialisasikan zakat. Di samping itu masyarakat muzakki dapat
lebih leluasa memilih lembaga yang amanah dan professional. Seiring dengan
berjalannya waktu, maka dengan sendirinya akan muncul dua kemungkinan: Pertama, dalam
mengeluarkan zakat para muzakki akan memilih lembaganya yaitu
lembaga amil akan terseleksi dengan sendirinya, sehingga bisa jadi lembaga yang
terbentuk dengan motivasi yang kurang baik akan macet, sebaliknya lembaga yang
dibentuk dengan motif yang benar akan semakin berkembang. Kedua, akan
terjadi persaingan yang
sehat yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Dan antar lembaga amil
tersebut akan saling menjual kelebihan dan program unggulan untuk meyakinkan
para muzakki.[41]
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelolaan zakat, apalagi
yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan antara lain
sebagai berikut :
a. Untuk menjamin kepastian dan
disiplin pembayar zakat;
b. Untuk menjaga perasaan rendah
diri para mustah}iq zakat apabila berhadapan langsung
untuk menerima zakat daripada muzakki;
c. Untuk mencapai efisien dan
efektivitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala
prioritas yang ada pada suatu tempat;
d. Untuk memperlihatkan syiar Islam
dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika zakat
di serahkan langsung dari muzakki kepada mustah}iq meskipun
secara hukum syari’ah adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya
hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat terutama yang berkaitan
dengan kesejahteraan ummat akan sulit di wujudkan.[42]
Manajemen Lembaga Zakat dalam Mengelola Zakat
Dengan melihat konsep manajemen dan konsep zakat secara
integral akan nampak sebuah paradigma tentang manajemen zakat komprehensif.
Zakat tidak mungkin dikelola secara main-main dan tidak serius. Di Indonesia sendiri, pengelolaan
zakat lebih didominasi intuisi. Tiap anggota organisasi menjalankan kegiatan
dengan persepsi masing-masing. Manajemen dalam dalam arti sesungguhnya tidak
dikenal. Pembagian tugas dan struktur organisasi sudah ada tapi hanya
formalitas.[43]
Dari sisi regulasi dan perundangan, manajemen zakat masih menganut prinsip tathawu’i bukan ijbary.
Dengan artian zakat masih bersifat sukarela tanpa adanya ketentuan hukum yang
mengharuskanya. Ditambah dengan belum jelasnya aturan yang berkaitan dengan
posisi zakat terhadap pajak, apakah zakat merupakan pengurang pendapatan kena
pajak (PPKP) atau pengurang pajak langsung (PPL). Sehingga apabila seseorang
telah membayar zakat maka pajak yang harus dibayarkanya secara otomatis
dipotong sejumlah zakat yang telah dibayarkanya.
Karenanya, tujuan legislasi zakat belum berjalan sesuai harapan. Bahkan pengelolaan zakat belum bisa dijadikan salah satu alternatif bagi kebijakan
fiskal yang bisa menyangga kehidupan perekonomian.[44] Ada beberapa
hal yang perlu ditata ulang terkait paradigma lama
manajemen zakat di Indonesia yang masih menganut cara-cara lama, seperti database yang tidak valid
tentang kreteria dan jumlah muzakki dan mustah}iq, permasalahan pendistribusian yang masih didominasi
dalam bentuk konsumtif dan manajemen pengelolaan yang masih menggunakan
perangkat lama dan manual.[45]
Menurut Sudirman, ada beberapa faktor yang menyebabkan
pengelolaan zakat dengan sistem tradisional tidak maksimal, di antaranya
yaitu: Pertama, sikap menyepelekan, pengelolaan zakat dianggap
sepele pada masa tradisional, karena zakat sifatnya hanya bantuan dan pengelolaan
bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata. Kedua, tanpa manajemen, pengelolaan zakat sering kali tanpa
bentuk manajemen yang jelas. Pembagian tugas dan struktur organisasi hanya
formalitas tanpa adanya alasan yang jelas. Ketiga, minus monitoring dan evaluasi, salah satu dampak dari
tiadanya manajemen dan tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Keempat, tidak biasa disiplin merupakan salah satu budaya di
Indonesia yang kurang baik, sehingga molor merupakan suatu keharusan.[46]
Sementara itu, manajemen dan sistem pengelolaan dana
zakat di Indonesia belum seluruhnya profesional dan memuaskan, juga tidak
membuat hati masyarakat Indonesia percaya sepenuhnya. Jika pada zaman
Rasulullah dan khulafa al-Rasyidin negara berperan aktif dengan model “jemput
bola” dalam rangka mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dari para muzakki kepada mustah}iq,
maka di Indonesia terjadi polarisasi. Pertama, para muzakki menyerahkan
zakatnya langsung pada pihak yang berhak menerima zakat (mustah}iq). Kedua,
zakat diserahkan kepada panitia atau badan/lembaga amil zakat.[47] Polarisasi
penyerahan zakat seperti ini tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw.,
khulafa al-Rasyidin, dan di dunia Islam modern, karena itulah, tidak
mengherankan apabila terjadi defisit-historis.
Karenanya, dalam perkembangan zakat terkait pasca revisi
Undang-Undang Pengelolaan Zakat, muncul dukungan untuk menjadikan zakat sebagai
instrumen kebijakan fiskal di satu sisi, namun di sisi lain berkembang juga
wacana untuk mempertahankan model manajemen zakat yang partisipatif. Seperti
diketahui, model manajemen partisipatif menghendaki agar pemerintah bertindak
sebagai regulator, motivator dan pengayom lembaga zakat (LAZ) bentukan
masyarakat. Artinya Lembaga amil zakat sebagai kekuatan partisipasi rakyat
jangan dinegarakan.[48]
Alasannya, pertama, LAZ selama ini
telah berhasil mempopulerkan zakat dan memperoleh kepercayaan masyarakat.
Meskipun diakui masih banyak yang belum efektif dalam menghimpun dan
menyalurkan zakat. Disebabkan karena kelemahan mendasar seperti rendahnya
kualitas SDM-nya, kapasitas organisasi dan dan manajerial masih lemah, serta
belum melembaganya pertanggungjawaban publik yang standar. Kedua,
bila birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah
cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami
delegetimasi, ia pun cenderung melemah, karena lazimnya kepercayaan rakyat
terhadapnya juga merosot. Ketiga, era reformasi dan demokratisasi
ditandai dengan menguatan peran masyarakat sipil dalam pembangunan nasional.[49]
Kepercayaan masyarakat kepada LAZ menunjukkan
adanya penguatan peran dan tanggung jawab sosial masyarakat sipil yang sesuai
dengan konteks Indonesia sekarang. Pemerintah dalam konteks ini perlu membuka
ruang partisipasi publik untuk turut mengeleminasi masalah kemiskinan. Di sini
semangatnya pemerintah menempatkan diri sebagai wasit, pengayom, dan motivator
dan menyediakan piranti yang kondusif bagi penguatan masyarakat sipil. Tidak
dikehendaki negara menjadi pelaku semua urusan, pengambil alih kreativitas
publik.
Dalam hala model manajemen strategi fiskal, sejatinya
menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai operator atau pelaksana.
Alasannya, pertama, pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan Qs.
At-Taubah [9] : 103. Padahal satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk
melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat perangkat pemerintahan
seperti halnya pajak. Apabila hal ini disepakati maka zakat akan menjadi salah
satu sumber penerimaan negara. Kedua, potensi zakat yang
dikumpulkan dari masyarakat amat besar. Ketiga, zakat mempunyai
potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana
zakat yang besar sangat potensial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika
disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Potensi zakat
yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat
sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut. Keempat,
memberikan kontrol kepada pengelola negara yang masih digerogoti penyalahgunaan
uang negara (korupsi).[50]
Sumber Daya Manusia pada Lembaga Zakat
Dalam konteks Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) setiap orang
dalam organisasi merupakan orang-orang yang rela bekerja untuk ummat, merasa
terlibat dalam proses penghimpunan hingga penugasa muzakki dalam
menitipkan amanah terhadapnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dan
bukan hanya sebagai pelaksana suatu fungsi tertentu. Meskipun organisasi
sosial, keprofesionalan organisasi tetap diutamakan.
Dalam rangka
mengoptimalkan pendapatan dana zakat perlu pengelolaan yang berkualitas, untuk
itu perlu adanya badan atau panitia yang mengelola zakat (amil). Untuk membentuk
sebuah lembaga atau panitia amil zakat yang berkualitas paling tidak ada tiga
hal yang harus dipenuhi, yakni amanah, fathanah dan
transfaransi.[51]
Lembaga atau
panitia pengelola (amil) zakat harus amanah (dapat dipercaya). Karenanya, perlu
adanya sistem akuntansi keuangan, untuk mengetahui akan ke mana uang zakat
tersebut mengalir. Sehingga nantinya diharapkan tumbuhnya kesadaran dan
kepercayaan masyarakat (muzakki) untuk menunaikan zakat melalui lembaga
amil zakat. Di samping
sebuah lembaga pengelola zakat dapat dipercaya, juga harus fathonah (profesional). Lembaga tersebut harus dikelola
oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi dan profesional dalam bidangnya,
sehingga lembaga tersebut berjalan secara terus menerus dan mampu menghasilkan dan mengawal program-program yang ada dengan baik.[52]
Sebagaimana diketahui dana zakat adalah dana yang
dikumpulkan dari masyarakat (publik) untuk disalurkan kepada kepada masyarakat,
atau dana yang dikumpulkan dari muzakki oleh suatu instansi
yang akan diserahkan kepada para mustahiq. Karenanya, keterbukaan publik
harus benar-benar terbuka, mengingat dana yang dikelola tersebut berasal dari dana publik, sehingga aliran dana tersebut dapat
diketahui diketahui di mana disalurkan dan
dimanfaatkan. Sifat keterbukaan ini penting agar para muzakki mengetahui
kemana distribusi dan pemanfaatan harta zakat mereka. Sebagai wujud keterbukaan
atas dana zakat yang dikelola, lembaga-lembaga pengelola zakat dapat memberikan
laporan secara langsung kepada masyarakat atau memanfaatkan teknologi.
Pemanfaatan tekhnologi sangat penting karena transparansi dapat diakses oleh
publik secara luas.[53]
Badan pengumpul
zakat seharusnya terdiri atas orang-orang yang terampil, menguasai
masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan
amanah. Jika pengelola zakat tidak jujur dan amanah, kemungkinan yang akan
terjadi adalah zakat tidak akan sampai kepada mustahiq.[54] Karena salah satu sebab mengapa
pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita kadangkala macet, barangkali yaitu
karena banyak badan pengumpul zakat yang tidak memenuhi kriteria tersebut.
Menurut Amin Rais, ada dua sebab mengapa kewajiban zakat menjadi tidak lancar
yaitu, pertama memang para wajib zakat belum sadar pada
kewajiban agamanya. Kedua, mereka sudah sadar, tetapi tidak mau mengeluarkannya
karena tidak percaya sepenuhnya pada panitia pengumpul zakat.[55]
Ada beberapa aspek penyebab rendahnya SDM, sehingga
pemberdayaan zakat tidak maksimal. Seperti, program kerja yang kurang
bersinergi dengan keperluan umat, kurangnya frekuensi penyuluhan dan pembinaan
tentang zakat, koordinasi antara elemen pengelola zakat yang minim, masih
kurangnya dana operasional (keterbatasan dana) dan tidak validnya data serta
tidak akuratnya laporan pertanggungjawaban atas evaluasi pelaksanaan program
sebagai alat pendeteksi keberhasilan dan kekurangan, sehingga mengakibatkan
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, sekaligus integritas
pengelola lembaga tersebut.[56]
Catatan Akhir
Zakat adalah ibadah maliyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan
menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan
ummat. Jadi, disamping merupakan ibadah yang
berdimensi mahdhah, zakat juga berdimensi sosial. Padahal kalau
melihat fakta di lapangan, sebenarnya potensi zakat di Indonesia demikian
besar. Umat Islam yang memenuhi syarat untuk membayar zakat (muzakki)
kian besar, namun potensi itu belum mampu menjadi alternative untuk mengangkat
angka kesejahteraan bagi kaum dhu’afa.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran Islam
sudah mulai disempitkan dan dilupakan artinya, zakat seolah-olah hanya
kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu
terhadap perintah Allah, sehingga lupa kalau zakat sebenarnya juga bertujuan
untuk membantu hamba Allah yang masih membutuhkan pertolongan. Hal ini disebabkan karena mundurnya peranan Islam di
panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban.
Salah satu indikator dari kurangnya kesadaran umat muslim
mengenai zakat tersebut, dapat dilihat dengan masih tingginya angka dan grafik
kemiskinan di dunia Islam, khususnya di lingkungan umat Islam di Indonesia. Hal
ini terjadi karena belum akuratnya pemahaman sebagian umat Islam tentang konsep
zakat, pengelolaan zakat, manajemen zakat bahkan Sumber Daya Manusia yang
jujur, amanah, profesional. Selama ini
potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum dikelola
secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya Lembaga Zakat yang
menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta
evaluasinya. Dengan kata lain, sistem organsisasi dan manajemen pengelolaan zakat hingga
kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan inefisiensi
sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.
Wa ’al-Lâhu a‘lam bi al-Shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah bin Ismail. Shahih al- Bukhari .
Beirut: Dar al- Kitab Alamiyah, 1412 H/ 1992 M.
Ali, Nuruddin
Muhammad. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan
Fiskal. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
al-Munawir, Ahmad
Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawir, 1984.
al-Roubaie, Amer. “Dimensi Global Kemiskinan di Dunia Muslim:
Sebuah Penilaian Kuantitatif”. Islamika, Vol. 2, No. 3
Desember 2005.
Al-Zuhayly,
Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzab. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1995.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum dan
Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Pajak di Indonesia. Yogyakarta:
Pilar Media, 2006.
Ash-Shidiqiey,
Hasbi. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Beik, Irfan
Syauqi. et.al. Indonesia
Zakat dan Development Report 2011: Kajian
Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan. Ciputat: IMZ, 2011.
Djamal D. Pengelolaan Zakat oleh
Negara untuk Memerangi
Kemiskinan. Jakarta: Korpus, t.t.
Djuanda, Gustian dkk. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak
Penghasilan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Ibnu Hajar, al-Hafiz. Fathul Barri;
Jilid III. Beirut: Dar al- Fikr, t.th.
Ibnu Rusyd. Bida>yah al-Mujtahid; Jilid
I. Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t.
Ka’bah, Rifyal. Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. Jakarta:
Khairul Bayan, 2004.
Kementerian Agama RI. al-Quran dan
Terjemahnya. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Urais dan
Pembinaan Syariah, 2012.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia. “Potensi Zakat PNS Mencapai Rp 1.624 Triliun,” Official Website
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI. http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014).
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta:
LKIS, 2001.
Mas’ud, Muhammad Ridwan. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi
Umat (Yogyakarta: UII
Press, 2005.
Miftah, A.A. Zakat Antara Tuntunan Agama dan
Tuntutan Hukum. Jambi: Sultha Thaha Press, 2007.
Nasution, Mustafa Edwin. et.al. Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2006.
Qadir, Abdurrachman. Zakat dalam Dimensi
Mahdah dan Sosial. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001.
Qardawi, Yusuf. Fiqhuz-Zakat. Terj: Didin Hafidhudddin
dan Hasanuddin. Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1991.
Rais, Amin Cakrawala Islam Antara Cita dan
Fakta.Bandung: Mizan,
1995.
Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Sari, Elsi Kartika. Pengantar Hukum
Zakat dan Wakaf . Jakarta:
PT. Grasindo, 2007.
Shihab, Quraish. Tafsir Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini, 1992.
Sudewo, Eri. Manajemen Zakat, Infaq dan Sedekah.Cet. I; Ciputat:
IMZ, 2012), h. 70.
Sudirman. Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas
. Malang: UIN Malang Press, 2007.
Syadzali, Munawir., et.al. Zakat dan Pajak. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991.
Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar Yahya. Jakarta:
Mutiara, 1994.
Tim Penyusun Direktorat Pemberdayaan Zakat. Standar
Operasional Prosedur Lembaga Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas
Islam Kementerian Agama RI, 2012.
Tim Penyusun Dirjen Pemberdaayaan Zakat. Standarisasi
Amil Zakat di Indonesia; Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI,
2012.
Tim Penyusun Kementerian Agama RI. Profil
LPZ. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012.
Tim Penyusun. Panduan Organisasi Pengelola
Zakat. Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat,
2012.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih
Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Widodo, Hertanto dan Teten Kustiawan. Akuntansi dan
Manajemen Keuangan untuk Organisasi Pengelola Zakat. Bandung: Asy
Syaamil Press dan Grafika, 2001.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial; Dari Soal
Lingkungan Hidup, hingga Ukhuwah. Bandung: Mizan, 1995.
Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jakarta:
CV. Rajawali, 1998.
[1]A. A
Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi:
Sultha Thaha Press, 2007), h. 23.
[2]Gustian Djuanda, dkk., Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006), h. 3.
[3]Tim Penyusun
Direktorat Pemberdayaan Zakat, Standar Operasional Prosedur Lembaga
Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama
RI, 2012), h. 29.
[5]Yusuf Qardawi, Fiqhuz-Zakat.
Terjemahan oleh Didin Hafidhudddin
dan Hasanuddin (Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 1991), h. 34. Lihat juga, Ahmad Warson
al-Munawir, Kamus al-Munawir (Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawir, 1984), h. 616.
[6]Substansi sumber zakat dalam konsep fiqih dikenal
dengan maha al-zakat, yaitu jenis harta benda yang
wajib dikeluarkan zakatnya. Prinsip dasar Alquran menyebutkan
bahwa sumber zakat harus mempunyai kriteria tertentu, seperti kelayakan (Qs. Ali Imran [3]: 92) dan
bernilai ekonomis (Qs. al-baqarah [2]: 267). Alquran juga
telah menyebutkan beberapa jenis barang yang wajib dikeluarkan zakatnya,
seperti emas dan perak (Qs. al-Taubat [9]: 34),
tanaman-tanaman dan buah-buahan (Qs. al An'am [6]: 141), serta hasil usaha dan hasil bumi (Qs. al-Baqarah [2]: 267). Namun
demikian, bukan berarti sumber zakat hanya terbatas pada jenis barang itu,
karena ayat-ayat Alquran dalam
hal ini bersifat dinamis pengertiannya dan dapat dikembangkan sejalan dengan
perkembangan zaman. Lihat, Anshori,
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib
Pajak di Indonesia (Yogyakarta:
Pilar Media, 2006), h. 12.
[7]Munawir
Syadzali, et.al., Zakat
dan Pajak, Jakarta (Cet. II;
Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991), h. 160.
[8]Masjfuk
Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), h. 37. Lihat, Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian
Berbagai Madzab, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm.
89.
[12]Lihat, Qs. At-taubah [9] ayat 34. Kementerian Agama
RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Dirjen Bimas Islam
Direktorat Urais dan Pembinaan Syariah, 2012), h. 259.
[13]Alquran secara gamblang menyebutkan kata ‘zakat’ yang
dirangkaikan dengan kata ‘shalat’ sebanyak 72 kali. Hal ini dapat
diinterprestasikan bahwa perintah menunaikan zakat memiliki urgensi sebanding
dengan mendirikan shalat. Lihat, Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial;
Dari Soal Lingkungan Hidup, hingga Ukhuwah (Cet. III; Bandung: Mizan,
1995), 231.
[14]Djamal D, Pengelolaan Zakat oleh
Negara untuk Memerangi
Kemiskinan (Cet.I; Jakarta: Korpus, t.t.), h. 76.
[18]al-Hafiz Ibnu Hajar, Fathul Barri; Jilid III (Beirut: Dar al- Fikr, t.th.), h. 261.
[20]Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj, Mukhtar
Yahya (Cet. VIII; Jakarta:
Mutiara, 1994), h. 144.
[22]Amer al-Roubaie, “Dimensi Global Kemiskinan di Dunia
Muslim: Sebuah Penilaian Kuantitatif”. Islamika, Vol. 2, No. 3
Desember 2005, h. 91.
[23]Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid; Jilid I (Surabaya: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub, t.t.), h. 182. Bandingkan
dengan Rifyal Ka’bah, dalam tulisannya yang tidak menyebut zakat peternak, padahal masyarakat arab
umumnya adalah pedagang, disamping sebagai peternak, terutama kambing atau
domba. Lihat Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di
Indonesia (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), h. 63.
[24]Mustafa Edwin Nasution, et. al., Pengenalan
Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 214.
[25]Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi
Mahdah dan Sosial (Cet. II; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 171.
[26]Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun Dirjen Pemberdaayaan Zakat, Standarisasi
Amil Zakat di Indonesia; Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI,
2012), h. 14.
[27]Pasal 3, UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Lihat, Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan
Wakaf (Jakarta:
PT. Grasindo, 2007), h. 82.
[30]Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lihat, Tim Penyusun
Pemberdayaan Zakat, op. cit., h. 41.
[33]Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen
Keuangan untuk Organisasi Pengelola Zakat (Bandung: Percetakan
Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), h. 5-6.
[34]Irfan
Syauqi Beik, et. al., Indonesia Zakat & Development Report 2011:
Kajian Empiris Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan (Ciputat:
IMZ, 2011), h. 9.
[35]Berdasarkan hasil penelitian BAZNAS dan IPB pada tahun
2011, potensi zakat, infaq, dan shodaqoh yang dimiliki oleh Indonesia sangatlah
besar mencapai Rp 217 triliun tetapi potensi ini baru terserap 1%. Selain itu,
ternyata potensi zakat yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat
mencapai Rp 1,624 triliun. Lihat, Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, “Potensi Zakat PNS Mencapai Rp 1.624
Triliun,” Official Website Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia, http://www.menkokesra.go.id/artikel.html (10 Oktober 2014).
[36]Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 tahun
2014 tentang Pelaksanaan UU No. 23 tahun 2011. Lihat, Kementerian Agama
RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat,
2012), h. 31.
[38]Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Profil LPZ (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 15.
[42]Abdul Kadir, dalam Didin Hafidhuddin, Zakat dalam
Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 96.
[44]Tim Institut Manajemen Zakat, Profil 7 BAZDA Provinsi dan Kabupaten Potensial (Cet. I; Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. 9.
[47]Rahmat Hidayat, “Pengelolaan Zakat di Indonesia dan
Malaysia”, dalam Harmoni, Vol V, No 20, Oktober-Desember
2006, h. 55.
[48]Nuruddin
Muhammad Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 24.
[51]Muhammad Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi
Umat (Yogyakarta: UII
Press, 2005), h. 97.
[56]Tim Penyusun, Panduan Organisasi Pengelola Zakat (Jakarta:
Dirjen Bimas Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 8-9.
Kontributor:
Nur Hidayah. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com